Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A;A10-Memotong Jarak

Itu tuh tanda bintangnya jangan lupa dipencet hmm :))

❝Isi hati bilang itu peduli, tapi aku tepis karena tidak ingin jatuh untuk kedua kali.❞

•°•°•

KATA ceroboh memang pantas untuk gelar belakang nama Avisha. Saat menemukan biola di kursi belakang mobil, Arven tak dapat menahan dengkusan malasnya. Entah cewek itu sengaja meninggalkan atau benar-benar lupa. Tapi, Arven yakin cewek bawel berponi itu sengaja meninggalkan, agar punya alasan untuk menganggunya.

Usai memarkirkan mobil di basement parking apartemen, Arven beranjak keluar dari mobil sekaligus membawa biola milik Avisha yang terbungkus tas cokelat. Lift ternyata cukup sepi di jam sore begini, Arven menyandarkan kepala di dinding, menoleh untuk melihat bayangan dirinya sendiri.

Bayangan di sana memakai kaos hitam berbungkus jaket army, memasukkan kedua tangan di celana jeans yang membungkus kaki panjangnya. Mata elang bewarna biru kehijauan memandangnya balik.

Tajam dan tak bermakna.

Kosong dan penuh duka.

Nyaris saja Arven terjerumus pada ingatan yang memberontak masuk, kalau bukan suara denting lift menyentaknya.

Tahu-tahu langkahnya berhenti saat melangkah di lorong menuju apartemen-nya, melihat dua bodyguard berdiri di depan pintu.

Sepertinya Tuan Raihan Gazkel tidak pernah suka membiarkan Arven berada dalam ketenangan.

Dua bodyguard bersetelan jas tampak menunduk saat Arven berhenti di depan mereka.

"Tuan besar ada ..."

"Gue tau." Arven langsung memotong. Memasukkan password di samping pintu dan melangkah masuk.

Pemandangan pertama yang Arven lihat ketika melangkah ke ruang tamu adalah sang kakek yang tampak santai duduk di salah satu kursi. Menikmati secangkir kopi yang entah di dapatnya darimana.

"Cucu kesayanganku sudah pulang ternyata?"

"Cucu kesayangan?" Arven tersenyum sinis. Mendengar predikat yang pernah menyandang belakang namanya—panggilan yang orang-orang berikan saat mengenal keluarga Gazkel, cucu yang dulunya dianggap bagai emas dalam keluarga—tapi kini tak lebih dari cucu pembawa sial.

"Kakek gak usah basa-basi. Ada perlu apa kakek ke sini?" Arven bahkan malas memandang kakeknya. Tembok keluarga yang sudah dibangun selama bertahun-tahun seolah musnah sejak Raihan lebih percaya pada omongan orang, dibanding mendengar penjelasan cucunya yang dianggap karangan.

"Kamu gak sopan sama kakek, Arven." Raihan sedikit tersenyum. "Seharusnya saat sampai kamu menanyakan kabar kakek atau menawarkan sesuatu, mengingat kakek sudah menunggu kamu dari sejam. Lihat, bahkan kakek sampai membuat kopi sendiri." Lewat matanya, beliau melirik secangkir kopi di atas meja.

"Langsung ke intinya aja, Kek." Arven sudah muak oleh keadaan ini. "Bukannya kakek gak suka buang-buang waktu."

Raihan mengangguk. "Tapi bukan ada bagusnya kamu duduk dulu dan Kakek bisa memberitahu alasan Kakek ke sini?"

Arven senyum setengah hati. "Kebetulan Arven gerah, mau mandi, ganti baju, istirahat dan ... belajar, sesuai perintah kakek. Disiplin waktu."

"Sepertinya kamu gak suka kedatangan Kakek?"

"Bagus kalo Kakek sadar!"

"Mulut kamu gak pernah berubah, Arven."

"Ini bukti kalo cucu dan Kakek memiliki sifat yang sama. Iya kan?"

Raihan menghela napas panjang. Ekspresi lelah tampak menghias di sana. Jujur ekspresi sang kakek sekarang membuat Arven mati-matian untuk tetap mempertahankan ego. Tak mau kalah di perang dingin ini.

"Kakek cuma mengantarkan undangan pesta perusahaan keluarga." Raihan meletakkan sebuah undangan bewarna silver berpita gold. "Tanggal enam, jangan lupa."

"Arven gak bisa," jawabnya tanpa pikir panjang.

"Itu bukan permintaan yang bisa kamu tolak. Ini perintah!" Raut Raihan berubah seperti semula. Dingin dan mematikan. Dengan tongkat yang sentiasa menemaninya kemana-mana, dia berdiri dari kursi tampak begitu mudah. "Kamu harus datang, Kakek gak menerima alasan apapun."

Raihan berjalan melewati Arven menuju pintu keluar. Lalu berhenti tiba-tiba. "Kakek gak nyangka kalo kamu masih memainkan alat gak penting itu."

Arven terdiam, melirik tas biola di tangannya. "Kakek harap kamu masih mementingkan pendidikan, dibanding melakukan hal gak berguna."

Lewat tangannya yang mengepal, Arven menahan ledakkan amarah.

"Inget," satu langkah lagi bagi Raihan mencapai pintu. "Kamu tanggung jawab kakek sekarang."

•••

"Gue masih gak percaya."

Kalau dihitung sudah belasan kali Avisha mendengar kalimat itu keluar dari bibir Yania.

"Kalo Yaya gak percaya ya udah sih. Yang penting kan Visha cerita apa adanya, sesuai kenyataan." Avisha jadi kesal. Padahal dia sudah baik hati mau menceritakan kejadian kemarin yang cukup panjang bak dongeng.

"Gue juga gak percaya, Sha." Ini lagi Ilona ikut-ikutan. Avisha menoleh kesal pada mereka. Membetulkan posisi tumpukkan buku di tangannya.

Lorong sekolah selalu ramai dan bising saat waktu istirahat. Tapi tidak untuk lorong menuju perpustakaan. Sepi dan hening. Hanya beberapa orang yang melintas.

Mereka disuruh wali kelasnya untuk meletakkan beberapa buku lama dan mengambil buku baru.

Sebenarnya hanya Ilona karena cewek itu terpilih menjadi sekretaris kelas. Namun, karena Avisha adalah sahabat yang sangat baik, jadilah dia mengantarkan Ilona ke perpus bersama Yania.

"Kok kalian gitu sih!" Avisha cemberut.

"Bukan gitu, Sha. Lo cerita kalo kemaren lo pulang bareng sama kak Arven. Emang dia ngapain di tempat les lo?" Kebingungan Ilona sama dengan yang tengah Avisha pertanyakan sejak kemarin.

"Gak tau," Visha mengedikan bahu. "Tapi apa peduli, Visha. Yang penting Visha udah bisa pulang bareng kak Arven kemaren aja, Visha udah sujud syukur. Berarti misi Visha berjalan lancar."

"Sebahagia lo aja deh, Sha!" balas Yania malas sambil membetulkan posisi buku di tangannya.

"Sha ... tapi gue takut deh," Ilona buka suara. "Mending lo berhenti aja sama misi gak masuk akal lo. Bukan apa-apa, gue takut lo sakit hati nantinya."

Lagi-lagi kalimat pertentangan itu.

"Lona tenang aja, kak Arven tampangnya emang serem sih. Tapi Visha yakin, kak Arven itu baik orangnya. Buktinya kemaren dia mau nganterin Visha pulang, mau beliin roti bakar, bahkan kak Arven inget ucapan Visha yang bilang kalo Visha alergi stroberi. Kebukti kan, kalo sebenarnya kak Arven sedikit peduli sama Visha."

Sampai di perpustakaan, mereka langsung meletakkan buku lama di sana dan mengambil beberapa buku baru. Sang penjaga perpus mencatat nama sekaligus kelas mereka. Mereka pun menandatanganinnya sebagai bukti pertanggung jawaban.

Cuma sebagian buku yang mereka ambil, mengingat satu kelas ada tiga puluh orang. Jadi cuma satu mata pelajaran yang mereka ambil terlebih dahulu.

"Lagian kenapa bukan ketua kelasnya sih yang ngambil?!" Yania mengomel.

"Lo tau ketua kelas kita rada-rada, Ya." Ilona tertawa.

"Ya seharusnya anak cowoknya lah, tega banget kayaknya ngebiarin anak cewek yang ambil. Otak mereka kemana?!"

"Bu Ina ngasih tugas ngambil bukunya pas jam istirahat Yaya. Udah ketebak dong kalo anak cowok pasti langsung nolak dan udah ngacir duluan ke kantin. Jelas mereka lebih mikirin makan."

Yania cuma bisa mendengkus sebal akhirnya.

"Udah ayo cepetan, mau ke kantin kan?"

Saat ketiganya melangkah keluar perpus, Avisha melihat Arven yang baru saja keluar toilet dan berjalan menuju koridor pinggir lapangan.

"Yaya pegang ini dong!" Sepuluh buku yang Avisha pegang dia letakan begitu saja di atas tumpukkan buku yang dibawa Yania, menambahkan jumlahnya menjadi lebih banyak.

"Sha berat gila!" protes Yania. Menyuruhnya mengambil bukunya dan membawanya seperti tadi. Dan sia-sia saja, walau sudah berbusa-busa pun Yania memprotes, Avisha tak mendengarkan.

"KAK ARVEN!" teriaknya kencang. Ilona dan Yania kompak mengangkat kepala.

Arven menoleh ke belakang sejenak, setelahnya berjalan lagi seolah tak peduli.

"Yah dicuekkin!" Yania meledek, lalu memelotot saat melihat Avisha berjalan cepat meninggalkan mereka. "Eh Sha, sha! Mau kemana lo?!"

"Kak Arven tungguin Visha dong!" Arven tetap tak acuh, Avisha sontak berlari untuk menyusul kaki panjang cowok itu dan ... mendadak kakinya tersandung jatuh.

Jika Ilona meringis melihatnya, beda lagi dengan Yania yang tertawa.

"TUH KUALAT LO SAMA GUE!" Yania masih saja tertawa.

Avisha menoleh kesal ke belakang, bangkit berdiri susah payah. Walau dengan keadaan kakinya yang sedikit terluka, dia tetap memaksakan langkahnya menyusul Arven yang sudah berbelok ke kanan.

"Kak Arven berhenti!" Napas Avisha tersengal-sengal. Arven masih tak mendengarkan, dia mulai kesal karenanya. "Kak Arven tuli ya? Cih! Ganteng-ganteng telinganya kotor."

Berhasil. Kali ini manusia es itu mau berhenti. Sepertinya memang Avisha harus memancing amarahnya dulu, baru cowok itu mau mendengarkan. "Kak Arven Visha panggilin dari tadi juga!"

Dia menoleh, menunjukkan wajah dinginnya yang biasa. "Apa lagi?" tanyanya tak suka.

"Avisha cuma mau nanya," Seolah sudah kebal oleh tatapan tajamnya, Avisha meneruskan dengan wajah ceria. "Kak Arven ikut ekskul fotografi?"

Arven memandangnya lama. "Kenapa emang?"

"Jawab dulu iya atau enggak!"

Yang cowok mendengkus sebal dan melanjutkan langkah, Avisha refleks mengikuti dari samping. "Iya."

Avisha beroh panjang. "Oke deh kalo gitu ... berarti Visha ikut ekskul fotografi aja."

Kali ini Arven tak bisa tak terkejut. "Apa?"

"Visha mau gabung ekskul fotografi," Dia tersenyum lebar. "Awalnya Visha bingung mau ikut ekskul apa, kan ikut ekskul itu wajib. Tapi pas tau kalo kak Arven anak ekskul fotografi, Visha akhirnya milih itu."

"Lo ikut ekskul cuma karena gue?" Tatapan Arven makin menajam dan bukan Avisha namanya yang akan terpengaruh. Senyumnya malah melebar, dia mengangguk.

"Iya, kan Visha udah bilang, Visha mau deket sama kak Arven," Tahu-tahu dia mengulurkan tangan, Arven mengernyit memandangnya. "Mau temenan sama Visha?"

Sebagai jawaban, Arven menepis kasar tangannya, Avisha tersentak. Sementara yang cowok berjalan hendak pergi.

"Kak Arven gak mau temenan sama Visha?"

Cowok itu menoleh lagi. "Ada banyak syarat jadi temen gue," Sepertinya Avisha tidak salah melihat Arven yang mengangkat senyum sinis. "Salah satunya lo harus nurutin perintah gue. Lo siap?"

"Gak apa-apa," Avisha mengangguk yakin, tak sedikit pun berpikiran buruk. "Visha bisa ngikutin syaratnya. Asal kak Arven mau jadi temen Visha."

"Oke kalo itu yang lo mau," memasukkan tangan ke saku celana, Arven memandangnya. "Gue minta lo ... berdiri di situ sampai pulang."

Perintah macam apa itu! Avisha terbelalak. "Visha harus diri di sini?"

Yang cowok mengangguk.

"Gak boleh bergerak?" Sekali lagi Arven mengangguk.

"Tapi gimana kalo Visha laper, Visha kebelet ke toilet, terus yang seremnya kalo jam istirahat udah selesai. Visha entar dihukum karena gak masuk kelas."

Arven mengedikan bahu. "Itu urusan lo. Kalo emang niat lo cukup besar jadi temen gue, lo gak akan nyerah cuma karena permintaan itu."

"Kak Arven nemenin Visha di sini?"

"Enggak, lo sendiri di sini."

Seakan tak cukup disuruh berdiri diam di koridor pinggir lapangan, ditonton bingung orang-orang sekitar, dan ternyata Avisha juga harus melakukan itu tanpa ditemani siapapun. Kalau tidak mengingat tujuannya melakukan ini semua, Avisha ingin melayangkan segala protesan.

Tapi tidak, dia justru mengangguk. Menyanggupi. Arven tak mengatakan apapun lagi, berbalik melangkah menjauh.

Baru juga tujuh langkah, Arven mendadak menghentikan kakinya. Bukan saja bingung, kepalanya sudah penuh oleh ribuan tanda tanya melihat tindakan Avisha selama ini.

Oleh segala penolakan dan tatapan tajamnya, Avisha tak sedikit pun gentar. Segala sikap dinginnya, justru memacu semangat cewek itu. Arven bertanya-tanya, sebenarnya niat cewek itu apa? Kenapa dia sangat ingin dekat dengannya?

Arven menoleh, melihat cewek berponi itu melambaikan tangan sambil senyum lebar. Mengabaikan tatapan bingung orang-orang. Kadang, ada yang berkomentar, yang dia balas dengan senyuman.

"Visha bukan mau jadi patung kok, Visha cuma lagi liat langit cerah. Secerah wajah Visha."

Lihat, bahkan Avisha tak bergerak sedikit pun dari tempatnya walau ada kakak kelas yang menyuruhnya ke kelas.

Arven mendengkus malas, maunya tak peduli dan berlalu pergi. Namun, saat melihat ke koridor lantai dua. Dia terbelalak. "AWAS SHA!"

Mendengar teriakan Arven, Avisha mendongak dan seakan matanya ingin menggelinding keluar, melihat sebuah pot besar melayang jatuh dari atas. Di pijakan Avisha terkunci sebelum merasa tangannya ditarik dan berujung tenggelam di dada seseorang. Disusul suara pecahan yang terdengar memekakan dan menimbulkan keinginan tahuan orang-orang.

Avisha syok luar biasa.

"Bego!" Tanpa sadar, Arven berkata kasar. "Kenapa gak ngehindar?!"

"Visha ..."

"Dua kali lo ngelakuin kecerobohan kayak gini!"

Yang cewek mendongak, melihat Arven yang tampak begitu marah dan emosi. "Kak Arven yang nyuruh Visha diam di tempat."

"Ya terus kenapa lo masih lakuin?!" Mata elangnya menusuk lebih tajam.

"Karena ... karena Visha mau jadi temennya kak Arven."

Arven sesaat terdiam mendengarnya.

"Berhenti jadi cewek bego!" Kemudian Arven melepaskan lilitan tangannya. Dia melangkah hendak meninggalkannya.

"Kak Arven mau kemana?"

"Mau cari penyebab kenapa pot itu bisa jatoh."

Avisha sontak mengikuti. "Gak perlu kak Arven, liat," dia menunjukkan tubuhnya yang tidak terluka. "Visha baik-baik aja kok, gak ada luka sama sekali selain lutut Visha karena jatoh tadi."

Arven tak mendengarkan, melangkah naik ke atas tangga. "Kak Arven gak usah nyari pelakunya, lagian kak Arven gak usah segitunya peduli sama Visha, sampe nyari pelaku yang hampir bikin kepala Visha jadi perkedel."

Kali ini Arven berhenti di undakan tangga, Avisha yang beda satu tangga bagian bawah, merasa perlu mendongakkan kepala tinggi-tinggi.

"Ih kak Arven jangan berhenti di situ, Visha jadi keliatan pendek banget ini!"

"Bentar, lo mikir gue mau nyari penyebab jatohnya pot itu cuma karena peduli sama lo?" Dia menunduk. Avisha memundurkan kepala menjauh dan mengangguk.

"Emang iya kan?"

"Gak usah mimpi lo, gue mau nyari penyebabnya karena gak mau kejadian kayak gitu keulang lagi." Entah disaat ini Avisha harus kesal atau senang karena si manusia es bisa berbicara cukup panjang padanya. "Lo masih beruntung karena gue tolongin, tapi gimana kalo guru atau orang lain?"

Avisha memanyunkan bibirnya. "Padahal udah baper tadi."

"Lo ngomong?"

"Gak! Avisha kumur-kumur."

Arven tak acuh, meminjakan kaki kembali di anak tangga. Dengan kaki pendeknya, Avisha refleks menyusul di belakang.

Tiba di balkon lantai dua, lapangan Taruna Jaya terlihat menghampar luas dari atas. Tembok setinggi seratus tiga puluh senti bersama besi yang menancap menjadi ujung pembatas balkon. Dan di atas tembok itu cukup banyak pot keramik tanaman hijau yang dibiarkan berjejer.

Di tempat pot yang terjatuh tadi, Avisha melongok ke bawah dan melihat tempatnya berpijak beberapa saat lalu kini kotor oleh pecahan keramik dan tanah.

Arven di sampingnya merogoh saku celana, ternyata mengambil ponsel. Avisha cuma memerhatikan cowok itu yang sibuk mengetik sesuatu kemudian menempelkannya di telinga.

"Halo, Ron, gue mau lo liat rekaman cctv sekarang?"

Arven yang suka memerintah orang. Avisha mendengkus.

"Balkon atas dekat lab bahasa," Arven memberitahu titik lokasi. "Ada pot yang jatoh dari sana, tiga menit dua puluh empat detik yang lalu."

Avisha ternganga. Arven menghitung waktu kejadiannya?

Bukan mau menguping, tapi dia bisa mendengar obrolan mereka.

"Ya terus kenapa, Ven? Palingan kena angin atau gak sengaja kesenggol." Sepertinya Arven tengah berbicara dengan Veron, sekretaris osis itu.

"Cuma angin bervolume besar yang bisa ngedorong pot keramik," ucap Arven tanpa nada bercanda. "Dan ... kalo gak sengaja kesenggol orang. Seharusnya potnya cuma kegeser dua senti bukan sampe tujuh senti lebih."

"Kak Arven," intrupsi Avisha cukup membuat tatapan Arven makin terlihat menyeramkan. "Hm Visha cuma mau nanya," lalu dia berjinjit mendekat ke wajah Arven, sontak yang cowok menaikkan alis sambil tersentak mundur. "Di mata kak Arven ada alat ukur gitu ya? Kayak robot di film-film?"

"Lo ngigau?"

Avisha menurunkan telapak kakinya seperti semula. "Gak ... cuma bingung kak Arven kok bisa ngukur padahal gak ada penggaris di sini?"

"Itu karena gue pake otak buat mikir, bukan otak lo yang cuma dijadiin pajangan."

Bagai pedang, perkataan Arven menusuk tepat ke hati. Avisha kalah telak dan bibirnya langsung terkunci rapat.

"Di sebelah lo ada orang, Ven?"

"Gak ada," balas Arven seolah Avisha hanyalah bayangan tak terlihat. "Kalo lo udah cek rekaman cctv-nya kabarin gue." Kemudian tanpa kata penutupan, Arven mematikan sambungan.

"Kak Arven pikir Visha makhluk astral gitu?!"

"Mungkin ... gak jauh beda bukan? Sama-sama ganggu!"

Avisha merengut. Refleks menahan tangan Arven saat cowok itu hendak pergi. Yang cowok menoleh, memandang wajah dan tangannya bergantian. Ya Tuhan ... bagaimana Avisha bisa lupa dia tengah memegang tangan manusia kutub ini. Bahaya! Bahaya!

Sontak dia melepaskan begitu saja.

"Bentar dulu kak Arven, Visha mau nanya ..."

"Gue bukan guru lo!" Arven kesal karena Avisha yang terus bertanya.

"Ih!" Avisha menghentakan kakinya. "Visha mau nanya tentang biola Visha." Saking banyaknya topik pembicaraan, ditambah kejadian tadi, Avisha jadi melupakan tujuan awalnya menghampiri Arven. "Kemarin ketinggalan di mobilnya kak Arven. Iya kan?"

"Mm."

"Terus kak Arven bawa sekarang?"

"Udah gue buang."

"Hah?" Avisha terkejut luar biasa. "Jangan bercanda kak Arven! Itu biola kesayangan Visha. Nanti bisa diomelin sama Papa. Ntar Visha gimana lesnya, terus Visha gak bisa main biola, Visha ..."

"Bawel!" Arven memotong tajam. "Ada di apart gue."

Senyum Avisha seketika melebar. "Visha pikir beneran," dia terkekeh. "Oh ya ... apart? Kak Arven tinggal di apartemen?"

Arven tak menjawab. Melangkahkan kaki menuju tangga.

"Kak Arven tinggal sendiri?" Avisha mengikuti.

"Kak Arven gak tinggal sama Papa-mamanya?"

Buat yang ini, Arven berhenti di undakan tangga pertama. Tercenung lama.

"Orang tua ... gue udah meninggal."

•••

Agak lama ya update-nya, tapi gapapalah, panjang banget soalnya part ini ;))

Yang setia nunggu Arven ngacung☝

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro