Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A;A15-Garis yang Dibenci

Mana bisa up lama, kalo tangan aja suka gatel mau ngetik wkwk.

Ini untuk kalian😗


❝Ku ingin berhenti meninggalkan jejak kesedihan. Meski itu sia-sia, karena kenangan pahit adalah salah satu bagian dari langkah kehidupan.❞

•°•°•

KADANG ada deskripsi tempat yang bisa dianggap neraka. Walau bukan neraka secara harfiah, tetapi ada alasan orang yang memberikan gambaran itu karena tempat yang dia pijaki, atau dia datangi adalah tempat yang terasa memuakkan dan terasa membakarnya perlahan-lahan.

Seperti sekarang. Mungkin pesta dengan makanan mahal, kue-kue mewah, atau gelas-gelas kaca yang berjejer di atas meja panjang, itu terlalu berlebihan jika disebut neraka. Belum lagi alunan piano dari atas panggung besar yang berdiri kokoh, sesekali lagu mellow dan bernada pelan terdengar di setiap penjuru.

Jika orang sekitar justru banyak yang menikmati. Sayangnya, tidak bagi Arven. Seperti orang yang berlalu lalang memakai pakaian formal. Arven pun tak tertinggalan. Memakai kemeja putih, yang tertutup jas bewarna navy. Rambutnya disisir rapi ke belakang dengan jel rambut.

Disaat yang lain tampak biasa, justru Arven terganggu oleh keramaian yang ada. Yang sangat menganggunya adalah topik setiap obrolan yang tak sengaja didengarnya melulu tentang bisnis dan properti perusahaan, yang sebenarnya ingin sekali Arven hadiah decihan.

Dunia bisnis bukan saja tentang bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan besar. Bukan saja menanamkan modal atau investasi untuk meningkatkan keuntungan. Itu hanya sisi terangnya.

Ada sisi lain yang jarang orang ketahui. Dunia bisnis itu kejam. Cuma untuk mendapatkan keuntungan yang meningkat, cara yang mereka pergunakan tak bisa dibilang manusiawi. Bermain curang, bermain belakang, atau bermain licik hingga memancing kekacauan besar.

Kemudian saat kekacauan itu datang, mereka akan melenyapkan dengan berbagai cara. Salah satunya, menghancurkan bisnis musuhnya, atau bahkan dengan cara mengerikan, membunuh lawannnya.

Dari deskripsi saja, Arven sudah mual dan merasa jijik.

Saat dia baru selesai meneguk cairan merah dan meletakkan gelasnya di meja, kakeknya datang bersama Diana yang menuntunnya. Ketukan tongkatnya semakin terdengar mendekat sebelum akhirnya hilang ketika berhenti di depan Arven.

"Di sini kamu rupanya. Padahal kakek memintamu bergabung di meja makan."

Padahal Arven pikir dengan menuruti perintah sang kakek untuk datang ke pesta menjijikan ini saja itu sudah cukup. Ternyata Raihan belum puas mengganggunya dengan perintah lagi.

"Bukannya kakek meminta Arven sebatas dateng, tanpa embel-embel ikut makan di meja bersama orang-orang gak dikenal." Senyum setengah Arven terangkat. Menyindir.

Sang kakek justru membalasnya dengan senyum. "Kakek harap tidak ada bantahan untuk perintah kedua ini."

Dari mata Diana, adik ayahnya, memandang Arven memohon. Mengatakan jika turuti saja perintah kakek agar tidak ada keributan di sini.

Tentu saja, bukankah nama Gazkel akan tercemar saat melihat ternyata Raihan Gazkel tidak akur dengan cucunya sendiri, cucu yang sering dia banggakan. Cucu yang dia perkenalkan sebagai cucu kesayangan. Oh salah sepertinya ... mari tambahkan cucu sialan di belakangnya.

•••

Di meja bundar dengan telapak meja bewarna emas kemerahan. Di atasnya lilin dalam ornamen kaca, seolah menambah kemewahan. Belum lagi makanan utama yang sudah tersaji di depan orang yang sudah duduk di kursi masing-masing.

Semua khidmat menikmati makanan tanpa obrolan sebelum lelaki yang duduk di antara Raihan dan Dafa, memecah keheningan.

"Saya gak nyangka kamu dateng ke sini Arven?"

Ternyata pertanyaan itu untuk Arven.

"Saya juga gak nyangka ternyata walau dipaksa saya tetap datang ke sini!" Bisa dia rasakan tatapan Dafa, Raihan, dan Askar yang duduk di sebelahnya. Tatapan yang jelas sebuah penghakiman karena nada bicaranya.

Lelaki paruh baya yang seumuran dengan Om Dafa itu adalah salah satu rekan bisnis yang sudah lama bekerja sama dengan perusahaan milik kakeknya. Namanya William. Dia justru tersenyum dan tak tersinggung oleh ucapannya. "Kamu gak berubah ya ternyata, persis seperti kakekmu dan ayahmu."

Arven mengangkat ujung bibir. Membentuk senyum sinis. "Karena bermulut ular itu ciri khas keluarga Gazkel."

Buat kali ini meja menjadi hening. Sebelum mata Dafa menghunus penuh peringatan. "Arven, om harap kamu bisa sedikit beradab di tempat umum."

William mengatakan tak masalah pada Dafa. Sebelum berganti topik.

"Kalo kamu Askar gimana sekolahmu?" tanyanya.

"Kayak biasa Om, gak ada hal menarik di sekolah, belajar, ngumpul bareng temen terus pulang." dibanding Arven yang ketus, Askar justru membalas ramah. Mencari muka. CIH!

"Kamu harus banyak belajar biar saat dewasa nanti kamu bisa meng-handle perusahaan kakekmu."

Arven bisa merasakan tatapan Askar dari sudut mata. "Supaya Askar bisa ngalahin Arven ya kan Om?" entah itu candaan atau keseriusan, cuma sepenjuru meja pecah oleh tawa. Kecuali Arven.

"Oh ya Willy," Raihan mengalihkan topik. "Untuk bisnis baru yang akan kita jalani, saya sudah menentukan kalau Arven akan ikut andil di dalamnya."

Tidak ada alasan lain buat Arven tidak terkejut sekarang. "Kakek membuat keputusan tanpa bertanya dulu sama Arven?"

"Bagaimana menurutmu?" Raihan mengabaikan protesannya.

"Itu gak masalah, justru bagus," William tampak setuju. "Tapi, bukankah Arven ada trauma ... dalam dunia bisnis sejak meninggalnya orangtuanya dan juga ..."

Sialan! Belum reda emosi Arven oleh keputusan sepihak kakeknya. Emosinya langsung melonjak naik saat mendengar topik ini.

"Kamu aneh-aneh saja, Willy," Raihan langsung memotong. Pengalih suasana yang cukup pintar. Rasanya Arven ingin bertepuk tangan. "Kamu tau, itu cuma kecelakaan. Tidak seperti yang orang-orang katakan."

Tidak tahan mendengar bagaimana wajah kakeknya saat membicarakan topik ini. Arven bangkit dari kursi mengejutkan semua yang di sana. Tanpa pamit, dia berbalik untuk cepat-cepat meninggalkan tempat terkutuk ini.

"Biar saya saja Diana!" Diana tidak jadi bangkit berdiri, karena ayahnya lebih dulu bangkit bersama tongkatnya. Dengan langkahnya yang cukup gagah walau sudah mengenakan tongkat, Raihan menyusul langkah Arven yang sangat cepat.

"Arven!" Kakeknya tidak berteriak, cuma ketegasan dari suaranya membuat kaki Arven mendadak beku di pijakan. "Sopan santun kamu kemana, meninggalkan meja tanpa berpamitan lebih dulu?"

Arven berbalik, menghadap kakeknya yang berjarak dua langkah dari tempatnya. "Dari keputusan sepihak kakek, itu udah jadi alasan pantes buat Arven cepet-cepet pergi dan nyesel karena udah dateng ke sini!"

"Kamu tidak suka dengan keputusan kakek?" tanya Raihan tenang. Walau sorot Arven mengikrarkan kebencian, Raihan sangat tahu kalau cucunya itu tidak bisa membantah apapun yang dia katakan. "Kamu tidak ingin ikut andil dalam bisnis baru yang sedang kakek bangun ini?"

Arven diam meski tangannya sudah mengepal menahan luapan amarah yang meletup membakar dadanya.

"Kakek nggak akan memaksa, tapi Kakek sangat mengenal kamu Arven." Raihan tampak menang saat melanjutkan, "Kamu paling tidak bisa membantah perintah Kakek."

Telak. Raihan berhasil menohoknya dengan sebuah fakta sialan yang selalu dijadikan kambing hitam untuk melawannya.

"Sampai sekarang Arven heran," Dia tersenyum kecut. "Seperti yang kakek bilang, Arven paling gak bisa membantah perintah kakek. Padahal itu sia-sia bukan? Mengingat kakek, gak pernah percaya sama semua perkataan Arven!"

•••

Selama perjalanan pulang, Arven mencengkeram setir erat. Menjalankan mobilnya di batas normal. Mencoba fokus ke depan.

Namun, usahanya sia-sia, nyatanya segala pelampiasannya sekarang justru mengundang memori belakang yang terasa menyesakkan. Oleh sunyi, oleh keheningan yang membentang, dan pada deru suara mesin, ketiganya justru menambah pelik situasi dan membuatnya mati-matian untuk menyingkirkan kenangan buruknya di kepala.

"Kakek harus percaya sama Arven!"

"Jangan percaya dengan anak itu, Pa. Dia pembohong besar!"

"Kenapa kakek gak percaya sama Arven?!"

"Cukup Arven! Kakek tidak mau mendengarnya!"

"Lupakan kecelakan itu! Lupakan!"

Kalimat-kalimat yang seharusnya sudah berdebu di ingatan justru kembali menyeruak ke permukaan. Dadanya sakit. Terkoyak. Bagai ada ribuan pecahan kaca yang menghunjam tubuhnya dengan cara yang mengerikan.

"Benar kata Dafa, kamu memang cucu pembawa sial!"

Seharusnya dia tau sebesar apapun usaha untuk menghapusnya. Kenangan itu layaknya bayangan. Selalu mengikuti di belakang, tak pernah meninggalkannya, sentiasa melekat kemanapun dia melangkah.

Arven menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Fokusnya hilang dan berulang kali dia memukul-mukul setir mobil untuk mengeluarkan emosi sekaligus sakit di dadanya yang tertahankan.

"Lo bego, Ven ..." ucapnya lirih, menyandar di sandaran jok. Senyum getirnya terangkat. "Sepuluh tahun lalu seharusnya lo gak usah lari. Dibanding lo dijadiin boneka, bukan lebih bagus lo mati waktu itu!"

•••

Pagi senin yang cerah. Matahari seperti memanggang kepala Avisha. Panasnya membakar kulit dan kalau boleh dilebih-lebihkan, dia bisa memasak telur mata sapi di tengah lapangan kalau mau.

Di atas panggung, terdengar suara kakak kelasnya yang tengah membaca undang-undang dasar. Dibanding mendengarkan, Avisha yang berada di baris ke empat dari depan, memilih memikirkan ide-ide makanan baru yang ingin dia buat.

"Gak baris paling depan?" Avisha terkejut luar biasa dan menoleh. Tidak ada alasan lebih untuk tidak tercengang Avisha melihat kakak kelas yang bertemu dengannya di minimarket beberapa hari lalu kini berdiri di sampingnya.

Askar, sang wakil ketua osis, ada di sampingnya!

"Apa?" Avisha bukannya tidak mendengar. Hanya saja otaknya mendadak tak dapat mengeluarkan kalimat apapun saking terkejutnya.

"Seharusnya dari ukuran tinggi lo, lo berdiri paling depan."

Oke jika membawa soal tinggi badan, apalagi Avisha belum mengenal lama cowok ini, pantas jika dia sedikit sensitif. "Emang kenapa Visha gak berdiri di depan, tenang aja kak, walaupun pendek Visha masih bisa liat panggung dan denger mereka ngomong apa."

Kemarahan Avisha justru membuat Askar tertawa. "Gue bukan mau nilai fisik lo, sori kalo lo tersinggung. Gue cuma kasian aja sama lo, di sini panas, mending paling depan adem."

Ya ampun! Avisha langsung terdiam. Padahal niat cowok itu baik, tapi Avisha sudah tersinggung duluan. Ini pasti karena matahari. Avisha jadi ikutan panas!

"Gak mau pindah nih?" Askar bertanya lagi. Seperti anggota osis yang lain tengah berkeliling memantau jalannya upacara agar tertib, sepertinya Askar juga tengah melakukan tugasnya. Mengelilingi setiap barisan. Lalu berhenti di samping Avisha karena entah alasan apa.

"Gak kak, Visha di sini aja." Avisha menjawab seadaanya. Kemudian tiba-tiba telinganya menangkap suara. Walau terlalu kecil dan suara itu selirih angin, Avisha jelas tidak salah mendengar namanya terpanggil. Avisha menoleh, melihat Yania yang seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi saat Askar juga ikut menoleh.

"Temen lo?" tanyanya memandang Yania yang berdiri di barisan cukup jauh dari tempat Avisha berdiri.

Yang ditanya cuma mengangguk.

"Kayaknya temen lo mau ngomong sesuatu," Askar tersenyum penuh arti. "Tentang gue mungkin."

"Ngapain Yaya ngasih tau tentang kak Askar, kalo Visha udah nanya duluan," ceplosnya tanpa sadar. Avisha langsung mengumpati mulutnya dalam hati.

"Lo udah nanya tentang gue sama temen lo," senyum Askar makin lebar. "Bagus deh kalo lo udah tau gue, berarti sekarang kita tinggal nyari waktu buat ngobrol lebih lama."

Setelahnya, Askar pergi ke barisan lain, meninggalkan Avisha yang terheran-heran oleh ucapannya.

•••


Pendek banget :(

Askar mulai _-

Mau lanjut kapan nih?

Edisi kangen Arven :((

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro