Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A;A17-Permainan Takdir

Up cepet kan kita😋

Vote komen boleh? Wkwk

❝Jalan takdir tak pernah ditebak alurnya.❞

•°•°•

APAPUN yang ketua osis lakukan seolah selalu menjadi pusat perhatian. Entah saat bicara di atas panggung, sekadar berjalan di lorong koridor, pun saat mengobrol akrab bersama sahabatnya. Terutama para cewek yang suka menjadikan hal itu objek amatan.

Jadi tidak heran, jika adik kelasnya yang paling bungsu itu, langsung menyorot Arven saat dia melangkah di koridor kelas sepuluh. Tatapan demi tatapan dia abaikan sampai dia berhenti di depan kelas X-Ipa3.

Bisa dia rasakan tatapan bingung sekitar, termasuk seisi kelas Avisha, yang berbondong-bondong keluar pintu. Tentu yang paling syok adalah Avisha bersama kedua temannya.

Siapa sangka di jam pulang sekolah kepulangan mereka telah ditunggu seseorang.

Seisi kelasnya mulai heboh.

"Kak Arven ngapain di sini?"

"Itu ketos ganteng kita kan? Mau jemput gue kali ya?"

"Sepenting apa lo sampe kak Arven mau jemput lo!"

Kasak-kusuk dari sebagian teman ceweknya terdengar. Jika sebagian ada yang merespon berlebihan. Sisanya cuma bisa diam sambil memandang penuh kekaguman.

Yania berbisik di telinga Avisha. "Kak Arven mau jemput lo, Sha?"

"Misalkan iya jangan mau, Sha." Ini Ilona yang melarang. "Inget, dia udah jatohin macaroon yang lo buat susah payah."

"Yaelah, Na. Gak usah lebay sih, malah mungkin kak Arven dateng ke sini mau minta maaf karena udah jatohin macaroon-nya." Seperti biasa Yania membela.

Ilona mendengkus. "Yaya, lo lupa pas Visha balik ke kelas, tampangnya udah kayak apa. Kalah jemuran kering, kusutnya minta ampun."

"Sha," Cukup dari panggilan Arven dan langkahnya yang memasuki kelas, semua perhatian langsung tertuju pada Avisha. Memberondongnya dengan tatapan heran, bingung sekaligus penasaran.

"Kak Arven ngapain?" Walau masih ada keganjalan di hati, Avisha masih berusaha untuk bersikap normal. "Kak Arven nyasar ya, masa ketos belom hafal jalan sekolah sih, sampe nyasar ke kelas sepuluh."

"Gue mau ngobrol bentar sama lo."

Bukan cuma Avisha yang tercekat kaget, sebagian cewek yang masih di kelas pun terbelalak syok.

"Ngobrol?" Berusaha untuk tetap biasa, Avisha nyatanya tidak bisa, ada rasa kesal yang memendam minta dilampiaskan. "Bukannya kak Arven bilang gak mau ngobrol sama Visha?"

"Gue males jelasin di sini." Arven memandang ramainya sekitar. Dia mencengkal tangan Avisha. "Mending ikut aja sekarang."

Dia langsung menepisnya. "Kenapa Visha harus ikut kak Arven?" Cara Arven membujuknya sangat buruk, tidak ada senyum yang tercetak di wajah dingin itu.

"Ikut aja!" Arven hendak menjangkaunya, Avisha sontak melangkah mundur.

"Gak mau! Sebelum kak Arven ngasih tau alasannya, Visha gak akan mau ikut!"

Keberanian Avisha yang memberikan sebuah penolakan, secara tak langsung membuat semua temannya tak percaya menyaksikan. Terutama Yania dan Ilona.

"Sha, kalo emang lo gak mau. Tukeran posisi aja yuk?" Yania masih saja. Avisha memelototinya. Sementara Ilona cuma bisa menghela napas.

"Gue perlu ngomong sama lo bentar."

"Ngomong di sini aja!" Setelah menolaknya secara terang-terangan tadi pagi, pantas saja bukan kalau Avisha harus bersikeras memegang teguh pendiriannya. Lagipula ada apa dengan Arven? Kepalanya tidak habis terbentur kan?

"Lo jadi gak mau?" Arven bertanya serius.

Dagu terangkat, dia memandang Arven menantang. "Gak mau!" tekannya sekali lagi.

"Oke ... tapi maaf aja, gue gak suka ditolak!" Lalu tanpa aba-aba, Arven langsung menarik tangan Avisha keluar kelas. Yang lain terbelalak melihatnya, apalagi suasana seolah semakin ramai karena Avisha yang terus memberontak minta dilepaskan.

"Kak Arven tuli ya, Visha gak mau!" Rasanya Avisha ingin menggigit tangan Arven. Sebelum itu terjadi. Ternyata bala bantuan lebih dulu datang. Ada tangan menyentak genggaman kencang Arven yang membuatnya terlepas.

"Kalo dia gak mau seharusnya lo gak usah maksa!" Itu Nata yang memandang Arven dengan sorot tajam. Sementara Arven cuma membalasnya dengan raut datar dan sebelah tangan dimasukkan di saku celana. Walau begitu, Avisha takut akan terjadi peperangan.

"Jangan mentang-mentang lo ketos lo bisa semena-mena!"

"Gue emang ketos, tapi gue gak pernah jadiin posisi gue ajang pamer!" balas Arven tajam. "Lagian lo siapanya?"

Nata berdecih. "Seharusnya gue yang tanya. Lo emang siapanya?!" Avisha menggigit bibirnya merasa cemas memandang Nata dan Arven bergantian. "Lo cuma ketos yang suka maksain kehendak!"

"Ini urusan gue sama Avisha. Dan lo!" ucapnya penuh penekanan. "Gak usah ikut campur!"

"Gue harus ikut campur karena gue sahabatnya!" Emosi Nata seakan ingin meledek. Sementara yang dibalas Arven dengan senyum sinis.

"Gue ngerti sekarang ... lingkaran friendzone?" simpulnya membuat Nata seketika bungkam. Arven memandang sekeliling yang kian sesak dan menjadikan kejadian ini tontonan. Arven berdecih. Dia benci ini.

Dia menoleh pada Avisha, yang dibalasnya langsung. "Ikut gue, Sha. Kalo lo gak mau temen lo kenapa-napa."

"Jangan mau Sha!" Nata memandang Arven tak suka.

Wajah Arven dingin, sorotnya makin tajam, dan jelas ancaman tadi bukan main-main. Avisha tidak ingin di sini ada perkelahian, apalagi sampai melibatkan Nata temannya, dia tidak mau Nata kenapa-napa. Jadi ketika Arven menarik tangannya lagi, dia tidak memberontak dan memilih kalah dalam perang ini.

•••

Drama mereka tinggalkan. Pun Nata yang menyorot tidak suka.

Walau akhirnya Avisha mengikuti Arven. Namun, tak ayal hatinya masih mengganjal, saat tiba di area parkir, Avisha langsung menyentak tangan Arven.

"Kak Arven sebenarnya mau apa?" tanyanya ketus. Mencoba memasang muka dengan sedatar mungkin.

Alis Arven terangkat melihatnya. "Muka lo gak cocok dijutek-jutekkin gitu, Sha," ucapnya, yang mengenai sasaran. Avisha cemberut, memandang Arven kesal.

"Visha heran deh, bukannya kak Arven sendiri yang bilang buat Visha berhenti ganggu kak Arven?!" tanyanya langsung ke inti. "Dan sekarang ... Visha udah mau berhenti, terus kenapa kak Arven tiba-tiba ganggu Visha. Dateng ke kelas Visha, bikin heboh kelas, sok tebar pesona, terus tadi hampir aja-"

Tangan Arven bergerak menutup mulutnya, yang membuat ucapannya terhenti langsung.

"Lo masih aja bawel ya?" Avisha terbelalak. Sedikit kaget berkat tangan Arven yang membungkam mulutnya tiba-tiba.

Dia langsung menyingkirkan tangan itu. Arven menghela napas lelah. "Gue minta maaf oke?"

Raut penyesalan itu tidak ada. Avisha makin kesal. "Permintaan maaf ditolak. Kak Arven gak tulus!" Setelahnya dia memilih meninggalkan Arven, yang sontak cowok itu sejajarkan langkahnya dengan mudah.

"Gue belom selesai ngomong, Sha." Di dekat gerbang, Avisha menghentikan langkahnya.

"Kak Arven kenapa sih?!" tanyanya mulai kesal. "Kalo kak Arven gak ikhlas minta maaf-nya. Gak usah minta maaf!"

"Gue ikhlas."

"Ikhlas gimana? Orang gak ada senyum gitu!"

Arven menarik napas panjang. Tampak frustasi. "Tampang gue emang udah gini!"

"Ya udah kalo gitu, permintaan maafnya Visha tolak!" Avisha berbalik hendak pergi, yang segera Arven tahan.

"Lo tau gue gak suka ditolak," ucapnya tajam. "Tapi terserah," Dia melepaskan tangan Avisha begitu saja. "Yang penting gue udah minta maaf buat kata-kata kasar gue. Dan makanan yang gak sengaja kesenggol itu."

Avisha bisa merasakan Arven melangkah meninggalkannya. Hatinya mendadak panas dan rasanya dia ingin meluapkan pada sesuatu hal. Tapi, karena tidak ingin terjebak terus-terusan, Avisha memilih menyebrang menuju halte.

Dia tidak ingin kembali ke lobi, karena cukup dia jadi pusat sorotan beberapa saat lalu. Menunggu Darlan di halte, tentunya pilihan yang lebih baik.

Dan sepertinya Avisha melakukan kesalahan. Sebuah motor yang melesat dari arah samping, sebuah penampakkan yang berhasil membekukkan Avisha di pijakan dengan mata melebar.

Suara tabrakan terdengar disusul suara teriakan kesakitan, yang membuat tumit Arven refleks berbalik. Jantungnya seakan terjun bebas melihat Avisha yang tergeletak sambil merintih kesakitan memegang kakinya.

"Sha!" Tanpa dicegah kakinya berlari dan berhenti di depan Avisha yang mulai menangis. "Lo kenapa? Kebiasan banget sih buat orang panik! Tiga kali, Sha!" Amarahnya meluap. Untuk kejadian yang selalu bergilir menghantui, sudah tiga kali cewek itu membuatnya kehilangan kontrol diri.

Dia mengangkatnya langsung. Banyak orang yang penasaran. Menghampiri mereka seakan meminta penjelasan. Satpam sekolahnya pun ikutan panik karena sempat menyaksikan. Dan ... beliau-lah yang menjawab pertanyaan-pertanyaan beruntun dari orang sekitar.

"Itu tadi ada motor lewat, terus si eneng nyebrang, yaudah langsung keserempet kakinya ..."

Samar-samar, Arven mendengar Pak Didin menceritakan kronologi yang terjadi beberapa detik lalu. Namun, karena lebih mengkhawatirkan kondisi Avisha, Arven tak menggubrisnya dan melangkah cepat menuju mobil.

Selama perjalanan menuju rumah sakit, Arven mati-matian untuk fokus pada jalan. Rintihan Avisha di sampingnya justru tak menolong sama sekali. Avisha tidak terluka, yang sampai menyebabkan hilang sadar atau kehabisan darah.

Hanya saja melihat Avisha merasakan sakit di bagian sebelah kakinya yang amat dalam, cukup membuat Arven nyaris gila!

Dia gila karena merasa dirinya terhempas ke beberapa tahun lalu.

"Lo mau kemana? Dengerin penjelasan gue dulu!"

"Aku gak mau dengerin apapun dari Arven!"

"Shil gue mohon ..."

"ENGGAK!"

"Shil ..."

"Arven jahat!"

"SHIL AWAS!"

Tanpa sadar, Arven memukul setirnya kencang, membunyikkan klakson nyaring yang memekakan. Avisha terlonjak, dengan keadaan yang masih berusaha menahan sakitnya, dia memandang wajah Arven yang kaku.

"Kak Arven mau omelin Visha lagi ya?"

Lampu merah. Sial! Arven menoleh, memandang Avisha yang pucat. "Gue gak ngomelin lo, gue cuma minta lo hati-hati lain kali! Udah tiga kali lo bahayain diri lo sendiri."

"Kak Arven khawatirin Visha?" Avisha menggigit bibirnya, keringat dingin mulai bercucuran, dan belum sempat mendengar jawaban dari Arven matanya sudah memejam hilang sadar.

•••

Ponsel yang Arven genggam terus bergetar. Menandakan banyak panggilan yang justru dia abaikan. Sekarang yang dia pikirkan cuma Avisha yang tengah diperiksa di dalam. Arven menangkup kepalanya di kursi tunggu, mengembuskan napas berat karena lagi-lagi bayangan mengerikan memberontak minta keluar di kepalanya.

Tak lama, terdengar gema sepatu yang terhentak buru-buru. Arven tersadar dan menoleh, melihat orang tua Avisha berjalan mendekat. Dibanding ayahnya Avisha, tentunya Arven cuma mengenal Velin, mamanya.

Velin tampak kaget, melihat dirinya. Tapi, tak ambil pusing dan memilih mengkhawatirkan anaknya. "Dimana Visha?"

"Lagi diperiksa di dalem, Tante," jawab Arven mencoba tenang sebelum detik berikutnya dia tersentak karena kerahnya ditarik. Arven memandang datar papanya Avisha yang tampak ingin membunuhnya hidup-hidup.

"Visha kayak gini karena kamu kan?" tanyanya tajam. "Kamu yang buat anak saya celaka?"

"Mas Devin! Kamu gak bisa asal nuduh!" Velin langsung menengahi, melepaskan tangan suaminya dari kerah Arven, yang segera Arven rapihkan dengan sikap tenang. "Lagipula seharusnya kita berterima kasih karena Arven sudah membawa Visha cepat-cepat ke sini."

"Kamu mengenal dia?"

Velin mengangguk menjawab pertanyaan suaminya. "Dia keponakan temanku Diana."

Papanya Avisha yang sekarang Arven ketahui bernama Devin itu tersenyum sinis. "Vargelon Diana Gazkel? Keluarga Gazkel?" Terdengar meremehkan. "Seharusnya saya sudah bisa menebak raut sok dingin dan sikap sombong kamu dari mana? Ternyata keturunan Gazkel nggak pernah berubah!"

Arven sama sekali tidak tersinggung. "Beruntung Om, karena saya cucu satu-satunya di keluarga Gazkel yang justru seneng mendengar keluarga saya dihina-hina!"

"Mas cukup!" Velin memintanya berhenti saat dilihatnya Devin ingin meneruskan percakapan tak penting ini.

Kemudian seorang dokter keluar dan meminta keluarga dari Avisha untuk ke ruangannya. Saat orang tua, Avisha meninggalkan Arven sendiri di lorong rumah sakit, tak lama dengan itu ketiga teman Avisha datang.

Dan cowok bernama Nata itu langsung nyalang menatap Arven. "Visha kayak gini gara-gara lo!" Nata mengepalkan tangan rupanya dia gatal untuk menonjok wajah datar Arven.

Tapi, Yania menghentikan, sebelum terjadi perang di sini. "Lo gak bisa nyalahin kak Arven, Nat. Dia justru yang bawa Visha ke sini! Berarti kak Arven penolong Visha!"

•••

Avisha sudah sadar saat Arven berjalan masuk ke dalam ruangannya. Kakinya tergips walau kelihatan baru saja pulih, dia tetap memasang senyum lebar saat Arven mendekat. Dia sudah bisa merasakan tatapan menusuk dari Nata yang berdiri di sisi ranjang Avisha yang lain.

"Lo udah gak pa-pa?"

Visha mengangguk. "Visha udah gak pa-pa," wajahnya masih saja ceria. "Makasih ya kak Arven udah bawa Visha ke sini. Untung kaki Visha gak harus dicopot, padahal tadi sakit banget kayak ditusuk-tusuk!"

Pintu tahu-tahu terbuka dan Avisha memekik senang. "Papa! Mama!" Velin langsung berlari memeluk anaknya sementara Devin memandang Arven dengan tatapan yang tak mampu diartikan.

"Setelah melihat kondisi Visha," Devin mendekati Arven dengan tangan tenggelam di saku celana. "Kamu bisa menebak apa yang dokter katakan?"

"Fraktur tertutup, ada tulang Avisha yang patah di bagian kaki. Entah remuk atau kebagi dua," jelas Arven mengenai sasaran.

Devin mengangguk. "Pintar juga ternyata kamu, khas keluarga Gazkel," Entah menyindir atau memuji, Arven malas peduli. "Kamu juga pasti tau, Visha terpaksa memakai tongkat selama beberapa bulan untuk pemulihan?"

Sebagai jawaban, Arven sekadar mengangguk.

"Bagus, karena setelah ini semua beban Visha tanggung jawab kamu!"

Bukan cuma yang lain, Arven lebih terperangah luar biasa. "Saya udah bawa, Avisha ke sini Om dan jelas tanggung jawab saya udah gak ada."

"Kamu yang terakhir kali bersama Visha," Devin ternyata cukup pintar mematikan lawan. "Jadi ... untuk Visha yang mungkin kesulitan berjalan, kamu harus selalu ada di samping dia, dimanapun, dan kapanpun."

"Saya menolak, Om!" ucapnya langsung.

Senyum sinis Devin terangkat. "Ternyata kamu mirip dengan Om kamu yang pengecut itu!"

Emosinya hampir saja meluap kalau dia tidak halau dengan mengepalkan tangan. Tentunya dia benci, dirinya disama-samakan dengan Daffa, lelaki yang selalu membuatnya muak itu!

"Kalo emang itu yang Om mau ... baik. Kapanpun, dimanapun, saya akan selalu ada di samping Avisha."

Arven tahu setelah dia mengikrarkan kata-kata seakan membentuk janji. Hidupnya tak akan sama lagi.

•••

Nahloh ... gimana dah tuh wkwk

Jadi berduaan teroooos dunds😂

Muka yg bawah ngeselin gitu ya Sha _-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro