Extra Story : Chapter 8
Hidup memang ironis. Wriothesley memikirkan hal itu sambil tersenyum pasrah melihat keadaannya saat ini. Dan suasana hatinya, sejak ia jatuh cinta pada wanita yang kini menjadi istri sang Iudex Fontaine yang terhormat, sama sekali tidak baik.
Oh, dia benar-benar lihai dalam menyembunyikan sesuatu. Perasaan semacam itu tak mudah dilihat bagi orang yang tidak mengenalnya, tapi bagi yang mengenalnya—yang ia harapkan untuk tidak terjadi—sangat mengetahuinya. Lalu yang terburuk dari semua itu, [Name] mungkin mengetahuinya. Mengingat bagaimana cara wanita itu mengalihkan percakapan mereka bahkan ketika ia belum mengungkapkan… bukankah itu sudah jelas?
Sementara Navia dan Clorinde—juga Sigewinne, tiga orang yang pernah membantunya untuk itu—pada akhirnya hanya bungkam. Betapa senangnya memiliki seseorang yang sangat perhatian dengan suasana hatinya ini. Jadi Wriothesley pun hanya tertawa, bersikap sangat ceria, dan terkadang tampak acuh.
Wriothesleh mendengus sambil merosot di sofa dan menyandarkan mata kakinya di lutut, melihat mereka berjalan beriringan di dalam kantor Iudex Fontaine, lantas tertawa dan tersenyum, kemudian bertatapan mesra dengan memuakkan, ia memutuskan untuk mengisi gelas tehnya yang tersisa setengah.
"Kurasa aku membutuhkannya," ujar Wriothesley usai menghabiskan sisa teh di dalam gelasnya.
"Ada apa, Wriothesley?" Neuvillette bertanya, dia benar-benar lupa kalau pendengaran pria ini sangat tajam.
Wriothesley menyunggingkan senyuman dan menyodorkan gelasnya. "Aku akan mengisinya lagi."
"Silakan." Neuvillette mengangguk pelan, lantas pandangannya kembali fokus pada dokumen yang ada dihadapannya.
Saat ini, Wriothesley sedang berada di Palais Mermonia. Seperti biasa, ia harus datang untuk mengurus masalah bisnis Benteng Meropide dengan Palais Mermonia, bagaimana pun mereka adalah pelanggan tetap Benteng Meropide yang setia dan budiman.
Selain itu? Tentu saja masalah para kriminal. Pihak Palais Mermonia harus memastikan bahwa tidak ada masalah apa pun selama para kriminal di tahan di Benteng Meropide, alasannya sebagai jaminan keamanan mereka di sana dan untuk mengabari keluarga yang ditinggalkan khususnya anak-anak.
Kebanyakan anak-anak para narapidana tidak tahu-menahu mengenai masalah orang tua mereka, oleh karena itulah [Name] sangat khawatir tentang hal ini. Bahkan kepada para bajingan seperti itu, [Name] masih berbaik hati.
"Kau tahu," lanjut Wriothesley. "Belakangan ini aku menemukan jenis tea blending yang enak, kau harus mencobanya. Suster Kepala Sigewinne pun sepakat denganku aku akan membawakannya pada pertemuan berikutnya."
"Suster Kepala Sigewinne juga mencemaskanmu, Yang Mulia," [Name] berkata sambil melintas dihadapannya usai mengambil beberapa catatan tebal pada rak di belakangnya. "Kau tidak bisa meminum teh setiap hari karena akan merusak kesehatanmu. Sudah berapa kali Suster Kepala Sigewinne mengatakan ini?"
"Maaf," sahut Wriothesley, menyunggingkan senyuman miring kepada [Name]. "Tapi dia juga sering menukar minumanku dengan milkshake buatannya yang luar biasa."
[Name] mendesah. "Itu karena kau sangat keras kepala sekali."
Tepat sekali. Ada banyak cara yang Sigewinne lakukan agar ia berhenti meminum tehnya.
Mulai dari menukar isi teh di dalam gelasnya, menyembunyikan semua koleksi tehnya, sampai membuat ide untuk membuat campuran milkshake dengan teh. Oh, yang terakhir itu luar biasa mengerikan tampilannya dan Wriothesley bersumpah kalau dirinya sangat ingin melupakan itu sampai saat ini.
"Begitu rupanya," sambung Neuvillette tiba-tiba. "Mungkin aku harus berhenti mengirimkan Duke hadiah teh ke Benteng Meropide dan menggantinya dengan air mineral."
Wriothesley tertawa. "Aku menantikannya."
"Maaf, yang barusan hanya bercanda saja."
Dan sekarang ia bisa membayangkan ketika Neuvillette datang ke Benteng Meropide sambil membawa berkotak-kotak kemasan air mineral dari berbagai sumber mata air di setiap sudut Teyvat.
Itu pasti akan menjadi pemandangan yang menarik.
"Oh, aku baru ingat," kata [Name] tiba-tiba, dia menoleh ke arah Neuvillette. "Apa yang kau rencanakan untuk ulang tahun pernikahan kita?"
"Aku berniat untuk mengambil cuti selama 5 hari dan pergi ke Snezhnaya," jawab Neuvillette. "Tapi aku yakin kalau anak-anak tidak akan suka ditinggal selama itu."
"Tepat sekali."
Entah hanya perasaan Wriothesley saja atau bukan, tapi setiap kali Neuvillette merencakan ulang tahun pernikahannya dengan [Name], selalu ada kejadian tak terduga.
Dua tahun yang lalu, tiba-tiba turun hujan es di Fontaine tepat setelah Lorraine marah karena mengira Neuvillette tidak berniat membawanya untuk ikut ke Inazuma.
Setahun kemudian, hujan badai disertai petir melanda dengan sangat hebat hingga membuat tidak seorang pun yang berani keluar dari rumahnya saat Louise mulai merajuk lantaran mendengar dia dan Lorraine akan ditinggal di Fontaine sementara orang tuanya akan pergi ke Mondstadt.
Jika bertanya darimana Wriothesley mendengarnya, jawabannya tentu Sigewinne. Karena ketika itu terjadi, dia yang datang untuk membantu Neuvillette menenangkan anak kedua anak kembar itu.
"Bagaimana menurutmu, Wriothesley?" Tanya Neuvillette tanpa maksud apa pun.
"Kurasa kalian harus pergi ke Liyue," usul Wriothesley tiba-tiba. "Monsieur Neuvillette pernah ke sana sebelumnya, bukan?"
"Ah, benar," aku Neuvillette. "Airnya menyegarkan, suasananya juga menenangkan, dan kita akan pergi di musim yang tepat saat daun teh di Chenyu Vale mulai dipetik."
"Haruskah?"
Wriothesley berdiri, menyadari perubahan percakapan ini menandakan dirinya harus segera menyingkir dari sana.
"Mengapa tidak?" Tanyanya, nadanya tak acuh. "Mungkin anak-anakmu juga akan menyukainya. Kenapa tidak coba menanyakannya pada mereka?"
"Kau benar." [Name] dan Neuvillette saling berpandangan.
Ketika Neuvillette menoleh untuk melihatnya, dia berkata, "apa ada sesuatu yang kau inginkan? Anggap saja sebagai hadiah karena sudah memberikan ide ini."
Wriothesley mendengus. "Tidak perlu. Aku tidak merasa kalian sudah berhutang budi padaku. Silakan nikmati waktu kalian berdua."
Dan begitulah bagaimana Wriothesley memilih mengakhiri harinya di Palais Mermonia saat cuaca sedang begitu cerah di luar sana.
—oOo—
"Kenapa kau… bisa ada di sini?" Itu yang dikatakan Wriothesley saat mendapati Lorraine sudah duduk di dalam kantornya.
"Aku bosan," jawab anak itu polos. "Papa dan Mama terus membicarakan rencana liburan mereka, rasanya menjengkelkan."
Sejujurnya Wriothesley tidak paham apa yang menjengkelkan dari itu kecuali saat mereka membicarakan itu kepada orang yang tidak ada hubungannya dengan mereka. Tapi dengan anak-anaknya? Bukankah sudah seharusnya mereka pergi bersama? Itu bukanlah hal yang aneh menurutnya.
“Lalu, apa yang kau inginkan sekarang?” tanya Wriothesley, mencoba mengalihkan perhatian Lorraine dari kekecewaannya.
Lorraine menatapnya dengan dua bola mata violetnya yang besar. "Bersantai, kurasa."
"Di Benteng Meropide?"
"Ya."
"Menurutku Benteng Meropide bukanlah tempat yang cocok untuk bersantai, kau tahu."
Lorraine menggidikkan bahunya acuh. "Lalu kenapa Yang Mulia memutuskan untuk terus berada di sini?"
"Karena Ayahmu menunjukku untuk mengelola tempat ini."
"Dan Mama juga menyukai tempat ini," sambung Lorraine. "Jauh dari keramaian dan tempat yang tenang untuk menyendiri. Dia pernah tinggal di sini."
"Bagaimana kau—"
"—tahu kalau Mama pernah ditahan?" Sambung Lorraine, dia menutup buku di tangannya. "Catatan pengadilan lalu, tentu saja. Semuanya ada di kantor Papa."
Apa sekarang semua orang diperbolehkan untuk membaca semua catatan peradilan? Daripada itu, dia masih lebih tertarik tentang bagaimana seorang gadis kecil lebih tertarik pada buku kasus seperti ini daripada buku cerita bergambar untuk anak-anak.
"Jadi, bagaimana?" Tanya Wriothesley lagi, mencoba mengalihkan topiknya. "Apa yang kau inginkan dari rencana liburan Ayahmu?"
"Itu bukan perayaan ulang tahun pernikahanku," ia mengingatkan Wriothesley.
"Tapi kau putrinya," sahut Wriothesley sambil melangkah melewati dirinya dan duduk di balik meja kerjanya. "Jika ingatanku tidak salah, sepertinya tahun lalu kau marah karena orang tuamu merencanakannya secara diam-diam."
"…."
"Kuyakin tahun ini mereka menanyakan pendapatmu dan Louise," katanya menambahkan. "Jadi kenapa sekarang terlihat kesal seperti itu?"
"… karena aku merasa ditinggalkan," Lorraine bergumam.
"Baiklah, aku mengerti." Wriothesley mengangguk beberapa kali. "Kau merasa ditinggalkan dan karena itu kau marah sampai tak ingin mendengar apa pun tentang itu?"
"…."
"Tidakkah kau pikir karena mereka ingin memberimu kejutan?"
"Tapi aku bukan anak-anak."
Lorraine sekarang jelas bersikap seperti anak-anak, jelas sekali. Ada banyak anak-anak dari para penjaga di Benteng Meropide yang tidak ingin diperlakukan layaknya anak-anak dan menganggap diri mereka sudah dewasa meskipun mereka jelas-jelas hanya seorang anak-anak.
Wriothesley berdeham dan dengan hati-hati berkata, "kau tetap akan menjadi putrinya, apa yang salah dari itu?"
"…."
Ini memalukan, sungguh. Bagi seseorang sepertinya yang tidak tahu bagaimana rasanya mendapatkan kasih sayang orang tua yang begitu tulus untuk berbicara seperti itu. Dia merasa tidak seharusnya mengatakan itu.
Mungkin itu sembarang kata yang terucap, atau itu hanya rasa iri hatinya pada gadis ini. Wriothesley tidak yakin itu.
"Yang Mulia benar," aku Lorraine.
Kemudian Wriothesley tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya sampai tiba-tiba gadis kecil itu memanggilnya usai keheningan yang panjang, "Tuan Duke."
"Ada apa?"
"Mama sudah menikah dengan Papa," katanya tiba-tiba. "Kau tidak boleh menyukainya."
Wriothesley tertohok. "… kenapa bicaramu semakin terdengar menyeramkan?"
"Itu benar," semburnya. "Aku tahu kalau Yang Mulia masih mencintai Mama."
Wriothesley terdiam, tidak menduga bahwa Lorraine akan mengatakannya secara langsung. Ia bisa merasakan darahnya mengalir lebih cepat, namun tetap berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap tenang.
"Oh, demi Archon." Wriothesley mendesah frustasi, dia bergumam, "buku macam apa yang dibaca anak-anak belakangan ini sebenarnya?"
Namun, Lorraine menatapnya dengan mata yang tajam, jauh lebih tajam dari yang seharusnya dimiliki oleh anak seusianya. "Yang Mulia jelas-jelas terlihat masih menyukai Mama," desaknya.
"Aku tidak menyukainya," ucap Wriothesley dengan menekan setiap katanya.
"Ngomong-ngomong, Yang Mulia," kata Lorraine lagi. "Usia Mama jauh lebih tua daripada yang kau tahu, Mama juga memiliki kutukan. Kau tidak tahu itu dan masih menyukainya?"
"Tidak."
"Ya, aku benar."
"Kau salah," sangkalnya. "Aku tidak menyukainya."
"Akui saja, Yang Mulia," kata Lorraine memaksa. "Aku tahu arti tatapanmu itu. Kau masih menyukai Mama."
"Tidak—oh, demi Archon!"
"…."
Kemudian hening kembali. Untuk sesaat, Wriothesley sangat bersyukur dengan itu. Sungguh. Itu hanya sampai tiba-tiba Lorraine kembali membuka mulutnya, "… kau sungguh sudah tidak menyukai Mama?"
Wriothesley mendesah paseah. "Aku memang pernah menyukainya, tapi itu dulu; dan sekarang, aku tidak mrnyukainya dalam hubungan yang romantis apalagi mencintainya."
"…."
"Apa kau sudah puas?"
Jika Lorraine sekarang bertanya apa dirinya sedang berbohong atau tidak, mungkin Wriothesley tidak akan bisa menjawabnya—sekarang, setidaknya.
Karena sesungguhnya dia tidak yakin dengan itu.
Mungkin dia masih menyukainya bahkan mencintainya, tapi mungkin juga itu karena ia belum bisa melepas hatinya lantaran perasaannya yang tak sampai. Egois? Memang, dan ia akui kalau itu sangat bodoh terlebih ketika wanita itu sudah menikah dan memiliki dua orang anak.
Namun tiba-tiba, Lorraine berkata, "bagus kalau begitu."
"Ya?"
Gadis itu tersenyum, senyuman yang sangat misterius hingga ia takut dengan apa yang dipikirkannya sekarang.
Kemudian gadis itu melanjutkan, "itu tidak akan jadi masalah lagi."
"Sebenarnya apa yang—"
"Aku menyukai Yang Mulia."
"…."
Dan untuk banyak alasan, banyak sekali pertanyaan yang muncul dalam benaknya tapi dia hanya bisa membatin—kenapa?
Mungkinkan ini hal semacam itu? Ketika seorang anak gadis yang jatuh cinta secara misterius pada pandangan pertama kepada Ayahnya? Tapi bukankah seharusnya itu dengan Neuvillette?
Itu artinya, dia kagum padaku? Pikir Wriothesley lurus.
"Akan merepotkan jika Yang Mulia melihatku seperti Yang Mulia melihat Mama," katanya. "Aku sungguh-sungguh dengan ini."
"Iya, iya."
"Lalu Yang Mulia." Entah bagaimana, saat itu Wriothesley membeku di tempat manakala dirinya baru menyadari Lorraine yang sudah ada dihadapannya, mengancungkan telunjuk ke arahnya, dan menatapnya dengan serius. "Vishap hanya memiliki satu pengantin sepanjang hidupnya dan itu mengikat layaknya kontrak sehidup-semati."
"… apa… yang… kau bicarakan …?"
"Karena aku sudah bilang menyukaimu, artinya aku memilihmu menjadi pengantinku."
"…."
"Tolong ingat itu, Yang Mulia."
Kemudian Lorraine pergi dari hadapannya, meninggalkan dirinya yang masih membeku di sana karena terkejut. Otaknya benar-benar tak bisa mencerna apa pun yang terjadi beberapa waktu lalu selain bola mata violetnya yang tampak bercahaya seperti—tidak mungkin….
Dan pada saat itu Wriothesley segera menyadarinya: hidupnya yang sangat ironis menemui titik baliknya kembali. Namun tentu ia juga tahu, kalau itu akan menjadi cerita yang lain dalam hidupnya.
—oOo—
Halo ha Reader Mikajeh yang tercinta, terkasih, dan tersayang! Apa kabar semuanya? Semoga sehat-sehat, ya! 🥹👉🏻👈🏻
BTW yah… selesai 😂
Wkwkwkwkwk oke sejujurnya aku juga bingung mau bilang apa karena kek—anjay emg ini work udah panjang banyak halunya ternyata 😂🤣 tapi serius, gak nyangka kalo jadi sangat amat panjang sekali lho; lebih gak nyangka karena kalian masih bertahan kek—kok bisa??? 😭 bingung akutuh mo bilang apalagi selain makasih dan lope banyak2 buat kalian yang tetap setia sama work ini 🥺✨️ berapa lama perjalanan kita guys? 8 bln ya? Kurleb segitu dan dipikir2 emg gk nyangka bgt sih 🥹
Pokoknya aku mau bilang makasih buat semuanya, makasih buat vote dan komennya, makasih udah hype bareng, makasih untuk segala masukan, kritik dan sarannya; makasih udah nunggu ini sampe tamat, makasih buat selalu bersama Mikajeh 🥺🥰💕💕
BTW aku gk bakal bilang selamat tinggal kok gusy, kita bisa bertemu di work yang lain 😂 tapi ya—terima kasih dan sampai jumpa di karyaku yang lain! Gubbay!
Xoxo,
Mikajeh
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro