Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 40

Liyue.

Pelabuhan yang terletak di bagian Teyvat Timur. Gunung-gunung berdiri dengan gagah di sekeliling sehamparan hutan berbatu, mendampingi sebuah lahan luas dan sungai yang penuh kehidupan, membuat keindahan pemandangan yang asri dan alami di Liyue, dilukiskan dengan warna yang berbeda-beda seiring bergantinya musim. 

Ada berapa banyak kira-kira berkat yang tekah diberikan oleh Dewa Geo di antara bebatuan pegunungan Liyue?

Sejak berdirinya pelabuhan ini, perdagangan maritim Liyue melesat dengan pesat dan keramaiannya tidak pernah menurun. Tempat yang sudah menjadi pelabuhan perdagangan terbesar di Teyvat ini memiliki aliran masuk keluar berbagai barang dagangan dengan jumlah yang tidak bisa dibandingkan dengan pelabuhan-pelabuhan lain. Tempat ini juga menghadirkan pemandangan yang tidak boleh terlewatkan setiap tahunnya saat festival Ritual Lentera berlangsung, karena dari tempat ini dapat terlihat pemandangan yang tidak dapat ditemui di tempat lain manapun saat ribuan lentera terbang tinggi menyinari gelapnya malam.

Namun yang membuat Liyue begitu terkenal bukan hanya festival lenteranya yang meriah, melainkan Rite of Descension yang selalu rutin diadakan setiap tahunnya dimana para manusia bisa langsung bertatap muka untuk mendengarkan ramalannya dan pemberian berkat kepada daratan yang dikuasainya.

Hiruk-pikuk Pelabuhan Liyue semakin memuncak dengan persiapan untuk Rite of Descension. Para pedagang dan karavan berlalu lalang dengan kesibukan yang sulit untuk diikuti mata biasa. Sorak-sorai, tawa anak-anak, dan teriakan para penjual memadati suasana seperti aliran sungai yang deras—menghidupkan kota yang tidak pernah tidur.

Seorang anak laki-laki berdiri di tengah keramaian itu. Pakaian mahal yang ia kenakan—bersulam benang emas di atas kain berkualitas tinggi—menandakan statusnya sebagai seseorang dari keluarga kaya. Rambutnya kecoklatan dengan aksen senja di ujungnya, seperti daun kering yang dipoles oleh cahaya matahari, sementara matanya berkilauan dalam warna emas yang dalam dan abadi. Namun, di balik wajahnya yang polos, ada kesadaran yang jauh melampaui usianya, tersembunyi dalam raut wajah tenang yang tak biasa bagi seorang bocah.

Rex Lapis tengah menjalani keinginannya untuk kembali memahami kehidupan rakyatnya. Berbaur di antara manusia sebagai seorang bocah memberi cara pandang yang berbeda, bahkan setelah ribuan tahun menyaksikan dunia ini dari balik layar.

Namun, pikirannya yang terlalu terpusat pada suasana kota seketika buyar saat sebuah teriakan nyaring terdengar dari dekat. "Awas!"

Tangan kecilnya nyaris terinjak oleh roda besar karavan yang melintas jika saja seseorang tidak menarik tubuhnya ke tepi jalan. Sentakan itu cepat dan tiba-tiba, namun dilakukan dengan kepastian yang hanya bisa dimiliki oleh seseorang yang terlatih untuk berpikir cepat di tengah kekacauan.

"Hei, kau tidak apa-apa?" suara itu menyusul segera setelahnya, nada tajam yang bercampur dengan rasa khawatir. "Oh, astaga! Bagaimana kau bisa berjalan sambil melamun seperti itu! Kau ini bodoh atau apa!?"

Rex Lapis mendongak, menatap wajah muda yang penuh kehidupan. Gadis itu—ia tidak yakin berapa usianya, yang jelas jauh lebih muda daripada dirinya—memiliki mata besar yang berkilau, berbingkai bulu mata lentik dan kelopak mata yang lembut. Rambutnya terurai jatuh di bahunya; sementara tangannya dengan kuat melindunginya, menariknya ke arahnya.

"Apa kau mendengarku?" Kata gadis itu lagi. "Apa kau terluka di suatu tempat?"

"Aku baik-baik saja," balas Rex Lapis akhirnya, membenahi dirinya. "Terima kasih untuk bantuanmu."

Gadis itu menyipitkan mata, mengamati anak laki-laki di hadapannya dengan cermat. Ada kerutan tipis di keningnya saat ia berkata, "berhati-hatilah. Ada banyak karavan yang berlalu-lalang di sini dengan terburu-buru. Kalau kau tidak waspada, bisa-bisa kau terluka."

Rex Lapis mendengarkan dengan penuh perhatian, kepalanya sedikit mengangguk seperti seorang pelajar yang menerima nasihat dari seorang guru. "Aku tidak akan melupakan kebaikanmu, akan kupastikan untuk membalasmu kemudian hari. Sekali lagi kuucapkan, terima kasih banyak."

Sekilas mata gadis itu membesar, lalu ekspresinya berubah ragu-ragu. "Cara bicaramu... aneh sekali. Kau bicara seperti orang dewasa, itu sangat tidak cocok denganmu," katanya dan gadis itu pun terkekeh.

Rex Lapis membeku untuk sesaat. Itu adalah kesalahan yang terlalu amatir untuk sosok sepertinya—cara berbicara formal dan tenang, sesuatu yang ia pelihara selama ribuan tahun, jelas tidak cocok untuk seorang anak kecil.

Dia mengoreksi dirinya dengan cepat. "Ah, aku... eh, kebiasaan saja. Seseorang selalu memintaku untuk bicara dengan sopan kepada orang lain," ujarnya dengan nada lebih santai, membiarkan sudut bibirnya melengkung sedikit, menyerupai senyuman malu-malu seorang anak kecil.

Gadis itu memiringkan kepala, lalu terkekeh kecil. "Dasar aneh. Tidak masalah sih, hanya rasanya... lucu saja," katanya. Gadis itu lantas berdiri seraya merapihkan ujung pakaiannya yang sedikit berdebu. "Kalau boleh aku tebak, ini pasti pertama kalinya kau keluar rumah untuk melihat persiapan Rite of Descension dari dekat, 'kan?"

Rex Lapis—yang masih dalam penyamaran sebagai seorang bocah manusia—mengangguk, melihat peluang untuk melanjutkan perannya. "Benar. Aku biasanya hanya menunggu upacara ini di rumah. Jadi ini pengalaman pertama yang menarik."

Gadis itu mengangguk, terlihat puas dengan jawabannya. "Kupikir begitu. Kau tampak seperti tuan muda yang biasa tinggal di rumah besar, jauh dari keramaian seperti ini."

Anak laki-laki itu diam sesaat, menahan tawa dalam dirinya. Penilaiannya tidak sepenuhnya salah, meski 'rumah besar' itu lebih cocok disebut sebagai tempat kelahirannya—pegunungan dan puncak-puncak megah di Liyue.

Bukankah tanah Liyue secara harfiah adalah rumahnya?

Setelah jeda yang cukup panjang, dia akhirnya menambahkan, "Dan ini juga pertama kalinya aku bertemu seseorang sebaik dirimu."

Pipi gadis itu sedikit bersemu kemerahan, dia berdeham dengan canggung. "Oh, aku sudah biasa membantu orang lain. Jangan dipikirkan."

"Apa aku bisa tahu namamu?" tanyanya kemudian. Suaranya tetap terdengar sopan, namun dengan sedikit keberanian yang khas dari seorang anak kecil yang penuh rasa ingin tahu.

"[Name]," jawab gadis itu. "Namaku [Name]."

Nama itu bergema dalam pikirannya, seperti batu kecil yang jatuh ke kolam tenang, menciptakan riak lembut yang terasa asing namun menyenangkan. Rex Lapis merasa, meskipun tanpa alasan jelas, bahwa nama itu akan terus beresonansi dalam pikirannya untuk waktu yang lama.

Ia membalas dengan lembut, "Namaku Zhongli. Senang bertemu denganmu."

✦•┈✦•┈⋆⋅☆⋅⋆┈•✦┈•✦

"Aku tidak tahu berapa lama waktu yang mereka butuhkan, tapi aku yakin kalau suatu hari nanti, para manusia akan melampaui kita."

Itu yang dikatakan seorang gadis dengan kemeja lengan panjang memberikan kepercayaannya dengan penampilannya yang serius namun ceria.

"Para manusia itu kecil dan rapuh seperti debu," katanya sembari memandang hamparan bunga Glaze Lily di depannya.

Gadis itu terkekeh. "Karena itulah, mereka tidak tahu kapan akan terbunuh oleh bencana alam atau ulah mereka sendiri dan jadi selalu merasa takut."

"Karena takut, jadi selalu bekerja keras dan ingin jadi lebih pintar," sang Penguasa Geo menceletuk. "Aku mengerti."

"Bukan itu maksudnya!" Semburnya sedikit kesal, perempatan di dahinya muncul. "Seperti ini, jika kekuatanku dibandingkan denganmu, itu terlalu lemah, maka gunakan saja teknik dan kebijaksanaan."

"Jika memiliki kekuatan dan pemikiranku pada saat yang bersamaan... kota ini pasti akan menjadi hebat, bukan?"

Akhirnya, gadis itu tersenyum simpul dan perlahan berubah menjadi debu yang sangat halus. Dia mendesah pelan. "Tentu saja, apa yang kuharapkan dari pria kaku sepertimu? Sudahlah, lupakan saja. Ini sia-sia."

Sang Penguasa Geo menghelakan napasnya pendek, tiba-tiba ia kembali bernostalgia pada hari ketika dia masih berbicara dengan teman lamanya.

Sudah ratusan tahun berlalu, tapi ia masih tidak bisa membuka kunci yang ditinggalkan sang Dewa Debu kepadanya atau apa yang diucapkannya sebelum ia kehilangan sosoknya untuk selamanya.

Namun alasan sesungguhnya sang Archon Geo di Liyue bukan hanya semata karena teringat ucapan teman lamanya, melainkan sebuah kontrak yang baru-baru ini ditawarkan kepadanya.

Dia tahu, cepat atau lambat perang akan kembali bercambuk di Teyvat dan mungkin hal itu sudah dimulai sejak kontrak itu datang kepadanya. Kendati demikian, Morax tidak ingin langsung menyetujuinya karena bagaimana pun, dia masih memiliki tanggung jawab untuk melindungi orang-orangnya di sini. Singkatnya, ini adalah tugasnya.

Dia tidak mungkin melepaskan tanah yang sudah ia jaga selama ribuan tahun begitu saja, bukan?

"Oh...." [Name] yang baru saja muncul dihadapannya langsung melihat ke arahnya. Dia tersenyum dan membukuk kecil. "Kita bertemu lagi."

"Selamat pagi, Nona [Name]," sapanya sopan.

"Bisa tolong untuk tidak memanggilku begitu?" Dahinya berkerut samar, dia tersenyum menyayangkan. "Rasanya aneh sekali."

"Kalau begitu...." Morax berpikir sejenak. Lalu berkata, "... jiejie?"

[Name] tergelak. "Ya, itu terdengar lebih baik." Dia berdeham dan bertanya, "jadi, apa yang Tuan Muda Zhongli lakukan di sini? Kau tidak mungkin sedang menungguku lewat, bukan?"

"Tidak. Aku memang sedang menunggumu."

"Apa?" [Name] memandangnya dengan alis yang terangkat, sedikit tidak percaya mendengar jawabannya. Angin musim gugur yang sejuk menyapu lembut anak-anak rambut di sekitar wajahnya, membawa aroma asin laut Liyue bercampur bau pedagang rempah-rempah yang lewat.

Morax tidak menunjukkan tanda-tanda keraguan sedikit pun. Matanya yang berkilauan dalam warna emas menatap langsung ke arah gadis muda itu.

"Aku memang sedang menunggumu lewat, jiejie."

"Baiklah...." [Name] menatapnya dengan sedikit ragu, ia mengangguk beberapa kali. "Jadi... apa alasanmu?"

"Aku ingin meminta bantuanmu," jawab Morax tenang.

"Bantuan apa?" Dia memiringkan kepala, rasa penasaran terpantul jelas dari nada bicaranya. "Bukannya kau punya segudang pelayan untuk melakukan apa pun yang kau butuhkan?"

Morax menggeleng pelan, senyuman samar menghiasi wajahnya. "Aku ingin kau menemaniku berkeliling Pelabuhan Liyue."

Ada jeda sesaat sebelum [Name] menjawab. Tentu permintaan itu terkesan sederhana. Namun di matanya, ada sesuatu yang terasa tidak biasa—mungkin karena cara Morax berbicara, atau bagaimana dia menatapnya dengan begitu penuh keyakinan, seperti sudah tahu bahwa [Name] mungkin tidak akan menolaknya.

[Name] tertawa kecil, meski canggung. "Itu permintaan aneh, Tuan Muda. Bukannya aku ingin bersikap kasar, tapi... apa kau tidak khawatir untuk mempercayai orang asing sepertiku? Bagaimana kalau aku ini orang jahat yang berniat menculikmu dan meminta tebusan dari keluargamu?"

Alih-alih merasa tersinggung, Morax justru menunjukkan senyum ringan yang mencerminkan ketenangan mutlak. "Kalau itu memang niatmu, kau sudah melakukannya sejak pertama kali kita bertemu." Jawabannya membuat [Name] tercengang, tapi sebelum dia sempat membalas, bocah itu menambahkan, "Selain itu, aku tidak mudah dikalahkan. Kau tidak perlu khawatir."

Sejenak, [Name] hanya bisa memandangnya, merenungkan dengan hati-hati setiap kata yang keluar dari bibir Morax.

"Kau bicara dengan sangat percaya diri, ya," katanya akhirnya, nada suaranya terdengar campuran antara terkejut dan geli. "Tapi tidak peduli seberapa hebatnya dirimu, aku tetap bukan pilihan terbaik untuk permintaan ini," katanya. Dia menyilangkan tangannya di dada. "Kalau aku jadi kau, aku akan meminta orang tuaku mengirim satu atau dua penjaga untuk menemaniku. Itu jauh lebih masuk akal daripada bergantung pada orang asing."

"Hmm... kau benar," gumam anak laki-laki itu. "Aku tidak terpikirkan hal itu sebelumnya."

"Kalau begitu sebaiknya kau segera kembali. Kau terlihat seperti akan mengikuti seseorang yang memberimu permen secara gratis," kata [Name] sambil melangkah untuk berbalik pergi. "Ada sesuatu yang harus kukerjakan, aku akan pergi sekarang."

Saat bayangan gadis itu menghilang di balik deretan kios pasar, Morax menarik napas panjang.

Kebijaksanaan para manusia, kemampuan mereka untuk berakal demi bertahan hidup, ambisi kecil yang memberi mereka harapan untuk maju—apa itu yang ingin dikatakan Guizhong di masa lalu?

Hanya dari sebuah kasus sederhana, mereka bisa memecahkan semuanya, membuat berbagai kemungkinan dan memperkirakan sesuatu yang akan terjadi selanjutnya seakan bisa melihat masa depan.

"Sepertinya aku masih harus banyak belajar."

✦•┈✦•┈⋆⋅☆⋅⋆┈•✦┈•✦

Ini sangatlah aneh, tentu saja.

Anak laki-laki itu jelas sangat aneh. Mengesampingkan cara bicaranya yang kaku, tapi memintanya—orang yang baru saja ditemuinya tempo hari—untuk pergi menemaninya berkeliling Liyue sangatlah tidak masuk akal.

Tidak—[Name] menggeleng dalam benaknya—sebenarnya itu cukup masuk akal.

Mungkinkah anak laki-laki itu memiliki alasan khusus? Seperti misalnya... dia kabur dari rumahnya? Memiliki masalah keluarga? Atau mungkin dia tidak bisa meminta hal-hal seperti itu dari keluarganya?

[Name] menyangkal pikirannya sekali lagi dan bergumam, "ya, itu juga sepertinya tidak mungkin."

Dia mengingat-ingatnya kembali. Pakaian yang dikenakan anak laki-laki itu jelas adalah pakaian mewah. Bahan yang digunakannya adalah kain yang dijual oleh kapal pedagang luar negeri, belum lagi [Name] bisa melihat bordiran halus yang terbuat dari emas dan kancing permata di kerah pakaiannya.

"Kalau dia anak yang dikucilkan dari keluarganya, pakaiannya tidak akan semewah itu," gumamnya. Sedikit banyak pikirannya justru membuat dia mengkhawatirkan anak laki-laki itu.

"Nah, ini sampel cor lapis yang kau inginkan," kata pedagang di depannya. "Lihatlah dengan teliti dan pilih yang kau suka. Aku jamin kalau ini semua adalah cor lapis dengan kualitas terbaik yang bisa kau temui!"

[Name] tersenyum tipis sambil mengangguk ke arah pedagang, lalu menunduk untuk memperhatikan cor lapis yang dipajang di atas meja kayu yang terukir dengan ornamen khas Liyue. Batu-batu berwarna keemasan itu tampak berkilauan diterpa cahaya matahari siang yang menembus kanopi pasar. Tangannya dengan hati-hati menyentuh salah satu batu, merasakan tekstur dinginnya yang halus.

"Cor lapis memang selalu indah," gumamnya, suaranya hampir tidak terdengar di tengah hiruk-pikuk pasar. Ia memperhatikan kilauan lembut permukaan batu itu, bagaimana warna keemasannya berubah menjadi lebih gelap atau lebih cerah bergantung pada sudut pandangnya. "Rasanya seperti membawa sepotong emas ke dalam genggaman."

"Yang itu memiliki kilauan yang lebih murni dibandingkan lainnya," suara rendah namun jelas, dengan nada yang nyaris berwibawa, tiba-tiba terdengar dari arah sampingnya. "Warnanya tampak lebih cerah. Apa mungkin itu cor lapis yang sudah dipanaskan?"

[Name] menoleh dengan cepat, tertegun melihat anak laki-laki yang kini berdiri di sampingnya. "Kau?!"

"Batuan ini berasal dari pertambangan di Gunung Tianheng," lanjut bocah itu sambil menunjuk cor lapis yang sebelumnya dia komentari. "Jika dilihat dari corak warnanya yang sempurna dan kilauan seperti bintang, itu artinya berasal dari bagian paling dalam tambang. Hanya sedikit orang yang cukup terampil untuk mengekstraknya tanpa merusaknya." Ia berbicara dengan kepercayaan diri seorang ahli, bukan seperti bocah sembarangan.

Mata [Name] membesar, ia seakan kehilangan kata-kata untuk beberapa saat. Pikirannya berputar cepat—tentu, dia baru saja memikirkan tentang anak laki-laki ini. Tapi bagaimana mungkin anak itu tiba-tiba muncul di hadapannya?

"Tunggu sebentar!" Serunya, suaranya nyaris melompat karena terkejut.

Anak laki-laki itu menoleh padanya dengan ekspresi tenang. Tidak ada sedikit pun keterkejutan dalam sorot matanya, seolah ia telah mengantisipasi reaksi itu. "Aku pikir aku sudah cukup jelas saat mengatakan bahwa aku sedang menunggumu."

"Aku tahu itu!" [Name] memundurkan langkahnya setengah, hampir membuat seorang pejalan kaki yang membawa keranjang penuh buah dodoco terhuyung. "Apa yang kau inginkan dariku kali ini?"

"Aku belum selesai dengan permintaanku sebelumnya," jawabnya sambil menyelipkan sebelah tangannya di belakang, sikap tubuhnya sangat dewasa untuk anak seusianya. "Karena itulah aku mengikutimu ke sini."

"Demi Rex Lapis!" [Name] mendesah lelah sambil memijit dahinya. "Apa kau tidak mendengarkanku sebelumnya? Lagi pula, kenapa kau begitu gigih memintaku untuk menemanimu?"

"Karena hanya kau yang kutemui di Liyue sejauh ini," jawabnya dengan sederhana, nada bicaranya seolah menyiratkan bahwa jawaban itu seharusnya sudah cukup jelas.

[Name] hanya bisa menatapnya dengan napas yang tertahan. Entah mengapa, dari semua hal yang bisa dikatakan oleh seorang anak kecil misterius seperti ini, jawaban itu justru terasa paling membingungkan.

"Kau tidak akan pergi meski aku meninggalkanmu, bukan?"

Anak laki-laki itu menggeleng. "Tidak."

[Name] mendesah sekali lagi. "Sudah kuduga," katanya, dia mengangguk beberapa kali. "Baiklah, baiklah. Aku akan menemanimu. Tapi hanya jika kau benar-benar mendengarkanku kali ini, kau mengerti?"

"Tentu saja," jawab anak laki-laki itu sambil tersenyum. "Terima kasih, jiejie."

"Ugh... jangan berterima kasih dengan wajah itu ...!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro