07: Unit
Sebelum mulai membaca, alangkah baiknya untuk
Vote kalau perlu comment
Sebagai dukungan kecil untuk author
Jung Hyunri
"Hyunri lama sekali kamu di kamar mandi."
"Hyunri, Hyun? Kamu tertidur ya?"
"Hyun—"
"Haechan, diamlah!" bentak aku sambil melempar botol sampo ke pintu. "Awas kalau kamu berani mengintip," tambahku mengingatkan Haechan.
Aku mulai gila, iya gila karena Haechan. Menghadapi Haechan hidup saja sudah sangat menyusahkan apa lagi kali ini harus menghadapi Haechan yang sudah mati.
"Ya Tuhan!" aku berteriak membiarkan air shower masuk ke dalam mulutku. Tenang saja, aku tidak menelan air mentah ini.
"Hyunri."
Haechan mengintipku tiba-tiba dengan kepala yang menembus pintu.
"HAECHAAAANNN!"
"Jangan marah, jangan marah. Aku menutup mata, aku hanya ingin memberitahu kalau ada telpon dari Jisung."
Haechan mengulurkan tangan kosongnya seolah-olah ia ingin memberikan sesuatu barang.
Bodoh sekali.
Aku segera menutup shower dan menyelimuti tubuhku dengan handuk. "Dimana?" tanyaku sambil memiringkan kepala.
Haechan membuka matanya melihat ke telapak tangan yang kosong. "Loh, kok tidak ada?" tanyanya bingung.
Aku hanya menggeleng-geleng kepala sambil membuka pintu kamar mandi membiarkan tubuhku menembus Haechan. Lalu melihat handponeku yang retak tergeletak di depan kamar mandi. Ini pasti terjatuh karena tidak bisa menembus bersamaan dengan tangan Haechan, makanya terlepas dari genggaman dan terbanting.
Kalau kamu bisa aku pegang, pasti sudah ku cekik sampai kehabisan napas. Geramku dalam hati.
"Hyun, maaf."
"Tidak apa-apa," balasku dengan nada rendah, tetapi penuh penekanan. Lalu...
Prang!
Aku menoleh ke arah Haechan. Dengan wajah polosnya ia telah memecahkan patung angsa terbuka dari kaca.
"A-aku ti-tidak sengaja. Ma-maaf."
Lagi-lagi aku tersenyum. Ku ambil napas dalam-dalam, mencoba rileks menghadapi hantu menyebalkan ini. "Haechan, kemarilah," pintaku sambil mengepalkan tangan.
"Ah Hyunri aku minta maaf," kata Haechan tiba-tiba menghilang.
"HAECHAAANNN!"
Kenapa harus tertinggal di mobil Jeno. Gerutuku sambil membenturkan beberapa kali dahiku pada pintu apartemen.
Aku merogoh saku hoodie untuk mendapatkan handphoneku dan langsung menelpon Jeno.
"Ada apa, Hyun?"
"Kartu apartemen tertinggal, aahhh bodoh sekali aku," aku merengek.
Di ujung sana aku mendengar desahan kasar Jeno, lalu di susul dengan berdecak. "Aku sedang perjalanan menuju rumah sakit, kartumu ada di dashboard. Aku akan memutar jalan dan segera menemuimu. Dah Hyunri."
Jeno langsung memastikan panggilannya. Aku nyaris nangis di tempat karena sifatku yang teledor, juga terlalu lelah untuk kembali ke gedung apartemen Jeno. Untung saja ada Jaemin yang melihatku, jadi aku menahan tangisan.
"Sedang apa?" tanyanya sopan. Lalu tangannya menangkup pipiku, melihat dengan alis yang berkerut ke dahi. "Memar."
Langsung saja Jaemin menarikku ke dalam unitnya, meninggalkan kantung belanjaanku di depan pintu. "Jaemin, belanjaanku," kataku.
Jaemin mengisyaratkan aku supaya untuk duduk, sementara ia mengambil belanjaanku.
"Berat sekali," keluh Jaemin. "Kamu membawa ini semua?"
Aku menggeleng. "Tadi aku di bantu oleh temanku."
"Pria berotot yang di seberang balkon?"
"I-iya, dia Jeno."
Kukerutkan dahi sambil menggigit ibu jari. Bagaimana dia tahu?
"Minum dulu, aku akan ke kamar mandi sebentar. Perutku tiba-tiba mulas," kata Jaemin langsung mengunci pintu kamar mandi.
Kulihat ke sekitarku. Rapi, bersih dan penuh dengan estetika. Jarang sekali aku melihat unit laki-laki yang sebagus ini. Aku merasa kalah oleh Jaemin, secara unit yang aku tempati sangat berantakan dan kotor karena plastik makanan ringan.
Kalau menyentuh sedikit saja tidak apa-apa bukan? Batinku penasaran dengan lembutnya bulu patung anjing dan kucing hutan yang seolah-olah hidup.
"Sedang apa?"
Mendadak aku kaku karena kepergok hampir menyentuh pajangannya. Aku menoleh kaku ke arah Jaemin yang sedang mengelap lengannya menggunakan handuk kecil.
Aku sembunyikan tanganku di balik tubuh. "A-aku ingin mengelus i-ini. Yah ini, a-aku pe—nasaran," kataku terbata-bata di bumbui dengan kekehan kecil.
Jaemin hanya tersenyum miring, lalu berdiri di sebelahku sambil mengangkat patung tersebut. "Ini sedikit berat karena tulang-tulangnya di ganti dengan kerangka besi," jelas Jaemin. Kemudian ia membalikan patung tersebut, memperlihatkan jahitan di perut hewan tersebut. "Aku yang membuatnya saat SMA, makanya jahitan ini kurang rapi."
Seketika aku membelalakan mata, tidak percaya dengan perkataan Jaemin. "Ini asli? Binatang asli?" Pria tampan ini mengangguk sambil membelai kepala patung.
"Bag—"
"Pamanku seorang pemburu, aku sering menyaksikan pamanku membuat aksesoris dari hasil buruannya. Pertama kali aku praktekan pada anjing ini, bagus bukan?"
Aku hanya mengangguk-angguk dan tersenyum lebar. Karya yang sangat fantastis. Tapi sangat di sayangkan pada kucing hutan ini. Jika di temukan binatang ini Jaemin pasti akan kena hukuman, karena kucing ini termasuk hewan yang di lindungi.
Tidak sengaja aku melihat botol kaca berlabel Aqua Regia, setahu aku cairan tersebut sangatlah berbahaya. "Jaem—"
Baru saja aku ingin menanyakan kegunaan dari cairan ini dan sampai kenapa dia menyimpan cairan tersebut, tetapi Jaemin lebih dulu memotong. "Hyunri ada seseorang di depan pintu unitmu," ujar Jaemin yang baru saja mengintip keluar.
Aku langsung bergegas keluar dan mendapati Jeno. "Jeno, syukurlah."
"Anu, Jaemin. Terima kasih," kataku sambil membungkukan tubuh dan Jaemin memberikan kantung belanjaanku.
Jeno membukakan pintunya. "Cepat masuk dan istirahatlah. Kunci pintumu, ini kartunya."
Aku mengerutkan dahi. Jujur saja, Jeno tidak biasanya sekhawatir ini. "Iya, terima kasih banyak."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro