Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A;A11-Sisi yang Salah

❝Kecurangan tidak bisa dimaafkan. Terutama setelah mencelakai orang-orang yang disayang.❞

•°•°•

SUARA bel mengudara kencang, yang direspon antusias orang-orang. Bertepatan Arven menyandangkan tas hendak pulang. Ponsel di saku celananya bergetar.

Veron. K: Gue gak dapet rekamannya, Ven. Cctv di deket lab bahasa mati.

Ponselnya Arven genggam kuat usai membaca laporan yang Veron berikan. Bukan tanpa alasan, dia ingin mencari sesuatu yang berbau kecurangan. Dia benci seseorang yang bermain licik. Mencelakakan orang dari belakang lalu berkeliaran di sekitar dengan naif-nya. Berpikir jika rencana liciknya tak akan tercium.

Ck! Cukup masa lalu yang membuat Arven kalah. Sekarang, setidaknya dia harus menemukan orang itu.

Arven. G: Gue gak mau tau, Ron, lo harus cari pelakunya

"Lo lagi chatan sama siapa?" Arven sedikit terkejut berkat Zion yang tahu-tahu melongok ke layar ponselnya. Sontak dia mendorong wajah cowok berambut acak-acakkan itu untuk menjauh.

Bukan Zion namanya yang langsung menyerah. "Veron?" tebaknya. Arven sekadar bergumam. "Ini soal pot tadi siang?"

"Selain karena itu emang apa lagi gue minta bantuin dia?" Arven berjalan keluar pintu. Di sampingnya, Zion mensejajarkan langkah.

"Yaelah, Ven. Segitunya lo mau cari pelakunya," Lalu cowok jail itu tersenyum menggoda. "Gue tau karena apa ... hm kayaknya ada yang kemakan omongannya sendiri nih."

"Maksud lo?" Arven menoleh datar.

"Masa gak ngerti, ya lo udah mulai suka sama biji kuaci itu ..."

"Namanya Avisha."

"Nahkan!" Zion tergelak karena mungkin kesimpulannya benar mendengar nada tidak suka Arven saat dia memanggil Avisha dengan sebutan 'biji kuaci'. "Lo naksir sama dia?"

Karenanya Arven menghentikan langkah, sebelah tangannya disembunyikan di saku celana ketika menoleh pada Zion. "Gue tau otak lo gak bisa diajak mikir, Yon," Zion ternganga mendengarnya. "Tapi seharusnya lo tau alasan gue ngelakuin itu karena apa."

Zion terdiam. Dia tak bodoh untuk mengerti arah pembicaraan ini menjalar kemana. Trauma sekaligus ketakutan itu, menjadi pencipta sosok Arven yang dingin dan sulit didekati.

"Gue benci orang licik, dan gue benci ... orang bermuka malaikat tapi hatinya kayak iblis. Lo ingat, gue yang bantuin lo nangkep Lian dan masukkin dia ke penjara. Orang licik kayak gitu pantes dapetin itu!"

Butuh beberapa detik untuk Arven meredamkan sesuatu di dadanya. Dari masa lalu, dia mendapatkan banyak kesakitan, salah satunya untuk tidak mudah percaya pada orang.

"Tapi kadang ... gak semua orang licik ketauan busuknya!"

Kemudian Arven melangkah menuju parkiran. Zion mengikuti di sampingnya.

Zion sangat paham, kenapa Arven begitu sensitif mengenai orang bermuka dua. "Tapi, seharusnya lo juga sadar ada hal lain yang buat lo langsung nolongin Avisha."

Arven berhenti melangkah, memandang Zion yang membalas tatapan dinginnya santai. Tidak ada yang salah oleh kesimpulan Zion. Justru itu benar, yang untuk beberapa hari ini berusaha Arven tepis karena tidak ingin membiarkannya terkurung cerita usang. Cerita berdebu yang seharusnya dia lupakan.

Saat di parkiran, mereka menghentikan langkah serempak. Jika Zion mendadak mengulas senyum lebar. Lain halnya dengan Arven yang menyipit tak suka. Melihat cewek mungil bermata bulat itu tahu-tahu berdiri di dekat mobilnya.

"Panjang umur ya lo!" Zion yang berbicara. "Kita sempet ngomongin lo tadi."

"Kak Arven ngomongin Visha?" Mata bulatnya berbinar. Dia melangkah mendekati Arven. "Iya?"

"Gak!" ketus Arven. "Minggir! Ngapain sih lo ngehalangin pintu mobil gue?"

Avisha menyengir lebar. "Kak Arven boleh gak Visha ikut kak Arven ke apartemennya?"

Tidak ada alasan bagi dua cowok itu tidak lebih terkejut.

"Woah!" Zion heboh. "Bahaya ya lo kecil-kecil."

"Apa?" Avisha justru mengernyit bingung. "Visha mau ngambil biola Visha di apart-nya kak Arven."

"Gak perlu, gue anterin besok."

"Ih gak bisa," Avisha menggeleng. "Nanti pasti Papa nanyain biola Visha."

"Gampang lo jawab aja, 'papa biola Visha kebawa ketua osis ganteng di sekolah'." Ini Zion yang bercanda. Avisha tak menghiraukan dan malah menatap Arven dengan memohon.

"Boleh ya kak Arven?" Dia menangkup tangannya di dada. "Ya ... ya?"

Dengan telunjuk, Arven mendorong pelan kening Avisha. "Nggak!"

"Kak Arven jahat!" Bibir kecil cewek itu mengerucut sebal. "Ya udah deh kalo gitu kak Arven aja anterin entar sore."

"Lo pikir gue petugas jasa kirim?!" sergah Arven.

"Mendadak lo jadi petugas JNE, Ven!" Zion tergelak, Arven mendelik.

"Terus Visha harus gimana dong?" Cewek berponi itu cemberut sambil menunduk.

"Coba siniin ponsel lo?" Zion mengulurkan tangan meminta. Yang cewek bingung.

"Ngapain?"

"Siniin aja." Walaupun bingung, Avisha tetap mengambil ponsel ber-case biru cerah yang tersimpan di tas. Lalu memberikannya pada Zion.

"Kakak mau ngapain?"

"Udah diem aja."

Arven ikut mengernyit penasaran, melihat Zion mengetik sesuatu di ponsel Avisha. Apa yang cowok itu lakukan?

Zion mengembalikan ponselnya. Avisha makin bingung melihat layar ponselnya. "Ini nomor siapa kak?"

"Simpen aja."

"Lo kasih nomor lo ke dia?" Arven menaikkan alis heran. "Lo mau mati sama Linzy?"

Sebagai balasan, Zion malah tersenyum lebar. "Tenang aja, Linzy mah gak akan marah kalo gue kasih nomor lo ke dia."

Avisha maupun Arven tidak bisa tak terkejut mendengarnya. Jika kemudian, Avisha tersenyum lebar, beda dengan Arven yang mengumpat dalam hati. Rasanya dia ingin menceburkan Zion di kolam piranha.

"Ini nomornya kak Arven?"

Zion mengangguk. "Gue yakin Papa lo gak bakal marah, lo pinter-pinter aja nyari alasan. Nah! Nomor Arven bisa lo pake buat ngingetin dia biar gak lupa bawa biola besok. Bener gak?"

Polosnya Avisha cuma mengangguk dengan senyuman.

"Kayaknya bukan Linzy yang bakal matiin lo, Yon." Arven menoleh dengan kilatan tajamnya. "Gimana kalo gue aja?"

"Mm kayaknya ..." Zion menyengir lebar. "Cewek gue udah nunggu di parkiran. Bye biji kuaci. Bye, Ven." Setelahnya Zion berlari, menghindari amukkan Arven.

Zion sialan!

•••

Meja makan malam ini lengkap. Kebetulan Devin, papanya sudah pulang dari luar kota. Belum lagi, menu makanan yang cukup istimewa, tersaji di atas meja. Terlihat mengundang air liurnya.

Tapi, bukannya fokus pada piring, Avisha justru memandang ponselnya. Cukup melihat chat singkatnya bersama Arven, menjadi alasan senyumnya melebar.

Avisha. P: Kak Arven ini nomor Visha disave ya.

Manusia batu: G

Avisha. P: Kak Arven typo ya? Masa cuma satu huruf?

Manusia batu: brisik!

Avisha. P: Berisik gimana, kan Visha jauh dari kak Arven. Lagian Visha juga lagi gak teriak-teriak

"Visha." Yang dipanggil terlonjak kaget, hampir saja menjatuhkan ponsel di tangan. Dia mendongak pada Velin, mamanya.

"Kenapa, Ma?"

"Kamu masih nanya, taruh hp kamu itu." Velin memperingati. "Kamu gak inget pesan Mama ..."

"Gak boleh main hp saat di meja makan." Avisha dan Darlan mengulang pesan yang sudah setiap hari mereka dengar dan bahkan hafal di luar kepala.

"Tau lo!" Darlan mengomel. "Ngeliatin ponsel aja kayak ada yang nge-chat!"

"Yee biarin, bang Darlan sirik aja!" Avisha menjulurkan lidah.

"Visha." Suara berat papanya terdengar, yang langsung membuat perhatian Avisha teralihkan. "Biola kamu kemana?"

"Biola?" Begonya Avisha tidak bisa mengatur ekspresi terkejutnya.

"Iya, Papa liat di kamar kamu gak ada."

Mati! Karena terlalu terpaku senang mendapatkan nomor Arven, dia sampai lupa menyiapkan alasan yang masuk akal untuk pertanyaan itu.

"Itu ... Visha—"

"Mama juga baru mau nanya."

Velin malah ikut-ikutan. Avisha makin bingung menjawabnya. Dia tidak pandai berbohong. Apalagi berbohong pada orang tua. Karena dia tahu itu dosa, tapi kalo di keadaan terjepit begini, tidak apa-apa kan?

"Biola Visha," Dia tersendat menjelaskan. "Di ... di rumah Yaya. Ketinggalan di sana kemarin."

"Kemarin kan lo les?" Boleh tidak Avisha membunuh kakaknya sendiri. Dia memelototi Darlan yang kini cuma memandangnya tanpa wajah dosa.

"Iya ... itu Visha kan mampir ke rumah Yaya dulu, baru deh pulang ke rumah."

Beruntung orang tuanya percaya. Mereka mengangguk saja. Tapi, malasnya Darlan seolah mengompori keadaan.

"Lah kata Pak Endri lo dianter mobil kemaren?"

Avisha rasanya benar-benar ingin membinasakan abangnya sekarang!

"Mobil?" Velin bingung. Pun Devin yang kini menatapnya kembali.

"Bang Darlan," Avisha membisiki kakaknya yang lebih tua setahun itu. "Visha kebetulan tadi abis nangkep dua cicak," ekspresi Darlan sontak berubah. "Bang Darlan gak mau kan salah satu cicaknya Visha taro di bawah bantal pas abang tidur?"

Darlan memelotot seolah ingin membunuhnya sekarang juga. Lalu mengubah rautnya menjadi senyum pada mama-papanya. "Mungkin Pak Endri salah liat, Pa. Lagian mana mungkin Yaya nyetir mobil, padahal rumahnya cuma lima langkah dari sini."

Devin dan Velin tak ingin memperpanjang lagi.

"Puas lo?" bisik Darlan kejam. "Adek laknat!" Lalu dia menarik rambut belakangnya, sontak Avisha memekik.

"Darlan!" Mata Devin penuh peringatan.

"Gak sengaja, Pa. Rambut Visha nyangkut tadi." Darlan membela diri. Lalu menatap Avisha sinis.

Selesai makan malam, Avisha biasanya menikmati es krimnya sambil tidur-tiduran di ruang keluarga. Menonton kartun di televisi atau memainkan ponsel saja. Tapi niatnya langsung hilang saat melihat isi kulkas.

"BANG DARLAN!" Avisha berteriak kencang. Lalu menjerit. "Kenapa es krim Visha gak ada?!"

"Sori, Sha!" Dari ruang keluarga, Darlan balas berteriak. "Lo nyebelin sih tadi, makanya gue makan."

Jelas Darlan memancing keributan jika melakukan itu. Avisha langsung berderap ke ruang keluarga dan melihat abangnya itu berbaring di sofa. Akal Avisha hilang saat mengambil bantal dan memukul wajah Darlan berkali-kali.

"Visha gak mau tau! Gantiin pokoknya!" Walau mendengar Darlan yang meminta ampun, Avisha tetap saja melayangkan bantalnya lebih keras.

"Berhenti, Sha! Muka gue gak ganteng lagi entar!" Darlan berusaha mengelak pulukannya. "Iya-iya gue ganti!"

Bersama napasnya yang memburu, Avisha berhenti. Memandang abangnya dengan permusuhan. "Iya emang harus!"

"Gue cuma makan satu, Sha."

"Boong!" Avisha memelotot. "Kalo cuma satu gak mungkin stok es krim Visha sampe kosong gitu."

Darlan meringis. "Itu tadi siang, temen gue pada dateng. Ya lo taulah temen gue kayak gimana."

"Visha gak peduli, itu tetep aja bang Darlan yang salah. Pokoknya ganti!"

Embusan napas Darlan terdengar pasrah.

"Ganti! Atau Visha aduin Papa!"

"IYA-IYA DIGANTI!"

•••

Di depan sebuah minimarket, mobil bewarna merah berhenti di sana.

"Lo masuk sana. Gue di sini aja."

"Mana kartu atm-nya?" Avisha mengulurkan tangan, meminta.

Darlan mendengkus. Merogoh saku celana dan mengambil dompetnya. "Nih!" Dia memberikan benda pipih yang Visha inginkan.

Avisha menerimanya dengan senang hati. Melangkah keluar mobil dan mendorong pintu masuk.

Darlan itu deskripsi kakak menyebalkan tapi bikin sayang. Terkadang tingkah Darlan memang membuat kesal. Termasuk dia yang sering menjailinya.

Walau suka iseng, Darlan punya cara tersendiri menunjukkan kasih sayangnya. Saat di sekolah dasar, Darlan tidak pernah bermain bersama temannya dan memilih menemaninya. Atau setiap kali Avisha jatuh dari sepeda, Darlan adalah orang pertama yang akan mengomelinya. Dia tahu, Avisha tidak bisa menaiki sepeda—sampai sekarang.

Lalu pernah dia marah besar pada Nata, karena cowok itu mengantarkan Avisha pulang malam hari. Padahal Avisha sudah bilang ada tugas kelompok yang harus dikerjakan. Tapi, Darlan tak peduli dan melampiaskan kemarahannya pada Nata.

Dan sekarang juga. Mungkin sikap Darlan menunjukkan kalau dia kesal dan tidak ikhlas. Tapi, dari mata, Avisha bisa membaca kalau dia sebenarnya tidak tega.

Keranjangnya sudah sedikit penuh oleh mangkuk besar es krim. Dari berbentuk toples, berbentuk kotak, yang berukuran kecil, es krim stik, es krim cone. Avisha memandang keranjang di tangan dan sepertinya ini cukup.

"Lo mau jualan es krim?"

Jantung Avisha seperti berhenti berdetak saking terkejutnya. Dia menoleh dan lebih terkejut lagi melihat seorang cowok yang juga sedikit tersentak melihatnya. Bentar ... kenapa cowok itu ikut kaget?

Tapi, cowok yang berpakaian santai dengan kaos hitam, tertutup jaket bomber, jeans tampak sobek di lutut, dan sepatu kets yang melekat di kaki itu menggantikan kekagetannya dengan senyum.

"Visha gak mau jualan, ini buat dimakan." Visha menjelaskan.

Lelaki asing itu menaikkan alis. "Visha?" Lalu entah alasan apa, cowok itu mengangkat ujung bibirnya makin lebar. "Ini kode mau kenalan ya?" Dia mengulurkan tangan. "Askar."

Karena Velin selalu mengajarkan sopan santun, Avisha jadi tidak menolak uluran tangan perkenalan itu. "Avisha."

"Avisha?" Dia menggumamkan namanya. Cukup dari keramahan Askar, Avisha jadi sedikit lega dan membuang rasa curiga. "Itu es krim beneran mau lo makan?"

Avisha mengangguk.

"Emang muat perut lo?" Askar memandangnya naik turun.

"Kecil-kecil gini, Visha makannya banyak."

"Oh oke," Askar tertawa. Lalu terdiam. "Lo keliatan gak asing, lo sekolah dimana?"

"SMA Taruna Jaya," lalu melanjutkan dengan polosnya. "Tapi Visha gak kenal kamu."

"Lo gak kenal gue?" Nada cowok itu seakan menggambarkan keanehan kalau ada orang yang tidak mengenalnya. Memangnya Avisha harus kenal dia.

"Gue juga anak TJ," senyum percaya dirinya tampak. "Nama lengkap gue Vargelon Askar. Lo serius gak kenal?"

"Emang Visha harus kenal kamu?" Avisha memiringkan wajah. Bingung.

"Gak juga sih," Askar lalu mendekat. "Tapi ... gue harap pas kita ketemu lagi, lo udah kenal sama gue." Diakhir dia tersenyum, lalu melangkah meninggalkan Avisha yang terdiam di tempat.

Karena tidak ingin mendadak vertigo, Avisha memilih melupakan saja. Setelah membayar di kasir, dia berjalan ke dalam mobil.

"Lama banget sih lo!" Darlan mengomel. Avisha mengabaikan dan diam. Walau berusaha lupa, entah kenapa Avisha penasaran. Cowok itu siapa sih?

Tidak mau bego sendiri, dia mengambil ponsel dan mengechat Yania.

Avisha. P: Yaya kepala Visha mendadak burem, gak bisa diajak mikir.

Yaya boboiboy: lah otak lo kan emang gak ada. Makanya gak bisa mikir.

Avisha. P: Yaya jahat! Visha aduin ke ayah Anend loh

Yaya boboiboy: gak usah ganti-ganti nama bokap gue!

Avisha p: Yania anaknya ayah Anend. Punya Bunda supermen. Suka makan ramen. Jadilah ultramen.

Membaca pesan yang dia kirim untuk Yania. Avisha tergelak. Yania benci lagu itu. Padahal Avisha sudah baik hati membuatkannya.

"Lo kenapa?" Darlan menoleh saat lampu merah. Mendengar adiknya yang tertawa sendiri. "Kurang obat?"

Sebagai respon, Avisha cuma menjulurkan lidah.

Yaya boboiboy: Avisha lo udah pernah muntah paku belum :)))

Avisha. P:

Yaya boboiboy: Ya allah gue mau nangis rasanya!!

Avisha. P: Hehe oke sekarang serius

Avisha P: Yaya Visha mau nanya, Yaya kenal Vargelon Askar itu siapa?

Tiba-tiba bukan chat balasan dari Yania, dia langsung menelpon. Avisha heran.

"Lo gak kenal kak Askar?" Tanpa ada sapaan lebih dulu, Yania memberondongnya dengan pertanyaan.

"Gak."

"Kok lo bego sih, Sha!"

Avisha memanyunkan bibir. "Yaya ngatain Visha mulu nih!"

"Gimana gue gak ngatain, kebegoan lo tuh udah fatal sampe kak Askar aja gak kenal?"

"Emang dia siapa, orang penting. Pejabat. Ketua DPR. Artis Hollywood. Pangeran inggris ...

"Dia wakil ketua osis."

Kebekuan Avisha tentunya wajar setelah mendengar jawaban itu.

•••

Sereceh itu kamu, Sha :')))

Nah Visha udah ketemu Askar tuh hm

Kita lanjut gak nih?

ASKAR :)))

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro