Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 46

Dipikirkan bagaimana pun... ini sangatlah aneh.

Oh, baiklah. Mungkin yang pertama adalah kebetulan, tapi bagaimana jadinya kalau hal tersebut terulang untuk kedua dan ketiga kalinya? Bahkan keempat kalinya? Ini jelas sangat aneh!

[Name] bisa menerima jika orang-orang itu berkata mereka tidak cocok dengannya, atau mereka tidak menemukan perasaan semacam itu terhadapnya, tapi... takut? Bagaimana mereka bisa berkata kalau mereka takut padanya?

Lebih dari itu, sebenarnya mimpi seperti apa yang mereka dapatkan hanya karena para pria itu mencoba mendekatinya?

Restoran Wanmin siang itu ramai dengan aroma masakan yang menggoda. Panci mendesis, piring beradu, dan suara pelanggan bercampur dalam harmoni yang khas. Namun, meski suasananya hangat, [Name] duduk di sudut dengan tangan menopang dagu, ekspresi frustasi mengaburkan wajahnya yang biasanya ramah.

"Aku benar-benar tidak mengerti. Semua ini terlalu aneh!" Keluhnya, sambil menusuk-nusuk sepiring Minty Meat Rolls tanpa niat untuk benar-benar memakannya.

Xiangling yang tengah meracik saus untuk hidangan barunya menoleh dengan tatapan prihatin. "Mereka bilang apa lagi kali ini?"

"Mereka bilang mereka takut padaku! Aku tidak mengerti! Apa aku terlihat menyeramkan?" [Name] memeluk dirinya sendiri, alisnya berkerut tajam. "Kalau ini terjadi sekali, mungkin aku masih bisa mengabaikannya. Tapi ini terjadi berulang kali, Xiangling! Apa yang salah denganku?"

Koki Mao yang berdiri tak jauh, menyela dengan suara tenangnya. "Mungkin itu hanya kebetulan, [Name]. Terkadang orang-orang hanya mencari alasan untuk menghindar."

Namun [Name] menggeleng keras. "Tidak mungkin, paman Mao! Mereka semua mengatakannya seolah-olah... ada sesuatu yang benar-benar membuat mereka ketakutan."

Jika hanya satu atau dua orang, mungkin [Name] masih dapat menerima alasan yang dikatakan Koki Mao padanya, tapi tidak. Ini dikatakan bahkan oleh orang yang berbeda termasuk teman sekantornya yang sama sekali tidak tertarik kepadanya.

Mereka tidak punya hubungan apa pun, bahkan tidak terlalu mengenal satu sama lain. Salah satunya adalah pria yang rutin datang menjadi kliennya, lainnya adalah seorang pemuda yang dikenalkan oleh teman wanita di tempat kerjanya yang katanya tertarik padanya, lainnya lagi adalah tetangga di rumahnya.

Xiangling hendak menjawab, tetapi suara ceria yang sangat khas menggema di pintu masuk. "Selamat siang! Wah, suasananya ramai, ya!"

Semua orang menoleh, termasuk [Name]. Seorang gadis berambut kecoklatan dengan topi yang terselip ranting bunga plum melambai dengan senyumnya berseri-seri. Hu Tao, Direktur ke-77 Wangsheng Funeral Parlor, baru saja masuk ke Restoran Wanmin dan menyapa semua orang yang ada di sana.

"Hu Tao! Apa kabar?" Sapa Xiangling riang.

"Aku lapar sekali! Kau tahu rasanya mengurus bisnis tanpa ada klien itu luar biasa melelahkan, bukan?!" Hu Tao mendekat ke meja dengan langkah ringan sebelum matanya tertuju pada [Name]. "Oh, siapa ini? Kau punya pelanggan spesial hari ini, Koki Xiangling?"

Xiangling tersenyum, dengan cepat memperkenalkan mereka. "Ini [Name], dia teman baikku; dan [Name], ini Hu Tao, salah satu teman lamaku dari kecil."

[Name] berdiri, membungkuk sopan. "Senang bertemu denganmu, Nona Hu."

"Oh, tidak perlu formal begitu!" Hu Tao melambai santai, senyum nakalnya muncul. Namun, begitu ia melihat ekspresi serius di wajah [Name], alisnya naik sedikit. "Hm, suasana apa ini? Sepertinya ada sesuatu yang terjadi di sini."

"Ah...." Xiangling merenung sejenak sebelum berkata, "sebenarnya, [Name] punya masalah yang... cukup aneh. Mungkin kau bisa membantu? Aku tahu kalau kau sangat ahli mengenai hal-hal spiritual."

Hu Tao tampak langsung tertarik. Ia mencondongkan tubuh ke arah [Name], matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. "Masalah apa itu? Ceritakan semuanya, biar Direktur Hu Tao ini membantumu!"

Meski awalnya ragu, [Name] mengisahkan kejadian aneh tentang para pria yang mencoba mendekatinya. Ia menjelaskan bagaimana mereka selalu mundur dengan alasan merasa takut, ditambah dengan pengakuan tentang mimpi yang katanya mereka alami.

Hu Tao mendengar dengan saksama, sesekali mengangguk pelan sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di dagu. Ketika cerita itu selesai, ia bersiul pelan. "Hmm, menarik sekali."

"Menurutmu... itu apa?" Tanya [Name], penuh harap.

Hu Tao memiringkan kepala, ekspresinya berubah serius. "Aku tidak bisa memastikan, tapi jika benar ada mimpi yang seragam seperti itu, mungkin itu sebuah pesan."

"Pesan? Pesan dari siapa?"

"Para Adeptus," jawab Hu Tao lugas. "Mereka memiliki kemampuan untuk hadir dalam mimpi manusia. Mungkin ada Adeptus yang ingin menyampaikan sesuatu kepada pria-pria itu."

Mata [Name] melebar. "Tapi... kenapa aku? Bukankah ada banyak orang lain yang lebih penting?"

Hu Tao hanya mengangkat bahu. "Kadang Adeptus punya alasan mereka sendiri. Mungkin mereka merasa kau istimewa. Bagaimanapun, aku rasa ini bukan sesuatu yang buruk, jadi kau tidak perlu terlalu mencemaskannya."

[Name] terdiam, mencerna kata-kata itu dengan dahi yang berkerut samar. Mungkin—hanya mencoba menghibur dirinya—Hu Tao benar. Namun [Name] tidak merasa seistimewa itu untuk membuat Adeptus tertarik padanya.

Dia hanya gadis dari keluarga biasa, tidak memiliki hobi tertentu, atau ambisi yang besar. Jika dia adalah Xiangling yang sangat berdedikasi pada masakannya, atau Hu Tao yang ia kenal sebagai Direktur muda di Wangsheng Funeral Parlor secara resmi, pun Chonyun yang berasal dari keluarga para pengusir roh, [Name] dapat menerimanya.

Setelah keheningan sejenak, Hu Tao tiba-tiba memutar arah pembicaraan dengan nada ceria. "Ngomong-ngomong soal bisnis, aku baru saja mendapatkan pekerja kontrak baru yang luar biasa!"

"Pekerja baru? Seperti apa orangnya?" Xiangling tersenyum, mencoba mengangkat suasana.

Hu Tao tersenyum lebar. "Dia seorang konsultan muda. Pemuda itu sangat cerdas dan tahu banyak soal tradisi kuno. Ketika aku mengujinya dengan tradisi pemakaman keluarga Hu yang sudah hampir terlupakan, dia menjawabnya dengan sempurna. Luar biasa sekali!"

"Wah, itu hebat," Xiangling memuji. "Semoga dia bisa membantumu membenahi Wangsheng Funeral Parlor."

"Pastinya!" Hu Tao menjawab dengan bangga.

Demi mengalihkan pikirannya yang sedikit runyam, [Name] bertanya dengan hati-hati, "siapa namanya?"

Lalu sambil tersenyum dan memiringkan posisi topinya, Hu Tao menjawab, "namanya...."

✦•┈✦•┈⋆⋅☆⋅⋆┈•✦┈•✦

Seharusnya aku melakukan ini sejak awal.

Itu yang Morax pikirkan ketika ia menyadari bahwa para pria itu tidak akan berhenti mendekati [Name]. Itu sudah sewajarnya, tentu saja. Gadis itu sudah memasuki usia dimana ia tertarik kepada seseorang, menginginkan orang lain untuk mendampinginya, dan mungkin—Morax terdiam memandang cangkir tehnya yang mengepul.

Dia benar-benar melupakan perbedaan waktu yang dimiliki manusia dengan para Adeptus. Dia pikir jika ia menunggunya sebentar untuk bertemu sekali lagi dengannya, semuanya akan baik-baik saja. Namun ia tidak bisa terus menundanya.

Dengan mempertimbangkan kesepakatannya yang dibuat dengan Tsaritsa, Morax memutuskan untuk memulai hidup barunya sebagai "Zhongli" lebih awal dari rencananya.

"Tapi bukankah kau tidak perlu melakukan itu, Rex Lapis?"

"Apa?" Morax meneguk tehnya dengan tenang.

Suasana di Mt. Aocang tenang seperti biasanya, dengan angin pegunungan yang lembut menyisir dedaunan pohon-pohon tinggi. Danau kecil yang memantulkan langit biru terlihat damai, dihiasi dengan lompatan ikan sesekali. Di tengah segala ketenangan ini, dua sosok berbincang dengan santai di sebuah paviliun batu.

Cloud Retainer mengaduk tehnya perlahan. Matanya yang tajam melirik ke arah Morax yang duduk dengan tenang seraya menikmati secangkir teh hangat di depannya.

"Dirimu tahu, Morax," Cloud Retainer memulai, suaranya penuh keyakinan. "Menggunakan kemampuanmu untuk masuk ke dalam mimpi-mimpi itu mungkin akan memperkeruh situasi." Ia mencondongkan lehernya, menatap Morax dengan pandangan penuh peringatan. "Jika dirimu terus melakukannya, dirimu hanya akan menanam rasa takut yang berlebihan tentang Nona muda itu. Sebuah niat melindungi yang salah tempat akan menghasilkan efek yang tidak diinginkan."

Morax meletakkan cangkir tehnya di atas meja batu dengan gerakan yang begitu halus. Sepasang mata emas layaknya Cor Lapis memandang Cloud Retainer dengan ketenangan yang luar biasa, seperti gunung yang tidak tergoyahkan oleh badai.

"Aku mengerti maksudmu, Cloud Retainer," jawab Morax, nadanya datar namun berisi. "Tapi ini bukan tentang menakuti mereka. Mimpi itu hanya sebuah pengingat lembut—atau setidaknya, itulah yang kuinginkan." Ia menegakkan punggungnya, kedua tangannya bertaut di atas meja. "Kau tidak perlu khawatir."

Cloud Retainer mendesah, membuat angin di sekitarnya berhembus sedikit lebih kencang. "Entah bagaimana ini justru membuat diri ini khawatir...."

Morax mengangkat satu alis, seolah menantang pernyataan itu. Namun, ia tidak menanggapi secara langsung. Matanya hanya memandang datar ke permukaan teh yang masih mengepul, mencerminkan pikirannya yang jauh lebih dalam daripada apa yang diungkapkannya dengan kata-kata.

Setelah beberapa detik diam, ia akhirnya berbicara. "Aku berencana untuk berhenti menggunakan cara itu, Cloud Retainer. Tapi hanya setelah semuanya sudah berjalan sebagaimana mestinya." Matanya perlahan beralih pada pegunungan di kejauhan, tempat Liyue Harbor berada. "Aku tidak akan berada di sini terlalu lama. Pemindahanku ke Liyue Harbor sudah dalam tahap akhir."

"Jadi, kau benar-benar akan meninggalkan gua-gua batumu untuk tinggal di antara manusia?" Cloud Retainer bertanya dengan nada skeptis, tetapi juga dengan sedikit kekaguman dalam suaranya. "Itu adalah langkah yang besar."

"Liyue membutuhkan pemahaman dan bimbingan tanpa bentuk formalitas lama," Morax menjawab tanpa ragu. "Dan begitu pula untuk dirinya."

Cloud Retainer mengeluarkan suara dengusan kecil. "Dirimu selalu punya caramu sendiri, Morax. Tapi diriku berharap rencanamu ini tidak akan menyebabkan lebih banyak komplikasi."

Morax tersenyum samar, nyaris tidak terlihat, tetapi cukup untuk memberi sedikit kesan kehangatan di balik dinginnya persona yang biasanya ia tampilkan. "Tidak perlu khawatir. Aku tahu apa yang kulakukan."

Dengan itu, Morax mengangkat cangkir teh terakhirnya dan meminumnya hingga tandas. Saat ia berdiri, siluetnya seakan menyatu dengan keagungan alam Mt. Aocang, membuatnya tampak seperti bagian dari tanah ini sendiri, sebuah jiwa tua yang telah ada jauh sebelum manusia pertama kali menginjakkan kaki di Liyue.

"Ada banyak hal yang harus kuurus, aku akan pergi sekarang," katanya pelan, sambil membenahi jubah panjangnya yang berwarna cokelat tua, dihiasi pola emas elegan. "Jika kau ingin menyusul dikemudian hari, jangan ragu untuk meminta pendapatku. Aku akan dengan senang hati membantumu."

Cloud Retainer mendengus. "Diriku akan melihatnya nanti."

✦•┈✦•┈⋆⋅☆⋅⋆┈•✦┈•✦

Pasar Pelabuhan Liyue selalu penuh hiruk-pikuk menjelang senja. Suara para pedagang berseru menawarkan dagangan mereka berpadu dengan aroma asin laut dan bau rempah segar yang dijajakan di warung-warung kecil. Langit kemerahan memayungi kota yang tak pernah kehilangan semangat hidupnya.

[Name] berjalan di sela keramaian, tangannya memegang keranjang penuh dengan potongan ikan segar dan udang yang baru dibelinya. Sesekali, ia berhenti untuk memeriksa perbelanjaannya. Dalam pikirannya, ia sudah mulai merancang menu makan malam sederhana—sesuatu yang menenangkan setelah hari yang penuh kesibukan.

Namun, fokusnya buyar ketika suara cekcok menarik perhatiannya. Dua pria beradu argumen di depan kios ikan, saling mendorong dengan wajah merah padam. Salah satunya tampak sangat marah, menuding pedagang ikan dengan tuduhan bahwa barang yang dibelinya tidak segar seperti yang dijanjikan. Sang pedagang tidak tinggal diam, membela dirinya dengan nada keras bahwa ikan yang ia jual adalah hasil tangkapan terbaik.

Kerumunan mulai mengerumuni mereka, beberapa menonton dengan wajah ingin tahu, yang lain saling berbisik.

"Seseorang, tolong segera panggil Millelith ke tempat ini! Ini bisa berujung buruk kalau dibiarkan," salah seorang dari penonton bergumam gelisah.

Melihat situasi itu, naluri [Name] menyuruhnya untuk pergi sebelum terjebak dalam masalah. Namun, ketika ia hendak mundur menjauh dari keramaian, tubuhnya tiba-tiba terdorong keras oleh seseorang dari arah depannya. Kaget, keseimbangan tubuhnya hilang dan ia hampir terjatuh ke tanah.

Sebelum ia menyadari apa yang terjadi, tubuhnya tertahan oleh lengan kuat seseorang yang melingkari pinggangnya. Ia menahan napas saat mendongak, bertemu dengan sepasang mata emas yang tampak seperti cor lapis itu, bersinar hangat dalam cahaya senja.

"Kau tidak apa-apa?" tanya suara lembut tetapi dalam, penuh perhatian.

[Name] tersentak dan segera berdiri tegak, menarik diri dari rengkuhan pria itu. Wajahnya memerah malu saat ia menyadari kedekatan mereka.

"A-ah, aku tidak apa-apa. Terima kasih...," jawab [Name] terbata, menunduk untuk menghindari tatapan pria tersebut.

Namun sebelum percakapan mereka berlanjut, dua anggota Millelith akhirnya tiba di lokasi. Dengan sigap, mereka memisahkan kedua pria yang bertengkar dan menenangkan kerumunan. Suasana pasar kembali tenang, dan orang-orang perlahan kembali ke kesibukan masing-masing.

[Name] buru-buru membungkuk dalam-dalam pada pemuda yang tadi menolongnya. "Sekali lagi terima kasih banyak karena sudah menolongku. Aku benar-benar terselamatkan...."

Pemuda itu mengangguk halus, senyumnya ramah dan terkesan formal. "Tidak perlu sungkan. Hanya memastikan kau baik-baik saja. Kau yakin tidak terluka?"

[Name] menggeleng cepat. "Tidak, aku benar-benar baik-baik saja."

Namun, ketika ia akhirnya mendongak untuk menatap wajah pria itu, ada sesuatu yang membuatnya terhenti. Rambut cokelat gelapnya yang rapi, tetapi tetap terasa alami dengan sedikit aksen keemasan di bawah cahaya mentari. Garis wajahnya tajam—hidung tegas dan rahang yang memancarkan wibawa. Namun yang paling mencolok adalah matanya—sepasang mata emas yang mengingatkannya pada sesuatu... atau mungkin seseorang—tapi siapa?

"Siapa namamu?" tanya pemuda itu pelan, suaranya hampir seperti gumaman.

"Oh?" [Name] berkedip beberapa kali. "Maaf. Aku... [Name]."

Pemuda itu tersenyum. Lalu sambil mengulurkan tangannya untuk dijabat, ia berkata, "Zhongli."

Seketika [Name] tersentak, sesuatu dalam ingatan [Name] berdentam keras. Ia segera menerima uluran tangan pemuda itu dan menatap kedua bola mata emasnya lurus.

Apakah ini Zhongli yang diceritakannya?

Melihat keterkejutannya, pemuda bernama Zhongli menatapnya dengan alis sedikit terangkat. "Apa ada yang salah?" tanyanya, nadanya rendah dan penuh perhatian.

"Oh, ti-tidak ...!"[Name] segera menggeleng, sadar bahwa ia mungkin terlihat aneh. "Maafkan aku. Aku... aku hanya sedang melamun," jawabnya tergesa-gesa. Ia membungkuk sekali lagi sebelum menambahkan, "Terima kasih sekali lagi atas bantuannya. Maaf, aku harus segera pergi."

Tanpa menunggu jawaban, [Name] melangkah pergi dengan cepat, mencoba menyembunyikan rona merah di wajahnya. Namun, langkahnya melambat saat ia semakin jauh dari Zhongli, dan pikirannya kembali dipenuhi pertanyaan.

"Zhongli...." ia bergumam pelan, suara itu nyaris tenggelam dalam hiruk-pikuk pasar.

Kenapa wajahnya terasa begitu... tidak asing?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro