Chapter 38
Langkah-langkah mantap Zhongli menggema di koridor sunyi Wangsheng Funeral Parlor, bergema lembut di sepanjang dinding berlapis kayu gelap yang diterangi lentera redup. Suaranya tenggelam sesaat ketika dia mendekati pintu ruangan Hu Tao. Dari dalam, terdengar percakapan Meng yang terkesan serius. Zhongli berhenti, berdiri tegap dan tenang, namun kedua alisnya sedikit berkerut ketika mendengar sepenggal pembicaraan.
"Sepertinya ini masalah yang sangat mendesak, jadi saya mohon agar Anda menyelesaikannya sesegera mungkin," ujar Meng dengan nada tegas.
Hu Tao masih seperti biasanya, terdengar santai, meskipun suaranya mengandung nada berpikir. "Kau benar. Ini juga terdengar sangat aneh."
Zhongli mengetuk pintu dengan ketukan ringan, suaranya cukup untuk mengalihkan perhatian di dalam ruangan. "Boleh aku masuk?"
"Ah, Tuan Zhongli!" seru Hu Tao dengan ceria. "Masuklah, pintu tidak terkunci."
Zhongli membuka pintu dengan perlahan dan melangkah masuk. Di dalam, cahaya lentera memperjelas ekspresi Hu Tao yang setengah serius, setengah santai seperti biasanya, sementara Meng berdiri dengan postur tegap, mencoba menyampaikan pentingnya situasi.
"Kebetulan sekali kau datang, Zhongli. Bagaimana pekerjaan penilaianmu hari ini?" tanya Hu Tao sambil mengusap dagunya, pandangannya menajam sejenak.
"Semua berjalan lancar seperti biasanya," jawab Zhongli, nadanya penuh keyakinan yang tenang. Dia melirik Meng sejenak, menganggukkan kepalanya sopan, sebelum kembali memusatkan perhatian pada Direktur Hu Tao.
Hu Tao mengangguk ringan dan mencondongkan tubuh di kursinya. Setelah beberapa basa-basi singkat, wajahnya tiba-tiba berubah serius. "Ngomong-ngomong, aku akan pergi ke Wuwang Hill sekarang. Meng sudah melaporkan masalah yang cukup mendesak."
Zhongli sedikit mengangkat alis, meskipun wajahnya tetap tenang. "Apa yang membawa Anda ke sana, Direktur Hu?"
Hu Tao mendesah, membalikkan pandangannya ke jendela. "Tampaknya, [Name] memutuskan untuk pergi menyelidiki seorang diri. Menurut laporan Meng, dia melihat sesuatu—roh, mungkin—dan mengejarnya ke arah itu."
Ekspresi dingin Zhongli berubah tipis, pupil matanya menyempit sejenak, sementara tangannya—yang biasanya selalu terlipat dengan santai—mengepal ringan di belakang tubuhnya. Hanya selarik ketegangan yang membayang pada alisnya, cukup untuk membuat suasana di ruangan mendadak berat.
Dia mencoba mengontrol nada suaranya, meskipun ada ketegangan yang halus di dalamnya. "Seorang diri?"
Hu Tao menoleh, tatapannya menyelidik. "Aku juga berpikir itu tidak masuk akal. Dia takut setengah mati pada hantu, jadi ini jelas sesuatu yang tidak biasa."
Keheningan menggantung di ruangan itu. Zhongli berdiri tegap, pandangannya kosong sejenak, seperti sedang memproses apa yang baru saja dikatakan.
"Tuan Zhongli?" panggil Hu Tao, membuyarkan lamunannya.
Zhongli perlahan menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan lembut, mencoba mengembalikan ketenangannya. "Izinkan saya yang mencarinya," ujarnya tiba-tiba.
Hu Tao tersentak kecil. "Tidak. Kali ini, aku yang harus menangani masalah kali ini. Bagaimanapun juga, [Name] ada di bawah tanggung jawabku."
Zhongli memandang Hu Tao dengan tatapan tajam, namun masih menjaga sopan santunnya. "Direktur Hu, jika boleh saya bertanya, mengapa Anda menolak permintaan saya?"
Hu Tao mencondongkan tubuh ke depan, menyatukan kedua telapak tangannya. "Karena saat ini, kau tidak terlihat dalam kondisi yang dapat menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin. Aku tahu kau sangat menghargai [Name], tetapi kondisi seperti ini tidak membutuhkan lebih banyak emosi. Dia tidak bisa dibiarkan terlalu lama di luar sana seorang diri, apalagi jika yang kita hadapi adalah sesuatu yang lebih dari sekadar roh biasa."
Zhongli terdiam. Pernyataan Hu Tao memang benar, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang mendorong keinginan kuat untuk mencari [Name] sendiri. Dia menarik napas dalam-dalam lagi, lalu menghembuskannya perlahan, berusaha keras menenangkan gejolak di dalam dadanya.
"Mohon maafkan saya atas sikap saya sebelumnya," ujar Zhongli, suaranya dalam dan penuh ketulusan. Dia menundukkan kepala sedikit, menunjukkan penghormatan. "Namun, izinkan saya yang pergi. Saya yakin saya bisa menanganinya."
"...."
Hu Tao memandangnya dengan ragu sejenak. Ketika dia tidak segera menjawab, Zhongli melanjutkan, suaranya lebih lembut namun tegas. "Jika memang ada sesuatu yang tidak biasa, saya akan menghadapinya sendiri. Tolong, biarkan saya pergi."
Setelah beberapa saat keheningan yang menegangkan, Hu Tao akhirnya mendesah dan bersandar kembali di kursinya. "Baiklah, aku mempercayakan ini padamu, Zhongli. Tetapi aku akan segera menyusul jika ada hal yang mencurigakan. Aku tidak akan berdiam diri terlalu lama."
Zhongli mengangguk kecil, rasa lega bercampur kekhawatiran yang terus membayangi. "Terima kasih."
Dengan langkah tegap, dia meninggalkan ruangan itu, bayangan tubuhnya perlahan menghilang di kegelapan koridor, sementara pikirannya terpaku pada satu hal: menemukan [Name] sebelum semuanya terlambat.
✦•┈✦•┈⋆⋅☆⋅⋆┈•✦┈•✦
[Name] terbangun dengan tubuh terasa ringan, tetapi disertai perasaan yang aneh. Ketika matanya membuka, sekelilingnya tidak seperti tempat yang ia kenal.
Udara di sekitarnya terasa dingin, membekukan ujung jemarinya. Kabut tipis melayang seperti jaring sutra yang mencoba merangkumnya. Pepohonan pucat menjulang tinggi, batangnya berkelok aneh, seolah-olah dirajut oleh tangan gaib, dan dedaunan kemerahan tampak seperti embusan api yang redup di bawah cahaya aneh—tanpa bulan ataupun bintang yang terlihat.
Dia duduk tegak, menggigil ketika rasa dingin yang menggigit mulai menjalari kulitnya. "Di mana... aku?" gumamnya dengan napas tersengal.
[Name] tersentak, hampir saja berteriak ketika sosok kecil muncul dari kabut—anak laki-laki dengan tubuh tembus pandang dan mata besar yang berbinar penuh ketakutan. Dia melayang perlahan ke arahnya, rambutnya tampak berkibar ringan seperti daun yang tersapu angin, meskipun tidak ada angin sama sekali di sini.
"Jangan berteriak! Tolong jangan!" serunya cepat sambil mengangkat tangannya seolah meminta ampun. "Aku minta maaf... aku benar-benar minta maaf!"
[Name] yang tadinya membeku dalam ketakutan, mencoba menarik napas dalam-dalam. Matanya melekat pada sosok anak laki-laki itu, kehadirannya sama sekali tak terduga. "Kau..."
"Benar, aku yang membawamu ke sini," ucapnya lirih. "Tapi aku tidak bermaksud melukaimu! Aku diperintah oleh seseorang—aku tidak punya pilihan. Dia bilang akan mengusik temanku jika aku tidak menurut."
Sesuatu dalam nadanya terdengar tulus. Tangan kecil itu gemetaran, dan bibirnya yang samar seperti kabut tampak bergetar. [Name] ingin mempercayainya, tapi otaknya masih kewalahan dengan situasi ini.
"Temanmu? Apa maksudmu?" tanyanya serak, mencoba menenangkan diri.
"Qing Mingshen," jawab anak laki-laki itu, hampir berbisik. Ada kilatan duka dalam matanya ketika dia mengucapkan nama itu. "Kau sudah melihatku di dalam mimpinya hari ini, ingat?"
Mendengar nama itu membuat dada [Name] berdebar. Ah, benar. Dia klien hari ini, pikirnya. Namun sebelum dia bisa mengutarakan pertanyaan lebih lanjut, suara langkah pelan tapi tegas mendekat dari kabut.
Seorang pria muncul dari arah yang tak terlihat. Dia berwajah muda, tetapi ada sesuatu yang sangat kuno terpancar dari dirinya. Auranya terasa begitu tenang namun penuh kuasa. Ia mengenakan pakaian putih bercorak biru tua dengan bordir berpola bulu-bulu burung dan sisik ikan, langkahnya mantap namun mengisyaratkan sikap yang hormat. Sepasang mata tajamnya memindai [Name] dengan penuh perhatian sebelum tatapan itu melunak.
"Apakah dia baik-baik saja?" tanya pria itu pada roh anak laki-laki tersebut. Suaranya dalam dan terukur, tetapi cukup mengintimidasi.
Roh anak laki-laki itu mengangguk cepat. "Dia... baik-baik saja dan baru saja tersadar. Aku juga sudah menjelaskan kondisinya padanya."
[Name] menelan ludah, rasa gugup kembali menyelimutinya. Kehadiran pria ini terasa terlalu kuat, hampir seperti dia sendiri adalah bagian dari dunia ini yang mengawasi setiap gerakannya.
Pria itu menyadari kecemasan yang terpancar dari gerakan tubuh [Name]. Dia menundukkan kepala sedikit dan berkata dengan nada menenangkan, "Maafkan kami karena telah membawamu ke sini dengan cara seperti ini. Aku adalah Kunpeng, dan jika itu bisa membuatmu merasa lebih nyaman, kau mungkin lebih mengenalku dengan istilah 'Adeptus' di zamanmu."
[Name] tertegun mendengar pengakuan itu. Dia langsung membungkuk, meskipun tangannya gemetar karena rasa takut bercampur hormat. "Maafkan kekurangajaran saya, wahai Adeptus yang terhormat."
Kunpeng tersenyum tipis. "Tidak perlu seperti itu. Aku hanya berharap kau tidak terkejut dengan kehadiranku."
"Tapi kenapa... Anda membawa saya ke sini?" [Name] bertanya, mencoba mengendalikan kegugupannya.
Kunpeng memandangnya dengan tatapan penuh penyesalan. "Aku harus meminta maafmu sekali lagi. Aku hanya bisa membawamu dengan cara ini karena orang itu tidak akan membiarkanku mendekatimu," ujarnya, suaranya pelan tetapi tetap terdengar tegas. "Namun, aku memerlukan kemampuan spiritualmu. Ada seseorang yang sangat membutuhkan pertolonganmu."
[Name] memandang Kunpeng, kebingungan terlihat jelas di wajahnya. Namun dia tidak sempat mempertanyakan lebih jauh karena Kunpeng melambaikan tangan, menunjukkan sebuah pelataran marmer di balik kabut. Di sana, seorang gadis muda tertidur dengan tubuh tergeletak lemah.
Kunpeng mendekati pelataran itu dengan tenang, sementara [Name] mengikutinya perlahan, masih mencoba memahami situasi. Saat dia mendekat, suara lembut gadis itu terdengar di antara napas-napas yang tidak teratur. Sesekali ia menangis kecil, air mata tipis mengalir di wajahnya meski dia tetap terlelap.
"Belum lama ini, dia menyaksikan ibunya dibunuh secara mengenaskan oleh monster," jelas Kunpeng dengan suara suram, pandangannya tertuju pada anak yang tertidur itu. "Ketakutan seperti duri yang tertancap dalam jiwa mudanya. Sekarang, dia tersesat dalam mimpinya sendiri, isak tangisnya menggema tanpa akhir. Itu bukan hanya mimpi buruk, tetapi jurang gelap yang terus menelannya."
[Name] menatap Kunpeng. "Apa yang kau inginkan dariku?"
Kunpeng memandangnya dalam-dalam. "Kau bisa melihat mimpi seseorang, bukan? Aku ingin kau membantuku melihat apa yang terjadi dalam mimpinya. Hanya itu yang kuminta."
[Name] tercengang, dia menatap sang Adeptus dalam diam. Ini jelas adalah sesuatu yang tidak biasa mengingat bagaimana seorang Adeptus selalu bersikap sangat superior dan angkuh. Mereka hanya akan menurunkan harga dirinya hanya kepada seseorang yang telah mereka akui dan terkenal seperti sang Pengembara berambut pirang, bukan manusia biasa sepertinya—tetapi dia....
"Kenapa Anda ingin menolongnya?"
Kunpeng diam sejenak sebelum menjawab. Tatapannya meneduh, tetapi ada kesedihan yang sulit dijelaskan di sana. "Karena seorang Adeptus harus menjadi lentera dalam kabut. Jika aku tidak mengambil tanggung jawab ini, lalu apa gunanya aku memegang takdir kekal sebagai penjaga mereka?" Dia berhenti sejenak, menghembuskan napas panjang. "Tugas kita sebagai Adeptus adalah menginspirasi orang-orang agar tetap maju, memperbaiki diri, dan tak menyerah pada rasa takut maupun putus asa."
Ucapan itu menekan [Name], meskipun tidak dengan cara yang buruk. Dia menggenggam kedua tangannya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tidak beraturan. Akhirnya, dengan suara pelan, dia berkata, "Jika aku bisa membantunya... aku akan melakukannya."
Kunpeng mengangguk pelan, ekspresinya menunjukkan rasa hormat sekaligus pengakuan. "Terima kasih."
✦•┈✦•┈⋆⋅☆⋅⋆┈•✦┈•✦
Zhongli berjalan cepat menembus hutan Wuwang Hill yang semakin larut dalam kabut pekat dan bau anyir tanah basah. Di sekelilingnya, gemerisik dedaunan bercampur bisikan lemah roh-roh yang tersembunyi di antara bayang-bayang pohon. Mereka mengawasi dengan tatapan hampa, beberapa berani mendekat hanya untuk segera menarik diri saat merasakan kehadirannya yang jauh lebih kuat.
"[Name]...." Pikirannya penuh dengan kekhawatiran yang sulit ia redam. Langkah-langkahnya nyaris tanpa suara di atas tanah berlumut, gerakannya efisien, mencari setiap jejak yang mungkin mengarahkan ke keberadaan gadis itu. Namun heningnya malam hanya terpecah oleh suara dedaunan kering yang terkadang tergesek di antara angin mati.
Setelah beberapa saat tanpa hasil, ia akhirnya menghentikan langkahnya. Berdiri tegak di tengah-tengah rerumputan liar, ia memusatkan indra pendengarannya. Apa mungkin aku salah arah? Atau—
"Ah, apa kau mencari seorang gadis muda? Sepertinya dia sudah dibawa pergi," suara bergema pelan muncul tiba-tiba.
Zhongli menoleh tajam. Sebuah roh berjubah dengan mata merah kecil berdiri tak jauh darinya. Sorot matanya kosong, tetapi suaranya terdengar waspada.
"Dibawa ke mana?" tanyanya, nadanya datar tetapi tegas.
Roh itu bergerak seakan enggan, menunjuk jauh ke arah utara. "Jejaknya masih bisa terasa, tetapi kau terlambat. Mereka membawanya ke tempat di mana yang fana jarang menyusuri."
Tanpa berkata lebih, Zhongli membungkuk kecil, mengucapkan doa yang nyaris tak terdengar sebelum melangkah ke arah yang ditunjukkan.
Jejak halus energi spiritual mulai terjalin di sekelilingnya. Aroma kekuatan kuno—yang ia kenal—perlahan terasa lebih kuat. Seperti jarum-jarum halus yang menyentuh kulitnya, energi itu menyelubungi seluruh tubuhnya, memberi konfirmasi pada firasat buruk di dadanya. Hingga akhirnya, ia tiba di sebuah reruntuhan yang tersembunyi di balik gugusan pepohonan tinggi.
Sebuah segel besar menghiasi gerbang di depannya, bersinar keemasan dan berpendar halus dalam cahaya redup malam. Segel itu tidak asing. Garis-garisnya, detail motifnya, dan energi yang dipancarkannya—itu adalah pekerjaan seorang Adeptus. Bahkan seorang Adeptus yang ia kenal.
Zhongli mengulurkan tangan, membentuk jejak dengan jari-jarinya di udara. Segel itu bergetar, berderak, hingga akhirnya terbuka perlahan seperti mematuhi kehendak yang lebih kuat. Energi kuno melesak keluar, dan ia segera melangkah masuk.
Reruntuhan itu di dalam terasa sangat berbeda—dingin, megah, dan lapang. Dindingnya menjulang seperti tulang-tulang dari dunia purba, diukir dengan relief yang berbicara tentang sejarah yang terlupakan.
Di tengah lorong yang kosong, seorang pemuda dengan wajah penuh percaya diri berdiri. Wajah itu bercahaya seperti embun pagi, tapi ada kegelapan di balik senyumnya yang terkesan tenang. Jubah panjangnya sederhana namun indah, berwarna abu-abu dengan garis-garis emas yang bersinar samar di bawah pencahayaan magis.
"Kunpeng," ujar Zhongli dengan suara berat, mengenali pemuda itu tanpa kesulitan.
"Aku hampir tidak mengira kau akan menemukan tempat ini secepat itu." Kunpeng menyeringai kecil, lengannya terlipat di depan dada.
"Aku tidak punya waktu untuk bermain teka-teki denganmu," balas Zhongli dingin. "Kembalikan [Name]. Sekarang."
Kunpeng mengangkat alis dengan nada acuh. "... kau bahkan belum mendengar alasan kenapa aku membawanya ke sini?"
"Aku tahu kau tidak akan melakukannya tanpa alasan." Langkah Zhongli terhenti di depan Kunpeng, mata emasnya bersinar tajam seperti ujung tombak. "Tetapi apa pun alasanmu, tidak ada yang membenarkan kau memaksa seseorang tanpa seizinku."
Kunpeng tertawa kecil, langkahnya santai mendekat. "Seizinmu, ya? Tapi justru itulah masalahnya. Kau lupa kalau aku sudah cukup sering bekerja bersamamu untuk mengetahui cara berpikirmu. Aku tahu kau tidak akan memberiku izin untuk melibatkan dirinya. Karena itulah, aku tidak punya pilihan."
Zhongli merespons dengan diam, membiarkan kata-kata itu tenggelam di antara ruangan kosong. Tapi ada ketegangan di setiap lekuk wajahnya.
Kunpeng mengamati ekspresinya, lalu tersenyum samar. "Tidak perlu memandangku seperti itu, Tuan Zhongli... atau mungkin lebih tepat aku memanggilmu dengan nama lain?" Pemuda itu tersenyum lebih, menatap Zhongli lebih lekat dan berkata, "Morax."
Zhongli yang terus terdiam akhirnya membuka suara, "kenapa [Name]?"
"Hanya dia yang bisa kupercaya," katanya. "Teman lamaku memberinya berkah, para Adeptusmu tampak mempercayainya. Bukankah kau sendiri memberinya berkah perlindungan kepadanya, Morax?"
"...."
Kata-katanya seperti ujung pedang yang mengiris langsung ke inti kesunyian. Napas Zhongli nyaris tak terdengar, tetapi jari-jarinya mengepal erat di sisinya.
Kunpeng menghela napas dramatis dan menyisir rambutnya dengan jemarinya. "Kau bahkan sudah meninggalkan tandamu di tubuhnya. Jadi jangan salahkan aku kalau aku juga memercayainya untuk melakukan ini."
Ketegangan membara di udara ketika kata-kata terakhir Kunpeng menggantung. Zhongli akhirnya berkata dengan suara rendah, "dia bahkan tidak tahu siapa aku."
Kunpeng melontarkan seringai masam. "Mungkin sudah waktunya dia tahu."
Zhongli tidak menanggapi. Dia hanya mengangkat dagunya sedikit, nada perintah menyelinap dalam suaranya. "Tunjukkan padaku di mana dia."
Dengan ekspresi tak terbaca, Kunpeng mengulurkan tangannya, dan sebuah pintu yang terkunci dengan kekuatan Adeptus perlahan terbuka di hadapan mereka. Cahaya terang yang menguar dari ruangan itu menyilaukan, tetapi di dalam, sosok yang ia kenal berdiri tegak.
"[Name]!" seru Zhongli hampir tak sadar. Namun ketika mata gadis itu bertemu dengannya, keterkejutannya lebih jelas daripada apa pun. Dia mengambil langkah maju, seolah ingin memastikan apa yang dilihatnya nyata.
"... Morax?!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro