Chapter 44
Langit Liyue dipenuhi awan yang perlahan menggulung, menciptakan atmosfer yang berat dan sarat akan keagungan. Kerumunan di sekitar Yujing Terrace tidak bisa menyembunyikan rasa gelisah mereka. Orang-orang berdesak-desakan untuk mendapatkan pandangan terbaik, wajah mereka dipenuhi dengan campuran harapan, kekaguman, dan rasa hormat yang mendalam. Bagi mereka, ini adalah momen langka di mana Sang Penguasa Geo, Rex Lapis, akan menurunkan ramalannya—sebuah berkat yang dipercaya membawa kemakmuran dan ketentraman untuk Liyue selama setahun ke depan.
[Name] berdiri agak di belakang kerumunan, jari-jarinya mencengkeram erat kotak kayu kecil berisi persembahannya. Aroma lembut parfum yang diraciknya sendiri menguar samar, memberinya sedikit ketenangan di tengah keramaian yang nyaris tak terkendali. Namun, tingginya orang-orang di sekitarnya membuatnya sulit melihat apa yang terjadi di depan. Ia berjinjit, mencoba mencari celah di antara tubuh-tubuh yang saling berhimpitan, tetapi upayanya tampak sia-sia. Ia merasa tenggelam di lautan manusia ini.
Dari posisinya di depan kerumunan, Ningguang berdiri dengan anggun, tatapan tegasnya menyapu seluruh penjuru pelataran. Dengan suara tenang namun penuh wibawa, dia memberikan perintah terakhir kepada para penjaga dan memulai Rite of Descension.
"Sudah waktunya," kata sang Tianquan.
Ningguang menggunakan kemampuan visionnya, menyalakan altar besar di tengah teras.
Seolah merespons arahan Ningguang, langit yang sebelumnya berawan mulai terbelah, sinar keemasan yang teramat cerah menyelinap di antaranya. Angin yang semula tenang tiba-tiba berubah liar, membawa desisan seperti ribuan batu kecil yang bergesekan.
Semua kepala di kerumunan mendongak serentak termasuk [Name]. Jantungnya berdebar lebih cepat ketika ia mendengar suara gemuruh yang semakin mendekat. Awan-awan itu tampak berkumpul dan berpusat di atas Yujing Terrace. Kemudian, dari antara gulungan awan tebal itu, sesosok makhluk raksasa muncul, gerakannya lambat namun megah, disertai kilatan cahaya keemasan yang menyertainya. Sosok naga dengan tubuh bersisik indah dan sorotan mata tajam kini melayang di udara, menatap ke bawah dengan kewibawaan yang tak terbantahkan.
[Name] tercekat, tubuhnya membeku. Napasnya terasa sesak ketika mata naga itu menyapu seluruh kerumunan di bawah, seperti sedang menilai satu per satu jiwa yang berdiri di sana. Dan untuk sepersekian detik yang terasa seperti selamanya, tatapan Rex Lapis berhenti tepat ke arahnya. Sepasang mata keemasan itu terasa begitu menusuk hingga membuat [Name] terpaksa menelan ludah. Namun, ia segera menepis pikirannya sendiri—dia melihat ke arah sini... ah, tidak mungkin... itu pasti kebetulan.
Ritual terus berlangsung dengan kesakralan yang terjaga sempurna. Ningguang memimpin prosesi, membacakan doa dan memberi penghormatan tertinggi kepada Rex Lapis, lantas memohon ramalan untuk tahun mendatang. Sang naga raksasa itu tidak berkata apa-apa, hanya menundukkan kepalanya dan menciptakan lingkaran Geo yang melingkupinya. Aksara-aksara bercahaya muncul di udara, bergerak perlahan sebelum akhirnya membentuk kata-kata. Ningguang membacakan ramalan itu dengan suara lantang, membuat kerumunan yang semula gaduh menjadi terdiam.
Usai ramalan selesai, orang-orang Liyue mulai berbaris satu per-satu, membawa persembahan mereka ke meja sesembahan yang telah disiapkan di depan. Mereka yang bukan berasal dari Liyue mundur, memberi ruang bagi penduduk lokal untuk menghaturkan doa dan pengabdian mereka.
[Name] tetap diam di tempatnya, tangannya yang memegang kotak kayu gemetar ringan. "Apakah dia akan menerima ini?" Gumamnya dengan gugup.
Parfum yang ia racik seolah tak ada apa-apanya dibandingkan dengan persembahan lain yang terlihat jauh lebih berharga dan mewah, dan... apa tidak masalah memberinya sesuatu yang begitu sederhana? Bagaimana jika Rex Lapis menolaknya? Apa yang akan terjadi padanya nanti? Keraguan itu terus bergulung dalam pikirannya hingga membuat langkahnya terasa berat ketika akhirnya tiba gilirannya.
Berada di depan sosok agung itu adalah pengalaman yang begitu mendalam. Mata Rex Lapis menatap lurus, seolah mampu menembus jiwa siapa pun yang berdiri di hadapannya. Dengan canggung, [Name] meletakkan kotak kayu kecil itu di meja persembahan, kedua tangannya perlahan disatukan, dan ia menundukkan kepala dalam doa. Kata-kata yang ia gumamkan keluar terputus-putus, suaranya tersendat karena rasa gugup yang mendominasi dirinya.
Namun, keheningan di sekitarnya tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang lebih berat. Ketika ia hendak menyelesaikan doa serta pujiannya lalu melangkah mundur, bayangan besar muncul tepat di atasnya—Rex Lapis telah merendahkan kepalanya hingga hampir sejajar dengan tempatnya berdiri.
[Name] menahan napas. Orang-orang di sekitarnya membeku, tak ada yang berani mengucapkan sepatah kata pun. Suasana penuh tekanan ini hampir membuatnya kehilangan keseimbangan. Dia mendongak perlahan, matanya bertemu dengan mata emas Rex Lapis yang kini berada begitu dekat di depannya. Wajahnya pucat, napasnya berat, tapi rasa takut itu entah bagaimana terkalahkan oleh rasa penasaran yang lebih kuat manakala sang Penguasa Geo menelengkan sedikit kepalanya seakan sedang mencoba mengatakan sesuatu.
Dengan ragu, [Name] mengulurkan tangannya, menyentuh moncong naga itu. Sentuhannya sedikit bergetar, takut jika tindakannya ini dianggap lancang. Namun alih-alih menjauh, Rex Lapis justru menurunkan kepalanya lebih rendah lagi. Mata keemasannya terpejam, seolah membiarkan dirinya tenggelam dalam sentuhan lembut itu.
Keheningan yang melingkupi area itu terasa seperti dunia berhenti berputar. Tapi bagi [Name], waktu berlalu terlalu cepat. Ia menarik tangannya dengan tiba-tiba, matanya membelalak, lalu mundur dua langkah dengan tergesa. Dengan kepala yang kembali tertunduk, dia membungkuk sekali lagi, meminta maaf dalam bisikan yang terbata-bata, dan berlari menjauh sebelum ada seseorang yang menghentikannya.
✦•┈✦•┈⋆⋅☆⋅⋆┈•✦┈•✦
"Ah, aku pasti sudah gila...," ia bergumam, dengan suara yang nyaris tenggelam di tengah riuh suara para pelanggan yang datang dan pergi. Kepalanya jatuh di antara kedua lengannya di atas meja, bersembunyi dari dunia seperti kura-kura yang menarik kepalanya ke dalam cangkang. "Kenapa aku malah menyentuhnya seperti itu? Dasar bodoh ...! Dungu!" Ia mendongak sedikit, memandangi meja penuh makanan buatan Xiangling yang tampak begitu lezat. Tapi bahkan makanan itu terasa seperti tidak punya daya tarik baginya sekarang. "Mungkin sebentar lagi Rex Lapis akan mengutukku."
Di seberangnya, Xiangling hanya tersenyum lembut, seperti memahami sepenuhnya pergolakan dalam pikiran temannya ini. Ia menyerahkan semangkuk kudapan kecil berisi bola-bola daging yang dibalut saus madu jahe, satu inovasi terbaru dari dapurnya.
"Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, [Name]," ujarnya sambil meletakkan sumpit di atas mangkuk itu. "Kau harus makan sesuatu atau kau akan sakit. Tidak baik memikirkan hal-hal rumit dengan perut kosong."
"Aku tidak bisa makan," keluh [Name], mendorong mangkuk itu sedikit menjauh. "Kau tahu... aku benar-benar merasa aku sudah melakukan sesuatu yang seharusnya tidak kulakukan." Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. "Apa yang dipikirkan orang-orang tentangku sekarang? Aku yakin semua Liyue membicarakannya... ini memalukan!"
"Menurutku itu hebat," kata Xiangling, mengambil kursi di dekatnya. "Berapa banyak orang yang bisa menyentuh Rex Lapis secara langsung? Kau mungkin gadis pertama yang pernah melakukannya, kau tahu?" Nada suaranya begitu ceria, tetapi itu hanya membuat [Name] semakin tertekan. "Belum lagi kita hanya bisa melihatnya sekali dalam setahun, ini kesempatan langka."
Sebelum [Name] sempat merespons, Koki Mao muncul dari arah dapur, membawa sepiring mi dengan kuah harum yang mengepul. "Ah, jadi ini gadis yang sedang jadi topik hangat di seluruh pelabuhan hari ini," ujarnya sambil meletakkan mi itu di depan [Name]. Matanya penuh dengan rasa ingin tahu dan tawa, tetapi ada juga kelembutan di balik kata-katanya.
"Tolong jangan bahas itu, Koki Mao ...!" [Name] mengeluh, kedua tangannya mencengkeram pinggir meja. "Kau malah membuatku semakin khawatir...."
Koki Mao tertawa, suara beratnya memenuhi ruangan dengan nada akrab yang menenangkan. "Hei, tenang saja, anak muda. Kau terlalu memikirkan ini. Orang-orang mungkin bicara, tetapi mereka juga akan melupakan hal itu dalam beberapa hari." Dia menepuk bahunya lembut. "Lagipula, aku berjanji tidak akan memberi tahu siapa pun bahwa kau ada di sini. Santai saja. Sekarang kau harus makan mi ini, ya?"
"Ah... kenapa aromanya sangat harum begini?" [Name] mengangkat wajah, meski wajahnya masih tampak lesuh tetapi jelas ia tidak bisa menyisikan semangkuk sedapnya mi yang dihidangkan di depan wajahnya. "Aku jadi tidak bisa menolaknya...."
Setelah Koki Mao kembali ke dapur, ruangan terasa lebih sunyi, menyisakan [Name] dan Xiangling di sana.
"Oh, aku baru sadar kalau Tuan Muda tidak bersamamu hari ini," tanya Xiangling sambil mengalih-ngalihkan pandangan mencari sosok anak laki-laki yang dimaksud. "Biasanya aku melihatnya. Bukankah dia terus bersamamu beberapa hari terakhir ini?"
[Name] menggeleng dan menggedikkan bahunya. "Aku tidak tahu. Tampaknya dia harus melakukan sesuatu hari ini."
Dipikirkan bagaimana pun, anak laki-laki itu terlalu misterius. Mungkin karena pendidikan tinggi yang didapat di rumahnya, atau mungkin karena kurangnya interaksi anak itu pada orang sepantaran dirinya, [Name] tidak pernah benar-benar merasa dirinya sedang berbicara dengan seorang anak kecil.
Sejujurnya daripada merasa penasaran, [Name] justru merasa sedikit prihatin. Bagaimana pun Tuan Muda itu hanyalah anak-anak, mendidik anak-anak seperti orang dewasa dan memaksanya untuk tumbuh dan berkembang lebih cepat daripada usianya membuatnya merasa sedikit sedih.
Lebih dari itu, anak laki-laki itu bahkan tidak pernah mencoba layangan, sangat tertarik dengan kincir angin, pun tidak yakin dengan pasti berapa nilai Mora—kendati demikian ia sangat tahu barang-barang antik yang berkualitas dan mineral yang indah.
Dan yang lebih mengejutkan lagi, dia tidak pernah membawa satu keping pun Mora meski pakaiannya terlihat sangat mewah. Karena itulah, dalam banyak kesempatan, [Name] yang membayarkan barang-barang dan makanan yang diinginkannya.
Sebaiknya aku berhenti memikirkan masalah orang-orang kaya, pikirnya sembari memasukkan mi ke dalam mulutnya dan menyesap kuahnya perlahan.
"Oh!" Serunya seakan baru teringat pada sesuatu.
"Ada apa, [Name]?"
"Karena kau tiba-tiba mengungkit soal Tuan Muda, aku baru ingat kalau dia sepertinya meninggalkan sesuatu untukku."
Mantel yang dipinjamkan kepadanya sudah dikembalikan, terlebih dalam keadaan bersih. Namun bukan hanya itu yang ditinggalkan di sana, melainkan sebuah tusuk rambut yang tampak mahal. Belum sempat ia memastikan hal itu kepada ayahnya, kejadian pagi tadi telah memakan seluruh energinya. Ia bahkan hampir lupa akan benda-benda tersebut.
"Kau harus menanyakannya begitu selesai makan siang ini," kata Xiangling sambil menggigit salah satu bola-bola dagingnya. "Bukan hal yang buruk untuk memastikan sesuatu, 'kan?"
[Name] terdiam sejenak, mendengar kata-kata temannya. "Benar juga," pikirnya pelan. Matanya memandangi sepiring mi di depannya. "Sebaiknya aku segera kembali."
"Berhati-hatilah di jalan, [Name]. Mungkin para Millelith sedang mencarimu sekarang untuk dimintai keterangan."
"...."
✦•┈✦•┈⋆⋅☆⋅⋆┈•✦┈•✦
Nama [Name] masih hangat dibicarakan. Sebagian orang yang tidak mengenalinya hanya menyebutnya "gadis yang mendapat berkat dari Rex Lapis", sebagian lain yang tahu siapa dirinya mempertanyakan alasan ia mendapatkan hal seperti itu.
Oh, sungguh! Ia hanya menyentuhnya. Menyentuhnya. Kenapa semua orang di Liyue justru melebih-lebihkan ceritanya seakan ia baru saja melakukan sebuah dosa yang teramat besar dan tak dapat diampuni? Bahkan guyonan Xiangling kalau dirinya mungkin kini dicari oleh para Millelith lebih lucu daripada hal itu.
Namun mengesampingkan masalah yang baru-baru ini terjadi, [Name] pun segera kembali ke rumahnya seperti yang ia rencanakan.
Kalau ia boleh mengatakan sesuatu, sebetulnya ia merasa sedikit kesal sekarang.
Bukan, ini bukan karena dirinya menjadi topik hangat di Liyue, tetapi karena si Tuan Muda kaya raya yang datang seenaknya dan pergi sesukanya itu.
Dia datang dan mengikutinya sembarangan hanya karena [Name] berbuat satu kebaikan kepadanya. Namun kini anak laki-laki itu pergi begitu saja tanpa mengatakan apa pun setelah ia membersihkan mantel yang dipinjamnya. Dia memang mendapat hadiah tusuk rambut, tapi yang diinginkan [Name] bukan itu.
Apa dia baik-baik saja? Apa dia sungguh sudah kembali? Bagaimana keadaannya sekarang? Memikirkannya jusru membuatnya mual dan rasa cemasnya kian membesar.
"[Name], kau sudah kembali," sapa seorang pria awal 50-an tahun begitu melihatnya di halaman rumah.
"Maaf aku terlambat, Ayah," sapa [Name] ringan. "Apa Ayah akan pergi bekerja sekarang?"
Pria itu mengangguk pelan. "Iya. Karena masih dalam suasana Rite of Descension, ada banyak permintaan untuk mengantar barang."
Kerutan kecemasan terukir samar di dahi [Name]. "Maaf karena sudah membuatmu terus bekerja. Aku akan coba untuk mendaftar di Liyue Qixing begitu mereka membuka lowongan tahun ini."
Pria itu tertawa sembari mengacak-ngacak. "Tidak perlu terburu-buru. Ayah tahu sesulit apa ujian untuk menjadi Yuheng di sana. Nikmati saja waktumu saat ini."
"Iya." [Name] segera teringat pada tujuannya, ia lantas berkata, "oh, benar. Ada yang ingin kutanyakan."
"Hm? Apa?" Pria itu mengalihkan pandangannya sejenak sembari memasukkan kakinya ke dalam sepatu.
"Apa Tuan Muda datang pagi ini ke rumah?" Tanya [Name] akhirnya, ia lantas menjelaskan, "aku melihat mantel yang kupinjamkan padanya tempo hari beserta tusuk rambut di atasnya. Apa Ayah sudah bertemu dengannya?"
Alis pria itu terangkat sebelah. Dia menggeleng. "Tidak. Ayah belum bertemu dengannya hari ini."
"Lalu, bagaimana—"
"Semoga Rex Lapis memberkati perjalananmu dan perjuanganmu." Orang yang berdoa demikian tidak lain adalah Kakeknya. Dia datang dengan dupa di tangan, memanjatkan doa untuk keselamatan Ayahnya, meminta perlindungan.
Saat pria tua di depannya sudah mulai berdoa seperti ini, [Name] dan Ayahnya dengan khidmat akan mendengarkannya dengan menangkupkan kedua tangan di depan.
"Terima kasih karena sudah terus menjaga cucuku. Tidak ada doa dan pujian yang dapat diriku berikan lagi selain ini, wahai Penguasa Geo, Sang Pelopor, serta pemilik kekayaan di Teyvat."
Pria tua itu mengakhiri doanya dengan satu tarikan napas dalam dan gerakan membakar dupa perlahan di altar kecil yang terletak di sudut halaman. Setelah itu, ia menoleh pada ayah [Name]. "Hati-hati di perjalanan. Jaga dirimu baik-baik."
Sang ayah mengangguk, menyunggingkan senyum kecil. "Jangan khawatir, Ayah." Ia kemudian menoleh kepada [Name], matanya memancarkan kehangatan yang tidak tergoyahkan oleh kecemasan. "Kau juga, [Name]. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Semua pembicaraan ini, mereka hanya angin lalu."
[Name] mengangguk lemah, tetapi di hatinya ia tahu pembicaraan itu tidak semudah itu hilang. Dan kekhawatiran akan seorang pria yang meninggalkan mantel itu juga tidak kunjung pergi. Ia memandang ke arah altar, menatap dupa yang perlahan terbakar, dan mendapati dirinya bergumam pelan di dalam hati, Semoga tidak terjadi apa-apa padamu, di manapun kau berada.
Ketika ayahnya berjalan menuju gerobak kecil yang penuh muatan untuk diantarkan, kakeknya mendekati [Name] dengan mata penuh pengertian. "Ada sesuatu yang mengganggumu, anakku?" tanya pria tua itu lembut, suaranya sedikit serak tetapi sarat kasih sayang.
"Tentang tusuk rambut di kamarku...," ucap [Name] hati-hati, memperjelas gerakan bibirnya. "Apa Kakek tahu—"
"Ah, iya. Dia datang kepadamu dan memberikannya," jawabnya lebih terdengar seperti gumaman.
"Oh...." [Name] mengangguk beberapa kali. "Begitu rupanya...."
"Simpanlah dengan baik dan gunakan dengan hati-hati," kata Kakeknya lagi. "Barang yang diberikan kepadamu adalah harta milik Rex Lapis, rumah ini, tanah ini. Apa yang sudah menjadi miliknya akan kembali padanya."
[Name] tersenyum lemah dan terkekeh. Pada akhirnya Kakeknya hanya menggumamkan doa-doanya lagi dan tak menjawab pertanyaannya sebelum ia berbalik untuk melanjutkan doanya di altar rumah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro