Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 15

Ketika Zhongli duduk untuk sarapan keesokan harinya, Xianyun sudah hadir dengan wajah senang dan bersemangat—tanda ia baru saja selesai menyempurnakan alat mekanikanya hari ini.

"Jarang melihat dirimu datang ke gunungku sepagi ini, Rex Lapis." ujar Cloud Retainer saat menyadari kedatangan pria berwibawa itu. "Diriku bertanya-tanya tentang hal apa yang membuatmu ke sini."

"Tidak ada sesuatu yang khusus," jawab Zhongli sambil menerima segelas teh yang tersuguh di depannya. Sejenak, dia menghirup aromanya yang wangi dan merasakannya.

"Benarkah begitu?" Cloud Retainer dengan cekatan mengeluarkan hidangan dari Supreme Cuisine Machine miliknya yang melayang-layang. "Mungkin hanya perasaan diri ini saja atau suasana hatimu terlihat sangat baik." Wanita itu melirik dengan senyuman tipis tersungging di bibirnya. "Apa karena Nona muda itu?"

[Name]. Benar, ia harus menemui [Name].

Zhongli sebenarnya berusaha untuk tidak terlalu memikirkan [Name]. Namun [Name] ada di sana, memenuhi pikirannya sepanjang waktu, bahkan ketika ia merasa cemas kalau mungkin gadis itu akan marah setelah yang ia lakukan pada malam itu—dia tidak akan mengelak tentang fakta bahwa ia telah mencuri kesempatan pada saat itu setelah berusaha menahan dirinya selama ini.... 

Dengan menciumnya.

Tindakan yang sederhana, namun penuh arti, dan kini membuat hatinya tak bisa tenang. Dia bukan tipe pria yang tergesa-gesa dalam mengambil keputusan, terutama dalam hal ini. Namun momen itu... seolah ada sesuatu di dalam dirinya yang tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Sentuhan bibirnya dengan bibir [Name] terasa seperti titik balik—perasaan yang selama ini ia tekan, tiba-tiba meledak dan mengambil alih akal sehatnya.

Padahal dia berencana melakukannya dengan cara yang berbeda. Perlahan, tidak terburu-buru. Memberi gadis itu waktu untuk mengenalnya lebih baik, untuk memahami siapa dirinya yang sesungguhnya. Lagipula, bagaimana mungkin ia bisa tiba-tiba muncul di hadapan [Name] dan mengatakan bahwa dirinya adalah Rex Lapis, Archon Geo yang telah memerintah Liyue selama ribuan tahun? Bahwa ia, yang telah hidup lebih dari enam milenium, dan telah menyukai gadis itu selama beberapa tahun terakhir? Gadis itu pasti akan menganggapnya gila.

Namun Zhongli sudah menciumnya, dan rasanya luar biasa menyenangkan dan tak terduga.

Dan [Name] memegang lengannya, mungkin gadis itu tidak menyadarinya kalau dia melakukannya. Lalu matanya—seakan sedang memohon padanya, meminta sesuatu padanya. Gadis itu selalu menatapnya seperti itu, sejak awal. Sejak ia bertemu dengan gadis itu kembali dan bekerja bersamanya.

Zhongli tidak bermaksud mencium [Name]. Itu terjadi begitu saja. Ia ditarik, tanpa rasa curiga terseret ke arahnya, dan kemudian jarak di antara mereka semakin kecil dan kian mengecil....

Dan di sanalah [Name] berada, di hadapannya.

Dia ingin mendorong [Name] kembali di atas sofa, menenggelamkan diri di dalam gadis itu, mendekapnya lebih dari sebelumnya, dan tak pernah melepaskannya. 

Zhongli ingin mencium [Name] lebih lagi, mencium aroma manis yang menguar dari tubuhnya, merasakan kulitnya, lalu membiarkan dirinya tenggelam dalam gairah yang muncul karena ciuman itu.

Ia ingin—

"Sarapan ini sungguh sempurna, seperti biasa, Cloud Retainer," kata Zhongli, mencoba mengalihkan pikirannya dari pusaran perasaan yang mulai mengganggu.

Cloud Retainer tersenyum, tetapi tak bisa sepenuhnya menyembunyikan tatapan penuh rasa ingin tahunya. "Ya, diriku sudah menambahkan beberapa penyesuaian sehingga bumbunya dapat meresap lebih baik," katanya, seakan sedang mengikuti permainan sang Archon Geo.

Zhongli hanya mengangguk singkat. Seperti yang bisa diharapkannya dari kawan lamanya yang satu ini. Sungguh. Alasan Zhongli membangunkannya dan memeluk [Name] saat itu karena dia mendengar [Name] terus berbicara dalam mimpinya, berkata agar berhenti, lalu ia merasakan sesuatu—lebih tepatnya, seseorang—bersamanya, mencoba berkomunikasi dengannya.

Sebelum dia bisa melanjutkan pikiran-pikirannya, suara angin yang berdesir lembut membawa pesan lain dalam hatinya. Dia harus segera menemui [Name], memastikan sesuatu dari gadis itu sebelum rencananya berubah. 

Apapun yang terjadi setelah itu, ia harus siap menghadapi konsekuensinya.

✦•┈✦•┈⋆⋅☆⋅⋆┈•✦┈•✦

[Name] menatap selebaran di tangannya yang pagi ini diberikan Tartaglia kepadanya, merasa lelah—sedih juga bingung.

"Bagaimana menurutmu?"

Itu Tartaglia, dia menoleh kepadanya setelah memastikan [Name] sudah selesai membaca selebaran baru di tangannya. Informasinya tidak ada yang berubah, informan yang tengah Tartaglia cari memang benar sudah mati dibunuh. Dengan kata lain, kalung milik informan yang terkubur bersama mendiang Wujiang memiliki makna lain.

Selain itu....

"Apa kau menemukan sesuatu?" Tanya Tartaglia lagi. 

"Lebih tepatnya...." [Name] mendesahkan napasnya pelan dengan lelah. "Aku memikirkan sesuatu."

Tartaglia terdiam sesaat, kemudian, ketika tampak jelas [Name] sudah selesai berbicara, dia berkata, "tentang kalungnya? Kupikir kita sudah tidak memerlukannya lagi. Mungkin memang benar kalau Wujiang menangkap basahnya, jadi informan itu tidak punya pilihan selain membunuhnya. Pada saat itulah dia tidak sadar kalau kalung yang dikenakannya ditarik hingga putus."

"Bukan itu, aku baru saja terpikirkan tentang mimpi itu—!?" Seakan baru tersadar akan sesuatu, [Name] menghentikan kata-katanya. Wajahnya praktis merona. 

Kenangan dari malam itu seketika membanjiri benak [Name], membuat wajahnya bersemu merah. Mimpi buruk yang mengerikan itu—saat dirinya dihantam sekop hingga hancur, tubuhnya terpotong-potong oleh tangan yang tak dikenal. Adegan yang terasa begitu nyata, begitu menyakitkan. Dia hampir bisa merasakan derita fisik yang tak tertahankan, tetapi ketika terbangun, yang pertama kali dilihatnya adalah wajah Zhongli.

Dia menciumnya.

Bukan, bukan Zhongli tapi [Name]. Dia sudah menciumnya, dan meski itu karena dirinya yang terlalu terbawa suasana, dia sudah tahu kalau dia tidak bisa melakukan itu tetapi dia tetap melakukannya. Jika tahu hal itu yang akan terjadi selanjutnya, [Name] sudah menghindari Zhongli dan ia akan—

[Name] membeku. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Dia sudah berulang kali mencoba menulis skenario palsu di dalam kepalanya, tetapi pada akhirnya ia takkan pernah sanggup mengenyahkan fakta bahwa dialah yang mendongak dan menyodorkan dirinya kepada pria itu. 

Andai pun saat itu [Name] tidak terbawa suasana, mungkinkah dia bisa menempatkan Zhongli di posisi yang sepantasnya sejak awal? Ini bukan pertama kalinya bagi Zhongli memeluknya, tetapi tidak pernah sekali pun pria itu melakukan hal paling tidak beretika kepada seorang gadis yang membutuhkan bantuan; sebaliknya, itu [Name]. Dia memanfaatkan keadaan rentannya dan mencium pria itu.

Ia malah menikmatinya, membiarkan Zhongli mencicipinya, mengusapkan bibirnya di bibir gadis itu, melumatnya, dan [Name] membalasnya, kemudian—oh, demi Rex Lapis, hal bodoh apa yang kupikirkan saat itu? 

Setelah itu—yah, sejujurnya [Name] tak yakin bagaimana hal itu bisa terjadi, tapi ia ingat semuanya, tentang bagaimana rasanya, sensasinya, gairahnya yang naik ke perutnya. Semua hal terkecil itu termasuk cara Zhongli menatapnya, tangan pria itu di pinggangnya dan memeluknya. Zhongli merengkuhnya dengan kuat, dan sesaat nyaris terasa seolah Zhongli menginginkannya. 

Namun bukan karena adanya kesempatan itu [Name] menciumnya. Ia menciumnya karena....

Karena....

Karena apa? [Name] mendesis. Ia tidak tahu alasan mencium ZHongli. Hanya ada momen itu—momen tegang yang perlahan menjadi datar itu—lalu ia tenggelam dalam keheningan indah, magis, dan menyihir. Dia tidak seperti pria lain yang pernah [Name] temui. Dia sungguh memesona. Sungguh. Terutama mata emasnya itu.

Zhongli memang memesona, ia akui itu. Namun rasanya ada sesuatu yang lain dari pria itu, keindahan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, auranya yang kuat terasa tidak asing tetapi tidak dikenalnya dalam waktu yang bersamaan. Lalu Zhongli menurunkan pandangannya, mata pria itu seperti ingin mengatakan sesuatu, kemudian... entah bagaimana... Zhongli mendekat hingga wajah Zhongli hanya tersisa beberapa senti darinya. Selanjutnya....

[Name] menciumnya.

[Name] tersentak seakan baru menyadari sesuatu. Dia bergumam, "... putus...."

"Ya?"

"Kalungnya... putus," gumam [Name], suaranya terdengar pelan, nyaris tak terdengar.

Tartaglia, yang awalnya kebingungan mendengar gumamannya, menatapnya lebih dalam. "Ya, kalung itu putus. Apa yang kau pikirkan?"

[Name] terdiam, lalu dengan seketika ia tersentak. Pandangannya tajam dan penuh fokus, seolah menemukan sesuatu yang penting di dalam pikirannya. Tanpa menjawab Tartaglia, ia buru-buru beranjak dari tempat duduknya, hampir membuat kursi di bawahnya terbalik. Kakinya cepat melangkah menuju meja kerjanya di sudut ruangan. Tangannya bergerak cepat, membuka laci dan mencari kaca pembesar serta pinset.

Tartaglia mengernyit, menyaksikan tingkahnya dengan campuran rasa penasaran dan kekhawatiran. "Apa yang kau lakukan?"

[Name] tak menjawab. Ia meletakkan kalung itu di bawah sorotan cahaya dari lampu meja, lalu menggunakan kaca pembesar untuk memeriksa dengan seksama. Keningnya berkerut semakin dalam saat ia memeriksa bagian yang putus dari kalung itu. Sekilas, kelihatannya seperti kalung biasa yang putus karena ditarik paksa, namun....

"Aneh," gumamnya, matanya terpaku pada detail yang ia temukan. "Kalau kalung ini ditarik sampai putus... seharusnya metal besinya terbuka ke luar seperti sobekan."

Tartaglia mendekat, menatapnya dengan penuh perhatian. "Lalu?"

[Name] terdiam sejenak, memeriksa sekali lagi sebelum mengangkat wajahnya. "Tapi, lihatlah ini—metal besinya malah bengkok ke dalam, bukan sobek ke luar. Dengan kata lain, ada benda tajam yang menghancurkannya, bukan ditarik."

Seketika, rasa dingin menjalari punggungnya. Gadis itu menegakkan tubuh, pandangan matanya dipenuhi ketegangan yang tiba-tiba menyergap. "Ini berarti... kalung ini tidak pernah benar-benar lepas atau pindah tangan." Tangan [Name] bergetar. "Kalung ini... tetap di sana bersama—!?"

「 tolong... aku ...! 」

Kalimat terakhirnya terputus dengan tiba-tiba, saat ia merasa hawa dingin yang tak wajar melingkupi ruangan. Sebelum ia bisa berkata lebih lanjut, sesuatu menghentikan aliran pikirannya.

Tiba-tiba, sepasang tangan hitam dan dingin menutup wajahnya dari belakang.

Napas [Name] tercekat. Tubuhnya seketika membeku, darahnya terasa berhenti mengalir. Suara serak dan berat bergema di telinganya, memanggil namanya dengan nada yang begitu asing, tetapi juga akrab... suara itu, suara yang sama yang ia dengar di Wuwang Hill. Kegelapan perlahan mengaburkan pandangannya, membungkus kesadarannya dalam teror yang menghancurkan.

「 Kenapa... kalian.... 」 bisikan itu terdengar, membekukan darah di nadinya. 

Aura berat mencekamnya, menyelimuti punggungnya dan membuat seluruh tubuhnya bergetar. Rasa takut yang mencekam membuatnya kehilangan kendali atas dirinya sendiri.

「 Kalian monster! 」

Bisikan itu masih terdengar, semakin jelas di telinganya.

「 Hentikan! 」

Itu suaranya... suara pria itu. Suara pria yang ada di dalam mimpinya, suaranya yang meminta pertolongan ketika wajahnya dihancurkan.

Tanpa bisa menahan, [Name] berteriak.

Tartaglia yang berada di sampingnya terkejut melihat perubahan tiba-tiba itu. "Hei, [Name]!" serunya panik, berlutut di sampingnya saat melihat tubuh gadis itu terjatuh ke lantai, gemetaran sambil memegangi telinganya. Matanya terpejam rapat, wajahnya pucat, dan bibirnya bergerak tanpa suara. Dia tampak ketakutan hingga ke tulang, seperti berhadapan dengan sesuatu yang hanya dia sendiri bisa lihat.

Tartaglia langsung bersimpuh di sampingnya, kebingungan. "Apa yang terjadi padamu?" Panggilannya hanya terpantul di ruangan kosong, tanpa jawaban. "[Name]!"

Sebelum Tartaglia bisa berbuat apa-apa, pintu terbuka keras dan sosok Zhongli masuk dengan langkah cepat. Wajahnya tampak serius, matanya memancarkan kecemasan yang jarang terlihat dari seorang pria yang biasanya tenang seperti batu karang. Tanpa sepatah kata, ia segera menghampiri [Name], menariknya ke dalam pelukannya dengan lembut dan penuh tekad.

"[Name], tenanglah," bisik Zhongli di telinganya, suaranya dalam dan stabil, seolah mencoba mengusir aura jahat yang menyelimuti gadis itu. Tangannya yang kuat menggenggam pundak [Name], mengalirkan ketenangan dan perlindungan.

Tartaglia yang masih tersentak oleh apa yang baru saja terjadi, segera menegakkan tubuh dan menatap Zhongli dengan cemas. "Aku... aku tidak tahu apa yang terjadi. Dia tiba-tiba mulai berteriak dan terjatuh, lalu—"

"Aku tahu." Zhongli mengangguk pelan, memahami situasi itu dengan cepat. Tanpa berpaling, ia berkata dengan suara tegas, "Tartaglia, kau bisa pergi untuk sekarang. Aku akan memanggilmu lagi nanti."

Meski masih tampak bingung dan sedikit ragu, Tartaglia mengikuti perintah tersebut tanpa perlawanan. "Baiklah," gumamnya sambil berdiri, melirik sekali lagi pada [Name] yang masih terguncang di pelukan Zhongli, sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan ruangan.

Ketika pintu tertutup, Zhongli menatap [Name] yang masih gemetar di pelukannya. "Semua baik-baik saja sekarang," bisiknya lembut. "Aku di sini. Tidak apa-apa."

Namun, di dalam hatinya, Zhongli tahu bahwa masalah ini jauh lebih dalam dan rumit daripada yang terlihat. Roh dari Wuwang Hill kembali mengganggu [Name], dan itu berarti sesuatu—sesuatu yang gelap dan berbahaya sedang mendekat.

✦•┈✦•┈⋆⋅☆⋅⋆┈•✦┈•✦

Zhongli menemukannya tepat pada waktunya tetapi dalam suasana yang sangat buruk. 

Dengan lembut, Zhongli menyodorkan secangkir teh Osmanthus yang aromanya segera memenuhi ruangan dengan kehangatan yang menenangkan. [Name] duduk diam di hadapannya, wajahnya tampak lebih tenang meski masih ada sisa-sisa ketakutan di matanya. Ia memandang cangkir teh itu, mendekatkan bibirnya dengan hati-hati sebelum akhirnya menyesap sedikit. Kehangatannya merambat, memberikan rasa nyaman.

"Bagaimana perasaanmu sekarang?" Zhongli bertanya dengan lembut dan penuh perhatian. 

[Name] tersenyum kecil, meskipun samar. "Terima kasih, aku sudah merasa lebih baik," jawabnya pelan, pandangannya perlahan turun ke cangkir di tangannya

Zhongli sudah curiga sejak melihat roh tanpa wajah itu ketika datang ke Wuwang Hill tempo hari, tapi ia tidak sangka kalau perasaan familiarnya ternyata benar—roh yang menempel pada [Name] sejak kemarin malam dan mengganggu tidurnya adalah roh yang sama. Dia jelas sedang mencoba meraih [Name], mungkin menyampaikan sesuatu kepadanya.

"Aku... minta maaf," kata [Name] tiba-tiba.

Zhongli mengangkat alisnya, sedikit bingung dengan permintaan maafnya yang mendadak. "Untuk apa?" tanyanya langsung.

"Karena...." [Name] berhenti sejenak, mencari kata-kata yang tepat. "Karena aku sudah terlalu sering merepotkanmu. Kau selalu menemukanku dalam keadaan yang... memalukan, dalam kondisi paling buruk," lanjutnya dengan suara lirih. Matanya menghindari tatapan Zhongli. "Aku benar-benar ingin meminta maaf padamu, Xiānshēng."

"Tidak perlu meminta maaf. Itu bukanlah—"

"Dan untuk ciuman itu...." potong [Name], wajahnya merona merah. Gadis itu mencuri pandang ke arahnya sebentar, seakan sedang mencari tahu ekspresi seperti apa yang akan Zhongli berikan lalu mengalihkan pandangannya lagi. "Aku juga ingin minta maaf."

Sekarang, giliran Zhongli yang terdiam. Suasana hening menyelimuti mereka, dan ia menatap [Name] yang tampak semakin malu. Gadis itu menundukkan kepala, jari-jarinya yang menggenggam cangkir terlihat sedikit gemetar. "Jadi... mungkin kau bisa melupakan itu. Aku sungguh minta maaf kalau aku sudah sangat... lancang padamu."

Matanya bersitatap dengan Zhongli, dan untuk pertama kalinya di sini, Zhongli melihat gadis itu, melihat jauh ke lubuk hatinya yang lelah dan  takut. Bukan, tentu bukan takut karena hantu di sekitarnya, tapi takut padanya; dan Zhongli yang menyadari hal itu pun merasa sangat terganggu. 

Ini bukanlah yang dia inginkan, dan dia sudah mengantisipasi tatapan yang mungkin akan diberikan [Name] kepadanya jika gadis itu mengetahui tentang siapa dirinya, tapi gadis ini bahkan belum mengetahuinya sama sekali, dan Zhongli tidak menyangka jika rasanya akan seburuk ini.

Jadi Zhongli menghela napas perlahan, mencoba menghilangkan rasa canggung yang mulai memenuhi udara di antara mereka. Tatapan lembutnya menenangkan, tetapi kata-kata yang keluar dari bibirnya mengejutkan [Name].

"Aku tidak ingin melupakannya." 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro