Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. Si Bibir-seksi-sayang-kalau-dianggurin

-

"Lo dijodohin?!" seru Mutia spontan saat dia dan Ninna tengah makan malam di salah satu restoran dalam Mall Grand Indonesia, usai bertemu klien setengah jam yang lalu.

Felix, satu-satunya lelaki di meja, yang baru saja bergabung setelah berolahraga dalam gym di mall itu mengamati Ninna tanpa berkedip. Sampai-sampai lemon tea di depannya dia abaikan.

Ninna mengedik sambil menyantap spageti di piringnya. Sementara beberapa pasang mata di restoran bergaya Italia itu memandangi meja mereka kurang nyaman akibat teriakan Mutia.

"Serius lo dijodohin?" tanya Mutia lagi, kali ini sedikit berbisik. "Masih zaman?" Perempuan bertubuh sintal dengan wajah kebule-bulean itu terlihat sangat penasaran.

"Nyokap gue bilang cuma dikenalin. Tapi enggak mungkin cuma dikenalin doang, kan?" jawab Ninna menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Sementara rambut lurusnya yang sepanjang bahu dia biarkan tergerai.

"Terus lo mau?" tanya Felix membuka suara.

"Menurut lo?!" semprot Ninna dengan bibir merahnya merutuk sebal.

"Cowoknya kayak gimana? Lo udah pernah ketemu? Umur berapa? Kerja di mana?" tanya Mutia, pipinya yang tembam sampai bergetar saking penasarannya. "Cakep enggak?"

"Kenapa jadi lo yang kepo?" gerutu Ninna menyudahi makan malam dan menyedot habis lychee tea-nya.

"Kalau gue jadi lo sih, kenapa enggak kalau emang cowoknya punya kualitas," gumam Mutia bertopang dagu. "Susah, loh, sekarang cari cowok berkualitas tanpa buang modal."

"Namanya enggak mau, mau kualitasnya sekelas Bakri juga enggak bakal sreg kali, Mut," sahut Felix sambil melepaskan jaket gym nya dan menyisakan kaus polos fit body yang masih basah karena keringat.

"Lo ada fotonya?" tanya Mutia lagi mengabaikan ucapan Felix dengan mulut penuh salmon.

Ninna menggeleng. "Tapi yang gue inget dia lebih tua empat tahun dari gue, lulusan Phd dari Inggris, dan sekarang dosen di USN. Buat tampangnya sih lumayan, tingginya juga di atas rata-rata. Cuma—enggak deh kayaknya."

"Enggaknya dalam hal apa? Penampilan?" sahut Mutia lagi. "Ngomong-ngomong, Nin. Kalau dia dosen, umur 33 tahun, dan belum juga nikah, kemungkinan besar dia kayaknya cowok ambisius yang hobinya cuma belajar terus bikin jurnal penelitian gitu enggak sih? Style-nya kayak gimana? Resmi dan kaku gitu enggak?"

Felix mengamati Ninna dengan lekat ketika perempuan berwajah mungil itu merenung kemudian menggigiti bibir bawahnya, tanda bila dia tengah gelisah.

"Terakhir ketemu di rumah kakak gue sih dia emang rapi banget. Inget Pak Rendy klien kita dari Kementerian? Gayanya setipe lah sama dia," cerita Ninna merapikan hasil meeting di atas meja mereka dan melesakkannya ke dalam tas. "Jujur bukan karena penampilan dia sih, Mut, yang bikin gue males. Tapi tingkahnya."

Mutia mencebik. "Jangan bilang kelakuannya kaku banget, bahasanya tingkat tinggi, atau datar macam kanebo kering. Tipe-tipe dosen kayak dia kan, gitu. Bisa-bisa tiap ngobrol bahasan lo teori melulu."

"Gue enggak tahu, karena gue enggak pernah ngobrol lama sama dia. Tapi yang pasti kelakuannya justru kebalikan dari yang lo omongin tadi," kata Ninna terkenang kejadian di Museum Nasional tempo hari. "Lo masih ingat kan cowok aneh yang gue temuin tiduran di Museum gajah selesai meeting dua minggu lalu? Itu dia."

"Serius? Jangan-jangan dia beneran jodoh lo lagi?!" seru Mutia semringah. "Lo masih inget kan cerita gue soal Museum itu?"

"Amit-amit deh. Jangan sampai," gerutu Ninna mengetuk meja tiga kali.

Mutia meminggirkan piringnya yang sudah kosong. Perempuan yang berumur lebih muda satu tahun dari Ninna itu terlihat kerepotan membenahi lipstik di bibirnya yang hilang akibat makan tadi.

"Emang lo enggak bisa nolak atau kasih pendapat lo ini ke Tante Farah?" tanya Felix dengan tatapan masih kepada Ninna. "Maksud gue, lo kan udah dewasa. Lo punya hak buat nentuin mau lo apa."

"Masalahnya Lix baru kali ini Nyokap ketemuin orangnya langsung ke gue, maksa, bahkan sampai debat sama gue tempo hari," kenang Ninna. "Lo kan tahu gue paling enggak bisa lihat Nyokap marah ke gue."

"Lagian elo sih dikenalin sama adiknya Mbak Vera enggak mau. Padahal lumayan loh, calon diplomat," celetuk Mutia.

Ninna mengerang malas. "Bukan soal mau enggak mau, Mut. Cuma gue emang belum bisa aja buat ke arah sana."

"Belum bisa bukan berarti enggak, kan?" kata Mutia.

"Terus rencana lo gimana?" tanya Felix terkesan serius, mata gelap lelaki yang sudah menjadi sahabatnya belasan tahun itu bahkan terlihat aneh.

Ninna tercenung sambil mengamati raut wajah Felix. "Entah. Tapi yang pasti gue bakal coba nolak atau mungkin gue bakal coba bikin cowok itu yang nolak gue."

Perlahan kedua sudut bibir Felix terangkat. Lelaki itu kemudian kembali menikmati kopi di gelasnya dalam diam.

"Tapi kalian pada sadar enggak sih, pantas aja loh kalian akhirnya dijodohin," kekeh Felix mengalihkan pembicaraan. "Malam minggu kayak gini aja kalian masih sempet-sempetnya meeting sama klien. Gimana mau dapet cowok? Bersosialisasi dikit bisa kali."

"Kan ada elo. Elo cowok, kan?" kata Mutia tersenyum lebar.

"Iya sih. Tapi yang ada keseringan gue kumpul berdua sama kalian, pasaran gue makin turun tahu enggak?" gerutu Felix.

"Sok laku lo," semprot Ninna mendorong bahu Felix.

"Biar gini-gini mantan gue banyak kali di Blue Building," kata Felix dengan angkuh. "Siapa coba yang enggak kenal Felix? Ganteng, mapan, dan calon Site Manager Gapura Group."

Mutia dan Ninna meringis bersamaan. Kepercayaan diri Felix memang kadang kala melampaui batas semesta hingga membuat kepala pening.

"Percuma mantan banyak tapi bini enggak ada," cibir Mutia sambil terkekeh puas.

"Ya, gimana dong, calon bininya masih susah diajak nikah," gumam Felix tersenyum miris.

Ninna terkekeh. "Siapa? Dedek-dedek gemes anak magang lo lagi?"

"Elo," kata Felix pelan.

Sesaat, mimik Ninna berubah aneh sebelum kemudian ikut tergelak bersama Mutia. Suara tawa mereka bahkan menggema di dalam restoran. Felix merutuk keki di bangkunya.

"Lix, please," gerutu Ninna di sela-sela tawanya. "Mau elo sekaya sultan. Gue juga enggak bakal mau. Lo pikir nikah itu semacam investasi apa?"

"Terserah dah," gerutu Felix menenggak habis minumannya.

Namun, tawa lebar di bibir Ninna menghilang ketika sesosok lelaki menghalangi pandangannya. Lelaki berhidung mancung yang tengah mengobrol dengan seorang perempuan. Ninna heran, luas Jakarta itu membentang dari ujung utara hingga ke selatan, tetapi kenapa dia harus bertemu lagi dengan lelaki itu di sini.

"Kenapa, Nin?" tanya Felix mengikuti arah pandang Ninna.

"Orangnya di sini," gumam Ninna memukul bahu Mutia dan Felix, lalu meminta keduanya menengok ke samping.

"Siapa?" tanya Mutia kebingungan.

"Pak Dosen," jawab Ninna singkat.

Mulut Mutia menganga ketika lelaki berpakaian kasual cenderung asal dengan rambut ber-pomade dan tanpa kacamata, mengantarkan seorang gadis muda keluar restoran.

"Jadi itu cowoknya? Serius, Nin? Kalau modelnya kayak begitu gue juga mau," cerocos Mutia memperhatikan Kais dari jauh.

"Model kayak gitu, sih, standar kali," cibir Felix yang langsung dihadiahi tabokan kasar di bahunya oleh Mutia.

Sementara itu, Kais yang baru saja selesai berdiskusi mengenai proyek kampus dengan salah satu mahasiswinya, mengemasi laptop ke dalam tas. Namun, alisnya berkerut, ketika merasakan ada aura penasaran yang kental dari arah kanannya.

Kais menoleh ke kanan. Sontak, dia bergeming. Untuk sesaat, tatapan Kais saling beradu dengan Ninna. Lelaki itu pun tersenyum lebar lantas mendekat dengan tas ransel menyampir di bahunya.

"Nin, kalau lo enggak mau, buat gue aja. Bibir seksi kayak gitu rugi loh lo anggurin! Percaya deh sama gue," celetuk Mutia sambil membenahi rambut keritingnya ketika Kais semakin mendekat.

"Hai, kebetulan banget bisa ketemu di sini. Lagi kumpul-kumpul?" sapa Kais melirik Mutia dan Felix bergantian.

"Enggak juga. Habis meeting sama klien," jawab Ninna singkat.

"Weekend gini?"

"Emang kenapa?" kata Ninna tidak suka.

"Enggak apa-apa juga, sih," gumam Kais. "Oh iya, kenalin saya Kais, teman kecilnya Ninna," katanya lagi sambil memperkenalkan diri ketika menemukan Mutia terbengong-bengong memandangi dirinya.

"Mutia," jawab Mutia menyambut tangan Kais dengan suara yang sengaja dibuat manis, tetapi terkesan seperti cicitan tikus di telinga Ninna.

"Felix, teman dekatnya Ninna," tekan Felix menjabat tangan Kais secara formal.

"Kalau gitu saya permisi ya. See you, Nin," pamit Kais menemukan Ninna hanya menatapnya tanpa minat.

"Sebentar," kata Ninna tiba-tiba, kemudian menatap Mutia dan Felix sambil berbisik. "Kalian lanjutin makan aja berdua. Gue ada urusan sama dia."

Ninna membenahi barangnya dan berdiri di depan Kais. "Kamu udah enggak ada rencana ke mana-mana lagi kan malam ini?"

Kedua alis Kais menyatu. "Kenapa? Mau ngajak saya malam mingguan?"

Mutia menunduk, kekehan tertahan terdengar jelas lantaran wajah Ninna seketika datar mendengar jawaban Kais. Sedangkan Felix terlihat geli di tempat duduknya.

"Jangan salah paham. Saya cuma mau ngobrol sama kamu sebentar. Ayo!" ajak Ninna meletakan uang dua ratus ribu ke atas meja dan melenggang pergi keluar restoran.

"Dah, Ninna. Happy satnight!" teriak Mutia heboh.

"Kamu udah tahu kan rencana Bunda sama Mama kamu?" tanya Ninna to the point sambil menanggalkan cardigannya dan menyisakan blouse berlengan buntung berwarna nude, saat dia duduk berhadapan dengan Kais di area outdoor salah satu coffee shop. Rok pensilnya yang setinggi lutut membuat kaki jenjang Ninna semakin terlihat saat dia melipat kakinya.

Sementara itu, Kais masih betah membungkam mulutnya dengan tatapan tidak pernah lepas dari Ninna, yang sekarang mengeluarkan sebatang rokok, menyalakan benda itu, dan mengisapnya dengan cuek.

"Rencana apa?" tanya Kais sambil menyesap kopinya.

"Saya rasa kamu bukan anak kecil yang enggak tahu apa tujuan Tante Ria ajak kamu jauh-jauh ke Tangerang dua minggu lalu, kan?" sindir Ninna.

Kais tersenyum kecil. "Saya memang enggak tahu."

Ninna berdecak lalu mengembuskan asap putih ke udara. "Bunda dan Mama kamu punya rencana buat jodohin saya sama kamu."

"Oh soal itu," kata Kais sambil menahan tawa kecil.

"Respons kamu gitu doang? Emang kamu enggak keberatan sama rencana mereka?"

"Kenapa harus keberatan?"

Bibir Ninna terkatup, sampai sebentuk kekehan sinis muncul di bibirnya. "Atau jangan-jangan kamu emang sedari awal tertarik sama saya?"

"Menurut kamu?" tanya Kais balik menggoda.

Ninna mengembuskan napas sebal. "Bisa enggak sih kamu jawab dengan serius pertanyaan saya tanpa balik tanya?"

"Justru sekarang saya yang tanya serius ke kamu, kenapa kamu keberatan dengan rencana mereka? Kita bahkan belum sempat kenalan lebih jauh."

"Karena saya—itu karena—," gumam Ninna mendadak gelagapan menjawab pertanyaan Kais. "Ada beberapa hal yang enggak bisa saya jawab. Intinya, lebih baik kamu cari cewek yang lain. Saya bukan cewek baik-baik yang sesuai sama bayangan kamu."

Kais tertawa pelan. "Setahu saya enggak ada orang baik yang ngaku kalau dia baik. Dan, baru kali ini saya ketemu cewek yang ngaku jelek di depan cowok lain. Kamu tahu, saya jadi makin penasaran."

Ninna menelan ludahnya kasar. "Saya peringatin, simpan rasa penasaran kamu buat cewek lain. Satu hal lagi, kamu bukan tipe saya."

Bibir Kais bergerak samar dan membentuk lengkungan tipis yang membuat Ninna semakin tidak nyaman.

"Oh iya? Yakin saya bukan tipe kamu?" tanya Kais bertopang dagu.

"Iya. Kenapa? Enggak percaya?" jawab Ninna cepat meskipun diam-diam kelopak matanya berkedip lambat ketika iris cokelat gelap milik Kais berhasil mengunci dirinya. Tatapan itu terasa tajam dan dalam. Kemudian bibir Kais yang penuh membuat Ninna teringat akan ucapan Mutia.

Bibir-seksi-sayang-kalau-dianggurin.

Suara dering ponsel membawa Ninna kembali ke dunia nyata. Segera, dia menuju ke sudut untuk mengangkat panggilan telepon dari kakaknya itu.

"Halo. Kenapa, Mbak?"

"Puncak? Kapan? Tumben ngajak aku liburan dadakan gini?"

"Oke. Nanti aku cek jadwal aku du—" Ninna menggerutu ketika Genna memaksanya di seberang telepon. "Mbak kan tahu kerjaan aku itu fleksibel banget, saking fleksibel nya weekend aja kadang aku masih meeting."

Raut wajah Ninna langsung murung ketika Genna membawa-bawa nama Bunda di obrolan mereka. "Bunda masih marah?"

"Ya udah, aku usahain ikut." Ninna menghela napas panjang seraya menutup panggilan teleponnya.

"Na!"

Spontan, Ninna menoleh ketika Kais memanggil namanya

"Nomor ponsel Tante Farah, Excel kan?" tanya Kais memandangi layar ponselnya.

Ninna mengangguk tanpa curiga, sementara Kais tertawa geli di kursinya.

"Nomornya ini?" tanya Kais meminta Ninna membaca tulisan di layar ponselnya.

Mata Ninna membulat sempurna ketika membaca pesan dari Bunda yang meminta Kais untuk ikut liburan ke Puncak minggu depan.

"Kamu enggak berencana buat terima ajakan ini, kan?" kata Ninna mengamati Kais.

Kais mengusap-usap dagunya. "Karena terlalu mendadak, mungkin enggak. Tapi, belakangan ini saya kayaknya butuh liburan. Apalagi kalau gratis. Lumayan, kan?"

Tubuh Ninna terasa kaku. Apalagi Kais malah bangkit dan berencana pergi.

"Kopinya biar saya yang bayar. See you, Na."

Ninna menatap kepergian Kais dengan wajah datar. Bahkan setelah lelaki itu melihat kebiasaannya, dia tetap enggan menolak rencana Bunda. Mutia benar, Kais memang tipe lelaki keras kepala.

"Oke, kalau gitu biar gue yang enggak ikut!" ketus Ninna tersenyum pongah.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro