Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 42

Angin sepoi-sepoi dari lautan membawa aroma asin yang khas, menyapu lembut rambut [Name] yang terurai di bawah sinar mentari pagi. Suasana Pelabuhan Liyue selalu menampilkan keajaiban tersendiri, terutama saat kota masih sibuk untuk mempersiapkan Rite of Descension. Pedagang berlomba-lomba menawarkan barang dagangan terbaik mereka, aroma rempah dan dupa memenuhi udara, dan suara orang-orang yang sibuk berdengung di segala arah. Namun, bagi [Name], kehangatan itu terhalang oleh satu sosok yang mengikuti di belakangnya.

"Tuan Muda, kau serius akan mengikuti ke mana pun aku pergi hari ini?" tanya [Name] sambil memandang sekilas ke belakang. Di sana Tuan Muda kaya raya itu berjalan santai dengan tangan di belakang punggung—jelas gestur yang tak cocok dengannya. Ditambah wajah polos hampir tak berdosa, dengan senyuman tipis yang tampak seperti jawaban untuk segalanya.

"Bukankah sudah kubilang?" Zhongli muda menoleh ringan, menatapnya dengan mata amber yang bercahaya seperti matahari sore. "Lagi pula aku hampir tidak bisa mengenali tempat ini lagi dan aku tidak ingin mengganggu pekerjaanmu."

Kata-kata itu sederhana, tapi entah kenapa membuat dada [Name] terasa sedikit lebih berat. Ada sesuatu dalam nada suara anak itu—seolah-olah waktu adalah hal yang berharga, sesuatu yang dia kejar namun juga ingin nikmati perlahan.

"Apa aku... merepotkanmu?" tanya Zhongli tiba-tiba, suara rendahnya hampir tak terdengar di tengah kebisingan pasar.

[Name] hampir menjawab dengan asal, tetapi pandangan jernih anak itu memaksanya berhenti sejenak. Ia mendesah, akhirnya menyerah pada kegigihan sang anak. "Bukan merepotkan... hanya saja mungkin ada yang mengira aku sedang memanipulasi anak yang polos untuk kumanfaatkan."

"Hmm... aku tidak yakin akan ada yang berpikir begitu," gumamnya dengan ekspresi serius.

"Kau tahu tentang... umm...." [Name] menimbang sejenak, lalu ia berkata, "... Sindrom Stockholm?"

"Ah, aku pernah membaca tentang itu," jawab Zhongli muda dengan anggukan kecil yang sopan, dan [Name] tidak yakin apa anak laki-laki itu sungguh memahaminya atau tidak. "Memang benar, mungkin rasanya seperti itu."

"Tuan Muda, berhati-hatilah saat berbicara...."

[Name] menghentikan langkahnya di depan toko parfum Ying'er. Dia menatap beberapa orang yang menunggu di depan toko. Aroma bunga segar bercampur rempah dan minyak esensial menguar dari dalam, seolah membisikkan janji keanggunan yang diidamkan banyak wanita di Liyue.

"Jiejie, kau serius akan membeli parfum siap pakai?" tanya Zhongli muda yang tiba-tiba berdiri di sampingnya. Tatapan matanya jernih dan tenang, tetapi ada sedikit nada keheranan dalam suaranya.

"Kurasa... begitu."

Ying'er menyambut [Name] dengan senyum manis khasnya, diiringi kelembutan dalam gestur tangannya yang terampil saat merapikan botol-botol kaca berisi parfum di etalase. "Oh, Nona [Name], kehadiranmu selalu seperti hembusan angin segar. Ada yang bisa kubantu hari ini?" tanyanya dengan nada ceria.

[Name] tersenyum sopan, meskipun matanya memancarkan tekad. "Aku butuh parfum untuk dipersembahkan saat Rite of Descension. Apakah ada yang sudah siap pakai?"

Mendengar permintaan itu, Ying'er berhenti sejenak sebelum tersenyum kecil, menarik sebuah botol kaca ramping dari rak di belakangnya. "Ada, tentu saja. Tapi kau tahu, barang terbaik selalu dibuat berdasarkan keinginan hati." Ia menambahkan, "Apa kau benar-benar ingin mendapatkan yang sudah siap jadi?" 

[Name] mengangguk. "Iya. Tolong beri aku beberapa sampelnya."

Saat percakapan berlangsung, suara langkah ringan mendekat dari belakang mereka. Zhongli muda muncul, matanya menyipit dengan rasa ingin tahu. "Kenapa kau tidak membuatnya sendiri, Jiejie?" tanyanya dengan suara lembut, membuat [Name] menoleh ke arahnya.

"Aku pikir waktuku tidak cukup," balas [Name]. "Nona Ying'er sudah sibuk dengan pesanan lainnya, sementara Rite of Descension sebentar lagi dimulai."

Ekspresi Zhongli menampilkan sedikit ketidakpuasan, seolah kecewa dengan keputusan praktis itu. "Tetapi persembahanmu untuk Rex Lapis seharusnya mencerminkan upayamu yang sepenuh hati. Bukankah begitu?"

Kata-katanya membuat [Name] terdiam sesaat, tetapi ia segera berusaha mempertahankan pendiriannya. "Kau benar. Tapi sejujurnya aku pun sendiri juga bingung...." Pandangannya melirik koleksi parfum di meja. "... aroma apa yang paling cocok untuk seorang dewa?"

Ying'er, yang berdiri dengan penuh percaya diri, mulai memberikan saran. "Ada aroma Sanbearer Wood yang elegan dan penuh kehangatan, melambangkan kebijaksanaan dan umur panjang. Lalu ada campuran Silk Flower dan Osmanthus, sesuatu yang manis namun kuat, sering dipilih untuk melambangkan kekuatan dan keabadian. Oh, dan belakangan ini, banyak yang menyukai Glaze Lily segar tetapi menenangkan, seperti embun pagi."

[Name] mendengarkan dengan serius, alisnya sedikit berkerut, menunjukkan ia sedang mempertimbangkan saran itu dalam-dalam. Tetapi Zhongli yang berdiri tak jauh, memperhatikan ketidakpuasan yang samar di wajahnya. Ia mengangkat alis sebelum mendekat sedikit. "Apa yang sedang kau pikirkan, Jiejie?"

Dengan suara hampir berbisik, [Name] menjawab, "aku tidak ingin memberikan aroma yang sudah banyak dipilih orang lain. Rasanya terlalu biasa."

Zhongli tersenyum kecil, memperhatikan keraguan di wajah [Name]. "Kenapa kau merasa perlu membuatnya berbeda?" 

Tatapan [Name] terfokus ke arah meja parfum, sebelum ia membalas dengan gamblang. "Aku berharap Rex Lapis... tersentuh dengan usahaku. Mungkin jika ia merasa puas, ia akan memberiku berkat kekayaan yang melimpah. Aku sangat menginginkan mora."

Kalimat terakhir itu membuat Zhongli tertawa, sebuah suara rendah yang bergema lembut di ruangan kecil itu. "Berkat kekayaan yang melimpah, mora," katanya sambil mengulang perlahan, "Ah, itu permintaan yang menarik."

"Kenapa kau tertawa?" [Name] menoleh dengan kesal, melipat tangannya di dada. "Seorang Tuan Muda kaya raya sepertimu, yang lahir dengan sendok emas di mulutnya, tentu tidak akan pernah mengerti bagaimana rasanya tidak punya apa-apa!"

"Tidakkah kau menginginkan hal yang lain?" Tanya Zhongli muda dengan hati-hati. "Kalau kau terus bergantung pada Mora, kau akan dikendalikan olehnya."

"Kalau begitu... jodoh," kata [Name] asal menjawab. Namun itu secara praktis membuat anak laki-laki di sampingnya terdiam. "Aku menginginkan kekasih."

"...."

Sebetulnya, [Name] setengah serius saat mengatakan itu. Dia belum pernah memiliki kekasih dan tidak yakin mempunyai waktu dan kesempatan untuk mencarinya, tapi sejujurnya dia sedikit berharap bisa menemukannya saat ia mendapatkan pekerjaan di Liyue Qixing nantinya. 

Oh, tapi sungguh... ia tidak sedang meminta agar cepat menikah, tentu bukan itu maksudnya.

"Maafkan aku, Jiejie," Zhongli bergumam dengan suara rendah, hampir tak terdengar. [Name] menurunkan pandangannya dan melihat anak laki-laki yang memberinya ekspresi kurang nyaman. "Aku tidak bisa memahami keinginanmu sebelumnya. Maafkan aku jika tadi aku terdengar meremehkanmu, jadi tolong minta apa pun selain itu." 

Menyadari suasanya yang tiba-tiba terasa aneh, [Name] berdeham canggung dan membalas, "karena aku adalah orang dewasa yang bijak, aku akan memaafkanmu."

Ying'er yang menyaksikan interaksi itu tersenyum penuh arti. Dia berkata, "kalau begitu, aku bisa menyarankan sesuatu untukmu."

✦•┈✦•┈⋆⋅☆⋅⋆┈•✦┈•✦

Malam telah turun sepenuhnya, dan Pelabuhan Liyue berubah menjadi lanskap dengan warna emas dan perak dari lentera yang berpendar di sepanjang dermaga. Suara bising pasar siang hari kini digantikan dengan gema obrolan lemah para pekerja yang selesai dengan tugas mereka, sementara cahaya bulan memantulkan dirinya di permukaan air yang tenang.

[Name] berdiri di luar toko terakhir yang baru saja dia tinggalkan. Tangan kirinya membawa tas kecil berisi dokumen pekerjaan yang sudah diselesaikan, sementara tangan kanannya bermain-main dengan pinggiran mantelnya. Ketika dia menoleh, dia mendapati Zhongli muda duduk di dekat tiang kayu, wajahnya terlihat tenang di bawah cahaya remang lentera jalanan. Bahkan dalam keheningan, ada sesuatu yang sulit dijelaskan tentang kehadiran bocah itu.

"Kau tinggal di mana?" tanya [Name] akhirnya, memecah keheningan. Suaranya lembut tapi tegas, cerminan tekadnya untuk tidak meninggalkan anak kecil ini seorang diri di waktu sesepi ini.

Zhongli mendongak, mata ambernya bersinar dalam gelap. Dia tidak langsung menjawab, seolah sedang mempertimbangkan kata-katanya. "Itu tidak jauh," akhirnya dia berkata, sambil berdiri perlahan. "Kau tidak perlu khawatir. Aku bisa kembali sendiri."

[Name] mengernyit, tidak sepenuhnya puas dengan jawaban singkat itu. "Tapi sekarang sudah larut. Bahaya jika kau pulang sendirian. Aku bisa mengantarmu."

Anak laki-laki itu menggeleng pelan. "Aku menghargai niat baikmu, Jiejie. Tapi sungguh, aku akan baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku. Jika terlalu jauh, itu hanya akan merepotkanmu." Dia tersenyum tipis, namun ada kesan pasti dalam nadanya, seperti menegaskan bahwa topik ini sebaiknya tidak diperpanjang.

Namun, [Name] tetap ragu. Pandangannya menatap Zhongli dengan tajam, mencoba menemukan tanda-tanda ketakutan atau kekhawatiran dalam ekspresinya. Tapi bocah itu terlalu pandai menyembunyikan apa pun yang mungkin dirasakannya, memberikan rasa tenang yang palsu.

"Aku tidak keberatan, kau tahu," kata [Name] fisela desahannya. "Bahkan jika itu jauh."

Tetapi Zhongli menundukkan kepala sedikit, menolak dengan sopan untuk kesekian kalinya. "Terima kasih atas perhatianmu, tapi lebih baik kau pulang lebih dulu. Kau pasti sudah lelah setelah seharian bekerja hari ini."

Merasa tidak ingin terus memaksa, [Name] akhirnya menyerah dengan anggukan lemah. "Baiklah. Berhati-hatilah di jalan."

Dia berbalik, meskipun ada tarikan di dalam dadanya yang menyuruhnya untuk tetap di tempat. Langkah demi langkah, ia mulai menjauh dari anak laki-laki itu, tapi pikirannya tidak bisa meninggalkan situasi tersebut.

Bagaimana jika ada sesuatu yang terjadi? pikirnya, alisnya mengernyit dengan cemas.

Mungkin saja Zhongli diincar oleh pencopet, atau lebih buruk lagi—diculik oleh penjahat yang sering berkeliaran saat malam. Anak sekecil itu pasti menjadi target yang mudah. Tapi alasan mengapa dia begitu keras kepala menolak diantarkan membuat [Name] juga berpikir—apakah mungkin dia menyembunyikan sesuatu tentang keluarganya?

Pikiran itu memicu dilema baru dalam hatinya. Haruskah dia ikut campur lebih jauh? Atau haruskah dia menghormati permintaan bocah itu?

Langkahnya melambat, ini jelas sangat melukai hati nuraninya. Dia mengepalkan tangan, melawan kehendaknya yang seakan berteriak padanya untuk tidak membiarkan Zhongli sendirian. Akhirnya dia berhenti, menghela napas panjang sebelum berbalik dengan keputusan bulat.

"Tuan Muda!" panggilnya sambil kembali melangkah mendekati anak itu.

Zhongli yang masih berdiri di tempat yang sama, mendongak dengan ekspresi terkejut yang samar.

"Aku tidak bisa membiarkanmu berjalan sendirian. Jika kau benar-benar tidak ingin aku mengantarmu kembali, setidaknya ikut saja denganku ke rumahku untuk malam ini. Kau bisa kembali besok pagi," jelasnya dengan cepat.

Zhongli mengamati wajahnya, seakan sedang mencari sesuatu dalam ekspresinya. Kemudian setelah beberapa saat, dia mengangguk. "Kalau itu benar-benar membuatmu tenang, aku akan menerima tawaranmu, Jiejie."

Perasaan lega segera menyapu hati [Name]. Tangannya terangkat dan diarahkannya ke arah anak laki-laki itu. "Ayo. Aku tidak tinggal terlalu jauh dari sini," ajaknya dengan ramah.

"Iya." Dan Zhongli pun menerimanya tanpa ragu.

✦•┈✦•┈⋆⋅☆⋅⋆┈•✦┈•✦

"Jiejie, aku sudah selesai—" Ucap Zhongli begitu ia melihat [Name] di dalam ruangan tempatnya berada. "—apa yang sedang kau lakukan?"

Suara kecil Zhongli terdengar menggema di tengah kesunyian ruangan. Kepala kecilnya menyembul dari balik pintu kamar, dengan rambut basah yang menjuntai menyentuh lehernya. Lentera kecil yang digantung di sisi ruangan memantulkan cahaya temaram pada wajahnya, membuat mata ambernya tampak seolah memantulkan kilauan di sana.

[Name] yang duduk di atas kursinya dengan punggung melengkung, terkejut mendengar suara itu. Tangannya terhenti di atas meja kecil yang dipenuhi botol-botol kaca transparan. Aroma samar dari minyak esensial menguar di udara, menciptakan wewangian campuran aroma bunga segar dan rempah yang hangat. Parfum yang belum selesai diraciknya tampak berserakan di atas permukaan kayu. Matanya yang sebelumnya penuh fokus kini menatap bocah itu.

"Sepertinya begitu," kata [Name]. Dia mengalihkan pandangannya kembali ketika Zhongli berderap mendekatinya. "Ya, aku hanya ingin segera menyelesaikan ini. Tapi kurasa, belum ada aroma yang benar-benar bisa kuberikan untuknya."

Zhongli mengamati meja dengan tatapan tajam. "Kenapa kau tidak menundanya sampai besok? Bukankah kau juga butuh istirahat?"

Kata-kata itu membuat [Name] berhenti sejenak, jari-jarinya menggantung di atas sebotol minyak esensial. Ada ketulusan dalam suara anak laki-laki itu, tapi juga sesuatu yang terasa lebih berat dari usia mudanya. Dia tersenyum lagi, kali ini lebih lelah. "Aku sudah terbiasa. Ada tenggat waktu untuk ini, jadi tidak bisa ditunda."

"Kau benar-benar keras kepala, ya," gumamnya, suaranya terdengar seperti teguran ringan, tapi tak ada kehangatan yang hilang dari nadanya.

[Name] tertawa kecil, menundukkan pandangan ke tangannya. "Bukan keras kepala, ini lebih seperti... tanggung jawab." Namun, saat dia mengangkat kepala untuk menatap anak itu, sebuah kerutan halus muncul di dahinya. "Kau tidak perlu menemaniku, kau tahu. Tidurlah lebih dulu. Aku tidak akan bekerja terlalu lama."

Tapi Zhongli tidak bergerak. Alih-alih pergi, anak itu menarik kursi kayu kecil dan duduk di sana, tetap dalam diam sambil menyandarkan dagunya pada tangannya. "Aku tidak lelah," ujarnya.

[Name] memiringkan kepalanya dengan sedikit bingung. "Benarkah? Jangan sampai kau sakit karena ini, ya. Bisa-bisa aku terkena masalah kalau sampai orang tuamu melihatmu sakit besoknya."

"Aku tidak akan sakit semudah itu. Kau tenang saja."

Zhongli muda akhirnya memutuskan untuk tidak banyak bicara lagi. Dia menarik kursi, duduk tak jauh dari meja itu, dan mulai memperhatikan setiap gerakan [Name]. Waktu berlalu dengan tenang, suara denting kecil bahan-bahan yang bercampur menjadi pengiring yang menenangkan.

Namun, saat malam semakin larut, kepala Zhongli mulai terkulai di atas meja. Satu persatu kelopak matanya menutup. Tubuh kecilnya perlahan tergelincir di atas meja hingga tertidur pulas di sana. [Name] yang awalnya terlalu fokus untuk menyadari hal itu, akhirnya melirik ketika suara napas teratur anak itu mengalihkan perhatiannya. Melihat Zhongli tertidur dengan tenang, ada senyum tipis di wajah [Name].

"Dasar anak ini. Begitu keras kepala, tapi akhirnya kalah juga," gumamnya sambil berdiri dan membopong anak itu di atas ranjangnya.

[Name] mengambil selimut dari sisi tempat tidurnya dan menyelimutkannya ke tubuh kecil anak laki-laki itu dan bergumam—"selamat malam, Tuan Muda."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro