Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 41

"Demi Rex Lapis," ucapnya setengah frustasi sembari melihat Morax dengan tatapan keheranan. "Ini bahkan masih pagi, dan kau benar-benar datang lagi seperti yang kau katakan. Kali ini apalagi yang kau inginkan, Tuan Muda?"

Morax tersenyum ringan dan menjawab, "seperti tempo hari. Kemarin kita baru berjalan-jalan saja, bukan?" Jelasnya mengingatkan. "Kudengar ada beberapa kudapan khusus yang hanya dibuat untuk hari-hari seperti ini, karena itulah aku berniat untuk mencicipinya sekarang."

[Name] menghela napas panjang, memijat pelipisnya dengan satu tangan. Tatapan matanya memindai Morax di depannya, mencari celah untuk membantah atau mungkin menolaknya dengan sopan. Namun, Morax—atau Tuan Muda Zhongli, begitu dia menyebutnya—tidak menunjukkan sedikit pun keraguan dalam sikapnya. Bahkan, sorot mata emasnya yang tajam terlihat begitu yakin bahwa permintaannya akan diterima.

"Tuan Muda," [Name] memulai dengan nada ragu, "bukannya aku tidak mau membantu atau menemanimu, tapi... hari ini aku memiliki tanggung jawab yang tidak bisa kutinggalkan begitu saja. Rite of Descension akan diadakan kurang dari seminggu lagi, dan aku harus menyelesaikan persiapan terakhirnya."

Alih-alih tampak kecewa, Morax menganggukkan kepalanya pelan, seolah sudah mengantisipasi jawabannya. "Baiklah," ucapnya sederhana, nada suaranya tetap tenang. "Kalau begitu, aku akan ikut denganmu."

"Ikut denganku?" [Name] menatapnya dengan dahi berkerut. "Kau sadar aku harus bekerja, kan? Kau akan bosan mengikuti aktivitas yang sangat membosankan ini."

"Tidak masalah," sahut Morax cepat. "Justru, aku ingin melihat bagaimana caramu bekerja. Semakin banyak yang kulihat dan kurasakan, semakin lengkap pemahamanku tentang bagaimana Liyue berkembang di era ini."

Jawabannya justru membuat alis [Name] semakin terangkat. Itu bukan hal yang aneh, jadi kenapa gadis ini memberi ekspresi seperti itu? Toh, Morax tidak sedang berbohong padanya dan alasannya cukup berdasar.

"Kau tahu kalau kau sering mengatakan sesuatu yang terdengar aneh, 'kan?" Kata [Name] dengan hati-hati. Dia menghela napas panjang, jelas terlihat enggan. "Kalau begitu... baiklah. Tapi ingat, jangan sampai membuat segalanya lebih rumit."

"Setuju," Morax menjawab tanpa keraguan, kedua sudut bibirnya terangkat tipis, menandai senyuman yang nyaris penuh kemenangan.

✦•┈✦•┈⋆⋅☆⋅⋆┈•✦┈•✦

Langit pagi Liyue yang berwarna keemasan menggantung di atas pelabuhan saat [Name] berjalan menyusuri lorong pasar bersama anak laki-laki yang sejak kemarin bersamanya di sisinya. Kesibukan pasar mulai meningkat; penjual dan pembeli berinteraksi dengan semangat, sementara aroma makanan dan rempah-rempah menguar di udara. Namun, keberadaan anak laki-laki di sampingnya menarik lebih banyak perhatian daripada biasanya. Bagaimanapun, seorang anak dengan pakaian mewah yang berjalan bersama seorang gadis muda tidaklah pemandangan yang lazim.

[Name] merasa gugup setiap kali seseorang memandangi mereka sedikit lebih lama daripada biasanya. "Kenapa kau memakai pakaian semewah itu kalau hanya untuk berjalan-jalan seperti ini?" tanyanya, berusaha mengalihkan perhatiannya dari tatapan orang-orang.

Anak itu memandang lurus ke depan, tetapi sudut matanya melirik [Name] singkat sebelum menjawab. "Ini nyaman bagiku. Lagipula, menurutmu aku harus memakai pakaian seperti apa untuk perjalanan ini? Aku bukan pedagang atau petani."

"Entah... pakaian yang lebih sederhana, mungkin?" [Name] mendesah. "Setidaknya tidak membuat semua orang di pasar menoleh."

"Tapi aku tidak keberatan diperhatikan," jawabnya ringan. "Bukankah mereka hanya sekilas melihat ke arah ini? Itu tidak merugikan siapa pun."

"Tidak, tentu saja tidak," [Name] mendesah pelan. "Tapi aku merasa seperti membawa perhiasan di tanganku untuk para pencuri itu ambil."

Anak laki-laki itu tertawa rendah. "Perumpamaan yang menarik. Tapi kau tenang saja, hal itu tidak akan terjadi."

[Name] menahan mulutnya dari komentar lain. Bagaimana bisa seseorang yang tampaknya begitu bijaksana tetap bersikeras mempertahankan cara pandangnya yang sama sekali tidak masuk akal? Namun, ia tidak ingin memperpanjang debat di tengah keramaian.

Tiba di toko pertama, [Name] mengumpulkan beberapa barang penting untuk persembahan. Tangannya sibuk memeriksa bahan-bahan seperti Silk Flower, bumbu dapur yang harum, serta beberapa dupa yang dibuat khusus untuk upacara keagamaan. Tuan Muda yang bersamanya, sementara itu, berdiri di sisinya sambil memperhatikan setiap gerakannya dengan minat penuh.

"Untuk apa dupa ini?" tanyanya, menunjuk salah satu gulungan kecil berwarna kecoklatan.

"Dupa ini penting untuk ritual yang akan dilakukan besok," jawab [Name], mencoba bersikap ramah. "Aromanya memiliki makna spiritual, menghubungkan kita dengan arwah para leluhur—dan, tentu saja, Rex Lapis." Nama Archon yang ia hormati itu dilafalkan dengan penuh kekhusyukan.

"Ah," anak laki-laki itu mengangguk perlahan, wajahnya tampak lebih serius untuk sesaat. "Jadi begitulah cara kalian menghormatinya di zaman ini. Tidak heran kalau aku mendapatkan banyak sesembahan yang unik selama beberapa tahun terakhir ini."

"Ya," [Name] membenarkan, lalu menambahkan, "karena itu, upacara ini tidak boleh ada kesalahan. Setiap detail kecil sangatlah penting."

Zhongli muda memandangi dupa itu lebih lama sebelum bergumam rendah, nyaris pada dirinya sendiri, "Menarik... dunia memang banyak berubah, tetapi penghormatan itu tetap bertahan."

[Name] berhenti sejenak dari aktivitasnya, mendengar nada aneh dalam suaranya. Namun, sebelum ia sempat menanggapi, Tuan Muda kaya raya itu sudah tersenyum kembali—ekspresi itu penuh misteri, seperti biasa.

✦•┈✦•┈⋆⋅☆⋅⋆┈•✦┈•✦

Di bawah naungan sinar matahari yang hangat, aroma masakan menggoda dari Restoran Wanmin menyeruak ke udara, memancing rasa lapar barang siapa pun yang mencium aromanya yang sedap. Meja kecil di sudut restoran menjadi tempat [Name] dan Morax berbagi waktu makan siang mereka. Hidangan-hidangan lezat memenuhi meja—terdapat berbagai makanan khas Liyue, termasuk sepiring cumi-cumi yang dimasak dengan saus mentega keemasan.

Namun, ekspresi di wajah Morax tampak tidak menunjukkan kepuasannya. Tatapan emasnya menatap sepiring cumi itu seolah-olah ia sedang menilai musuh bebuyutannya. Sambil melipat tangan kecilnya di dada, ia menghela napas pelan.

"Makanan laut tidak pernah menggugah selera bagiku," ujarnya tenang, tapi nadanya memuat sedikit kritik. "Tekstur berlendir, rasa yang terlalu tajam, dan aromanya yang amis... aku tidak pernah merasa makanan ini layak mendapatkan pujian sebesar itu."

[Name] yang tengah mengunyah dengan puas, menghentikan gerakannya dan mengangkat sebelah alisnya, menatap Tuan Muda kaya itu dengan pandangan bingung. "Kau belum mencobanya, tapi sudah mengatakan itu? Kalau kau hanya melihat dari tampilannya, tentu saja kau tidak akan tertarik."

Morax membalas tatapan itu tanpa gentar, tetapi bibirnya tertarik ke arah sisi. "Mengomentari hidangan tanpa mencicipinya adalah hak prerogatif seseorang," balasnya tenang.

"... bagaimana bisa kau menggunakan kata-kata yang sulit seperti itu?"

Sebenarnya ia punya alasan khusus untuk ini, hanya saja ia tidak ingin mengingatnya karena entah bagaimana hal itu justru membuatnya mual. Jika ada seseorang yang menanyakan hal ini, dia pasti akan berkata kalau itu adalah cerita yang panjang, dan meminta mereka menganggapnya untuk alasan karena daya ingatnya yang terlalu bagus.

Melihat Morax tetap kukuh untuk tidak menyentuh sedikit pun hidangan itu, rasa kesal memuncak di dada [Name]. Sambil memasang senyum lebar yang tampak tidak begitu tulus, ia menyelinapkan garpu ke arah piring cumi-cumi. "Kalau begitu," ucapnya, sambil meraih sepotong cumi yang kenyal dan berkilauan oleh saus. "Biarkan aku membantumu untuk tidak terlalu menilai buruk makanan laut."

Sebelum Morax sempat protes, [Name] dengan cepat menyuapkan potongan cumi itu ke dalam mulutnya. Morax membelalakkan mata emasnya, hampir tersedak karena tidak sempat bersiap. Namun, ia akhirnya mengunyah perlahan. Wajahnya berubah sedikit demi sedikit—dari keraguan menjadi kejutan yang tak sepenuhnya ia sembunyikan. Kerutan kecil di dahinya memberi petunjuk bahwa ia sedang menilai rasa itu dengan cermat.

Cumi itu kenyal, dengan rasa gurih mentega yang kaya bercampur dengan keharuman rempah. Tidak ada rasa amis ataupun aroma yang menusuk, seperti yang selalu ia bayangkan. Bahkan ada rasa manis samar yang membaurkan harmoni di dalamnya. Dia terdiam sejenak, mencoba mengidentifikasi apa yang membuat hidangan ini begitu berbeda dari apa yang ia bayangkan.

"Aku harus akui," katanya setelah menelan, suaranya lebih lembut kali ini. "Ini... tidak buruk. Bahkan, cukup enak. Rasanya lebih kompleks daripada yang kukira. Manis, gurih, bahkan sedikit asin." Ia memandang [Name] dengan pandangan penuh selidik. "Bagaimana rasa ini bisa tercipta?"

[Name] tersenyum puas seakan ia baru saja memenangkan sesuatu. "Oh, itu rahasia kecilnya. Kalau ingin tahu, coba cicipi lagi," godanya sambil mendorong piring dengan cumi itu ke arah Morax.

Dengan sedikit ragu, Morax mengambil sepotong lagi dan mencobanya, kali ini lebih hati-hati. Manis yang samar itu kembali menyapa lidahnya, menghapus keraguannya. 

"Madu," gumamnya. "Ada madu dalam saus ini, bukan?"

Seolah panggilannya dijawab, Xiangling muncul dengan senyum ceria. "Benar sekali!" katanya, memeluk panci di lengannya. "Madu membantu menghilangkan amis dan membuat rasa makanan laut lebih lembut. Tapi itu bukan satu-satunya trik—kadang aku juga memakai nanas atau sedikit jahe. Setiap bahan punya caranya sendiri untuk mengubah rasa makanan."

Morax memandang Xiangling dengan tatapan penuh kekaguman, nyaris seperti anak kecil yang baru saja menemukan harta karun. "Jadi, itu alasannya. Dengan pengolahan yang tepat, rasa asli yang tidak menyenangkan bisa diubah menjadi sesuatu yang memikat...."

Sementara Morax sibuk mengapresiasi hidangan yang ia pandang sebelah mata sebelumnya, [Name] memutuskan untuk melayangkan pertanyaan yang sejak tadi berkeliaran di benaknya. Dengan hati-hati ia bertanya, "Tuan Muda, apa kau sebenarnya tidak suka makanan laut? Atau ada alasan tertentu... seperti alergi, misalnya?"

Morax menggelengkan kepalanya. "Bukan alergi," jawabnya jujur. "Hanya saja aku merasa rasa dan tekstur makanan laut umumnya... tidak menyenangkan. Berlendir dan aroma yang amis sering kali membuatku tidak berminat."

[Name] tertawa, suaranya ringan dan jenaka. "Kau bukan satu-satunya, kau tahu? Aku juga tidak suka makanan laut seperti itu. Tapi kalau diolah dengan benar seperti ini, tentu saja bisa diterima dengan baik. Bahkan, aku yakin kau bisa menikmatinya." Ia menambahkan sambil menunjuk piring cumi, "Coba bayangkan kerang bambu. Kalau kau makan terlalu banyak, katanya bisa membuatmu mabuk; atau bulu babi dengan lendirnya yang... ah, menjijikkan; dan jangan lupakan ikan buntal yang terkenal sulit diolah. Satu kesalahan kecil, dan yang kau santap adalah racun, bukan dagingnya."

Mata Morax melebar sedikit mendengar penjelasan itu. "Liyue benar-benar memiliki ragam makanan laut yang unik—dan penuh risiko." Nada suaranya terdengar lebih serius, penuh penghormatan atas apa yang barusan didengarnya. "Aku akan mengingat semua ini. Mungkin di masa depan, aku harus mencicipi lebih banyak makanan laut dan menghargai upaya kokinya."

[Name] terkekeh kecil, merasa lega bahwa pembicaraan mereka berhasil memecahkan dinding kecil di antara keduanya. "Dan mungkin, Tuan Muda, lain kali kau tidak akan begitu cepat menilai sesuatu buruk hanya dari prasangka."

Morax memandangnya sejenak, lalu tersenyum kecil, nyaris menghangat. "Aku akan mengingat itu."

✦•┈✦•┈⋆⋅☆⋅⋆┈•✦┈•✦ 

"Tidak kusangka diri ini akan melihatmu di sini, Rex Lapis."

Morax terkekeh, tidak bisa menyangkal ucapan dari kawan lamanya yang satu ini. "Bukankah ini baru beberapa hari?"

Kabut pagi tipis menyelimuti puncak Mt. Aocang, menciptakan nuansa damai yang hanya terputus oleh suara gemericik air yang turun dari tebing. Seekor burung bangau putih berkilauan melangkah ringan di sekitaran paviliun batu, kilauan sayapnya menciptakan bayangan panjang di lantai berbatu.

Morax duduk tenang dengan cangkir teh hangat di tangan. "Tidak ada yang sebanding dengan teh daun teratai di tempat ini," katanya lembut, suaranya penuh kehangatan nostalgia. "Waktu dan tempat di sini seolah tetap abadi."

Cloud Retainer meliriknya dari atas bebatuan di dekat kolam. "Dan dirimu masih sama seperti dahulu—hanya saja tampaknya diriku sering melihatmu melangkah di jalan-jalan Liyue. Apa yang dirimu cari kali ini, Rex Lapis?"

Senyuman tipis menghiasi bibir Morax, seperti biasa, penuh misteri. "Aku hanya menikmati bagaimana rakyatku mempersiapkan Rite of Descension, itu saja," jawabnya ringan. Namun, sorot matanya berkilau seperti batu permata, menyiratkan ada lebih dari sekadar "itu saja" dalam tindakannya.

Cloud Retainer mencondongkan kepala, keingintahuannya jelas meskipun ia tidak melanjutkan pertanyaannya. "Hmph, apa kali ini kau juga tertarik kepada para manusia? Atau mungkin... kau sedang menyelidiki sesuatu tentang tawaran dari Snezhnaya itu?"

Morax meletakkan cangkir tehnya, berdiri perlahan dengan gerakan perlahan. "Tidak ada yang perlu dirisaukan," katanya santai. "Sekarang, aku harus kembali ke Pelabuhan Liyue. Waktuku hampir habis."

Cloud Retainer memperhatikan bayangan Morax yang menjauh, menghilang di balik awan tanpa banyak suara. Namun, di belakang tatapan sang penjaga angin, ada keraguan samar yang menyentuh ambang pikirannya. "Rex Lapis... apa lagi yang dirimu sembunyikan dari kami?"

Morax bergerak melewati lereng gunung, langkah-langkahnya tanpa suara namun mantap. Pemandangan Pelabuhan Liyue yang ramai mulai terbentang di bawah sana, hiruk-pikuk warga yang mempersiapkan upacara menjadi latar belakang sempurna dari kota pelabuhan yang hidup ini.

Saat dirinya menapak mendekati dermaga, langkahnya terhenti. Matanya yang berkilauan seperti batu amber memandang sekilas ke tangannya, lalu ke pantulan samar dirinya di sebuah genangan air. Sosok seorang pria dewasa—dengan jubah panjang berwarna emas dan hitam—menatap balik kepadanya.

"Ah...." Ia tertawa kecil, memejamkan mata. "Hampir saja." Dengan gerakan sederhana, tubuhnya bergelombang dalam kilauan cahaya keemasan, dan dalam sekejap ia kembali menjadi anak laki-laki dengan mata bersinar dan langkah ringan. Kali ini tidak akan ada kekeliruan.

Begitu ia memasuki pasar Liyue, manik ambernya segera menangkap sosok yang ia cari. [Name] tengah berbincang dengan salah satu pedagang, tawanya ringan dan terdengar menular. Ada sesuatu tentang kebiasaan sederhana itu yang membuat Morax sejenak hanya berdiri dan memperhatikannya.

Sebuah rasa tak bernama menyentuh dadanya. Sesuatu antara rasa tenang dan kecemasan, seolah mengetahui bahwa momen-momen ini, tak peduli seberapa banyak ia menghargainya, tetaplah fana.

Ia akhirnya mendekat, dan saat [Name] melihatnya, wajah gadis itu menyunggingkan senyum hangat seperti biasa. "Kau di sini lagi, Tuan Muda," katanya dengan nada menggoda. "Ke mana lagi kau ingin pergi kali ini?"

Morax balas tersenyum, nada suaranya ceria, tetapi dengan lapisan ketenangan yang tidak biasa untuk seorang anak. "Kemana saja... selama aku bersamamu, jiejie."

Namun, bahkan dalam kata-kata yang tampak santai itu, ada kekuatan tenang yang mengendap-endap di dalamnya, sebuah perasaan yang sulit didefinisikan. Morax menyadari bahwa waktu di sekitarnya bergerak seperti pasir yang mengalir di sela-sela jarinya.

Dan di tempat lain, dalam bayang-bayang tak terlihat yang memeluk kota pelabuhan ini, sesuatu bergetar—halus, nyaris tak terdengar bahkan terasa, tetapi pasti. Seperti embusan angin dari pegunungan tinggi yang berbisik membawa berita mendekatnya badai yang tak terelakkan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro