Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Kerja Bakti

-

"Halo, Ka." Sambil mengendarai mobilnya, Ninna menelepon Kais dengan handsfree. "Aku udah masuk ke gerbang apartemen kamu, nih. Kamu udah balik, kan?"

"Kamu ke apartemen?"

Alis Ninna menyatu ketika pertanyaan Kais meluncur begitu saja dari loudspeaker ponsel. "Jangan bilang kamu lupa."

Ninna mendengkus ketika tidak ada respons berarti dari balik telepon. "Ka, kita kan udah sepakat kalau aku bakal mulai pindahan hari Selasa after office. Kamu sendiri kan yang bantuin aku packing di kosan hari Sabtu? Masa kamu lupa."

"Sorry."

Ninna mendesis sebal. "Kamu beneran lupa?!"

"Aku kira sekarang Senin, Na."

Segera, Ninna memarkirkan mobilnya di salah satu tempat parkir yang kosong. "Ka, please. Lagian apa bedanya sih aku pindah Senin atau Selasa? Emang kamu enggak risi ditanyain Bunda kenapa udah dua minggu nikah tapi kita belum tinggal serumah?"

"Iya, tapi, kan, Na."

"Ka."

"Oke, aku turun. Tunggu di bawah. Aku bantu kamu bawa barang-barang."

"Ya udah. Aku sekarang parkir di samping tower kamu. Enggak pakai lama ya," kata Ninna kemudian keluar dari mobil dan menutup panggilannya dengan Kais.

Pandangan Ninna berputar mengamati area apartemen Kais. Apartemen yang terdiri dari tiga buah tower itu terlihat tenang dan tidak begitu ramai. Sebuah playground yang bersebelahan dengan kolam renang terlihat di tengah-tengah tower, sementara minimarket dan kafe-kafe kecil berjejer di lantai bawah apartemen. Sepertinya Ninna akan betah di sini.

"Sorry lama."

Ninna memasang wajah sebal ketika Kais muncul di depannya. Napasnya yang ngos-ngosan, menandakan bila lelaki ini mungkin berlari untuk sampai ke sini.

"Barang-barang kamu masih di bagasi?" tanya Kais dibarengi anggukan Ninna. Dia kemudian meminta Ninna membukakan bagasi mobil.

Tidak perlu waktu lama, Kais pun menggotong kardus milik Ninna, sementara perempuan itu menggeret kopernya di belakang. Kais membawanya ke salah satu lift di lobi tower krisan. Mereka lalu keluar dari lift ketika benda besi itu membawa keduanya hingga ke lantai 20.

Langkah Kais berhenti di depan sebuah unit apartemen, sementara matanya menatap Ninna dengan serius. "Na, tapi begitu masuk jangan kaget, oke."

"Emang ada apa?" tanya Ninna langsung berpikiran negatif.

Kais menggaruk tengkuknya lalu membuka kunci pintu apartemen. Begitu pintu apartemen terbuka, Ninna baru paham maksud Kais tadi. Namun, bukan hanya kaget, kedua bola mata Ninna seperti ingin mencuat keluar saat menemukan kondisi apartemen Kais.

"Kamu ngajak aku tinggal di sini dengan kondisi apartemen kamu kayak gini?" seru Ninna spontan. Kepalanya mulai berdenyut, apalagi seharian ini Ninna sudah menghabiskan stok sabarnya untuk menghadapi protes klien soal campaign digital yang dibuat oleh tim. "Kamu nyuruh aku tidur bareng lukisan?"

"Kan aku kira kamu datang besok. Lagian rencananya juga aku mau jemput kamu, kan? Eh, kamu udah keburu datang," cerita Kais menutup pintu di belakang mereka.

Ninna memijat pelipisnya pelan. Sebenarnya dia paham betul, tempat tinggal seorang lelaki bujang pasti hanya sedikit yang memiliki kerapihan di atas standar, apalagi Kais tidak memiliki asisten rumah tangga. Namun, melihat banyaknya barang-barang aneh bertebaran di sepanjang ruang tengah hingga dapur, tetap saja membuat tensi darahnya naik tinggi.

"Oke. Daripada kamu ngeles, mending sekarang kamu bantu aku beres-beres," cetus Ninna menahan emosi sambil menyingsingkan lengan kemejanya.

"Sekarang, Na?"

Ninna mendelik tajam kepada Kais. "Menurut kamu? Aku udah seharian ini capek loh di kantor, dan harus tidur dalam keadaan kayak gini?"

"Tapi Na, kamu kan enggak mungkin tidur di ruang tengah."

"Ka," potong Ninna menarik lengan Kais. "Ayo!"

Akhirnya, Kais pun menurut lalu bahu-membahu membenahi pekerjaannya yang bergeletakan di seantero ruang tengah dengan Ninna.

Sepanjang acara kerja bakti dadakan itu, Ninna mendesis geli tidak habis-habis. Apalagi saat menemukan setumpuk sketsa teronggok di atas meja. Potongan kulit kerbau bahan baku dari wayang kulit pun berceceran di sudut apartemen yang entah sudah berapa abad tidak disentuh. Belum lagi, segepok tanah liat yang sudah mengering mirip kerikil menumpuk di bawah meja.

Akan tetapi, ada yang lebih membuat Ninna kesal. Tidak hanya sekali dia harus berdebat dengan Kais saat akan menumpuk benda-benda itu ke dalam plastik sampah. Sebab menurut Ninna barang-barang itu lebih mirip sampah dan harus dibuang, sementara Kais bersikeras bila itu karya seni dan suatu saat mungkin terpakai untuk alat peraga di kampusnya. Sehingga pada akhirnya, tumpukan barang setinggi hampir satu meter teronggok secara mengenaskan di pojokan dapur dengan nasib masih tidak jelas.

Ninna sebenarnya paham, bahkan Kais pun pernah bilang bahwa apartemen ini lebih sering difungsikan sebagai studio ketimbang tempat tinggal. Namun, Ninna bukan barang kerajinan kriya yang juga harus tinggal dengan benda-benda aneh tadi.

"Gila ya," gerutu Ninna menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa dengan napas terputus-putus. Sementara hari baru sudah menjelang sejak dua jam yang lalu. "Cuma kamu yang buat aku beres-beres rumah dengan baju kerja lengkap kayak gini. Bahkan make up aku aja udah lepek karena keringat."

Kais yang juga tidak kalah terengah-engah di sebelah Ninna tergelak. Kemudian mengusap keringat di keningnya menggunakan lengan baju.

"Awas aja. Kalau sampai besok aku lihat sampah itu enggak dirapihin aku minta petugas apartemen buat buang," ancam Ninna dengan bibir mengerucut ke arah Kais.

"Koreksi. Itu bukan sampah ya, Na," kata Kais balik menatap Ninna.

"Ka," kata Ninna menyipitkan matanya.

Kais tersenyum kecut sambil menggaruk rambutnya yang tak gatal. "Siap, Na."

"Makanya kalau enggak mau disebut sampah, rapihin dong," gerutu Ninna ikut bangkit lalu menjemput kopernya yang masih berdiri di pintu masuk. "Terus kamar aku yang mana?"

Kais berjalan menuju salah satu kamar di samping dapur. "Ini kamar kamu. Enggak lebih gede dari kamar aku, tapi kalau kamu mau tidur di kamar aku juga enggak apa-apa."

Ninna melirik Kais tanpa kata, spontan memunculkan tawa di bibir Kais.

"Bercanda, Na," kata Kais menyalakan lampu di kamar itu. "Untuk kamar mandi cuma satu dan ada di sebelah kamar aku. Kalau kamu lapar di situ ada dapur, cuma aku lupa masih ada persediaan makanan atau enggak."

"Oke, thanks infonya," ucap Ninna menggeret kopernya dan masuk ke dalam kamar.

Kondisi di dalam kamar ternyata berbeda jauh dengan ruang tengah dan dapur. Sebuah kasur single, meja rias, pendingin ruangan yang menempel di salah satu sisi dinding, dan lemari pakaian sudah tertata apik. Kais mungkin sudah menyiapkan kamar ini lebih dulu. Sebab selain rapi, harum lavender dan warna biru muda juga mendominasi ruangan itu.

"Gimana? Keren, kan?" tanya Kais di sebelah Ninna.

Ninna mengangguk. "Tahu dari mana aku suka warna biru?" tanya Ninna meletakkan kopernya ke sebelah lemari pakaian.

"Feeling," jawab Kais cepat.

Ninna mencibir. "Pasti Bunda yang bilang ke kamu."

Bahu Kais terangkat dengan mimik iseng terpasang di wajahnya. "Kalau gitu aku tinggal ya, aku masih ada kerjaan. Ketuk kamar aku aja kalau kamu kangen aku."

Ninna meringis geli. "Apaan sih, Ka. Udah sana ah, aku mau ganti baju," gerutu Ninna mendorong tubuh Kais untuk keluar dari kamar, sementara Kais hanya terkekeh merespons ucapannya.

"Ka, thanks ya," kata Ninna sebelum menutup pintu kamar

Di luar, Kais mengulas senyum dan mengangguk. "Malam, Na."

Sinar matahari mengintip dari jendela di samping kasur sebuah kamar. Sementara suara alarm dari kamar sebelah terdengar nyaring sejak satu jam yang lalu, tetapi tidak sedikitpun mengusik tidur lelaki itu. Tidur damainya baru terganggu saat teriakan seorang perempuan menciptakan gempa lokal di dalam apartemen.

Kedua bola mata Kais terbuka lebar ketika suara pintu dibuka kasar terdengar, berlanjut dengan suara gerutuan tidak jelas dari luar kamar. Sambil menguap lebar, Kais menyeret langkahnya keluar.

Sudut-sudut bibir Kais terangkat tinggi, melihat pintu kamar Ninna terbuka lebar dan mendengar suara shower dari dalam kamar mandi. Sepertinya Kais sempat lupa bila apartemen ini tidak lagi dia tinggali seorang diri. Kais lalu duduk di atas sofa seraya menyalakan televisi di depannya.

Pintu kamar mandi terbuka tiba-tiba. Ninna keluar dari sana dengan tubuh hanya berbalut handuk, sementara kakinya bergerak lincah ke arah kamar. Kais tertegun, sejenak melupakan acara berita di televisi.

"Kalau enggak gara-gara kamu, Ka. Aku pasti enggak akan telat bangun," gerutu Ninna dari dalam kamar. "Kamu tahu, jam sembilan aku seharusnya udah sampai di kantor klien. Tapi sekarang udah jam delapan lebih dan aku belum siap-siap. Perfect!"

Suara langkah Ninna kembali terdengar mendekat. Masih mengenakan handuk, Ninna berjalan menuju kardus miliknya di dekat televisi kemudian membuka paksa kardus itu dengan mulut terus menggerutu. Dengan bar-bar, Ninna bahkan mengaduk-aduk kardus itu mencari sesuatu.

Bra. Kais melirik Ninna dan benda itu bergantian, masih tanpa kata.

"Mata!" semprot Ninna melemparkan handuk yang meliliti rambutnya ke arah Kais. Lelaki itu tertawa sambil menarik handuk basah itu dari kepalanya.

"Ya udahlah, Na. Masih pagi enggak baik loh ngomel-ngomel," gumam Kais melirik kamar Ninna yang terbuka setengah.

"Pagi-pagi udah ngomel kata kamu," seru Ninna dengan kepala muncul dari balik kamar. "Aku udah hampir tiga bulan deketin klien ini, dan hari ini aku punya kesempatan untuk bisa ketemu dia di kantornya.Tapi apa? Sekarang aku malah telat bangun," lanjut Ninna kembali masuk ke dalam kamar.

"Emang kantornya di mana? Telat dikit enggak apa-apa kali, Na," komentar Kais bermaksud memberikan energi positif.

"Kantornya di Thamrin, Kais. Menurut kamu jarak dari sini ke sana tinggal ngesot?!" Suara cempreng Ninna kembali terdengar dari dalam kamar.

"Ya udah, aku anterin," kata Kais menawarkan diri.

Lima belas menit kemudian, pintu kamar Ninna kembali terbuka. Kali ini perempuan itu sudah berpakaian rapi dengan dandanan lengkap. Kais diam-diam kagum dengan kecepatan Ninna merias diri.

"Itu kan daerah macet, Ka. Kalau naik mobil pasti sampai sana jam sebelas," jawab Ninna mengenakan stocking dengan tas sudah tersampir di bahunya.

"Aku ada motor di bawah. Naik motor pasti lebih cepat," kata Kais menatap Ninna. "Gimana?"

Kepala Ninna mendongak. Bibir yang sedari pagi menggerutu itu pelan-pelan tersenyum. "Oke. Terus kamu ngapain masih duduk di situ? Enggak siap-siap?"

"Cuma nganterin doang. Kalau mandi dulu entar kamu makin telat lagi," kata Kais mengambil kunci motor di dalam kamar.

"Tapi enggak cuma pakai kolor juga dong, Kais," kata Ninna gregetan. "Dan cuci muka dulu kenapa sih. Emang kamu enggak malu?"

Kais mengembuskan napas berat dari dalam kamar. Kemudian mengenakan celana training panjang dari lemari.

"Jangan lama-lama," kata Ninna begitu Kais sudah keluar dari dalam kamar.

"Siap, Na," sahut Kais yang baru akan masuk ke dalam kamar mandi.

Jalanan menuju kantor klien lebih mirip kawah candradimuka ketimbang Jakarta pagi ini. Macet dan panas tidak tanggung-tanggung melucuti semangat Ninna. Beruntung, Kais dapat membawa motor matic nya dengan lincah sehingga hanya butuh waktu kurang dari satu jam, Ninna sudah tiba di depan gedung, walaupun tetap telat setengah jam. Segera, Ninna turun dari motor Kais. Sambil mengembuskan napasnya beberapa kali, Ninna berjalan memasuki gerbang.

"Na!"

Langkah Ninna berhenti, ketika Kais berlari ke arahnya. Perempuan itu tersentak. Saking paniknya, dia melupakan helm yang masih tersangkut di kepala.

"Sorry-sorry. Aku lupa," kata Ninna coba melepaskan pengait helm di dagunya.

"Sini aku buka," kata Kais menemukan Ninna kesulitan membuka pengait helm.

Ninna menurut. Namun, alih-alih membuka pengait, Kais malah meletakan kedua tangannya di kanan dan kiri helm, kemudian mendekatkan wajahnya ke arah Ninna. Spontan, Ninna bereaksi dengan memundurkan tubuhnya.

Kais tersenyum kecil. "Geer banget sih. Aku cuma mau bilang, tarik napas dulu, dan enggak usah tegang. Kamu kan udah berpengalaman nanganin klien, masa ngadepin satu aja enggak bisa? Rileks. Soalnya muka kamu jelek banget kalau lagi panik."

Ninna tertegun. Dia merasa panasnya Jakarta dan hilir mudik karyawan di sekitar mereka menjadi bias. Hanya senyum di bibir Kais yang membuat tatapannya terpaku. Bibir yang menurut Mutia seksi.

"Dan, jangan kebanyakan overthinking," lanjut Kais mengecup kening Ninna gemas.

Momen yang terjadi selama beberapa detik itu, membuat Ninna terkejut. Dia bahkan hanya dapat membeku ketika Kais melepaskan helm di kepalanya. Sampai suara tawa Kais membawa Ninna kembali sadar.

"Jangan cari kesempatan, ya," ancam Ninna menarik hidung Kais. "Sana gih balik. Kamu emang enggak ngajar hari ini?"

"Sakit, Na," gerutu Kais mengusap hidungnya. "Iya ini juga mau balik."

Ninna terkekeh melihat wajah Kais yang terus ditekuk sebal saat kembali ke motornya.

"Ka!" panggil Ninna membuat Kais kembali menoleh. "Hati-hati."

Kais mengacungkan jempolnya. "Good luck."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro