Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A;A13-Ketakutan tak berkesudahan

Up cepet .... tapi agak pendek :( gapapa ya wkwk, jangan lupa bintang dipencet, trus komen hmm :))

❝Ketakutan tidak akan menang jika dilawan.❞

•°•°•

CUMA masa lalu yang selalu melekat di kepala Avisha. Cerita usang yang mati-matian ingin dia musnahkan. Walau terkadang ingatan itu justru jadi boomerang, yang melempar balik dan justru menyakitinya lagi.

Namun ... hari ini sepertinya masa lalu harus disingkirkan dulu. Ada hal lain yang tak hentinya Avisha pikirkan sepanjang hari. Setiap detail kejadian yang terjadi sebelum bel masuk sekolah. Bagaimana Avisha yang seolah tak dapat berpikir saat Arven mengulurkan tangan, yang dia terima dengan perasaan asing yang tak dia mengerti maknanya.

Yang dia mengerti; telapak tangan Arven itu bukti kalau tangan Avisha tergenggam di sana, dia akan aman. Bahkan rasa hangat yang mengalir saat tangannya Arven genggam membawa rasa nyaman.

Drama itu menyita warga sekolah. Dijadikan bahan perbincangan panas, terutama oleh kaum hawa. Pun ternyata sampai sudah masuk ke dalam kelasnya sendiri.

Yania yang telah mendengar kejadian itu, memarahinya habis-habisan. Mengatakan jika dia bodoh karena membiarkan dirinya masuk ke kandang singa. Tidak seharusnya Avisha mencari masalah pada Jessy. Yania sudah berulang kali mengatakan untuk berhenti saja. Tapi memang Avisha keras kepala hingga semua ucapannya cuma masuk telinga.

Bahkan Ilona yang jarang marah, ikut serta. Mengatakan hal yang sama persis seperti Yania katakan.

Tapi, tiba Avisha menceritakan kejadian paling akhir; momen saat Arven menggandengnya dan mengantarkannya sampai kelas.

Yania dan Ilona terbengong bego.

"Seneng banget Visha tuh!" Dia memekik dan menggenggam tangannya bekas genggaman Arven.

Lalu saat jam pulang, ternyata omelan belum selesai mengejar Avisha. Dia mendapatkan lagi dari Nata. Walau tidak menggebu-gebu seperti Yania saat mengomel-omel.

Jika Ilona dan Yania tahu soal rencana pendekatan itu, jelas Nata tidak. Dia sempat kebingungan mendengar Avisha hampir menjadi korban Jessy. Apalagi mendengar jika Jessy melakukan semua itu karena Avisha yang dekat-dekat dengan Arven.

Emosinya tersulut hingga dia hampir menonjok temannya saat diberitahu perihal itu.

"Lo mau ngapain sih, Sha, deketin ketos dingin itu?" Nata tampak tak suka. "Untung aja kepala lo gak pa-pa, gue gak bisa bayangin kalo kepala lo bener kena jatohan pot segede itu." Nata menyerahkan helm di tangan.

Mereka ada di parkiran motor sekarang. Avisha terpaksa pulang bareng Nata karena kakak lelakinya itu tidak bisa datang menjemput. Katanya ada pertemuan klub futsal di sekolah.

"Tapi nih liat," Avisha memasang helm di kepala dan Nata membantunya mengaitkan talinya. "Avisha gak pa-pa kan? Itu juga karena kak Arven."

Nata berdecih mendengar nama Arven disebut Avisha dengan binar. "Itu emang udah kewajiban dia buat nolong lo karena penyebab lo hampir celaka kan dia!"

"Ih Nata!" Avisha memukul bahunya pelan. "Kak Arven gak salah, yang salah kak Jessy karena udah nyuruh orang buat nyelakain Visha."

"Ya iya gue tau!" Cowok bermata sipit itu kesal. "Tapi kan tetep aja, motif Jessy ngelakuin itu karena lo deket-deket sama Arven." Kemudian dia menaiki motornya dan juga memakai helm. "Lagian udah gak usah deket-deket Arven, entar lo kenapa-napa."

"Nata gak sopan!" Mendengar Nata menyebut Arven saja tanpa embel-embel, Avisha mengomel. "Panggil kak Arven!"

Nata mendengkus. "Pokoknya gue mau lo berhenti deketin Arven, kan ada gue, Sha. Kenapa lo harus deketin cowok lain?!"

"Nata ngomong apa sih?" Dahinya yang tertutup poni mengerut bingung. "Visha gak ngerti."

"Gak usah ngerti, gue juga gak ngerti," ucapnya malas, kepolosan Avisha kadang membuatnya gregetan sendiri. "Ayo naik! Keburu sore, entar gue diomelin nyokap lo!"

Avisha mengangguk. Dengan roknya yang sebatas lutut dia kesusahan naik. Usai duduk, dia menurunkan sisi roknya untuk menutupi pahanya yang terpampang. Seolah mengerti Nata menyerahkan jaket pada Avisha. Dia bergumam terima kasih dan motor pun melaju di jalanan.

•••

"Gue langsung pulang aja ya?" Begitu pelan, Nata membantu Avisha melepaskan helm dari kepalanya.

"Beneran nih Nata gak mau mampir?" tanya Avisha lagi. "Kebetulan Visha hari ini mau belajar buat macaroon. Nata gak mau?"

Seperti sudah biasa, Nata mengusap kepalanya sambil tersenyum. "Besok aja gue ke sini lagi kan libur, atau misalkan gue gak jadi dateng bawa hari senin ke sekolah."

"Kalo pas senin gak bisa, macaron-nya bakal Visha kasih kak Arven." Sadarkan Avisha ucapannya itu menghilangkan garis senyum di wajah Nata. Wajahnya berubah kaku.

"Kan gue udah bilang, Sha. Gak usah deketin dia!"

Terkadang Avisha kesal oleh kekhawatiran Nata yang sering berlebihan. Namun, satu sisi dia paham. Seperti Ilona dan Yania, Nata tidak mau dirinya kenapa-napa.

Dia tersenyum. "Visha gak janji ya." Setelah kemudian berjalan masuk gerbang. Nata mendengkus, untuk kemudian memacu motornya kencang.

Dengan wajah ceria yang terpampang jelas, Avisha melangkah menaiki tangga menuju pintu utama. Sesekali wajahnya tersenyum saat melirik telapak tangan, masih bisa dia rasakan genggaman hangat itu. Yang entah kenapa terasa familiar dan Avisha suka.

Saat Avisha melangkah ke dalam rumah. Ornamen di dinding menyambutnya. Guci yang tergeletak di sudut ruang. Pajangan kayu di atas rak. Lukisan-lukisan kuno lalu bingkai besar di dinding dekat tangga yang menjulang ke atas. Foto keluarganya.

Menyadari sepinya rumah. Dia melangkah ke dapur mencari Velin. Biasanya mama sudah pulang dari butik, kalau sudah sore. Entah menyambutnya di ruang tamu sambil membaca majalah atau terkadang di dapur tengah membuat sesuatu.

Karena seisi rumah telah dia jelajahi. Tujuan akhirnya taman belakang rumah. Mungkin Velin tengah bersantai di sana. Ketukan sepatunya teredam di atas rumput, senyumnya mengembang saat tiba-tiba tubuhnya kaku di tumpuan.

Dia merasa pijakannya menenggelamkan dan membawanya ke lorong waktu. Melemparnya ke masa lalu. Kontrolnya seolah hilang saat aroma asap yang berasal dari api di belakang taman yang tengah membakar dedaunan kering itu menusuk hidung. Terhirup masuk ke rongga dadanya.

Apinya tidak besar, tapi dampak yang dibawanya memicu ingatan besar. Kaki Avisha mendadak tak punya pertahanan, dia jatuh dan meringkuk. Menutup telinganya rapat-rapat. Menahan napas dengan jeritan tertahan.

"Api ... api," Dia ketakutan sambil menunduk di antara kedua lututnya. "Padamin apinya," suaranya lirih. "PADAMIN APINYA! VISHA TAKUT!" Dia menggeleng kencang, berusaha keras untuk melenyapkan memori yang datang di kepala. Memori menyakitkan yang seharusnya sudah berada di dasar kelenyapan.

"Avisha!" Dia mendengar teriakan di belakang, disusul langkah tergopoh-gopoh, menghampiri. "Visha sayang kenapa? Jawab Mama!" Dia merengkuh anaknya yang bergumam tidak jelas.

"Apinya ... apinya!" Seolah baru sadar bau asap yang masuk ke hidung, Velin memelotot melihat api yang membumbung membakar dedaunan. "Pak Aki! PAK!" Velin meneriaki tukang kebunnya.

Tak lama, sosok lelaki berusia lima puluh tahunan itu datang dengan terburu-buru. "Iya Nyonya. Ada apa?"

"Padaman api itu!" Velin langsung memerintah tukang kebunnya yang sudah mengabdi padanya sejak lama. Menunjuk bara yang membumbung di sana. "Sekarang Pak!"

Pak Aki mengangguk patuh. Langkah tuanya dipaksa tergopoh-gopoh mendekati selang air dan menyiram apinya. Lenyap sudah, api itu sudah padam.

"Apinya udah padam sayang, Visha gak perlu takut lagi!" Avisha tak mendengarkan, tubuhnya masih menggigil di pelukan Velin. Gemetaran dan bergumam tak jelas.

"Pak Aki kenapa bakar dedaunan kering itu?" Walau dia atasan, Velin tetap menjaga kesopanannya saat bertanya karena dia sadar Pak Aki jelas jauh lebih tua darinya. "Pak Aki tau, Visha punya trauma sama api."

"Maaf Nyonya," Pak Aki menunduk merasa bersalah. "Saya ... saya pikir Non Visha masih lama pulangnya. Tadinya udah mau saya matiin, tapi saya tinggal sebentar karena mau mangkas tanaman di pojok."

Velin tidak bisa sepenuhnya menyalahkan tukang kebunnya itu. Api ada dimana-mana. Pemicu seperti ini bisa sering terjadi jika Avisha tidak berbaikan dengan masa lalu. Masih menganggap api itu musuh terbesarnya. Musuh yang kapan saja melenyapkannya. Trauma tak berkesudahan ini, kadang membuat Velin bingung bagaimana caranya agar Avisha bisa lupa peristiwa lalu itu.

"Saya harap, Pak Aki gak ngulang kesalahan kayak gini lagi." Velin tersenyum. Pak Aki mengangguk dan bergumam maaf sekali lagi. Dibantunya majikannya itu membawa anaknya menuju kamar.

•••

Tidak akan Avisha biarkan ketakutan itu menang. Tidak akan dia biarkan dirinya kalah dan terjerumus makin dalam oleh cerita yang seharusnya tak perlu diingat. Apalagi sampai berdampak besar dan membuatnya sampai mengurung diri di kamar.

Menetralkan detak jantungnya yang berpacu cepat. Darahnya mengalir begitu deras sesaat setelah ingatan itu menusuk-nusuk kepalanya. Berputar mengelilingi hingga dia hilang kendali.

Cukup semalaman Avisha menjernihkan pikiran. Paginya dia sudah keluar kamar seolah tak terjadi apa-apa. Membaca resep makanan seperti yang sering dia lakukan jika tidak lagi ingin memainkan biola. Seperti yang dia katakan sore hari, dia ingin membuat macaroon untuk diberikan pada Arven hari senin nanti.

Untuk mendapat hasil memuaskan, bukankah bagusnya Avisha belajar dari sekarang?

Di lain sisi, Avisha menyadari tatapan yang diberikan terus-menerus dari Mama, Papa, dan kakaknya. Seolah memang kejadian kemarin sore cuma kejadian tak berarti, Avisha terkadang mengomentari tatapan mama, papa, pun kakanya jika mereka tertangkap basah.

"Ih Mama jangan ngeliatin Visha terus! Entar Mama sadar loh kalo Visha lebih cantik dari Mama."

"Papa ngapain ngeliatin Visha sih? Ada cabe ya di gigi Visha?"

"Apaan sih Bang Darlan ngeliatin Visha mulu. Bang Darlan gak usah segitunya bangga punya adek imut kayak Visha."

Avisha dengan tingkat kepercayaannya. Mereka tak heran lagi. Tapi jelas disaat ini semua yang Avisha lakukan justru mengundang kesedihan mereka. Berupaya baik-baik saja, padahal ada ketakutan yang bercongkol di dadanya.

"Visha ngapain sayang?" Velin tahu-tahu datang dari pintu dapur. Avisha mendongak setelah selesai mengocok telur di mangkok.

"Visha lagi mau buat macaroon, Ma." Avisha tersenyum lebar. Mamanya menyandar di set kitchen dan memerhatikannya dari samping.

"Mau Mama bantu?" Velin mengusap rambutnya.

"Mama bantu makan aja nanti. Kasih review macaroon Visha."

Sejenak mamanya tertawa sebelum tiba-tiba berhenti. "Visha gak pa-pa?" Mamanya bertanya hati-hati.

"Emang Visha kenapa, Ma?" Avisha balik bertanya. "Visha gak pa-pa kok, Visha sehat. Nih pegang aja dahi Visha, adem-adem aja gak ada anget-angetnya."

Velin tersenyum miris. Mengusap rambut anaknya lagi. "Mama tau Visha sehat. Visha kan anak Mama yang kuat." Lalu dia berusaha mengganti topik. "Visha gak keluar? Main sama Yaya?"

"Nanti siang aja, kalo sekarang Visha mau buat ini." Dia menunjuk bahan-bahan yang ada di meja bar, sebelum mengerutkan dahi. "Ya ampun ... Visha lupa buat beli bubuk almond-nya."

"Bilang aja sama Bi Desi nanti langsung dibeliin."

Avisha menggeleng. "Gak usah, Visha beli sendiri aja pake sepeda."

"Eh," mamanya tentu memelotot. "Kamu gak lancar naik sepedanya. Udah-udah nyuruh Bi Desi aja. Nanti kenapa-napa di jalan."

"Visha gak bakal kenapa-napa, Mama." Avisha cemberut, selalu saja seperti ini jika dia ingin pergi naik sepeda. Dia tahu sejak dulu dia selalu payah jika soal menggoes. Apalagi soal menjaga keseimbangan, Avisha selalu saja mendarat di aspal saat naik sepeda.

Tapi tenang saja, beberapa bulan ini dia sudah ada perkembangan. Berkat Yaya anaknya Pak Anend.

"Visha udah lancar kok, setiap sore kan Visha diajarin sama Yaya."

"Tapi ..."

"Boleh ya, Ma?" Avisha memotong langsung penolakan mamanya. Memandang memohon. "Boleh dong, masa cuma ke minimarket depan, Visha harus dianterin!"

Cukup melihat Velin menghela napas pasrah, Avisha tersenyum lebar karena tahu mamanya memang tidak pintar berdebat.

"Oke." Saat anggukan mamanya berikan, Avisha refleks memeluk Velin dan mencium pipinya. Sebelum pergi, Avisha membersihkan tangannya lebih dulu.

Bayangan naik sepeda di waktu masih pagi begini, sudah pantas menjadikan senyum Avisha mengurai lebar sekarang.

•••

Arena komplek rumahnya justru lebih ramai saat hari sabtu. Banyak mobil terpakir di luar rumah. Ibu-ibu komplek yang tengah melakukan senam bersama. Banyak orang yang berjalan kaki untuk menyehatkan badan. Bahkan taman komplek sangat ramai saat Avisha melewatinya.

Awalnya dia ingin mampir, tapi mengingat Velin yang sudah baik hati memberikannya izin membeli tepung. Avisha mengurungkan niatnya. Kalau pergi kelamaan, pasti mamanya khawatir.

Maklum, Avisha tidak terbiasa pergi sendiri. Kalau bukan pergi dengan Darlan, paling-paling Avisha pergi bersama Yania dan Ilona atau Nata.

Selagi ada belokan, Avisha terkejut luar biasa berkat kucing yang lewat begitu saja. Hingga dia oleng dan membelokkan setir ke kiri sebelum matanya justru ingin keluar dari sangkar saat melihat sebuah mobil yang melaju ke arahnya.

Sepenuhnya, Avisha terkejut dan sepedanya hilang keseimbangan. Dia jatuh terjerembab di aspal. Dia meringis.

Lalu seolah ada kejutan lagi yang diberikan saat Avisha melihat cowok yang mengemudikan mobil itu turun.

•••

Siapa tuch yg turun mobil? Wkwk. Gantung ya? Mueheheh sengaja sih😌😋

Masih abu-abu sih yg trjadi sama masa lalu Avisha, tapi aku harap kalian udah sedikit ngira2 :))

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro