Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A;A12-Si Pelaku

Vote dan komen jangan lupa 😚

❝Mulut dan hati tidak pernah berjalan beriiringan. Karenanya logika terkadang dimenangkan dibanding perihal perasaan.❞

•°•°•

KRONOLOGI di minimarket, Avisha ceritakan pada Yania lewat telepon. Yang sesudahnya jadi mendapat omelan beruntut panjang. Tapi, jika digali lagi, Yania memaklumi Avisha yang tidak mengenal Askar. Ingat hari pertama mos, Avisha pingsan saat para anggota osis memperkenalkan diri.

Ditambah sekarang, fokus Avisha hanya pada misi mendekati Arven, wajar saja dia jadi lupa pada sekitar.

Pukul enam lewat lima menit, Avisha sudah datang ke sekolah dengan langkahnya yang penuh semangat. Di ambang pintu dia memandang kelasnya yang telah ramai, disusul teriakannya yang menarik semua perhatian teman-temannya.

"HELLO FRIENDS! AVISHA YANG IMUT INI DATANG."

Jika sebagian malas peduli, sebagiannya lagi menggerutu kesal.

"Berisik lo, Sha. Mati kan tuh game gue!"

"Heran, badan kecil, tapi suara lo gede banget. Minum apaan lo tadi pagi, Sha? Knalpot racing?"

"Tolong ya Avisha sayang, gue lagi pake liptint ini, jadi berantakkan gara-gara toa lo!"

Avisha masa bodoh pada kelasnya yang jadi sedikit ricuh. Dia justru mendekati Ella atau yang lebih suka disapa Lala, yang sempat ikut menggerutu karena acara dandannya hancur oleh Avisha.

"Tingky-wingky Dipsy Lala poh." Avisha malah bernyanyi sambil meledek. Lala mendongak kesal walau kembali menatap cermin di tangan. "Lala mau kemana sih emang? Mau ngelenong ya, pagi-pagi udah dandan menor gitu."

"Gini nih kalo emaknya pas hamil ngidam ampas tahu." Lala balik menghina. "Dengerin ya Visha, make up dan cewek itu pasangan yang susah dipisahin."

"Masa sih?" Avisha mengerutkan dahi. "Make up Visha cuma bedak bayi sama parfum es krim vanilla kesukaan Visha."

Beberapa teman kelasnya tertawa melihat kepolosan Avisha.

"Merek bedak bayi lo apaan, Sha?" Rafi, yang terkenal paling malas di kelas angkat suara. "Kali aja gitu sama kayak anak tetangga gue." Kemudian dia tergelak.

"Pigeon sama my baby." Avisha malah meladeni.

"Emang ada bedak merek pigeon?" Rafi justru jadi mengernyit bingung. Menoleh memandang Izal yang duduk di sebelahnya. Sibuk main game. "Setahu gue itu merek dot."

"Ya mana gue tau, gue belom punya anak."

"Lona!" Avisha menghampiri kursi Ilona yang tengah serius memandang ponsel.

"Apa?"

"Lona serius banget sih lagi main tebakkan-tebakkan bareng dora ya?"

Ilona menghela napas lelah. "Gue lagi nonton film dektektif, Sha."

Avisha beroh panjang. Bersamaan dia duduk di kursinya, Yania masuk ke dalam kelas, baru datang. Teman cerewetnya itu berjalan ke meja mereka yang tepat di belakang kursi Ilona.

"Lo bener punya nomornya kak Arven?" Yania duduk di kursi santai. Ilona justru menoleh kaget.

"Apa?" Ilona melepaskan ponselnya di meja. "Lo punya nomornya kak Arven? Serius, Sha?"

Cuma pada Yania Avisha cerita. Dia belum sempat memberitahukan Ilona jika dia mendapatkan nomor Arven.

Karena ditanya, Avisha tentu menjawab dengan anggukan.

"Kok bisa?" Ilona heran.

"Lagi khilaf mungkin kak Arven ngasih nomor ke dia, Na." Yania asal saja. Karena kebetulan Avisha cuma memberitahu kalau dia mendapatkan nomor Arven, tanpa penjelasan lebih rinci.

"Coba gue liat?" Ilona mengulurkan tangan penasaran. Avisha mengeluarkan ponselnya di tas bagian depan. Setelah mengetik nama di kontak, dia memberikannya pada Ilona.

"Manusia batu?" Yania dan Ilona kompak mengernyit, melihat nama kontak yang Avisha berikan untuk Arven.

"Gila, Sha. Cowok seganteng kak Arven lo kasih nama manusia batu. Ganti tuh!"

"Gak mau," Avisha menggeleng. Menerima ponselnya yang dikembalikan Ilona. Bertepatan dengan itu, ponselnya bergetar.

Oleh senyumnya yang tahu-tahu mengembang membaca pesan yang masuk di sana, tentu bisa ditebak siapa sang pengirimnya kan?

Manusia batu: Parkiran mobil.

Dahi Avisha seperti keriting, mengartikan maksud pesan itu. Dia heran kenapa Arven selalu saja memberi kata-kata singkat yang sulit dipahami.

"Ini maksudnya apa sih?"

Kalau Yania ikutan bingung, Justru Ilona tampak berpikir.

"Mungkin maksudnya lo disuruh ke parkiran?"

•••

Tebakan Ilona ternyata benar. Manusia es itu ada di sana sambil menyandar di kap mobil. Sebelah tangannya memegang sebuah tas, yang membuat mata Avisha langsung berbinar. Dia mempercepat langkah.

"Biola Visha!" Dia hendak mengambilnya, tapi Arven dengan sengaja mengangkat tas biola itu tinggi-tinggi. Yang pastinya membuatnya memelotot.

"Kak Arven sini biolanya!" Dia terpaksa berjinjit. Tingginya yang sebatas dada Arven, butuh pegangan untuk menjangkau. Refleks tangannya memegang seragam di dada Arven. "Kak Arven mah! Sini!"

"Mana makasih lo?"

Avisha mengerjap-ngerjap. Pertama tercengang karena dia lupa mengucapkan kalimat terima kasih. Kedua baru sadar jarak mereka yang sudah terpangkas tipis.

Dengan posisi Arven yang menunduk, sebelah tangannya yang memegang seragam di dada Arven, sudah tentu posisi yang tak seharusnya dipertahankan lama seperti sekarang.

Dia langsung menjauh. "Makasih," ucapnya terlambat.

Sebagai balasan, Arven menyerahkan biolanya, yang diterima langsung dengan merengkuhnya di dada. Senyumnya begitu saja melebar senang. Dan tidak sadar, jika tindakan dan wajah penuh senyumnya menjadi objek pengamatan Arven.

Terdengar decihan Arven kemudian. "Segitu sayangnya lo sama biola butut itu!"

Avisha mendongak. "Walaupun udah butut dan kuno, Visha tetep sayang." Dia tidak marah oleh kalimat kasar Arven, dia akui memang biolanya sudah tertinggal jaman, dibanding biola sekarang yang lebih bagus dan mewah. "Soalnya banyak kenangan Visha dari biola ini."

"Itu biola pertama lo?" Arven terlihat tertarik oleh topik ini. Tangannya dimasukkan di saku celana.

Gelengan Avisha justru yang Arven dapatkan. "Bukan, ini biola kedua. Biola pertamanya kebakar api."

"Kebakar?" Sebelah alisnya naik. Ingin bertanya lebih lanjut, tapi ponsel di saku celananya lebih dulu bergetar.

Veron. K: Ven gue udah tau pelakunya. Anak kelas sebelas, tapi dia disuruh. Gak mau buka mulut. Kayaknya ada bagusnya lo yang introgasi.

Melihat Arven yang berniat pergi. Avisha otomatis menyusul langkahnya yang begitu lebar.

"Kak Arven mau kemana?" Bukannya berjalan di lorong kelas sepuluh menuju lantai atas. Arven justru berbelok ke kanan. Menuju taman belakang gudang.

Setibanya di sana, mereka langsung disambut oleh dua cowok. Satu cowok yang amat Avisha kenal; Veron dan satu laki-laki, yang Veron pegangi kerah belakangnya seperti anjing yang ketahuan mencuri.

Melihat Avisha, Veron agak kaget. Seperti ingin bertanya, tapi tidak bisa karena harus ada yang lebih dulu diselesaikan.

"Lepasin." Cukup kalimat itu, Veron langsung melepaskan kerah cowok berambut ikal dari cekalan tangannya.

"Siapa yang nyuruh lo?" Arven benci basa-basi.

"Gak ada yang nyuruh gue."

Begitu tenang Arven melangkah mendekat dengan tangan tenggelam di saku. "Lo bukan anak IPA kan?"

"Gue anak bahasa." Si rambut ikal menjawab dengan ketakutan yang berusaha ditutupi.

"Karena lo anak bahasa, seharusnya lo udah bosen buat ngarang cerita," suara Arven pelan, tapi tentu terdengar membekukkan. Cowok dengan predikat tertinggi sebagai cowok pintar berdebat. Jarang berbicara, tapi Arven tahu cara mematikan lawannya. "Lo mau jujur atau mungkin lo pengin ngerasain skors dari sekolah?"

Cowok bertubuh kurus itu melebarkan mata syok. "Skors?"

Arven bergumam. "Lo tau kan, gue Arven, cuma butuh ngomong dan jelasin yang terjadi, guru pasti percaya. Jadi ... lo main-main sama gue, itu berarti lo nyari mati."

Avisha yang mendengarkan tak percaya. Sorot dingin Arven, yang dibalas anak bahasa itu binar ketakutan walau berusaha terlihat tak gentar.

Dia bingung sebenarnya apa yang tengah mereka bicarakan. Veron pun cuma terlihat santai seolah sudah biasa melihat kejadian seperti ini.

"Oke-oke, kak, gue minta maaf," Anak kelas sebelas itu menyerah. "Gue ... gue disuruh, tapi gue mohon kak ..." Dia mengatupkan tangan penuh mohon. "Jangan laporin gue ke guru karena udah hampir nyelakain orang."

"Siapa yang nyuruh lo?" ulang Arven.

Ya ampun, rasanya kepala Avisha ingin pecah karena mengira-ngira teka-teki di depannya ini.

"Orang yang nyuruh gue itu ..." Dia terbata-bata. "... Kak Jessy."

Avisha bisa lihat wajah Arven yang bertambah kaku dan seram.

Veron mendengkus di sana. "Seharusnya gue udah nebak dari awal." Lalu dia melirik Avisha yang berdiri tidak jauh dari Arven.

•••

Avisha tidak akan berhenti mengikuti kecuali sebuah penjelasan akan dia terima di depan mata. Bagai anak penguin, Avisha masih mengintili Arven dari belakang. Beruntung dua cowok itu tak mempermasalahkan dan justru seperti sengaja membiarkan Avisha mengikuti.

Veron berada di sebelah Arven, tampak berbisik sesuatu yang dibalas Arven dengan menoleh ke arahnya lalu bergumam sebagai jawaban.

Sesekali Veron juga menoleh padanya dan tersenyum penuh arti. Dia juga meledek Arven, yang dibalas cowok es itu tatapan elang.

Keraguan Avisha cukup masuk akal saat melihat Veron dan Arven menaiki tangga menuju kelas dua belas. Tapi, dia menepis keraguan itu, kalau tidak mau mati penasaran, dia harus tetap berada di dekat Arven untuk mendapatkan jawaban.

Lorong dua belas ramai mengingat bel masuk belum berdering. Berpuluh-puluh tatapan seolah mengejar Avisha dalam satu waktu. Sorot itu memandangnya aneh, mungkin mereka bingung melihat adik kelas bisa-bisanya masuk ke wilayah terlarang. Belum lagi, tatapan tidak suka yang dilemparkan secara terang-terangan.

Ini jelas kandang macan. Lihatlah, sepertinya semua kakak kelasnya ingin menelan Avisha hidup-hidup. Tapi bukan, Avisha namanya yang langsung menciut dan meringkuk takut. Dia justru melambaikan tangannya pada kakak kelas yang dilewatinya.

Sementara Arven, untuk entah keberapa kali dia menoleh ke belakang. Memastikan cewek itu masih ada di belakang. Kalau hilang, bukankah nanti Arven juga yang repot.

"Kayaknya gue bego banget sampe gak sadar, dari liat lo yang nolongin dia pas pingsan, lo yang lagi ngeliatin dia pas demo ekskul. Atau tragedi pot sampe lo nyuruh gue buat nyari pelakunya." Veron tersenyum penuh ledekkan. "Ini kesimpulan gue aja atau emang lo tertarik sama dia?"

Arven berdecih. "Lo gak bego kan? Seharusnya lo tau tipe gue kaya apa. Dia," Arven melirik Avisha yang tersenyum lebar di belakangnya. "Jelas bukan tipe gue."

•••

Kedatangan Arven ke kelas Jessy tentu tak disangka-sangka. Semua anak kelas yang tengah menunggu bel masuk menoleh serempak, melihat bagaimana ketua osis dingin itu berjalan melewati pintu. Walau langkahnya tenang, hawa beku yang ditebarkan terlalu tercium menusuk sekitar.

Keadaan yang awalnya bising, berubah menjadi sesepi kuburan.

Jika kedatangannya disambut keterkejutan yang lain, Jessy justru tersenyum lebar, bangkit dari kursi, berjalan dan memeluk Arven tanpa segan.

"Belum bel masuk loh, kamu udah kangen aja sama aku, sampe nyamperin ke kelas!" Begitu tinggi rasa percaya diri cewek itu. Mengusap bahu Arven atau sesekali menidurkan kepala di bahunya.

"Gue mau lo semua keluar kelas."

Walau satu kelas bingung mendengarnya, tapi tetap saja perintah itu tak dibantah. Satu persatu orang keluar, tidak ada satu pun dari mereka yang ingin mencari masalah dengan Arven. Murid kesayangan. Cowok terpintar. Cowok yang bisa membuat siapapun tak berkutik jika melawan.

"Mau ngapain emangnya?" Jessy memandang Arven yang justru memandang ke sudut bangku yang masih dipenuhi kawanan Jessy.

"Termasuk lo semua. Keluar!"

"Kamu nyuruh mereka keluar juga?" Jessy bingung mendengar Arven mengusir teman satu genk-nya. Walau kemudian dia tersenyum karena sebuah kesimpulan.

"Arven ... ini masih pagi, kalo kamu mau berduaan, gak di sini tempatnya. Lagian sejak kapan sih, kamu jadi agresif gini? Biasanya juga nolak!" Tangan Jessy makin liar membelai pundaknya. "Udah capek ya, nyerah juga kan kamu akhirnya? Tapi nanti ya ... jam istirahat. Di UKS aja. Sepi!" bisiknya sambil meniup telinga Arven.

Kelas telah kosong. Pintu tertutup. Tersisa mereka berdua. Suasana yang cukup membuat Jessy melebarkan senyuman. Momen ini yang paling ditunggu. Dia dan Arven berduaan, tanpa diganggu.

Karena melihat Arven yang masih diam, Jessy mengambil kendali dengan melarikan tangan dari pundak lalu ke bergerak ke dada bidangnya. "Wow," Jessy berdecak kagum. "Kamu emang sempurna, Ven."

Di detik berikutnya, gerakan Jessy tertahan berkat Arven yang mencengkal tangannya kuat. Jessy meringis.

"Lo mau langsung jujur?" Suara Arven tenang, tapi siapapun tidak bego untuk menangkap kedinginan di sana. "Atau gue harus mancing lo dulu biar jujur, yang pastinya gak akan lo suka."

"Maksud kamu apa?" Jessy meringis sakit. "Ven, tangan aku sakit."

"Gue gak pernah kasar sama cewek, tapi buat kali ini lo udah di luar batas!" Tatapan Arven menajam.

Perasaan Jessy mulai tidak enak, mencium bau keganjilan di sini. "Aku ... aku gak ngerti kamu ngomong apa."

Arven mendengkus. Lalu melempar bomnya dengan pelan. "Pot di lab bahasa jatoh karena lo kan?"

Cukup melihat air muka Jessy yang terkejut dan berubah pucat tiba-tiba, itu jelas ciri-ciri orang yang ketahuan busuknya.

"Aku ... aku,"

"Gak usah nyari alasan disaat lo udah ketauan bohongnya," Arven memotong ucapan Jessy yang terbata. "Lo nyuruh orang bukan nyelakain Avisha. Iya kan?"

Jessy terlihat tak membantah, justru berkilat tak suka saat nama cewek itu Arven sebut.

"Lo cantik, tapi kalo otak lo gak dipake buat apa. Sama aja kayak boneka pajangan!"

Layaknya godam, kalimat Arven memukulnya telak. Jessy terpancing. "Aku gak suka cewek itu deket-deket sama kamu, Ven! Kamu harusnya inget, kamu milik aku. Cuma buat aku!"

Arven tergelak sinis mendengarnya. Menyentak tangan Jessy kasar. "Ini tubuh milik gue sendiri dan lo ... gak punya hak apapun! Lo bukan siapa-siapa!"

Jessy terbungkam. Jika menghitung berapa sering Arven melemparkan kata-kata menyakitkan padanya, mungkin hampir banyak sampai tak terhitung jumlahnya. Saking banyaknya, Jessy terbiasa, menganggap itu pacuan buatnya untuk mengejar Arven dan mendapatkan hatinya.

Semua lelaki bertekuk lutut padanya lalu kenapa Arven tidak!

"Jangan dibuka!" Itu suara Veron di dekat pintu.

"Ih Visha mau buka, ngapain kak Arven lama banget di dalam."

"Entar juga keluar lo tunggu ..." Kalimat Veron tak dapat terselesaikan karena Avisha yang kepala batu sudah mendorong pintunya untuk terbuka.

Veron mendengkus pasrah. Sementara Jessy dan Arven menoleh bersamaan. Walau Arven meresponnya santai, beda lagi dengan Jessy yang sudah layaknya benteng yang melihat warna merah. Matanya berubah marah.

"Dia ada di sini?!" Jessy memandang Avisha tak suka, yang dibalas cewek kecil itu senyuman.

"Hai, kak," dia justru menyapa sambil melambaikan tangan. "Ternyata kak Arven mau nyamperin kakak ke sini. Terus tadi kenapa ..."

Avisha tak dapat melanjutkan kata saat melihat Jessy yang berniat menerjangnya, jika bukan karena Arven yang menahan tangannya kencang.

"Mau ngapain lo?" Buat kalimat ini Arven melemparnya dengan sorot tajam.

"Mau ngapain?" Jessy mengulang dan senyum sinis. "Seharusnya kamu tau, aku paling benci milik aku diganggu. Dan cewek itu jelas nyari masalah karena udah deketin kamu."

Avisha seperti disuruh menonton drama yang sering Yania sodorkan kalau lagi tidak ada kerjaan. Sama-sama drama yang Avisha tak mengerti lanjutannya.

"Kak Veron," dia menatap sekretaris osis itu. "Sebenernya kita ngapain sih di sini?"

Veron mendengkus sebal karena otak Avisha yang loading-nya kebangetan. "Lo masih belom ngerti kita ngapain?"

Polosnya Avisha menggeleng. Jessy yang melihatnya dari jauh berdecih jijik. "Cewek bego! Andai pot itu kena kepala lo! Otak lo tambah geser kayaknya."

"Pot?" Perlahan pasti, kepingan teka-teki di kepalanya mulai tersusun rapi. "Kakak ... kakak yang jatohin pot itu?"

Jessy tertawa mengejek. "Itu bukan gue, tapi, pesuruh gue." Tangannya berusaha dia lepas dari cekalan Arven yang justru tambah menguat. "Lo nyari mati karena deketin milik gue. Jadi gue harap lo ... jauh-jauh dari Arven. Ngerti lo cewek tolol?!"

"Kenapa Visha harus jauhin kak Arven?" Lalu pandanganya dengan Arven bertemu. Senyumnya mengulas. "Kak Arven aja gak masalah. Iya kan?"

Melihat bagaimana mata bulat Avisha yang berbinar, Arven terdiam. Kendali dirinya hilang, hingga cekalan tangannya terlepas oleh kekuatan Jessy yang bertambah sebab meradang.

Veron pun tak bisa mencegah saat Jessy mendorong Avisha kencang dan membuat cewek kecil itu jatuh ke lantai.

"LO BERANI SAMA GUE HAH?!"

Koridor ramai, jadi tidak ada alasan lagi kejadian itu mendadak jadi pusat perhatian.

"Kakak kenapa dorong Visha?! Lagian kenapa Visha harus takut. Kakak juga makan nasi kan?" Keberanian Avisha menyulut api di diri Jessy makin tinggi. Dia hendak menarik kerah seragamnya disaat bahunya yang tertarik ke belakang.

"Gue diam bukan berarti lo bisa berbuat sesuka lo, Jess!" Itu Arven yang memandangnya begitu dingin. "Mungkin banyak cowok yang tertarik sama kesempurnaan lo. Tapi sori ... kesempurnaan lo gak ada di mata gue. Bagi gue lo cuma cewek manja dan gak tau aturan. Seharusnya lo malu karena derajat lo jauh di bawah gue!"

Kemudian, Arven membungkuk, membantu Avisha berdiri lalu meninggalkan kerumunan orang-orang yang kurang kerjaan. Sekaligus meninggalkan Jessy yang terdiam oleh kekalahan.

•••

Otak Visha kayaknya butuh service biar gak loading kebangetan wkwk

Arven tajem-tajem peduli gitu ya😋

Sampe mana nih rame komennya :)) mau liat aku muehehhe

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro