Chapter 30 🔞🔞🔞
"Nona [Name], ada kiriman untukmu dan Tuan Zhongli dari Tuan Tartaglia."
"Tartaglia?" [Name] mengulang, memastikan ia tidak salah mendengarnya. Lantas ia menerima sebuah kotak berukuran sedang yang diberikan karyawan Wangsheng Funeral Parlor kepadanya. "Baiklah. Terima kasih banyak."
"Iya."
[Name] memang ingat kalau Tartaglia berkata sudah menyiapkan sesuatu untuknya tempo hari, tapi tidak ia sangka kalau barang itu akan sampai hari ini.
[Name] mendorong pintu kayu kantor dengan satu tangan, mendapati ruangan itu seperti biasanya: rapi dan tenang, dengan Zhongli duduk di meja kerjanya. Konsultan Wangsheng Funeral Parlor itu sedang tenggelam dalam beberapa dokumen, sebuah pemandangan yang begitu akrab bagi [Name].
Saat ia melangkah masuk, Zhongli mengangkat pandangannya, alisnya sedikit terangkat ketika melihat kotak yang dibawa [Name]. "Apa yang kau bawa, [Name]?" tanyanya, ia meletakkan pena kaligrafi yang sebelumnya ia gunakan.
"Hadiah dari Tartaglia," jawab [Name] ringan seraya membuka kotak itu. "Tidak ada catatan atau pesan, jadi aku sendiri tidak tahu apa yang ada di dalamnya."
Dengan hati-hati ia membuka tutup kotak itu. Aroma lembut segera menguar begitu kotaknya terbuka, menyelimuti indranya dengan aroma ringan yang menenangkan. Di dalam kotak, terdapat sebuah kantung kecil berisi bubuk berwarna coklat serta beberapa alat kecil yang tampak seperti perlengkapan membakar dupa.
"Dupa bubuk?" gumam [Name], matanya menyipit sedikit. Ia mendekatkan hidungnya ke arah kantung itu, aroma segar dan sedikit manis segera memenuhi indera penciumannya. "Harum sekali...."
"Kemungkinan besar ini adalah dupa aromaterapi, atau mungkin sekadar untuk pengharum ruangan," kata Zhongli saat ia beranjak dari tempatnya duduk dan kini berdiri di samping [Name].
[Name] tersenyum kecil, melirik pria itu. "Ingin mencobanya, Xiānshēng?" tanyanya sembari memegang kantung itu.
Zhongli mengangguk dan tersenyum tipis. "Mengapa tidak? Mari kita lihat apakah Tartaglia benar-benar pandai memilih hadiah."
[Name] beranjak ke rak kayu di dekat jendela, mengambil guci keramik kecil dengan ukiran naga emas yang berkelok di permukaannya. Dengan cekatan, ia menyiapkan wadah pembakar, mengisi dasarnya dengan abu putih dari kotak lain, lalu menuang sedikit bubuk dupa ke dalam cetakan kecil berbentuk lotus di atasnya.
Zhongli memperhatikan setiap gerakan [Name] dengan saksama, matanya mengikuti cara gadis itu mencetak bubuk menjadi bentuk lotus yang sempurna sebelum meletakkannya di atas abu. Setelah semuanya siap, ia menyalakan korek api untuk membakar salah satu ujung dupa yang sudah dicetaknya dan menutup wadahnya.
Aroma harum segera memenuhi ruangan. Aromanya ringan, seperti campuran kayu cendana dengan sentuhan bunga musim semi yang tidak terlalu menyengat tetapi cukup kuat untuk menciptakan suasana tenang.
"Oh, ternyata memang benar-benar harum," gumam [Name] seraya membawa dupa itu untuk diletakkan di atas nakas di sudut ruangan. "Tidak kusangka dia punya selera yang bagus, bukan begitu...." [Name] memutar lehernya ke arah Zhongli, melihat pemuda itu mematung di tengah ruangan dengan wajah tertunduk. "... Xiānshēng?"
Zhongli tidak langsung menjawab. Sebaliknya, tubuhnya terlihat sedikit tegang, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya.
"Xiānshēng?" Panggil [Name] sekali lagi, dia mendekat dengan hati-hati. Suara terdengar khawatir. Ia berhenti beberapa langkah darinya, alisnya berkerut. "Apa kau baik-baik saja?"
"...."
Namun Zhongli tetap diam. Ketika pemuda itu mengangkat sedikit wajahnya, [Name] bisa melihat rona kemerahan di pipinya dengan napasnya yang berat. Alis pemuda itu juga berkerut samar, seakan sedang menahan sesuatu di sana.
Kesal karena merasa diabaikan, [Name] mengerutkan bibirnya dan mendekatinya. Tangannya terangkat, mencengkeram kedua bahu Zhongli dengan tegas. "Xiānshēng, aku tidak akan mengerti kalau kau tidak mengatakannya!" Nadanya naik setengah oktaf, mencerminkan campuran frustrasi dan kecemasan. "Apa yang terjadi padamu?"
Hanya sepersekian detik kemudian, Zhongli bertindak. Sebelum [Name] sempat mengatakan lebih banyak, ia meraih lengan gadis itu dengan cengkeraman yang kuat tetapi tidak menyakitkan, kemudian memapahnya menuju meja di sisi ruangan. Gerakannya cepat, hampir terlalu cepat untuk ditangkap oleh pikiran [Name] yang masih mencoba memahami apa yang terjadi.
"Xiānshēng, apa yang kau—"
Kata-katanya terputus ketika Zhongli mendorong tubuhnya, menahannya untuk tetap duduk di atas meja. Nafas [Name] tercekat. Zhongli berdiri di hadapannya, terlalu dekat, wajahnya hanya beberapa inci dari miliknya. Ia hendak bertanya lagi, tetapi Zhongli tidak memberinya kesempatan. Dalam sekejap, ia mencondongkan tubuh dan melumat bibir [Name] dalam ciuman yang tiba-tiba dan penuh intensitas.
Mata [Name] melebar, otaknya seolah berhenti bekerja. Ciuman itu kasar, jauh dari kata lembut dan hangat dari yang biasa ia lakukan dengan Zhongli. Ada rasa terburu-buru, seolah pria itu sedang berjuang melawan sesuatu yang tidak terlihat. [Name] mencoba melepaskan diri, tetapi cengkeraman di pinggangnya terlalu kuat. Ia memanggilnya di antara napas yang terputus, "Xiānshēng... berhenti... apa yang... terjadi padamu—?!"
Namun, pria itu tidak menjawab. Sebaliknya, ciumannya semakin terasa dalam, bibir dan lidahnya berusaha masuk lebih jauh; dan ketika pemuda itu berhasil mendobrak masuk, dengan cepat lidahnya yang panjang menjulur ke dalam, mengusapkannya ke gigi [Name], lalu beradu dengan miliknya.
[Name] mendesah tanpa sadar, berusaha menarik napasnya yang hampir habis, lalu mencengkram bahu pemuda itu. "Xiān... shēng ...!"
Ketika tangan Zhongli naik untuk menyentuh pinggangnya dan jemarinya menekan kuat, sementara yang satunya mulai bergerak ke arah pahanya; [Name] tersentak, rasa takut segera menjalari tulang punggungnya.
"Xiānshēng, hentikan!" Suaranya pecah, hampir seperti bisikan yang dipenuhi rasa cemas. Ia mulai memukul bahu pria itu, berusaha menghalangi gerakan tangan Zhongli yang kini berada di balik roknya. "Kumohon hentikan ini... Zhongli!"
Seolah-olah panggilan itu membekukan waktu, Zhongli tiba-tiba berhenti ketika ia sudah memindahkan bibirnya di sisi leher [Name], napasnya berat dan tidak teratur. Perlahan ia menarik wajahnya, matanya yang keemasan kini kembali menatap lurus ke arah [Name]. Namun, ekspresinya terlihat lebih terpukul daripada yang pernah ia lihat sebelumnya.
[Name] menatapnya dengan napas terengah-engah, rasa takut dan kebingungan bercampur menjadi satu. Matanya membelalak ketika melihat noda kemerahan tipis di ujung bibir Zhongli.
"Zhongli...." Suaranya gemetar, hampir seperti bisikan. "Apa... apa yang sebenarnya terjadi padamu?"
"...."
"Zhongli—!" [Name] mengangkat tangan, bermaksud untuk menyentuh wajah pemuda itu dan melihatnya lebih jelas, tetapi tangan Zhongli menahannya.
"... maaf," ucap Zhongli lirih, tangannya bergetar. "Maafkan aku... aku tidak tahu—aku merasa tubuhku tiba-tiba terasa panas dan aku...." Zhongli menurunkan kepalanya, meletakannya di bahu [Name] dengan lelah, menyembunyikan wajahnya di sana. "Aku salah... jadi tolong jangan membenciku, [Name]...."
"...."
"Aku sudah mencoba menahan diriku, kumohon padamu...." Lirihnya, [Name] bisa merasakan tangan Zhongli yang bergetar. "Jangan membenciku...."
Bagaimana ini bisa terjadi? Apa alasannya? Lebih dari itu, sejak kapan ini terjadi? [Name] melirik ke arah dupa yang baru dibakarnya beberapa waktu lalu—mungkinkah... karena dupanya?
Tetapi [Name] tidak merasakan apa pun, dia hanya mencium aroma yang menenangkan dan harum, tubuhnya tidak terasa panas seperti yang dikatakan Zhongli. Namun Zhongli juga tidak berbohong, [Name] bisa melihat itu dari cara pemuda itu berusaha menahan dirinya dengan menggigit ujung bibirnya hingga terluka. Selain itu, ia benar-benar bisa merasakan kulitnya yang panas sekarang.
Jadi apa alasannya? Dia seperti—[Name] mengangkat tangannya untuk menyentuh bahu Zhongli, menatap wajah pemuda itu yang masih memerah di sana sambil mengalihkan pandangan darinya—mungkinkah....
[Name] menggeleng, tapi ia tidak bisa menolak pemikiran itu ketika jarak di antara mereka menghilang. Kehadiran Zhongli yang biasanya terasa kokoh kini membawa sensasi yang baru—sesuatu yang hampir memabukkan.
Ada aroma samar yang tak bisa ia abaikan, seolah campuran halus aroma kayu yang kuat, dengan krisan putih dan pohon cedar yang perlahan memudar di udara, pun aroma bunga magnolia yang menenangkan dengan sedikit rasa manis menciptakan sesuatu yang menggugah. [Name] merasakan panas merayap dari ujung jemarinya hingga tengkuknya, seakan aroma itu memikatnya bagaikan mata emas seorang pemuda yang kini menatapnya begitu dalam.
Ia mencoba menarik napas dalam-dalam, namun udara di sekeliling mereka seperti dipenuhi dengan kehadiran Zhongli. Dadanya berdebar kencang, setiap detak terdengar layaknya gema di telinganya. Pikirannya memprotes—ini bukan dirinya, ia tidak seharusnya merasa seperti ini. Namun tubuhnya berkata lain. Tatapan lembut Zhongli yang tertuju padanya seperti memanggil sisi dirinya yang selama ini tersembunyi.
Dengan sedikit ragu, [Name] menangkup wajah Zhongli dan mengecup bibir pemuda itu dengan sapuan halus. Zhongli tersentak dengan mata membola, sebelum sempat mengatakan sesuatu, [Name] dengan malu-malu berkata, "ini pertama kalinya untukku, jadi tolong lakukan dengan perlahan."
✦•┈✦•┈⋆⋅☆⋅⋆┈•✦┈•✦
"[Name]," bisik Zhongli. Bukan hanya pernyataan, tetapi pertanyaan sekaligus permohonan.
[Name] mengangguk. Manakala dirinya tak sanggup membohongi diri atau Zhongli, gadis itu pun mengucapnya.
"Cium aku."
Ini bukanlah kepura-puraan, bukan pula karena dirinya terbuai gairah yang sama seperti pemuda itu sehingga ia kehilangan akal sehat. Ini adalah keputusannya dan Zhongli menerimanya.
Zhongli tidak bertanya untuk memastikan, dia tahu jika ia menanyakan itu sekarang maka setitik keraguan akan muncul di sana, dan dia takut akan menyesalinya jika tidak melakukannya—oleh karena itulah Zhongli menciumnya, kali ini dengan hati-hati. Lalu, ketika bibir Zhongli berpindah ke sisi lehernya, dia berbisik, "[Name]."
[Name] ingin mengatakan sesuatu, tetapi pada akhirnya tidak ada yang ia ucapkan seolah semuanya teredam di dalam ciuman itu ketika ia meminta pemuda itu untuk menciumnya.
"Aku mencintaimu," bisik Zhongli ketika mulutnya menyusuri leher dan tulang selangka [Name]. "Aku mencintaimu, [Name]. Selalu."
Itu perkataan indah sekaligus menakutkan yang bisa diucapkan Zhongli. [Name] mungkin hanya ingin mengenyahkan pikiran bahwa sesaat ia sempat ingin membenci Zhongli, atau mungkin dia hanya ingin meminta validasi bahwa yang dilakukan Zhongli murni karena menginginkan hatinya—entahlah, dia tidak tahu itu.
Namun tak pelak lagi kalau gadis itu merasa bahagia sekarang.
Terdorong oleh hasratnya yang perlahan memuncak, [Name] menekan rahang Zhongli dan membawanya untuk ciuman penuh gairah. [Name] tidak tahu apa yang ia lakukan, tapi yang ia tahu bahwa dirinya ingin mencium pemuda ini. Untuk beberapa alasan, dia tidak bisa menahan diri lagi.
Salah satu tangan Zhongli pindah ke pinggul [Name], rasanya seperti membakarnya hingga menembus pakaian yang dikenakannya. Tangannya kemudian bergerak ke bokong [Name], memapah gadis itu dan membawanya ke atas sofa di dalam ruangannya. [Name] pun membiarkan dirinya meluncur turun, telentang di tempat di mana Zhongli membawanya, tubuh Zhongli yang panas dan aromanya yang maskulin memenuhi indranya.
[Name] merasa bisa memeluk Zhongli erat-erat di dalam dekapannya.
"Zhongli," bisik [Name], akhirnya ia mengeluarkan suaranya ketika menyentuh pipi pemuda yang kini berada di atasnya itu.
Zhongli membeku, seakan menunggu [Name] mengatakan sesuatu yang sangat ia nanti-nantikan sejak lama.
"Aku... mencintaimu," akhirnya [Name] mengatakannya. Tidak yakin sejak kapan, atau bagaimana itu bisa terjadi, semuanya mengalir begitu saja dan tanpa ia ketahui, ia sudah terlalu lama merasa nyaman dengan pemuda ini.
"Aku menginginkanmu," kata [Name] lagi. Zhongli mendongak untuk menatapnya dengan lama dan intens, seolah memberi kesempatan terakhir kepada [Name] untuk berubah pikiran.
"Sentuh aku," putus [Name]. Ia menginginkan Zhongli lebih dari sekadar kata-kata, ingin pemuda itu menciumnya, merengkuhnya, mendengar bahwa ia mendambakan dirinya.
"[Name]—"
[Name] meletakan jarinya di ujung bibir pemuda itu dan berkata dengan suara rendah, "tidakkah kau menginginkanku seperti aku menginginkanmu?" Lalu ia menambahkan, "malam ini."
Tubuh Zhongli bergetar, napasnya mengembus cukup keras dari bibirnya. Tanpa ragu, Zhongli menurunkan wajahnya untuk memangut bibir [Name] dengan miliknya dengan ciuman penuh perasaan yang membakar dan meluap-luap hingga gadis itu tak sanggup melakukan apa pun selain ikut terseret ke dalam hasrat yang sama dengannya. Tangan [Name] meluncur ke leher Zhongli, menarik pemuda itu untuk melakukan lebih, tergesa-gesa untuk menyentuhkan kulitnya di kulit pemuda itu.
Tanpa mencoba melepaskan ciumannya lebih dulu, Zhongli dengan cepat membuka mantel coklatnya yang panjang, dasi serta sarung tangannya. Lalu dengan tergesa-gesa, pemuda itu melemparkan kemejanya ke samping—dan [Name] terkesiap menatap tubuh pemuda itu. Bulu-bulu tipis di dada juga ototnya terpahat sempurna. [Name] memang tahu kalau tubuh Zhongli terasa keras setiap kali pemuda itu memeluknya, tapi ia tidak pernah membayangkan jika akan sebaik itu pemandangannya.
Zhongli luar biasa memukau. Dia sungguh bisa disebut sebagai standar ketampanan para pria di Liyue—bertubuh jangkung, berotot bagus, berambut gelap, dan garis mata serta rahangnya yang tegas dan tajam.
[Name] mengangkat sebelah tangannya untuk menyentuh dada pria itu. Darah Zhongli naik hingga memenuhi wajahnya; dia pun menahan tangan [Name] dan membawanya ke bibirnya, menciumnya, menyesap aromanya.
Zhongli memandang wajah [Name], dan [Name] tak bisa mengalihkan pandangannya dari mata emas milik pemuda itu.
Zhongli mendekat lagi, tubuhnya begitu kokoh dan panas di kulit [Name]. Ketika tangan dan bibirnya menjelajahi berbagai tempat, sesekali [Name] dibuat mendesah karenanya.
Dalam kesempatan itu, tangan Zhongli menjelajah ke bagian bawah roknya yang tersingkap—hampir menyentuhnya di sana, tetapi cukup untuk membuat perut [Name] bergetar—usai melepaskan kancing pakaian bagian atas yang dikenakan [Name].
"Zhongli," [Name] tersenggal tatkala tangan Zhongli menangkup dadanya.
"[Name]...." Erang Zhongli, dia membelai puncak dada [Name] lalu—
Oh, demi Rex Lapis! Dia bahkan bisa merasakan daerah di sekitar sana ikut menegang hanya dari sapuan lidah pemuda itu di dadanya!
Pinggul [Name] tersentak dan melengkung, ia ingin Zhongli menyentuhnya lagi dan lagi, memenuhi dirinya dengan sesuatu yang lain, mengisinya.
Zhongli menarik pakaian yang dikenakan [Name] dan melepaskannya dari kepala gadis itu. Tangan [Name] secara refleks menutup tubuh bagian atasnya dengan malu-malu, lalu mengalihkan pandangan darinya. Zhongli beringsut dan memandangi [Name] seolah-olah gadis itu dunianya.
Gadis itu hidupnya.
Zhongli menatapnya, tapi kali ini tatapannya berbeda daripada yang biasa dilakukannya. Sorotnya kali ini lebih bergairah, lebih berhasrat.
"[Name]," panggil Zhongli, dengan halus ia mengusap samping payudara [Name]. "Kau tahu... aku merasa... kupikir aku...." Dia menggeleng dan menyembunyikan wajahnya di balik rambut gadis itu. "Rasanya seperti aku sudah menantikannya seumur hidupku...."
[Name] menyentuh rambut Zhongli, mengusapkan pipinya di sisi kepala pria itu dan mencium aromanya—dia tahu. Dia tahu sekarang.
Napas Zhongli memburu, lalu ketika ia bergerak menjauh usai memberi [Name] kecupan-kecupan ringan di lehernya, tangannya berpindah ke ikat pinggangnya. Mata [Name] melebar, tiba-tiba ia menjadi lebih tegang.
"Aku akan melakukannya perlahan," kata Zhongli meyakinkannya. "Seperti yang kau inginkan."
"Aku... sedikit cemas," kata [Name], dia tersenyum lemah. Dia menambahkan, "sejujurnya."
Zhongli tersenyum simpul. "Kalau begitu tutup matamu," katanya. Tangannya menahan pergelangan tangan [Name]. "Kau hanya harus merasakanku," dia menambahkan, lalu perlahan jemarinya bertaut di antara milik gadis itu. "Mungkin akan terasa sakit, tapi hanya sebentar, setelah itu... akan lebih baik."
[Name] merasakan dinginnya jemari Zhongli di pergelangan tangannya, tetapi sentuhan itu justru memercikkan kehangatan aneh di dada hingga ke perutnya.
"Benarkah?"
"Sangat baik, katanya." Tangan Zhongli yang lain pindah ke pinggul [Name], dia tersenyum.
"Kau mendengar itu atau membacanya dari buku?"
Zhongli terkekeh, dia menggeser tubuhnya dan merasakan kulitnya kian jelas menyentuh kulit [Name]. Rasanya luar biasa dan sempurna.
"Keduanya," jawab Zhongli ringan. Dia mencium leher [Name], meninggalkan tanda-tandanya di sana. "Dan kurasa itu memang benar."
Ya, itu benar. Karena sekarang ia bisa merasakan tubuh Zhongli yang kokoh, pun punggungnya yang keras dan panas; dan [Name] pun menegang, ia yakin kalau Zhongli pasti merasakannya karena ia tidak berhenti untuk menciumnya; mencium bibirnya, telinganya, lalu turun ke lehernya sampai pada lekukan di pundaknya, kemudian—
Demi Archon Geo dan segala kekayaannya!
Tangan Zhongli menangkap bagian bawah tubuhnya, menyentuhnya, merabanya, lalu membelainya hingga tubuh [Name] tersentak.
"Zhongli," [Name] mendesah, lebih karena dirinya tidak tahu harus mengatakan apa. Ia tenggelam dalam gairah, sama sekali tak berdaya di bawah dominasi pemuda di atasnya ini. "Ah ...!"
Seperti yang Zhongli katakan, dia meraskaannya. Dia merasakan pemuda itu di setiap jengkal tubuhnya, dan itu hal paling menggairahkan yang bisa dirasakannya.
Dengan ciuman terakhir di bibir [Name], Zhongli menarik dirinya dan menatap [Name] kembali. "Sentuh aku, [Name]. Sentuh aku di mana kau ingin menyentuhku."
Saat itulah [Name] sadar bahwa tangannya berada di penyandar sofa di sampingnya, memegangnya seakan itu dapat membantunya mempertahankan kewarasannya. "Aku... mengerti," kata [Name], tiba-tiba ia merasa menjadi sangat kikuk.
Salah satu sudut bibir Zhongli naik. "Kau tahu, kau tidak harus selalu menuruti ucapanku."
Tangan [Name] berpindah ke punggung Zhongli, menelusuri punggung pemuda itu dengan lembut. Dengan malu-malu, [Name] mengalihkan pandangannya. "Ini... pertama kalinya untukku, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan...."
"Kalau begitu aku akan menuntunmu," erang Zhongli. "Tapi aku tidak ingin kau melakukan apa yang tidak ingin kau lakukan, jadi kau tidak perlu menuruti semua ucapanku."
Kaki [Name] bergerak-gerak di betis Zhongli. "Aku tahu."
Lalu tangan Zhongli mulai melakukan sesuatu yang lebih dari sebelumnya. "Kita akan mulai lagi dari awal."
"Ya ...! Ya... ya!" Jawab [Name] tersengal. Zhongli menyentuhnya dengan mesra, dengan cara yang tak pernah dibayangkannya. Itu bukanlah hal yang buruk, sebaliknya, sentuhan itu membuat [Name] gemetar, melengkungkan tubuh, dan menggeliat hingga membuatnya menggigit bibir demi menahan suaranya agar tidak keluar.
[Name] menyukainya dan ia menginginkan lebih lagi. Hanya itu yang ia pikirkan, dan hanya itu satu-satunya hal yang ia ketahui. Dia menginginkan semua dan segalanya.
Lantas Zhongli menuntunnya dan [Name] merasa ditarik. Pemuda itu sekali lagi berkata, "tutup matamu."
Dan [Name] menutup matanya, sementara Zhongli memposisikan tubuhnya seraya melepas ritsleting yang sebelumnya masih terpasang dengan sempurna. Kemudian saat tubuhnya bergerak kembali, ia perlahan menyatukan tubuh mereka, dan seketika Zhongli merasa dunia disekitarnya memudar.
Ia tidak pernah mencintai wanita lain.
Ia takkan bisa mencintai wanita lain lagi—itu sudah kodratnya, aturannya. Hanya satu seumur hidupnya; dan Zhongli tidak menyesali hal ini, sama sekali. Ini menggairahkan dan—
tubuhnya pun mulai mengeras, [Name] memekik kecil ketika Zhongli mulai bergerak perlahan. Kepalanya menggedik ke belakang, setiap napas beriringan dengan erangan kecil, seolah tak bisa memendam hasrat yang perlahan memuncak.
[Name] menjerit pelan dan senang, tangannya dengan liar memegangi kepala Zhongli, mencakar bahu dan punggung pemuda itu. Tubuhnya bergetar ketika Zhongli memperdalam ritmenya, bergerak dalam irama yang tak bisa diatur akal sehat untuk dikendalikan.
Selanjutnya Zhongli tak mengatakan apa pun lagi, hanya memanggil nama [Name]. Berkali-kali mengatakannya seolah semua kata di dunia menguap dari kepalanya dan hanya itu yang tersisa.
"[Name], [Name], [Name]," erang pemuda itu. Ini terlalu sulit dan ia perlu ruang untuk menarik napas, tapi ia juga tidak ingin berhenti.
"Zhong... li ...! Ah—!" [Name] berpegangan erat, mencengkram bahu Zhongli, dan tubuhnya melengkung penuh gairah.
Akhirnya Zhongli merasakannya. Tubuh mereka yang menegang dan bergetar, lalu meluap-luap, ia pun membiarkan dirinya dan gadis itu mencapai puncak kenikmatannya dalam satu hentakan kuat.
Keduanya pun terdiam, saling menarik napas untuk memenuhi udara di dalam paru-parunya. [Name] membuka matanya perlahan, menatap kedua bola mata keemasan Zhongli yang berkilat-kilat. Lalu ketika Zhongli menurunkan wajahnya untuk menciumnya, [Name] menyambutnya dengan hangat dan membalasnya.
Saat semuanya usai, ruangan itu terasa sunyi, hanya suara napas mereka yang terengah-engah menggema di udara. Zhongli menarik dirinya perlahan, kemudian membaringkan tubuhnya di samping [Name], memastikan ia tetap nyaman di dekapannya. Lengan kokohnya melingkari pinggang gadis itu dengan lembut, seolah melindunginya dari seluruh dunia, menyelimutinya.
[Name] memejamkan mata, tubuhnya masih menggigil kecil. Ia tak pernah membayangkan akan merasa sehangat ini, seaman ini. Jari-jari kecilnya menyentuh dada Zhongli, bermain di sana dengan gerakan pelan, seolah ingin memastikan pria itu nyata dan bersamanya.
"Apakah kau baik-baik saja?" tanya Zhongli dengan suara serak dan penuh perhatian. Ia menatap wajah gadis itu dengan mata emas yang bersinar hangat dalam temaram cahaya.
[Name] membuka matanya, menatap pria itu dengan senyum lembut meski pipinya memerah. "Aku baik-baik saja. Lebih dari itu... aku bahagia."
Zhongli menarik sudut bibirnya menjadi senyuman kecil, namun jelas terlihat rasa lega di sana. Ia menyentuh pipi [Name], ibu jarinya membelai kulit lembut gadis itu dengan penuh kasih sayang dan mendekatkannya ke bibirnya. "Aku juga," bisiknya. "Kau adalah satu-satunya yang kuinginkan."
[Name] merasa hatinya menghangat mendengar itu. Ia mengangguk pelan, lalu menyandarkan kepalanya di dada Zhongli, mendengarkan detak jantung pria itu yang stabil—suara yang menenangkan dan mengisi hatinya dengan rasa damai.
Dalam keheningan malam, kedua insan itu berbaring bersama, tubuh mereka saling melingkar dalam kehangatan yang tak terucapkan. Tak ada lagi kata-kata yang perlu diucapkan, karena malam itu mereka telah menyampaikan semua yang ada di hati mereka—dengan kejujuran, dengan cinta.
Dan bagi mereka berdua, itu cukup.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro