Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 35

[Name] membasuh tangannya dengan kasar sembari memaki-maki dirinya sendiri atas kecerobohannya barusan di dalam benaknya.

Oh, sungguh! Dia tidak bermaksud untuk mengatakan semua yang ada di dalam pikirannya begitu saja tentang Zhongli, tapi itu—itu—pokoknya itu hanyalah penilaiannya secara personal, tidak ada sesuatu seperti yang tampaknya sedang dipikirkan orang-orang disekitarnya ketika mendengar ucapannya barusan.

Lagi pula, meski secara harfiah dia sudah "merasakan" tubuh Zhongli, tapi dia tidak pernah benar-benar "melihat" tubuh pemuda itu—dan perlu diingatkan, kalau ini tidak seperti yang sedang dipikirkan—sedikit pun, tidak pernah.

Oke, baiklah. Mungkin hanya sedikit. Satu-satunya yang [Name] lihat ketika ia sedang bersenggama dengan Zhongli hanyalah wajah pemuda itu, rambutnya yang coklat, dan bahunya yang lebar; dia tidak pernah benar-benar "melihat" tubuhnya karena Zhongli selalu meminta [Name] untuk merasakannya melalui sentuhan-sentuhannya yang panas di kulitnya, menjadikan tubuh besarnya sebagai selimutnya, dan merengkuhnya sebelum akhirnya mereka tertidur. Tentu dari situlah [Name] tahu kalau Zhongli punya pinggang yang ramping dan—

Wajah [Name] meledak seketika. Dia segera mematikan keran air pada wastafel yang digunakannya dan membuka salah satu pintu bilik toilet sebelum masuk ke dalam dan duduk di atasnya dengan wajah yang ditutupi kedua tangan dengan malu.

"Lupakan itu, [Name]! Cepat lupakan itu!" Serunya sambil memukul kedua pipinya pelan. "Bagaimana bisa kau memikirkan hal seperti itu pada kekasihmu sendiri!?"

Dia menarik napas panjang, menutupi pipinya dengan telapak tangan, lalu menghembuskannya dengan perlahan.

Setelah beberapa saat, pintu toilet tiba-tiba berderit dan terbuka dengan kasar. Suara langkah tergesa di atas lantai keramik membuat [Name] otomatis menahan napas, tubuhnya membeku seperti rusa yang dikejutkan di tengah jalan. Suara ketukan tumit bergema, menghentak dengan emosi yang tersembunyi.

Seseorang ada di sini.

Kemudian, suara keran air terbuka lagi—terdengar deras kali ini. Setelah itu terdengar sebuah dengusan tajam, hampir seperti napas berat yang disertai kemarahan. Tepat setelahnya, suara lain yang lebih menyesakkan menggema. Tangisan.

Tertahan, namun terdengar sangat jelas dalam keheningan. [Name] melirik melalui sela pintu biliknya, tetapi yang terlihat hanyalah ujung kain rok panjang berwarna pastel. Dia ragu. Haruskah dia keluar? Itu tindakan yang sopan, bukan? Tapi... bukankah itu berarti dia juga ketahuan sedang mendengarkan sejak tadi?

[Name] menggigit bibir bawahnya. Tangisan itu tak juga berhenti, kini disertai dengan isakan-isakan pelan, seperti yang keluar dari seseorang yang mencoba mati-matian menahan rasa sakitnya agar tetap terbungkus di dalam dirinya sendiri.

"Aku... tidak bisa melakukan ini.... Aku benar-benar tidak bisa...." suara wanita itu tiba-tiba terdengar, lemah dan putus asa.

Seketika hati [Name] tertarik, entah oleh dorongan moral atau rasa penasaran, dia membuka pintu biliknya perlahan. Pandangannya tertuju pada seorang wanita muda di dekat wastafel, dengan tangan memegang erat ujung meja marmer sementara wajahnya yang basah oleh air mata tertunduk rendah.

Dengan langkah hati-hati, [Name] mendekat, mengeluarkan saputangan dari saku kecil di roknya. "Apakah... Anda baik-baik saja?" tanyanya pelan.

Wanita itu tersentak, menoleh dengan wajah penuh kebingungan dan mata sembab yang langsung tertuju pada saputangan yang diulurkan padanya. Butuh beberapa detik sebelum dia meraihnya, tangan gemetar, lalu menunduk lagi. "Te-terima kasih...."

"Maaf kalau aku lancang," lanjut [Name], berdiri dengan canggung. "Aku akan pergi sekarang."

Wanita itu diam, hanya sesekali terisak kecil saat mengusap matanya. Suasana menjadi sunyi untuk beberapa saat. Begitu [Name] merasa sudah waktunya untuk pergi, dia membalikkan badan dan mulai melangkah menjauh.

"Apakah...." suara wanita itu menahan langkahnya. [Name] menoleh dengan alis terangkat. "Apakah kau benar-benar mencintai pemuda yang datang bersamamu tadi?"

Pertanyaan itu seperti palu yang menghantam keras ke dalam kesadaran [Name]. Dia terdiam, sedikit terkejut dengan pertanyaan yang langsung mengarah padanyanya itu dengan tiba-tiba. Wajahnya yang mulai mendingin tadi kembali terasa panas. Tapi tanpa ragu, dia menjawab, "Iya. Aku mencintainya."

Wanita itu menatapnya, ekspresi di wajahnya campuran dari keheranan dan rasa tidak percaya. "Kalau begitu... apa itu artinya kau menikahinya karena mencintainya?"

Sekali lagi, [Name] terdiam. Pertanyaan ini terasa jauh lebih rumit, meskipun jawaban sesederhana kata "iya", tetapi jauh di lubuk hati, dia tahu bahwa bukan itu inti dari pertanyaannya.

[Name] membuka mulutnya sebelum menutup kembali. Dia berbalik menghadap wanita di depannya lebih sempurna. Dirasakan bagaimana pun, wanita ini jelas sedang bimbang sendiri dengan pernikahannya. Dia sedang mencari jawaban atas pertanyaan yang mengganjal hatinya melalui orang lain dan itu adalah orang yang ada di depannya saat ini.

"Aku bisa saja tidak menikah dengannya," ujar [Name] akhirnya, pelan tapi tegas. Tangannya sedikit gemetar ketika dia berkata demikian, karena dia merasa ini adalah sebuah pengakuan yang berat. "Bukan karena aku tidak mencintainya, tapi...." Dia menunduk, memandang tangannya yang gemetar. "Kadang aku merasa aku tidak benar-benar mengenalnya, dan itu terasa... menakutkan."

Wanita itu mengerutkan kening, jelas bingung dengan jawabannya. "Jika kau mencintainya, bukankah seharusnya itu cukup?"

"Tidak," jawab [Name] cepat, suaranya memantul lembut di antara dinding keramik. "Cinta itu tidak cukup jika aku tidak tahu siapa dia sebenarnya. Aku ingin mengenalnya—lebih baik, lebih dalam. Karena hanya dengan begitu aku bisa mencintainya sepenuh hatiku, tanpa keraguan apa pun."

Wanita itu menunduk, pandangannya tidak lagi terarah pada [Name] tetapi pada bayangannya sendiri di atas meja wastafel. Setelah beberapa saat yang terasa seperti keheningan abadi, dia berkata dengan suara gemetar, "lalu... apa yang akan kau lakukan sekarang?"

[Name] menarik napas pelan, menahan keraguannya sebelum menjawab. "Aku akan terus belajar untuk mengenalnya. Karena hanya itu caranya."

✦•┈✦•┈⋆⋅☆⋅⋆┈•✦┈•✦

[Name] keluar dari toilet bersama dengan wanita itu.

Segera setelah mendengar jawaban [Name], mereka cukup banyak berbincang. Mungkin karena mereka adalah orang asing, jadi dia tidak curiga sama sekali untuk menceritakan kegelisahannya karena berpikir kalau mereka hanya akan bertemu saat ini saja. Namun itu cukup untuk [Name].

Seperti dugaannya, wanita ini sedang bimbang menhadapi pernikahannya sendiri. Keraguannya segera muncul ketika lamaran yang serius datang dari kekasihnya yang kini berstatus sebagai calon suaminya saat ini. Meski mereka sudah berpacaran cukup lama, tetapi di penghujung hubungannya dia mendadak menjadi ragu. Ini hal yang wajar terjadi sebelum pernikahan. Walaupun [Name] tidak berpengalaman dalam hal ini, tetapi ia sering mendengar para orang tua di sekitarnya yang menceritakan itu ketika mereka mencoba menjodoh-jodohkannya dengan putra dan cucu mereka.

Begitu dia melangkah ke aula, pemandangan langsung mengarah pada sosok Zhongli yang berdiri di depan sana, seperti biasa dengan postur sempurna dan aura yang memancarkan ketenangan. Di depannya, seorang pria dengan pakaian formal sedang berbicara, tangannya bergerak ringan seolah mencoba menegaskan poin tertentu.

Zhongli menoleh ketika mendengar suara langkah kaki, pandangannya segera bertemu dengan milik [Name]. Senyum lembut yang ia kenakan membuat [Name] merasa sedikit lebih nyaman, meski hatinya masih berdegup kencang.  Ah, kau sudah kembali," katanya sambil melirik ke arah [Name]. "Kenalkan, ini Tuan Liang. Kami baru saja bertemu hari ini."

Tuan Liang mengulurkan tangannya dengan sopan, senyum ramah terukir di wajahnya. "Aku Song Liang." Dia melirikkan matanya ke arah wanita di samping [Name] sebelum kembali padanya. "Sepertinya kau sudah bertemu dengan calon istriku, ya?"

"Oh, kami hanya sempat berbincang sedikit di toilet tadi," jawab [Name] sambil membalas uluran tangan itu dengan anggukan sopan. Pandangannya teralih sejenak ke wanita yang berdiri sedikit kaku di sampingnya, yang kini hanya mengangguk kecil sambil memaksakan senyum.

Tuan Liang tertawa kecil, seolah ingin mencairkan suasana. "Senang mendengarnya. Sebenarnya, aku juga baru saja meminta saran kepada Tuan Zhongli tentang beberapa hal terkait pernikahan kami."

Zhongli, yang tetap berdiri tenang di sisinya, menyambung dengan nada rendah dan menenangkan. "Kami mendiskusikan beberapa tradisi dan detail yang mungkin dapat membantu mereka dalam prosesi nantinya. Kebetulan, kami berpikir untuk makan siang bersama setelah ini. Apa kau keberatan, [Name]?"

[Name] terdiam sejenak, terkejut oleh undangan itu, tapi segera mengangguk dengan senyum lembut. "Tentu saja, aku tidak keberatan."

Zhongli mengangguk dengan puas sebelum mengalihkan pandangannya kepada wanita di samping Tuan Liang. "Dan bagaimana dengan Anda, Nona? Apakah Anda keberatan bergabung dengan kami?"

Wanita itu, yang tadinya tampak ragu, akhirnya menjawab pelan, "Tidak, saya tidak keberatan." Meski nadanya terdengar agak lemah, ada sedikit ketulusan dalam jawabannya.

Zhongli mengangguk lagi, melirik jam di pergelangan tangannya. "Kalau begitu, mari kita menuju tempat yang nyaman. Saya tahu ada sebuah restoran yang tenang tidak jauh dari sini."

[Name] mengikuti mereka, matanya sesekali melirik ke arah wanita itu. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat [Name] merasa, meski tak banyak kata yang terucap, wanita itu masih terjebak dalam pikirannya sendiri. Namun, mungkin dengan duduk bersama dan berbincang, jalan keluar perlahan akan terbuka. Setidaknya, itu yang dia harapkan.

✦•┈✦•┈⋆⋅☆⋅⋆┈•✦┈•✦

"Terima kasih untuk saran yang Anda berikan, Tuan Zhongli," kata Tuan Liang sambil tersenyum sumringah padanya. "Anda benar-benar seorang ahli seperti yang saya dengar, saya sangat terbantu."

"Bukan apa-apa, Tuan Liang," balas Zhongli santun. "Aku yang harusnya berterima kasih padamu untuk makan siangnya hari ini. Aku sangat menikmatinya."

Setelahnya kedua pria itu bertukar salam terakhir dengan kehangatan yang sederhana, [Name] berdiri di dekat Nona Fuhua dengan jarak cukup jauh dari kedua pemuda di depannya. Perempuan itu tampak diam, sesekali menatap ke arah jalan di Pelabuhan Liyue dengan tangan yang saling menggenggam erat di depannya.

"Nona [Name]...." Nona Fuhua mengalihkan pandangan padanya saat namanya disebut pelan. "Terima kasih untuk—"

"Nona Fuhua," potong [Name] cepat. "Aku tahu kalau situasinya kurang baik untukmu, tapi izinkan aku mengatakan sesuatu padamu." Ia menatap wanita itu langsung, ekspresinya mencerminkan simpati. "Tapi aku benar-benar percaya, jika kau berbicara dengan Tuan Liang dengan jujur, tanpa menyembunyikan apa pun, dia pasti akan mendengarkanmu."

"...."

[Name] bukanlah orang yang tepat untuk mengatakan itu, dia akan mengakui hal itu—karena bagaimana pun, situasinya persis dengan dirinya dan Zhongli.

Dia terlalu takut untuk bertanya, entah sebenarnya dia takut mendengar fakta bahwa Zhongli adalah seorang Adeptus atau karena pemuda itu berbohong padanya setelah mereka sudah sejauh ini. Namun yang jelas, dia takut kalau itu akan melukai dirinya begitu dalam karena bagaimana pun, Zhongli adalah orang pertama dihidupnya.

[Name] tidak berbohong sewaktu berkata ia mencintai Zhongli, dia memang mencintainya. Akan tetapi sekarang, dia merasa hanya mencintai pemuda itu seorang diri.

"[Name]," panggil Zhongli lembut dari kejauhan, tanda bahwa mereka harus segera pergi dari sana.

[Name] mengalihkan pandangannya kepada Nona Fuhua dan berkata, "aku akan pergi lebih dulu, Nona Fuhua. Sampai jumpa lagi."

Langkah [Name] terasa berat saat ia berbalik dan mengikuti Zhongli menjauh dari Pelabuhan Liyue. Hembusan angin sore membawa aroma khas air laut bercampur dengan bisingnya aktivitas para pedagang yang mulai merapikan dagangannya. Namun, pikiran [Name] terlalu sibuk untuk benar-benar menikmati suasana yang biasa ia kagumi.

Zhongli berjalan tepat di sampingnya. Posturnya tegap, langkahnya teratur. Di tengah perjalanan menuju Wangsheng Funeral Parlor, Zhongli akhirnya memecah keheningan. "Bagaimana menurutmu?" Tanya Zhongli. "Apa kau sudah menemukan sesuatu tentang Nona Fuhua, [Name]?"

"Tidak ada," kata [Name] singkat. "Dia sangat sehat, tidak ada masalah serius dengan para roh."

"Dengan kata lain, ini masalah emosionlnya sendiri?"

[Name] mengangguk. "Dia menipu kondisinya saat ini, Xiānshēng."

Lamaran yang datang tiba-tiba itu tidak membuat Fuhua merasa senang, sebaliknya, itu malah menimbulkan kegelisahan emosional yang luar biasa sehingga membuatnya menjadi seperti orang yang sedang berdelusi.

Dia tidak bisa menolak lamaran yang datang dari kekasih yang dicintainya karena ia takut akan melukainya, jadi secara sengaja, dia mengarahkan pisau itu kepada dirinya sendiri dan membuat Liang berpikir kalau dirinya mulai gila.

Ini bukanlah pertama kalinya [Name] melihat kejadian seperti ini. Beberapa Ibu sering membicarakannya ketika ada seorang gadis yang berusaha membatalkan perjodohan mereka dari Rumah Perjodohan, sebagian lainnya bahkan melakukan hal-hal aneh hanya agar mereka bisa menikahi orang yang benar-benar mereka sukai dan bukan "dijual" di tempat seperti itu.

"Ini hanya spekulasiku saja," kata [Name] menambahkan, mengakhiri penjelasannya. "Ada baiknya kalau mereka tetap pergi kekonsultan pra-pernikahan dan mulai membicarakannya bersama."

"Begitu," Zhongli bergumam. "Itu jadi masuk akal. Tuan Liang juga sepertinya sudah mendapatkan jawabannya."

Apa itu dari percakapannya dengan Tuan Liang saat di toko sebelumnya? Pikir [Name].

Namun jika seperti yang dikatakan Zhongli, itu artinya kedua orang itu sudah mengetahuinya apa yang harus dilakukannya dengan benar. Dengan ini, tampaknya masalah sudah diselesaikan.

Tidak—[Name] merapatkan bibirnya lebih—masih ada satu lagi....

[Name] mendongakkan sedikit kapalanya, menatap Zhongli yang masih berjalan di sampingnya tanpa banyak mengatakan apa pun. Ketika keheningan yang cukup panjang terjadi, [Name] menghentikan jalannya dan bersamaan dengan itu, Zhongli berhenti tepat beberapa langkah di depannya.

Setelah satu helaan napas pendek, seakan tengah mencoba mengumpulkan semua keberaniannya, [Name] akhirnya berkata, "apa aku boleh menanyakan sesuatu padamu?"

Zhongli terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk, dia berkata, "silakan, apa pun itu."

"Xiānshēng," panggilnya, suaranya lebih rendah daripada yang dimaksudkan. "Apa kau seorang Adeptus?"
































🎆🔶️ 𝐇𝐚𝐩𝐩𝐲 𝐁𝐢𝐫𝐭𝐡𝐝𝐚𝐲、𝐙𝐡𝐨𝐧𝐠𝐥𝐢! 🔶️🎆
2024 年 12 月 31 日





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro