Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A;A14-Sabtu Menyenangkan

Ini buat yang setia nunggu, jangan lupa tinggalin vote pun komen :))

❝Aku berikrar jika aku takkan peduli, tapi lagi-lagi kau memancingnya untuk ada kembali.❞

•°•°•

"SAKIT!"

"AW! Pelan-pelan kak Arven!"

"Perih banget HUAH!"

"Kak Arven pelan-pelan sih!"

Arven memelototi Avisha, yang mengulurkan kaki ke arahnya. Lututnya yang terluka belum Arven sentuh sama sekali, tapi rintihan berlebihan dari cewek bawel itu membuatnya jadi kesal sendiri.

Belum apa-apa Avisha sudah mendramatis keadaan.

"Diam sih, Sha!" Arven mengapit kaki kanan Avisha di antara lengan dan badannya. Hal itu dia lakukan karena Avisha yang tak bisa diam, menggerakan kakinya ke sana-kemari.

Mungkin Arven tidak akan masalah jika mereka tidak lagi di mobil seperti sekarang. Avisha duduk di kursi penumpang dan Arven duduk di bangku belakang setir.

Jadi bayangkan, tempat yang tak seluas ini, Arven terpaksa harus menahan kaki Avisha yang meronta-ronta, yang terkadang mengenai perut atau dadanya.

Cih! Seharusnya Arven meninggalkan saja Avisha yang terjatuh dari sepedanya beberapa menit lalu dibanding dia jadi korban tendangan Avisha sekaligus merasa kepalanya ingin pecah.

"Diam!" Arven memelotot. "Atau kaki lo gue iket sekarang!"

Avisha langsung diam. "Kak Arven sadis ih!"

"Makanya diam!"

"Lutut Visha pasti makin perih kalo dibersihin pake alkohol itu." Avisha merengutkan bibir. "Gak usah pake itu deh, langsung tutup plester aja."

"Kalo gak dibersihin dulu, luka lo bisa infeksi!" ketus Arven. Lalu melihat Avisha yang awalnya ogah-ogahan kini pasrah. Dengan mata yang ditutup rapat-rapat, dia membiarkan Arven mengobati lukanya.

"Lagi siapa suruh lo gak bener naik sepeda!" sindirnya. Avisha refleks membuka mata, memelototi Arven dengan sorot tak terima.

"Visha udah bener kok naik sepedanya. Kucingnya aja yang lewat tiba-tiba. Jadinya Visha kaget. Untung gak ketabrak. Kalo ketabrak, kasian kucingnya!" Avisha tidak mau disalahkan. Memberikan pembelaan panjang lebar.

"Jalanan luas, terus kenapa lo harus belokkin sepedanya ke mobil gue?" Arven belum mau kalah. Avisha mendengkus sebal. Baru mau membalas lagi, kalah cepat. "Lo hampir nabrak kucing dan gue hampir nabrak lo. Lebih parah mana?"

"Itu kan ..." Avisha berpikir untuk mendapatkan alasan yang jelas. "Visha refleks, namanya orang kaget mana mikir dulu mau belok mana!"

"Untungnya gue ngerem mendadak tadi." Lagi-lagi ketus, Avisha mencibir sebelum dia memekik sakit saat Arven menempelkan plester di lututnya kasar. "Selesai," ucap Arven datar lalu melanjutkan dengan entengnya. "Turun!"

"Hah?!" Matanya melebar syok. "Turun?"

"Gue udah selesai ngobatin luka lo," Arven menyingkirkan kaki Avisha dari atas pahanya. "Sekarang lo bisa turun!"

"Kok gitu?" Avisha cemberut. "Visha mau ke minimarket depan, dan gak mungkin Visha naik sepeda saat lutut Visha luka gini."

"Lo cuma kegores, bukan patah tulang!"

Untuk perkataan ketus ini, Avisha diam sejenak. Mencari alasan lain yang masuk akal agar dia tetap berada di dekat Arven. Hitung-hitung dia mengambil kesempatan untuk mendapatkan informasi.

"Tapi kan kalo gak kaget sama mobil kak Arven, Visha gak mungkin jatoh dan kegores gini lututnya. Makanya kak Arven harus tanggung jawab anterin Visha ke depan. Ya ... ya ... ya?" Kalau digambarkan, wajah Avisha sudah seperti kartun animasi. Mengatupkan tangan, mendekatkan wajah dengan mata bulatnya yang berbinar.

Ditatap sedemikian rupa, Arven merasa tak nyaman. Dia mendorong kening Avisha untuk menjauh. "Itu salah lo juga, kalo naik sepeda pake celana panjang!"

Avisha menunduk, memandang kaos santai dan celana pendek yang dia pakai. "Itu tadi karena Visha buru-buru keluar rumah, gak sempet ganti baju," dia membela diri. "Udah sih, kak Arven! Visha kan cuma minta anterin ke depan, kenapa susah banget!"

"Nganterin lo doang kan? Terus gue langsung ninggalin lo gak pa-pa?" Arven tampak ingin sekali dipukul wajahnya dengan alis terangkat itu.

"Jangan dong!" Avisha memelotot. "Entar Visha pulang naik apa?"

"Naik sepeda lo lagi."

"Ya sama aja boong!" Avisha makin cemberut.

Arven menghela napas. Lagipula sepertinya walaupun berulang kali dia menolak, dia akan kalah oleh kekeraskepalan Avisha. Entah kenapa cewek itu sulit sekali menyerah.

Sejenak dia melirik kantong plastik makanan yang berada di belakang.

Sangat dia sesali karena sudah mau menerima permintaan Diana untuk mengantarkan kue ke rumah temannya yang berada di komplek perumahan ini.

•••

Setelah memarkirkan mobilnya, Arven menoleh pada Avisha. "Turun," ketusnya. "Gue tunggu sini."

"Kak Arven ikut ke dalam aja, nanti yang bawain belanjaan Visha siapa?"

Dari tatapan tajam Arven, seharusnya Avisha tahu permintaan itu ditolak mentah-mentah. "Gue bukan pembantu lo!"

"Siapa yang bilang kak Arven pembantu Visha," dia memandang Arven dengan raut polos. Membuat Arven tanpa sadar mengusap wajah frustasi. "Ayo sih, temenin. Visha mau beli tepung. Berat bawanya. Kaki Visha kan masih sakit."

"Lo bawa belanjaannya pake tangan, bukan pake kaki!" Arven jadi mudah darah tinggi.

Avisha cemberut karena semua yang dilakukannya sia-sia. Arven memang manusia batu yang susah didekati. "Oke," Avisha membuka pintu mobil. "Cukup tau aja sih Visha kalo kak Arven gak bertanggung jawab orangnya."

Belum sempat kakinya menjejak tanah, tangan Avisha dicengkal. "Ngomong apa lo tadi?" Avisha menoleh, seharusnya dia sedikit ciut melihat sorot Arven yang menajam dan wajahnya yang berubah kelam. Namun, justru santainya Avisha mengangkat dagu menantang.

"Kak Arven gak denger, Visha bilang kak Arven gak bertanggung jawab orangnya!" ulangnya sekali lagi penuh penekanan.

Di luar dugaan, Avisha pikir Arven akan membalas perkataannya dengan yang lebih sadis, dia sudah menyiapkan hati dan mentalnya untuk mendengar, tapi tidak, Arven malah melepaskan cekalan tangannya dan keluar mobil.

Avisha melongo di tempat.

"Lo gak mau turun?" Matanya mengerjap beberapa kali, melihat Arven yang melongokkan kepala dari luar. "Lo mau gue tinggal di sini?"

Secara refleks, Avisha membuka pintu mobilnya dan turun. Menyusul langkah Arven yang sudah berjalan ke pintu masuk.

"Kak Arven kok jadi mau nganterin Visha ke dalem?" tanyanya sambil masuk saat Arven mendorong pintunya.

"Gak usah bawel," ucapnya datar. "Cepetan ambil barang yang mau lo beli."

Avisha mencibir. Walau entah kenapa, tanpa sebuah alasan, dia mendadak senang dan kekesalannya hilang.

Satu persatu rak Avisha telusuri, sementara Arven mengikutinya di belakang.

Begitu tiba di rak berisi bahan-bahan kue, Avisha berhenti lalu mendongak karena tepungnya berada jauh dari jangkauannya.

"Kak Arven Visha ..." ucapannya berhenti saat dilihatnya Arven sudah lebih dulu mengambil tepung yang berada di rak teratas dan menaruhnya di keranjang yang Avisha pegang. Melihatnya, seuntaian senyum tak dapat Avisha tahan. "Baru aja Visha mau minta tolong tadi."

"Udah ketebak lo minta tolong apa dilihat dari badan lo yang pendek," sindirnya.

Bukannya marah Avisha justru terkekeh. "Visha malah sayang tubuh pendek Visha. Ini ada keuntungannya pas upacara, Visha gak harus kepanasan kena matahari karena berdiri barisan paling depan."

Untuk sesaat Arven memandangi cewek itu sebelum mendengkus di lima detik berikutnya. "Lo cuma mau beli itu?"

"Gak, Visha juga mau beli pewarna makanan." Lalu dia berjongkok, mengambil beberapa botol kecil pewarna makanan. "Kak Arven mau warna apa?"

"Kenapa lo nanya gue?"

Avisha menyengir. "Nanya aja."

"Warna putih ada gak?" Arven asal saja. Avisha memelotot.

"Kak Arven bercanda nih. Kalo warna putih sama aja gak bewarna dong. Polos doang."

"Kan lo nanya tadi, ya gue jawab."

"Tapi yang bener jawabnya!" Wajah cemberut Avisha, entah kenapa sedikit menghibur Arven. "Yaudah deh, Visha ambil semua warna aja biar warna-warni."

"Terserah lo!" Arven memandangnya malas. "Udah cepetan. Udah selesai kan?"

Balasannya Avisha mengangguk sembari berdiri. Bersama Arven yang melangkah di depannya, mereka keluar dari himpitan rak sebelum kaki Avisha tertahan saat melihat oreo. "Kalo ada rasa oreo enak kali ya," gumamnya.

Arven berhenti, menoleh pada Avisha yang mengambil sebungkus oreo, dimasukkan ke dalam ranjang. Memilih tak peduli, Arven melangkah lagi menuju kasir. Tapi lagi-lagi tertahan karena Avisha yang malah berbelok ke freezer es krim.

"Lo ngapain lagi?" Arven kesal. Sudah cukup lama dia tertahan dengan cewek bawel ini. Lagipula dia harus cepat-cepat mengantarkan makanan ke rumah temannya Diana. Belum lagi nanti malam dia harus datang memenuhi undangan kakeknya.

"Visha mau es krim," ucapnya seperti anak kecil. Lalu dia menggeser kaca freezer dan matanya berbinar melihat es krim terbaru yang dilihatnya di televisi sudah ada. Padahal baru kemarin Avisha datang ke sini, tapi kenapa tidak ada. Tapi masa bodohlah, yang penting sekarang Avisha ingin mencobanya.

Karena membawa uang pas pas-an, Avisha terpaksa mengambil sebungkus saja. Arven tak mengatakan apa-apa, cuma mengekorinya di belakang.

Usai membayar di kasir, Avisha berjalan keluar minimarket sambil membuka bungkusan es krimnya.

Belum sempat, Avisha menyentuh ujung dingin es krimnya. Tahu-tahu Arven menarik sekaligus memutar tubuhnya hingga dia berhadapan dengan Arven.

Naas untuk es krimnya yang terjatuh begitu saja.

"Kalo jalan liat-liat, untung gak ketabrak kardus kepala lo!" Masih dalam keterkejutan, dia mengikuti arah pandang Arven dan melihat truk barang di belakang mereka dan para pekerja tengah memindahkan kardus-kardus itu untuk dimasukkan ke dalam gudang.

Avisha menatap Arven yang ternyata tengah menatapnya. Menjatuhkan iris biru kehijauannya di mata gelapnya. Cukup lama sebelum sepenuhnya kesadaran Avisha kembali saat Arven mendorongnya menjauh.

"Mata lo kemana sih emang?"

Avisha tak merespon dan malah memandang es krimnya yang tergeletak mengenaskan. "Es krim, Visha ..." Dia memberengutkan bibir dengan wajah nelangsa. "Itu belom Visha makan."

"Ya terus?" Arven memandangnya dengan alis terangkat. Avisha menggerutu dalam hati dan berjalan ke dalam mobil dengan langkah lunglai, mencoba mengikhlaskan es krimnya.

"Lo duluan masuk mobil, gue lupa ada yang mau gue beli." Arven masuk lagi ke dalam minimarket, sementara Avisha mengikuti perintah Arven saja. Tidak melayangkan protesan karena untuk saat ini Avisha malas memancing perdebatan tidak jelas.

Di dalam mobil Avisha menunggu, lalu tak lama Arven kembali. Avisha tidak memerhatikannya dan menatap ke jendela sampingnya.

Arven yang melihat wajah cemberut Avisha mendengkus. "Yaelah muka lo, cuma es krim sampe segitunya."

"Kalo Visha jelasin panjang lebar juga kak Arven gak bakal ngerti," Bibirnya manyun. Bagaimana dia tidak nelangsa begini, es krim yang dia ingini sudah lama, malah terjatuh belum sampai di mulutnya. Mau membeli lagi, uangnya sudah habis membeli tepung dan pewarna makanan.

Kalau begini, mending Avisha bawa uang yang cukup banyak. Bukan malah pas pas-an.

•••

Selama perjalanan pulang yang tak banyak memakan waktu, Avisha masih memikirkan es krimnya yang terjatuh. Wajah cemberutnya tak kunjung usai, membuat Arven di sebelahnya berdecak kesal. Mobil pun berhenti tak lama, di depan gerbang kayu yang tak asing di matanya.

"Udah sampe, lo bisa turun sekarang. Gue lagi buru-buru."

Avisha menoleh. "Sepeda Visha ..." Dia tak dapat melanjutkan karena Arven yang langsung turun dari mobil. Refleks Avisha ikut turun dengan kantong plastik belanjaannya dan mengikuti Arven yang berjalan ke bagasi mobil dan menurunkan sepedanya yang ditaruh di sana.

Selesai menurunkan sepedanya, ponsel Arven tahu-tahu bergetar. Avisha memerhatikan cowok itu yang menyapa orang di seberang dengan sebutan tante.

"Iya Tan, nomor rumahnya berapa. Arven udah di kompleks perumahan anggrek." Wajah Arven tahu-tahu berubah syok. Kaget. Tak menyangka. Atau apalah itu yang mendeskripsikan orang terkejut. "Serius nomor rumahnya itu, Tan?" Dia menoleh pada Avisha. "Nomor rumah lo 23 kan?"

Avisha terbelalak. Ikut kaget karena Arven hafal nomor rumahnya. "Kak Arven diam-diam ngafalin nomor rumah Visha?"

Sebagai balasan, Arven justru mengumpat. Avisha jadi memelotot dan refleks memukul tangan Arven. "Kak Arven kasar!"

Arven ikut melayangkan tatapan tajam. Walau detik berikutnya dia mengusap wajah frustasi. "Mama lo ... namanya Velin?"

Dia memandang Arven tak percaya. "Ternyata selain ngafalin nomor rumah Visha, kak Arven nyari tau nama mama Visha?" Dia lalu tergelak tanpa peduli Arven sudah mengumpat kasar beberapa kali.

Saat tawanya berhenti, Arven melemparkan ucapan yang membuatnya syok. "Gue mau ketemu mama lo."

"Ngapain?"

Arven tak mengatakan apa-apa, mengambil kantong plastik di bangku belakang. Lalu bertepatan dengan itu pintu gerbang terbuka. "Kamu udah pulang Visha?" Panjang umur. Itu mamanya.

Avisha mendorong sepedanya sambil mengangguk. Menunjukkan barang belanjaannya dengan senyum. Sementara Arven berdiri di sampingnya dengan dua kantong berisi makanan.

"Tante Velin?" tanyanya memastikan. Sebagai jawaban, mamanya mengangguk. Mengulas senyum ramah.

"Kamu siapa?"

"Saya, Arven, keponakan Diana."

"Oh Diana ..." Seolah sudah mengenal siapa itu Diana, mamanya mengangguk dengan senyum yang lebih lebar. "Apa kabar tante kamu itu?"

"Baik, Tan," Walau di depan yang lebih tua, Arven tak sedikit pun menunjukkan senyumnya. Padahal Avisha berharap ada senyum di sana. Bukankah senyum itu tanda kesopanan? Tapi wajah Arven masih saja datar. "Kebetulan saya disuruh nganter ini." Dia menyerahkan kantong plastik di tangannya.

Velin menerimanya bingung walau senyum masih melekat. "Ya ampun kenapa Tante kamu repot-repot begini," dia terkekeh. "Bilang makasih buat tante kamu."

Sekadar anggukan yang Arven berikan.

"Oh ya ... kalian saling kenal?" Melihat Avisha dan Arven datang di waktu yang sama, tentunya membuat Velin menyimpulkan.

"Iya."

"Nggak."

Velin mengernyit bingung, mendengar 'iya' dari anaknya dan justru 'nggak' dari cowok sebelahnya.

Avisha memelototi Arven. "Kok 'gak' sih?!"

Cowok yang dipelototi justru masa bodoh. "Ya udah Tante, saya pamit." Tanpa menghiraukan Avisha, Arven masuk ke dalam mobilnya dan melaju pergi. Avisha ternganga. Dia menghentakan kakinya kesal.

"Kamu kenal Arven?" Entah kenapa pertanyaan mamanya malah membuat Avisha makin kesal.

"Nggak!" Dia menggeleng. "Visha gak kenal manusia batu itu!" Setelahnya dia mendorong masuk sepedanya ke dalam gerbang sambil membawa kantong belanjaannya. Meninggalkan Velin yang justru terkekeh melihat tingkahnya.

Mulut Avisha tak ada hentinya melemparkan berbagai umpatan untuk Arven. "Dasar manusia es, manusia kutub, patung hidup, masa bilang ke Mama gak kenal Visha!" Sambil mendumel, Avisha membuka kantong belanjaannya di dapur. "Emang dia pikir, dia ..."

Begitu saja Avisha mengunci mulut saat menemukan sebungkus es krim di kantong plastiknya. Ditambah tulisan di bagian belakang.

Gue ganti es krim lo yang jatoh

Sekadar itu. Tapi, lebih dari cukup menghilangkan rasa kesal Avisha sepenuhnya.

•••

Manis😋
Es krimnya maksudnya wkwk

Dilanjut lama gak papa ya? :(

Gak usah sok imut, Sha -_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro