Chapter 32
Langit Liyue yang cerah membawa angin lembut yang mengiringi langkah [Name] memasuki kantor Hu Tao di Wangsheng Funeral Parlor. Aroma kayu cendana memenuhi ruangan, bercampur dengan harum dupa yang samar dan khas. Sambil menyunggingkan senyumnya yang lebar seperti biasa, Hu Tao duduk di belakang meja kerjanya. Kemudian begitu melihat [Name] masuk, dia menyambutnya dengan lambaian tangan yang ceria.
"[Name]! Tepat waktu seperti biasa," sapa Hu Tao dengan nada penuh semangat. Dia menyusun beberapa lembar dokumen di atas meja sambil menatapnya dengan sorot mata puas. "Aku sudah melihat laporanmu. Hasil kerjamu bulan ini luar biasa, seperti yang kuharapkan darimu."
[Name] tersenyum canggung, menunduk sedikit. "Terima kasih, Direktur. Saya hanya berusaha melakukan yang terbaik."
"Tapi," lanjut Hu Tao, ekspresi cerianya berubah sedikit lebih serius. Dia mengangkat salah satu dokumen dan melambaikannya di udara. "Penjualan peti mati bulan ini turun dibandingkan bulan lalu. Sepertinya akhir-akhir ini orang-orang di Liyue terlalu sehat untuk kepentingan kita."
Komentar itu membuat senyum [Name] membeku di wajahnya. Dia tertawa kaku, merasa sedikit cemas dengan cara Hu Tao mengeluhkan hal tersebut. "Direktur... tolong jangan bicara seperti itu. Kedengarannya seperti Anda berharap lebih banyak orang meninggal."
"Oh, tentu saja aku tidak berharap orang mati begitu saja," ujar Hu Tao sambil menyandarkan tubuh ke kursi, tatapannya jahil. "Tapi kau tahu, jika semua orang hidup sampai jadi fosil, aku harus mulai membuka museum bukannya peti mati."
[Name] hanya bisa menggelengkan kepala pelan, mencoba mengabaikan ucapan itu. Namun, suasana santai itu segera berubah ketika Hu Tao menyandarkan dagunya di tangannya dan menatap [Name] dengan rasa ingin tahu yang mencolok.
"Baiklah, mari kita sudahi formalitas ini sebentar. Ngomong-ngomong, bagaimana kabarmu belakangan ini?" tanya Hu Tao tiba-tiba. "Kau kelihatan sedikit… berbeda."
[Name] terdiam sejenak, mencoba membaca maksud di balik pertanyaan itu. "Aku baik-baik saja," jawabnya akhirnya, dengan nada yang dia usahakan terdengar meyakinkan. "Kenapa kau bertanya begitu?"
Hu Tao mengerutkan alis, lalu menunjuk [Name] dengan jari telunjuknya yang kurus. "Aku memperhatikan sesuatu. Kau sering menginap di sini akhir-akhir ini, dan terlihat kelelahan. Aku tahu tugas kita kadang melelahkan, tapi ini tidak seperti biasanya darimu."
Pernyataan itu membuat dada [Name] tertusuk. Dia tertegun, mencoba mengatur ekspresi wajahnya agar tidak menunjukkan kepanikan. Tentu saja, alasan dia sering menghabiskan malam di Wangsheng Funeral Parlor bukanlah sesuatu yang bisa dia akui begitu saja—terutama kepada Hu Tao. Kegiatannya dengan Zhongli selama "jam-jam tenang" adalah sesuatu yang sangat pribadi, bahkan memalukan untuk dibicarakan.
"Oh, itu... hanya karena tugas-tugas tambahan," katanya cepat, mencoba terdengar santai. "Kadang-kadang ada hal-hal yang perlu kuselesaikan di malam hari."
"Tugas tambahan, ya?" Hu Tao menyipitkan mata, jelas menunjukkan ketidak yakinannya. "Tapi anehnya, setiap kali aku melewati kantor Zhongli, dia juga ada di sana. Biasanya dia lebih suka menghabiskan waktu di Heyu Tea House atau berjalan-jalan di pelabuhan. Kau tahu, dia tipe pria yang suka menikmati seni dan teh, bukan? Jadi kenapa dia mendadak jadi lebih sering ada di ruangannya?"
Wajah [Name] seketika memanas, rona merah menjalar dari pipinya hingga ke telinga. Dia mencoba menghindari tatapan Hu Tao, tetapi tatapan itu terasa menusuk, seolah-olah sang Direktur tahu sesuatu. "Uh… itu mungkin kebetulan," gumamnya pelan. "Dia… mungkin sedang punya banyak pekerjaan juga."
"Hmm…." Hu Tao menyeringai, jelas menikmati reaksi gugup [Name]. "Kebetulan, ya? Apa kau yakin itu hanya kebetulan?"
[Name] membuka mulut untuk membalas, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Tangannya meremas ujung bajunya, dan dia merasa semakin terpojok oleh godaan Hu Tao. Akhirnya, dia memaksa dirinya untuk menatap Hu Tao, meskipun matanya jelas menunjukkan rasa malu. "Direktur, ini benar-benar tidak seperti yang Anda pikirkan."
"Oh? Aku bahkan belum bilang apa yang sedang kupikirkan," balas Hu Tao, senyum lebar di wajahnya. "Kau yang bilang begitu. Apa aku harus berpikir sesuatu sekarang?"
"Direktur!" seru [Name], suaranya sedikit lebih keras dari yang dia maksudkan. Wajahnya kini sepenuhnya merah. "Tolong berhenti menggodaku! Ini—ini tidak seperti itu!"
Tawa Hu Tao meledak memenuhi ruangan. Dia menepuk meja dengan tangannya, seolah menikmati hiburan terbaik dalam sepekan terakhir. "Baik, baik, aku akan berhenti," katanya akhirnya, sambil berusaha mengatur napas. "Tapi kau lucu sekali, [Name]. Serius, aku tidak akan memaksamu mengakui apa pun. Tapi aku tetap akan memerhatikanmu, jadi jangan terlalu lelah, ya? Menjaga kesehatan juga pentin, kau tahu."
[Name] mendesah, mencoba mengembalikan ketenangannya. "Terima kasih, Direktur. Saya akan berhati-hati."
Namun, saat Hu Tao mengembalikan perhatiannya pada dokumen-dokumen di atas meja, senyum kecil yang jahil masih tertinggal di sudut bibirnya, membuat [Name] merasa bahwa mungkin—hanya mungkin—Direktur ke-77 itu tahu lebih banyak dari yang dia ungkapkan.
✦•┈✦•┈⋆⋅☆⋅⋆┈•✦┈•✦
"[Name], kau masih di sini?"
"Oh, iya… aku baru saja selesai melapor ke Direktur Hu Tao," jawab [Name], berusaha terlihat tenang meskipun jantungnya masih berdebar-debar setelah percakapan sebelumnya.
"Begitu." Zhongli mengangguk, menatapnya dengan sorot mata yang seperti sedang membaca sesuatu yang tidak dia ungkapkan. "Apa kau senggang setelah ini? Bagaimana kalau kita pergi ke Chenyu Vale dan minum teh?"
"Teh?" [Name] mengulang, dia melangkah di sepanjang koridor dengan langkah perlahan.
Zhongli mengangguk, dia mengikuti [Name] di sampingnya. "Kebetulan sekali sekarang sedang musim panen, kita bisa menikmati teh yang baru dipanen di sana."
"Ah, begitu rupanya."
[Name] terdiam sesaat, pikirannya berkecamuk memikirkan ajakan itu. Chenyu Vale memang indah, dan menikmati teh bersama Zhongli di tempat tenang seperti itu terdengar menyenangkan. Namun, dia tahu ada tugas lain yang menunggunya. Setiap detik yang dia habiskan di luar tugas utama adalah celah yang bisa dipergunakan oleh Hu Tao untuk menggodanya lagi.
Dia akhirnya menggeleng pelan saat keduanya memasuki ruang kerja mereka. "Tapi… maaf, Xiānshēng, aku tidak bisa. Aku harus mengambil beberapa pesanan untuk klien kita sore ini."
Namun, alih-alih menerima alasannya, Zhongli justru berdiri di tempatnya, matanya mengamati wajah [Name] dengan penuh perhatian. Kemudian dengan satu gerakan sederhana, dia meletakkan dokumen-dokumennya di meja terdekat dan mencondongkan tubuh sedikit, menatap [Name] lebih dekat.
"Kau tampak gelisah. Apa ada sesuatu yang mengganggumu?" Tanyanya, suaranya merendah seperti bisikan angin malam.
[Name] tertegun sesaat. Dia berpura-pura sibuk merapikan dokumen di mejanya. "Aku baik-baik saja," jawabnya pendek, dengan nada yang terdengar sedikit acuh.
Namun, Zhongli tidak menyerah. Dia melangkah mendekat, tubuhnya yang menjulang menghalangi cahaya matahari yang masuk melalui jendela. Dengan gerakan tenang namun pasti, dia menarik [Name] mendekat hingga jarak mereka hanya sejengkal. "Aku tidak yakin dengan jawabanmu. Apa yang sebenarnya mengganggumu, [Name]?"
[Name] mendongak, hanya untuk menemukan sorot mata keemasan pemuda itu yang terkunci padanya. Ia mengangguk sambil tersenyum meski terasa kaku. "Aku benar-benar baik-baik saja," ujarnya.
Tiba-tiba jemari Zhongli yang hangat dan kokoh menyentuh kulit pipinya, menangkup wajahnya, membuat [Name] tidak punya tempat untuk bersembunyi. "Kau tahu aku tidak mudah tertipu, bukan?" bisiknya rendah, pemuda ini jelas sedang berusaha mendesaknya.
[Name] mencoba tersenyum lebih lebar, berharap bisa mengakhiri percakapan ini. "Aku sungguh baik-baik saja. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan."
Zhongli menghela napas kecil, seolah menyerah pada jawaban yang tidak memuaskannya. Tetapi, pemuda itu justru mendekat, hanya beberapa inci dari wajah [Name]. Mata keemasannya menyipit, seolah mencoba memahami lebih dalam apa yang sedang [Name] coba sembunyikan.
[Name] merasa darahnya berdesir hebat, tubuhnya menegang. Namun, meskipun otaknya berteriak untuk mundur, dia tetap berdiri di tempat, mempertahankan jawabannya. "Sungguh, tidak ada apa-apa," ulangnya.
"Kau yakin?"
[Name] mengangguk, menyentuh tangan Zhongli di wajahnya. "Iya. Aku baik-baik saja."
Zhongli akhirnya menyerah, tetapi alih-alih melangkah mundur, dia bergerak lebih dekat, bibirnya nyaris menyentuh bibir [Name]. Sebelum dia sempat menciumnya, [Name] tersentak dan segera menutup bibir Zhongli. "Tunggu!" serunya cepat.
Zhongli membeku, tampak terkejut oleh reaksi tiba-tiba itu. "Ada apa?"
"Ada apa?" [Name] mengulang, perempatan di dahinya muncul. "Kita tidak bisa melakukannya, kau tahu bukan kalau ini bukan waktu yang tepat? Kau ingin ada orang lain yang melihatnya? Dan seingatku, aku memintamu untuk tidak 'menggodaku' bukan, Xiānshēng?"
"Ah…."
"Selain itu, tampaknya Direktur Hu sudah mencurigai kita," tambah [Name]. Dia menurunkan tangannya dari bibir Zhongli. "Kau tahu bukan kalau Direktur Hu punya imajinasi liar yang menyeramkan?"
Zhongli menghela napas panjang, melepaskan tangannya dari [Name]. Wajahnya tampak lesuh, tetapi dia tidak berkata apa-apa. Hening sesaat memenuhi ruangan sebelum dia akhirnya bergumam pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Apa aku harus menahan diriku lagi?"
"... ya?"
"Aku bahkan tidak memelukmu karena takut kau akan marah padaku…."
[Name] menatapnya dengan terkejut, tidak menyangka Zhongli akan mengatakan hal seperti itu. "Xiānshēng…." gumamnya, hampir tidak percaya. Itu adalah pertama kalinya dia mendengar Zhongli—yang selalu terlihat tenang dan terkendali—mengeluh seperti ini.
Zhongli yang menyadari ekspresi terkejut di wajahnya bertanya dengan bingung, "ada apa?"
[Name] tidak bisa menahan tawa kecil yang akhirnya keluar dari bibirnya. Dia tertawa, bahkan sampai menutupi mulutnya dengan tangan. "Maaf, aku hanya… aku tidak pernah membayangkan kau akan merajuk seperti ini."
Zhongli menatapnya dengan campuran bingung dan malu. "Merajuk?"
Sungguh, ini sesuatu yang amat langka. Mungkin [Name] tidak akan pernah bisa melihatnya selain hari ini dan sejujurnya… itu sedikit banyak menghiburnya.
Ketika ia terus tertawa, dadanya bergetar hebat hingga matanya hampir menitihkan air mata. Setiap kali ia mencoba mengendalikan dirinya, bayangan bagaimana wajah Zhongli yang sedikit bingung namun tetap berusaha mempertahankan wibawanya kembali melintas di benaknya, membuat gelak tawanya meledak lagi.
Sementara Zhongli yang hanya berdiri diam dan hanya menatapnya, hanya mematung di sana. Tidak ada tanda-tanda tersinggung, namun juga tidak ada reaksi untuk membalas candaannya. Justru tatapan lembut dan tenang itu yang akhirnya membuat [Name] terdiam, mengembuskan napas panjang untuk menenangkan dirinya.
"Maaf, aku tidak bermaksud menertawakanmu seperti itu," katanya seraya menyeka sudut matanya yang sedikit basah. Ia mengangkat wajah, mendapati tatapan Zhongli yang masih terpaku padanya.
"Bukan masalah."
"Ngomong-ngomong, kenapa kau menatapku seperti itu?" tanyanya, sedikit bingung.
Zhongli tersenyum samar, dagunya sedikit terangkat. "Karena aku jarang melihatmu tertawa," jawabnya jujur, suaranya dalam dan lembut. "Aku senang melihatmu tersenyum dan tertawa begitu lepas."
Pernyataan itu mengejutkan [Name], ia terdiam sejenak. Senyum yang barusan begitu cerah perlahan memudar menjadi ekspresi yang lebih lembut. "Terima kasih," gumamnya akhirnya, matanya masih terpaku pada wajah pemuda itu.
"Terima kasih kembali."
"Demi Rex Lapis, kenapa tiba-tiba kau seperti ini, Xiānshēng?" sambil berkata begitu, [Name] mencondongkan tubuhnya ke arah Zhongli untuk merengkuh tubuh pemuda itu. "Aku jadi tidak bisa menolaknya."
Zhongli yang awalnya terlihat terkejut, segera membalas pelukan itu. Lengannya yang kokoh melingkari tubuh [Name] dengan lembut, memberinya rasa hangat yang sama seperti yang diberikan gadis itu kepadanya. "Ada apa, [Name]?" tanyanya pelan di atas puncak kepala gadis itu.
[Name] menyandarkan wajahnya di dada Zhongli, mendengar suara detak jantungnya yang stabil. "Bukankah kau menginginkan pelukan?" Katanya sambil setengah berbisik, mencoba menahan senyum kecil di bibirnya.
Zhongli mengeratkan pelukannya, membuat gadis itu semakin tenggelam dalam dirinya. "Memang benar," katanya, suaranya mengandung senyum samar. "Tapi aku tidak menyangka kau akan memberikannya dengan tiba-tiba."
"Sudah tidak ingin lagi?"
"Tidak. Tentu tidak. Tolong tahan sebentar lagi."
Mereka terdiam dalam kehangatan pelukan itu selama beberapa saat, seolah waktu berhenti berputar. Hanya ada mereka berdua, tanpa perlu kata-kata, hanya perasaan yang mengalir di antara mereka.
Namun, suasana itu tiba-tiba terusik oleh suara Zhongli yang sedikit lebih rendah dari biasanya. "Jika aku boleh bertanya," ia memulai, nadanya terdengar setengah bercanda, "apakah aku juga akan mendapatkan ciumanku kali ini?"
[Name] membeku di tempatnya, dadanya terasa sesak oleh panas yang tiba-tiba menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia mendongakan kepalanya dan menatap Zhongli, wajahnya memerah hingga ke ujung telinga. "Tidak," jawabnya tegas dengan malu-malu, bibirnya membentuk senyuman kecil.
Zhongli tersenyum simpul, sedikit mengangkat alisnya. "Oh? Aku mengerti," katanya, nadanya menunjukkan bahwa ia tidak benar-benar kecewa. "Mungkin lain kali, kalau begitu."
"…."
"Tapi… apa benar-benar tidak boleh?"
"Tidak boleh."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro