Part 3 : Bertemu Lagi
Kenalan sama Najmi dulu yuk,
Berikutnya Adriano,
Susah nyari cast yang sesuai apalagi ini ceritanya tahun 1527, kira-kira begitulah. Hehehe ...
Tantangan nulis hisfic adalah menyelipkan cerita fiksi diantara fakta sejarah.
***
Najmi dikurung di rumah. Abah melarangnya untuk keluar semenjak pertemuannya dengan Adriano.
"Bosen ..." keluh Najmi sambil memukul biji melinjo yang telah direbus untuk dijadikan emping.
"Kenapa, Neng?" Bi Mirah menghentikan kegiatannya sejenak untuk menanggapi anak semata wayang sang majikan.
"Kagak boleh keluar sama Abah, ke kebon aja kagak boleh." Najmi menatap ke luar pagar tembok yang mengelilingi rumahnya. Rumah Kebaya begitulah orang-orang menyebut jenis rumah yang ditinggali para pribumi di wilayah Sunda Kelapa. Bentuk atap rumah memang menyerupai lipatan kebaya hingga mendapat sebutan Rumah Kebaya.
"Abah begitu untuk kebaikan Neng Najmi." ucap Bi Mirah sambil mengangkat tampah berisi melinjo yang telah dipipihkan untuk dijemur.
Pekarangan rumah Najmi sangat luas. Di sisi kanan berjejer bambu yang disusun sedemikian rupa untuk menjemur. Sementara sisi kiri digunakan untuk parkir delman.
Najmi memanyunkan bibirnya. Ia adalah gadis yang periang dan suka sekali bereksplorasi. Dikurung di rumah menjadi siksaan baginya. Semenjak ibunya wafat keluar rumah menjadi hiburan tersendiri baginya.
Gadis-gadis seusianya di zaman itu biasanya sudah menikah dan memiliki anak tetapi tidak dengan Najmi. Ia belum mau menikah hingga beberapa pria yang mendekatinya mengalami penolakan.
Suara delman terdengar jelas, Mang Sobri mengendarai delman memasuki pelataran rumah. Setelah berhenti ia menurunkan wadah-wadah berisi lada yang diambil dari kebun.
Lada atau merica adalah sejenis pepohonan yang bijinya merupakan salah satu rempah-rempah yang berharga di masa itu. Harganya sangat mahal. Bangsa Portugis pun rela melakukan apapun demi mendapatkannya.
Melihat aktivitas Mang Sobri, Najmi mendapat sebuah ide yang menurutnya cemerlang. Segera ia mendekati Mang Sobri yang merupakan suami dari bi Mirah.
"Mang, kebon lagi panen ya?" tanya Najmi sambil memainkan lada yang ada dalam wadah yang terbuat dari anyaman bambu.
"Iya, Neng. Nih Mamang dari kebon."
"Abah ada di sana?"
"Kagak ade, Neng. Juragan lagi di pelabuhan."
"Mau ke sana lagi, Mang?"
"Iya ini, masih banyak yang mesti diangkut." Mang Sobri merapikan wadah-wadah itu di pojok latar rumah.
"Saya ikut, Mang."
"Jangan, Neng. Ntar Mamang dimarahin lagi sama juragan, kagak lagi-lagi dah."
Tanpa menghiraukan omongan Mang Sobri, Najmi mengangkat sedikit kainnya lalu naik ke atas delman.
"Neng, mending Eneng turun dah daripada ntar Juragan marah." bujuk Bi Mirah.
"Neng, bener kata Bi Mirah."
Najmi hanya diam, duduk di atas delman tak bereaksi apa pun atas ucapan pasangan suami istri yang telah bekerja di rumahnya selama puluhan tahun. Ia justeru merapikan kerudungnya dan menatap ke depan. Bi Mirah dan Mang Sobri sudah hafal tabiat anak majikannya. Sejak kecil Najmi memang keras kepala jika menginginkan sesuatu.
Mang Sobri mendesah pasrah sambil berdoa semoga sang Juragan tidak memarahinya lagi. Ia kemudian menaiki delman dan duduk di bagian kusir.
Laju delman membelah jalanan Sunda Kelapa menuju perkebunan lada milik Abah. Wajah Najmi terlihat sumringah karena berhasil keluar dari rumah.
Begitu sampai di kebun, Najmi turun lalu mendekati sebuah pohon lada yang berbuah lebat. Kebun lada adalah tempat favoritnya. Dulu saat almarhumah ibunya masih hidup tiap panen lada ia akan datang bersama sang ibu. Bermain sambil menunggu ibunya memanen lada dan setelah itu makan bersama. Ia sangat merindukan masa-masa itu.
Najmi asik memetik lada yang telah masak saat sebuah suara bariton mengusiknya.
"Pimenta."
Najmi menoleh ke arah asal suara, pria berbadan tegap yang lebih tinggi 20 cm darinya tepat berada di belakangnya.
"Pimenta, lada dalam bahasa kami." jelas Adriano seraya tersenyum.
"Untuk apa Tuan ke sini?"
"Bonita, panggil saya Adriano bukan Tuan."
"Saya Najmi bukan Bonita." ketus Najmi.
"Bonita artinya cantik. Seperti kamu."
"Tuan belum jawab pertanyaan saya!"
"Adriano bukan Tuan, Meu Querido." kata Adriano dengan lembut.
Meu querido apa itu? batin Najmi bertanya.
"Sayangku, kalau kamu mau tau artinya meu querido." ucap Adriano seakan tahu isi hati Najmi.
"Jadi Tuan, eh Adriano untuk apa ke sini?"
"Saya diberi tugas untuk memeriksa panen lada oleh Jenderal Fransisco de Sa. Raja Pajajaran-Surawisesa, menjanjikan seribu karung lada pada kami sebagai hadiah pembuatan benteng di Sunda Kelapa."
Najmi mengernyitkan dahinya, ia tidak tahu sama sekali tentang hal ini. Abah tidak pernah menceritakan hal tersebut.
"Sudah, tidak perlu memikirkan tentang hal itu, bonita."
"Tuan eh Adriano sebaiknya kamu segera pergi, Abah melarang saya bertemu dengan kamu."
"Abah Nona tidak ada di sini."
"Kebun ini milik Abah,"
"Tapi secara tidak langsung saya utusan Raja Pajajaran."
"Dengar, Abah tidak menyukai orang Portugis. Jadi pergilah!"
"Tapi saya menyukai kamu, meu querido."
Najmi terkejut mendengar pengakuan Adriano. Ia tidak menyangka pria Portugis yang usianya 10 tahun lebih tua darinya itu menyukai dirinya.
"Najmi Fathimah!" Suara tegas menggelegar di telinga Najmi.
"Abah?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro