Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 23

Suasana Wangsheng Funeral Parlor malam itu begitu sunyi. Angin dari luar membawa aroma dupa yang samar, bercampur dengan harum bunga krisan yang tercium dari aula utama. Lampu lentera berayun pelan, cahayanya memantulkan bayangan di dinding kayu tua yang penuh ukiran tradisional Liyue.

[Name] menghela napas panjang, meletakkan setumpuk dokumen di atas meja. "Kenapa Direktur Hu selalu meninggalkan pekerjaan ini padaku?" Gumamnya pelan sambil menggosok tengkuknya yang mulai kaku. Tapi ia tidak bisa menyalahkan Hu Tao sepenuhnya—tugas ini membuatnya merasa sibuk dan melupakan pikirannya yang kadang-kadang terjebak dalam ketakutan lama.

Namun, saat tangannya membolak-balik halaman terakhir salah satu dokumen lama yang sudah menguning, sesuatu menarik perhatiannya. Di pojok bawah dokumen itu terdapat catatan tulisan tangan yang terlihat lebih tua dari yang lain. Tulisan itu mencantumkan nama-nama individu yang pernah bekerja di Wangsheng Funeral Parlor bertahun-tahun yang lalu, salah satunya:

"Wei Shen."

Catatan kecil lainnya di sana hanya mengatakan bahwa Wei Shen hanyalah seorang pemuda biasa pada umumnya yang tidak memiliki Vision. Namun ia memiliki kekuatan seorang Adeptus.

Ini aneh. [Name] menilik bacaan itu dengan ekspresi serius dan membaca tulisan lainnya.

Dia bukanlah seorang Adeptus tetapi memiliki kemampuan seorang Adeptus, terlebih kemampuannya bukanlah kemampuan yang biasa saja melainkan kemampuan untuk melihat kenangan yang terukir di dalam batu mineral dan permata yang disentuhnya. Namun sebagai bayarannya, semakin sering pemuda itu menggunakan kemampuannya, semakin cepat ia kehilangan pengelihatannya.

Mata [Name] melebar, jemarinya yang menggenggam kertas mulai bergetar. Kemampuan yang diberikan oleh seorang Adeptus... sebagai bayarannya, kehilangan pengelihatan? Kalimat itu terngiang-ngiang di benaknya, membangkitkan perasaan ganjil yang ia sendiri tidak bisa jelaskan. Kenapa rasanya... begitu familiar? 

Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Matanya menelusuri tulisan-tulisan lain di dokumen tersebut, mencari lebih banyak petunjuk tentang Wei Shen. Namun, hanya ada sedikit informasi yang bisa ia temukan—tidak ada keterangan lebih lanjut tentang identitasnya, bagaimana ia mendapatkan kekuatan itu, atau apa yang terjadi padanya setelah kehilangan pengelihatannya.

Perasaan tidak nyaman menyelusup ke dadanya. Ini terlalu mirip denganku, pikirnya. Meskipun kemampuannya berbeda—melihat dan mendengar roh yang ada di sekitarnya—perasaan terjebak dan dibebani oleh sesuatu yang tidak pernah ia minta, terasa sama persis.

[Name] mengalihkan pandangannya ke lentera yang bergoyang pelan di sudut ruangan. Pikirannya berkecamuk. Jika kekuatan Wei Shen berasal dari seorang Adeptus, apakah kekuatanku juga ...?

Langkah berat yang mendekat dari koridor mengalihkan fokusnya. Ia menoleh dan mendapati Zhongli muncul dari bayangan pintu, membawa secangkir teh di tangannya. Cahaya lentera menerpa sosoknya, menciptakan siluet yang megah dan penuh wibawa.

"Kau terlihat cemas," katanya dengan nada lembut, suaranya seperti batu karang yang kokoh di tengah ombak. "Apa ada sesuatu yang mengganggumu, [Name]?"

Gadis itu terdiam sejenak, lalu menyerahkan dokumen di tangannya tanpa berkata-kata. Zhongli menerima kertas itu dan membacanya dengan seksama. Wajahnya tetap tenang, tetapi alisnya sedikit berkerut saat ia mencapai bagian tentang Wei Shen dan kemampuannya.

[Name] menggeleng pelan dan tersenyum kecil. "Tidak ada. Hanya sedang membaca catatan lama."

Namun manik keemasan Zhongli melirik dengan cepat dan membaca tulisan yang ada di buku dalam genggamannya. "Ya, itu bukanlah hal yang jarang terjadi. Banyak Adeptus yang melakukan hal-hal seperti itu. Tetapi, meski mereka adalah sosok yang welas asih, bukan berarti tidak ada konsekuensi atas kekuatan yang mereka berikan."

"Jadi…." [Name] menelan ludah, mencoba menyusun pikirannya. "Kau pikir… mungkin ada Adeptus yang memberikan kekuatan ini padaku juga?"

Zhongli menatapnya dengan sorot lembut, seolah-olah ia sudah memikirkan hal ini sejak lama. "Itu kemungkinan yang tidak bisa diabaikan. Namun, jika kau ingin mengetahui kebenarannya, aku bisa membantumu."

[Name] menatap Zhongli dengan mata yang melebar. "Kau… benar-benar akan membantuku?"

Zhongli mendekat, menaruh cangkir teh yang masih mengepul di meja sebelum menatapnya dengan penuh perhatian. "Tentu saja. Aku tidak akan membiarkan kekasihku menghadapi kebingungannya sendirian." Nada suaranya begitu tulus dan hangat, membuat jantung [Name] berdegup sedikit lebih cepat.

Gadis itu menunduk, merasa wajahnya mulai memanas. Kekasihku, katanya.... Dia masih belum terbiasa mendengar Zhongli memanggilnya seperti itu. [Name] berdeham canggung. "Tapi ini hanya dugaan… aku bahkan tidak yakin kalau itu benar," katanya.

Zhongli tersenyum tipis, seolah memahami keraguan yang terlintas di benaknya. "Kadang-kadang, dugaan adalah langkah awal menuju jawaban. Jika ini ada kaitannya dengan apa yang kau alami, maka mencari tahu asal-usulnya adalah hal yang bijak." 

[Name] menggigit bibirnya, menimbang-nimbang. Perasaan cemas dan penasaran berbaur di dalam dirinya. Sebenarnya, ia ingin melupakan ini—menerima keadaannya seperti yang sudah-sudah. Namun, saat menatap Zhongli yang menunggu dengan sabar, ia merasa ada keberanian kecil yang perlahan muncul di hatinya.

"Aku akan terus bersamamu, kau tenang saja," kata Zhongli meyakinkannya, tangannya terangkat untuk menyentuh bibir [Name]. "Aku yakin kau sudah tahu bagaimana perasaanku, tentu aku akan selalu berada di sisimu." 

[Name] terdiam, tatapan matanya melembut meskipun bibirnya sedikit gemetar. Ada rasa lega dan hangat yang meresap dalam dadanya mendengar kata-kata itu. Namun, saat Zhongli semakin mendekat, tangannya yang besar dan hangat bergerak pelan ke wajahnya, [Name] tahu apa yang akan terjadi.

Dia memalingkan wajahnya sedikit, pipinya memerah dengan rona yang mencolok dalam temaram cahaya lentera. "Zhongli… tidak di sini," katanya dengan suara yang hampir seperti bisikan, malu-malu tetapi tegas.

Zhongli berhenti sejenak, bibirnya melengkung dalam senyuman lembut yang penuh pengertian. "Hanya ada kita di sini," katanya dengan nada rendah, suaranya begitu dalam dan menenangkan, seperti alunan sungai yang perlahan mengalir. "Tidak ada yang akan melihat, apalagi mendengar." 

"Bagaimana kalau tiba-tiba ada seseorang yang masuk ke sini dan melihatnya …!?" Desis [Name] sedikit kesal. "Itu memalukan!"

Zhongli terkekeh. "Tidak kusangka kalau kau bisa memikirkan hal seperti itu. Tapi tidak masalah untukku jika ada yang melihatnya."

"… tidak, tolong jangan…."

Gadis itu menelan ludah, hatinya berdebar semakin keras. Ia tahu Zhongli bukan tipe orang yang memaksakan sesuatu, tetapi tatapan di matanya sekarang—hangat, sabar, dan penuh kasih—membuatnya tidak mampu menolak. Rasa malu dan ragu masih menguasainya, tapi ada rasa keinginan yang sama dan tak bisa ia abaikan.

Dia menghela napas dalam-dalam, menggenggam jemari Zhongli yang menyentuh pipinya, lalu berkata pelan, hampir tak terdengar. "Baiklah… hanya kali ini saja." 

"Selanjutnya aku akan memikirkan cara lain untuk membujukmu."

Dan dengan itu, suasana ruangan menjadi lebih tenang, hanya terdengar suara samar angin yang membawa aroma bunga krisan masuk melalui celah-celah jendela. Lentera bergoyang pelan, menciptakan bayangan yang seolah melindungi rahasia kecil yang terjadi di antara mereka berdua.

✦•┈✦•┈⋆⋅☆⋅⋆┈•✦┈•✦

"Kupikir kau sudah pergi dari sini."

Pemuda itu tergelak dan tersenyum lebar hingga memperlihatkan deretan giginya yang putih. "Kau jahat sekali. Tentu saja aku belum kembali ke Snezhnaya. Masih ada satu atau dua hal menyenangkan yang bisa kulakukan di sini."

"Menyenangkan…." [Name] mengembuskan napasnya pendek dan menatap Tartaglia dengan tatapan curiga. "Katakan saja, apa yang kau inginkan kali ini? Kalau kau berniat untuk membujukku seperti waktu itu, lupakan saja."

Pemuda itu kembali tertawa, mengangkat kedua tangannya seolah menyerah. "Astaga, kau terlalu mencurigaiku. Aku bahkan belum mengatakan apa-apa."

"Karena aku tahu kau selalu punya maksud tertentu," balas [Name], nada suaranya tetap waspada.

Tartaglia melipat tangannya di dada, ekspresinya beralih menjadi lebih serius, meskipun matanya masih memancarkan kilatan kegembiraan. "Baiklah, aku akan langsung ke intinya. Pertama-tama, aku hanya ingin berterima kasih karena kau membantuku waktu itu."

"Membantu? Aku lebih merasa seperti dimanfaatkan," gumam [Name], tetapi Tartaglia hanya mengabaikannya.

"Kedua," lanjutnya, "aku membutuhkan bantuanmu lagi. Kali ini... sesuatu yang berhubungan dengan seorang Adeptus."

[Name] mengangkat alisnya, matanya menyipit curiga. "Adeptus? Bukankah urusanmu lebih sering melibatkan… hal-hal yang lebih berbahaya?"

"Aku tersanjung kau mengingat reputasiku," jawab Tartaglia, tersenyum tipis. "Tapi tidak, ini benar-benar serius. Aku sedang mencari informasi tentang seorang Adeptus yang bisa memperbaiki permata yang sudah rusak, apa kau tahu sesuatu, [Name]?"

[Name] menatap Tartaglia dengan ekspresi datar. "Kenapa aku harus memberitahumu? Lagi pula, kau bisa meminta Zhongli untuk membantumu, bukan?"

"Ah, Xiānshēng…." Tartaglia terkekeh, menggaruk belakang kepalanya dengan ekspresi canggung. "Dia tampaknya… marah padaku belakangan ini. Katanya aku tidak boleh mengganggumu lagi. Tapi aku tidak mengganggumu, 'kan?"

"Kurasa itu tergantung dari definisi mengganggu yang kau maksud," balas [Name], bibirnya melengkung tipis, hampir seperti senyum meremehkan.

Tartaglia menghela napas panjang, menunduk seolah-olah merasa kalah. Namun, dalam sekejap, dia kembali menatap [Name] dengan tatapan tajam namun penuh kehangatan. "Aku serius kali ini. Jika kau tahu sesuatu, atau bisa membantuku menemukan seseorang yang tahu, aku benar-benar sangat menghargainya."

Nada suaranya yang tulus membuat [Name] terdiam sejenak. Ada sesuatu dalam cara Tartaglia berbicara—seolah dia benar-benar membutuhkan bantuan, bukan sekadar permainan biasa yang sering ia mainkan.

"Aku akan memikirkannya," jawab [Name] akhirnya, dengan nada yang lebih lembut. "Tapi jangan harap aku langsung setuju. Kau tahu aku tidak suka ikut campur urusan seperti ini."

Tartaglia tersenyum lebar, ekspresinya kembali ceria. "Itu sudah lebih dari cukup. Aku tahu kau tidak akan mengecewakanku."

[Name] hanya menggelengkan kepalanya, memutar tubuhnya untuk melanjutkan perjalanan kembali ke Wangsheng Funeral Parlor. Tapi sebelum ia melangkah terlalu jauh, Tartaglia memanggilnya lagi.

"[Name]!"

Ia menoleh, sedikit jengkel. "Apa lagi?!"

"Kalau kau butuh sesuatu dariku, jangan ragu untuk bertanya, ya?" katanya sambil melambai santai. "Kita ini teman, 'kan?"

[Name] mendengus kecil, tapi ada senyum tipis yang melintas di bibirnya. "Teman, ya?" gumamnya pelan sebelum kembali berjalan.

Tartaglia memperhatikannya hingga sosoknya menghilang di antara keramaian. Senyumnya perlahan memudar, digantikan oleh ekspresi serius yang jarang terlihat di wajahnya. "Semoga saja aku tidak salah kali ini," bisiknya pada dirinya sendiri sebelum berbalik dan menyatu dengan kerumunan di pelabuhan.

✦•┈✦•┈⋆⋅☆⋅⋆┈•✦┈•✦

"Begitu rupanya," ucap Zhongli begitu mendengar penjelasan [Name] tentang bagaimana ia bertemu Tartaglia dan apa permintaan pemuda itu kepadanya.

Mungkin ada yang akan mengira kalau [Name] tengah mengadu kepada Zhongli, tapi sesungguhnya tidak seperti itu. Bagaimana pun permintaan Tartaglia, meskipun tidak dilakukan secara resmi, tetap saja itu adalah sebuah pekerjaan yang berhubungan dengan Wangsheng Funeral Parlor. Oleh karena itulah [Name] menceritakannya kepada Zhongli selaku konsultan di tempatnya bekerja.

"Permintaan itu cukup menarik," ujar Zhongli akhirnya, suaranya dalam dan penuh perhitungan. "Itu bukanlah hal yang sering diminta oleh sembarang orang."

[Name] mengangguk pelan, sedikit ragu-ragu. "Kupikir juga begitu, Xiānshēng."

Zhongli mengamati [Name] dengan lembut, seperti mencoba membaca lebih dalam apa yang ada di pikirannya. "Dan apa pendapatmu?" Tanyanya. "Apa kau berniat menerima permintaannya?"

[Name] menutup bibirnya lebih rapat, matanya tertuju ke dalam cangkir teh di tangannya. Ia menghela napas pelan sebelum menjawab, "kupikir aku akan menerimanya… mungkin ini hanya perasaanku, tapi aku merasa permintaan ini bisa saja ada kaitannya dengan… roh atau Adeptus yang memberiku kemampuan ini." Ia mengangkat pandangannya, menatap Zhongli dengan ragu. "Jika itu benar, aku tidak bisa mengabaikannya, bukan?"

Zhongli terdiam sejenak, menimbang-nimbang jawaban gadis itu. Lalu, dengan anggukan pelan, ia berkata, "baiklah. Jika itu keputusanmu, aku tidak akan melarangnya. Namun, aku akan mengingatkanmu untuk tetap berhati-hati." Ia menuangkan teh ke cangkir [Name] yang hampir kosong, aroma daun teh yang khas memenuhi ruangan seketika. "Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, aku akan membantumu. Kau tidak perlu khawatir."

Raut wajah [Name] berubah, senyum kecil tersungging di bibirnya. "Terima kasih banyak, Xiānshēng."

Zhongli hanya mengangguk kecil, tatapannya tetap tenang seperti batu karang yang tak tergoyahkan. Namun, setelah ia meletakkan teko teh kembali di atas meja, nada suaranya berubah lebih tegas. "Meski begitu, izinkan aku memberikan satu nasihat."

[Name] menegakkan tubuhnya, mendengarkan dengan seksama.

"Jangan terlalu sering melibatkan dirimu dengan Tartaglia," kata Zhongli, matanya bertemu dengan pandangan gadis itu. Dalam dan serius, seakan ada hal lain yang sedang ia coba untuk katakan.

[Name] mengerutkan kening, sedikit bingung dengan peringatannya—ah, apa karena Tartaglia adalah Fatui Harbinger?

Gadis itu mengangguk-anggukkan kepala di dalam benaknya. Jelas, pasti karena hal itu. Memang pemuda itu cukup berbahaya mengingat catatan kriminalnya di Liyue, itu tak terelakkan meski Tartaglia mengaku kalau itu karena ia dijebak rekan sesama Fatui-nya. Karena itulah, [Name] berkata, "kau tenang saja, Xiānshēng. Tartaglia tidak membahayakanku, dia juga tidak menggangguku sama sekali."

"…."

Namun tiba-tiba entah kenapa aura disekitarnya terasa sedikit berat dan suasananya mendingin. Mungkin karena waktu sudah semakin malam atau tehnya yang mulai dingin, [Name] tidak yakin yang mana tetapi yang pasti itu bukan halusinasinya.

Lebih dari itu, dia lebih terkejut setelah melihat ekspresi Zhongli saat ini. Wajahnya tampak ragu sejenak, sesuatu yang jelas jarang terjadi padanya. Ekspresi di wajahnya berubah tipis, seolah ada sesuatu yang sulit ia sampaikan. Namun pada akhirnya, Zhongli berkata, "… bukan itu yang kumaksud…."

"Ya? Lalu ada—" [Name] terdiam seketika, tiba-tiba ia teringat sesuatu yang dikatakan Tartaglia sebelumnya, tentang bagaimana Zhongli yang marah padanya. Dengan hati-hati, ia bertanya, "Xiānshēng… apa kau ada masalah dengan Tartaglia? Sebelumnya dia memberitahuku kalau kau mungkin marah padanya…."

Zhongli terdiam beberapa saat, jemarinya kini terlipat di atas meja. Ekspresinya tidak seperti biasanya—tidak sepenuhnya tenang. "Bukan masalah seperti yang sedang kau pikirkan," ia akhirnya berkata dengan suara pelan. "Hanya saja… aku tidak nyaman melihat bagaimana Tartaglia selalu mencoba berbicara denganmu atau bertanya tentangmu."

Kalimat itu membuat [Name] tersentak. "Bertanya… tentangku?" Tanyanya dengan nada terkejut. "Apa yang kau maksud, Xiānshēng? Apa dia bermaksud mengulik tentang identitasku?"

"…."

Tapi itu tindakan yang sangat terus terang dan bodoh, [Name] tidak bisa menyangkal itu. Fatui memiliki sumber informasi tersendiri yang sangat rahasia, tetapi mencaritahu tentangnya dari atasan atau rekan kerjanya sangatlah konyol.

Tiba-tiba Zhongli menghela napas tipis, pandangannya menerawang sesaat sebelum kembali fokus pada [Name]. "Aku hanya memperingatkannya untuk menjaga jaraknya darimu, itu saja. Dia terlalu sering menanyakan tentang dirimu. Jika aku terlihat marah, itu bukan niatku. Hanya saja… itu membuatku tidak nyaman."

"…."

Keheningan terjadi. Lalu [Name] segera menyadari sesuatu—mungkinkah… dia cemburu pada Tartaglia?

[Name] berdeham canggung, berusaha menenangkan degupan jantungnya yang tiba-tiba tak terkendali. Ia menggelengkan kepala pelan, memaksa dirinya untuk tetap fokus. "Pokoknya…," kata [Name]. "Tartaglia hanya membuat permintaan itu, tidak ada hal lain. Hanya sebatas itu."

Zhongli mengangguk pelan, tetapi sorot matanya tetap tajam, seperti mengukur setiap kata yang baru saja diucapkan oleh [Name]. Jemarinya menyentuh tepi cangkirnya, bergerak halus, tetapi ada ketegangan yang tak biasa di sana. "Baiklah," gumamnya, nada suaranya lebih lembut, tapi entah kenapa terasa lebih dalam.

Bahu [Name] turun sejenak manakala aura disekitarnya berubah lebih ringan.

"Ngomong-ngomong," kata Zhongli lagi. "Kau tahu kalau sekarang kau tidak memanggilku dengan namaku, bukan?"

"A-ah, itu karena kita sedang membicarakan pekerjaan …!"

"…."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro