12:00
Irene merutuk kesal melihat jadwal yang tertempel di meja belajarnya. Hari pertama belajar-mengajar di sekolahnya dimulai oleh pelajaran yang paling dibencinya, lebih-lebih daripada ia membenci fisika, kimia dan saudara-saudaranya yang lain.
Olahraga.
Ibaratnya, ketika belajar tentang materi-materi perhitungan rumit di kelas, Irene masih punya sekitar 30% kapasitas di otaknya untuk menampung pelajaran tersebut. Setidaknya, masih ada walaupun sangat sedikit yang dia pahami. Sedangkan olahraga, fisiknya benar-benar lemah.
Sampai teman-temannya menjulukinya 'si sporty' karena bisa dibilang, dia yang paling buruk di kelas.
"Anjir ngeledeknya jahat banget bilang gue sporty." Suatu ketika Irene protes dan ia benar-benar ingin merobek wajah Jimin, si pencetus julukan tersebut. Memang lelaki pendek itu senang sekali menggodanya. Mentang-mentang ia tidak berani menggoda Seulgi.
"Rene, perkataan itu doa. Kita semua pengen liat lo jago olahraga lho. Gimana sih?" Bual Jimin tertawa puas. Selain pendek, dia juga punya kelebihan yaitu membual. Huh.
Yang lebih sialnya, ternyata materi olahraga hari ini basket, lagi. Kenapa materi ini tidak kunjung selesai. Irene berkali-kali menghembuskan napas kesal, sudah membayangkan apa yang akan terjadi di saat guru olahraganya mulai memberi instruksi.
"Seul kenapa sih, materinya basket lagi. Basket mulu. Kenapa gak ballet gitu? Apa kek," keluh Irene pada sahabatnya, berlari lesu. Berbeda dengan Irene, Seulgi melakukan pemanasan dan berlari dengan semangat. Meregangkan otot-otot badannya. Iya, jika kalian menebak dia jago dalam pelajaran olahraga, maka jawabannya 101% akurat.
Seulgi itu ketua tim basket putri meskipun itu dulu, karena kelas akhir tidak boleh sibuk dengan ekstrakulikuler maka ia telah melepaskan jabatannya.
"Basket itu materinya banyak, Rene. Jadi pas kelas 1 itu kita belajar dasar. Kelas 2, naik lagi tingkatannya. Sekarang juga gitu," jelas Seulgi menarik tangan Irene pelan. "Ayo woy semangat dong!"
"Ya elah materi kelas 1 aja gue gak bisa. Kelas 2 juga gak bisa sekarang gue harus belajar tingkatan selanjutnya? What the-"
"Heh!" Tegur Seulgi terkekeh menyikut lengan kiri Irene dengan lengan kanannya.
"Seul, ajarin ya. Please. Gue gak mau kalau Pak Choi yang ajarin kita sumpah dia tuh bawel, Seul."
"Iya, asal lo niat aja." Seulgi lagi-lagi menarik tangan Irene yang mulai menjauh dari sisinya, berjalan. "Ayo dong, Rene."
Benar kan, dugaan Irene. Kini hanya tersisa dia dan dua orang lainnya setelah pelajaran yang diberikan oleh Gurunya itu berakhir. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Irene lagi, yang payah dalam pelajaran yang diajarkannya.
"Irene, kali ini saya serahkan kamu ke temenmu. Udah hampir 3 tahun tapi kamu tidak ada perkembangan. Setidaknya kuasai sedikit saja basket, karena akan saya pakai ketika nanti ujian praktik. Kamu gak mau kan, hanya karena nilai olahragamu kecil mempengaruhi raport-mu turun?"
Dari kejauhan, Taehyung menatap Irene yang hanya bisa menunduk lesu dengan tatapan kasihan.
"Iya, Pak."
"Biar saya yang latih Irene, Pak." Seulgi mengangkat tangan kanannya dengan tangan kiri yang merangkul pundak sahabatnya memberi semangat.
"Terima kasih atas inisiatifnya. Saya harap kamu bisa bantu Irene. Kamu mantan ketua tim basket, kan? Kalau tidak ada kemajuan, nilaimu jadi taruhannya ya," ancam Pak Choi sedikit bergurau sebelum akhirnya mereka bubar menyisakan Irene, Seulgi. Dan Jimin serta Taehyung yang tidak beranjak dari sana.
"Seulgi, maaf ya."
"Hm?" Seulgi berhenti men-dribble si bulat berkulit oranye itu mendengar permintaan maaf yang keluar dari mulut Irene, tidak mengerti.
"Kalau gue gak bisa, nilai lo-"
"Astaga, Rene. Hei dia cuma becanda." Dasar, Irene menganggapnya serius ternyata sehingga dia merasa bersalah. "Dah sekarang, coba lo sebutin satu keluhan yang bikin lo gak bisa main basket."
Ternyata, Irene takut bolanya. Sehingga setiap Seulgi mencoba melempar ke arahnya, bukannya berusaha menangkap Irene malah menghindar dan berusaha melindungi kepalanya padahal jarak bolanya benar-benar jauh.
"Rene, perhatiin arah bolanya. Gak ada sejarahnya lo bisa main basket tapi bolanya aja gak tau ada di mana."
"Gue takut! Nanti kena kepala gue!"
"Justru karena lo gak perhatiin bolanya, itu beresiko kena ke lo. Kalo lo tau bolanya deket banget ya lo mundur lah-" kemudian dia mulai memberi petuah dan omelan-omelannya untuk sahabatnya itu.
"SEMANGAT PENDEK!" Teriakan Jimin tiba-tiba membuyarkan konsentrasinya. Irene menoleh sinis, menjulurkan lidahnya kepada Jimin yang sedang bersama Taehyung di pinggir lapangan. Jimin tertawa puas melihat ekspresi gadis itu.
Satu hal yang harus diketahui, setiap Jimin mengejek Irene pasti Taehyung hanya tertawa kecil. Entah, dia tidak bisa memilih mungkin antara Irene atau Jimin.
"Makanya adek, dari kecil minum susu," ujar Jimin menepuk-nepuk telapak tangannya, belum puas juga meledek Irene.
"Heh lo juga pendek ya, diem deh sesama pendek," balas Irene sebelum meneguk air mineral karena dia benar-benar tidak minum selama latihan.
"Tapi gue gak lemah olahraga."
Memang Irene itu, dari kecilpun dia tidak bisa melakukan aktivitas yang berat. Jadi yang dia bisa hanya olahraga ringan. Dia tidak pernah mengambil ekstrakulikuler di sekolah karena dia akan mudah kelelahan. Makanya dia mencoba menyempurnakan nilai yang lain, tapi sayang tetap saja 1 mata pelajaran yang buruk mempengaruhi nilainya.
"Jim, nilai biologi gue kan lebih besar nih dari otak lo, mau gue kasih tau sesuatu?" Sedangkan Seulgi dan Taehyung hanya diam melihat keduanya berceloteh dan menggeleng-gelengkan kepala.
"Katanya ya Jim, fisik anak itu 90% nurun dari Ayahnya. Seulgi kan tinggi nih, tapi kalo nikah sama elo, anak-anak kalian jadi pendek. Kalo gue nih, gak masalah karena Taehyung tinggi."
Jimin sampai memuncratkan air minumnya mendengar ocehan Irene yang dengan sangat bodohnya dia percaya sedangkan Taehyung mendelik tak berniat protes meskipun dia tau itu ngaco.
"Gak usah nikah sama Jimin ya, Seul." Irene memprovokasi.
"Ew siapa juga yang mau nikah sama si bantet!" Menimbulkan tawa keras dari Irene.
"I watch you, sayang." Si Jimin berkata sok tenang.
🍀
"Gila ya, sebenernya lo jago kalo lo mau, Rene. Buktinya lo cepet bisa. Coba dari awal gue tau lo cuma takut bolanya."
Irene tersenyum masam, justru dia malas melakukannya ini saja terpaksa. "Makasih ya, Seul. Makasih banyak."
Ternyata Seulgi juga menceritakannya pada Taehyung, tentang perkembangan basketnya sampai di jalan pulangpun dia membahasnya hingga saat mereka duduk di balkon sekarang.
"Kata Seulgi, kamu udah lumayan bisa ya?"
"Iya, pinter ya aku, Tae. Nanti kalau latihan sama Seulgi udah selesai, ayo kita one by one."
Tersenyum kecil melihat keantusiasan Irene dia menjawab. "Oke, siap-siap kalah ya."
"Taehyung, boleh aku tanya sesuatu?" Biasanya, ketika seseorang meminta izin untuk bertanya sesuatu, itu berarti dia menanyakan hal serius dan penting. Membuat Taehyung lumayan was-was meskipun ia pandai mengendalikan ekspresinya dengan tenang.
"Kenapa?"
"Aku liat, kamu sering dipanggil sama kepala sekolah akhir-akhir ini ke ruangannya. Kenapa emangnya?" Sebelum menunggu Irene dan Seulgi berlatih, Taehyung memang selalu datang ke ruang kepala sekolah. Dan Irene tidak sempat menanyakan alasannya. Makanya ia bertanya sekarang selagi ingat. Sebenarnya ia tidak khawatir Taehyung bermasalah, mana mungkin.
"Gak ada apa-apa." Irene berhenti membaca bukunya sejenak, melihat ke arah Taehyung yang tampak ragu saat menjawabnya. Bahkan dia tidak menatap wajah Irene dan berusaha keras memfokuskan diri pada gitar yang ada di pangkuannya.
Sepandai apapun Taehyung menyembunyikan gelagatnya, Irene sudah hafal karena dia telah terbiasa bersama Taehyung. Hanya saja, kadang Irene memilih pura-pura tidak tau untuk menghargai cowok itu.
"Bener?"
"Iya, gak terlalu penting."
"Kalo gak terlalu penting gak mungkin sampe dipanggil berkali-kali, sama kepala sekolah lagi," ucap Irene menghembuskan napasnya kesal. Taehyung diam. Seketika suasana terasa canggung hingga Irene menyentuh lengannya pelan.
"Hehe, gak papa kalo kamu gak mau ngasih tau. Tapi kalo itu masalah berat, jangan disimpan sendirian ya. Ceritain sama Kak Seokjin, atau sama Mama." Ah gadis ini, Taehyung jadi merasa bersalah mendengarnya.
Dia menyerah, dia tidak bisa menyembunyikannya dari Irene. "Aku cuma ditawarin beasiswa, ke luar. Itu aja. Bukan masalah berat."
Irene tersentak menatap Taehyung, butuh beberapa saat mencerna perkataan yang diucapkan secara enteng oleh Taehyung. Sedangkan yang ditatap merasa was-was akan reaksi gadis itu.
"Tae, kamu serius?!"
"Iya. Biasa aja."
"Tae itu gak biasa aja!" Pekik Irene antusias. Memang seperti dugaan Taehyung, Irene pasti memberikan reaksi suportif buatnya.
"Terus gimana? Kamu ambil?" Kira-kira, Irene berharap jawaban apa? Taehyung bingung.
"Oh iya, kamu ditawarin ke mana aja emang? Enak deh jadi Taehyung, aku bangga sama kamu." Kilat bahagia dan perasaan bangga yang tulus ada di binar kedua iris berwarna hitam jernih gadis itu.
"Rene, ini belum pasti. Aku gak tau juga mau ke mana. Lagian belum tentu kuambil."
"LHO?! KOK GITU SIH?!"
"Heh suaramu. Udah malem."
"Taehyung kamu kok santai banget sih, ini kan untuk masa depan kamu. Kamu udah cerita sama Papa Mama, atau Kakak?"
"Belum,"
"Astaga," Irene menggelengkan kepalanya tidak percaya. "Kamu harus diskusiin sama mereka! Mereka pasti bangga deh sama kamu."
"Nanti aja, aku gak terlalu tertarik," kata Taehyung bohong. Dan tidak ada reaksi dari Irene membuatnya gugup setengah mati menoleh ke arah Irene yang menatapnya kosong.
"Kamu bohong, Taehyung." Irene tersenyum kecil seraya berucap pelan
"Gak kok,"
"Kenapa harus bohong? Aku tau di planning board kamu, kamu pengen banget kuliah di Paris. Itu cita-cita kamu dari dulu. Kamu inget waktu pelajaran Bahasa Prancis dan kita disuruh bikin piramida harapan? Kamu juga tulis kamu pengen kuliah di Paris."
Kenapa Irene mengingatnya?
"Itu, aku udah mulai berubah pikiran. Aku gak masalah kuliah di sini."
Irene malah tertawa mendengarnya. Bukan, bukan tertawa karena itu adalah hal yang lucu. Melainkan karena ia tau, Taehyung berbohong lagi. "Aku juga tau kamu suka browsing tentang kehidupan di Paris. Kamu baca buku tentang Paris. Taehyung, kenapa kamu bohong? Kamh anggap aku gak tau apa-apa ya?"
"Rene, bukan gitu maksudku."
"Gak, aku minta maaf ya, Taehyung kalau aku sering keliatan gak peduli jadi kamu kira aku gak tau apa-apa. Tapi sebenernya aku tau kok. Aku seneng dengernya, kamu hebat banget!"
Sebelum sempat Taehyung berbicara apa-apa, Irene membereskan bukunya dan membawanya ke dalam pelukan. "Udah malem, nanti kasih tau aku lagi ya selanjutnya. Selamat tidur, Taehyung."
"Rene,"
"Aku cuma mau bilang, hidup kamu gak berotasi pada seseorang. Jadi, kalau memutuskan sesuatu, kamu harus pikirin dirimu sendiri dulu ya sebelum orang lain. Aku sayang Taehyung!"
🍀
Hei
Udah tidur?
Pesan masuk yang membuat ponselnya berdering menghentikan Irene dari lamunannya tentang Taehyung. Kalau kalian pikir Irene marah, sebenarnya dia tidak marah. Sama sekali.
Sebentar lagi
Kamu kok belum tidur
Aku lupa
*send a picture*
Aku gk sengaja nemu komik yg kamu cari waktu ke toko buku sama Jimin
AAAAAA TAEHYUNG ITU KAN KOMIKNYA SUSAH DICARI KOK BISA GAK SENGAJA NEMU😱😭❤❤❤❤❤
Kebetulan.
Kamu harus minta maaf sama aku, Taehyung:(
Knp?
Karena aku jd semakin mencintaimu, gantengku
HAHAHAHA😭😭😭
Ohh
Cepet minta maaf!
Yaudah
Maaf ya
HIHI
LUCU BANGET SIH
NURUT😚
Tidur sana
Okay, dah Tae!😚🖐
Irene mematikan ponselnya, tersenyum sendu sambil menghapus air matanya yang berjatuhan di layar ponselnya. Pada faktanya, Irene lebih pandai menyembunyikan perasaannya. Irene juga lebih pandai berpura-pura. Dan Irene adalah pribadi yang lebih suka ditinggalkan daripada meninggalkan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro