Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Extra Story : Chapter 4 🔞

Neuvillette, Hakim Agung Fontaine yang bergelar Iudex. Terkenal karena selalu adil dan tidak berpihak.

Dia selalu menangani persidangannya dengan serius dengan memberikan putusan yang tak memihak. Dia sangat perseptif dan mampu menyimpulkan rincian tambahan dari bukti yang diberikan selama persidangan, serta sangat populer di kalangan masyarakat Fontaine sebagai simbol keadilan dan kehormatan. Meskipun sulit baginya untuk berinteraksi dengan para manusia termasuk memahami perasaan mereka, tetapi dia sangat ramah terhadap Melusine hingga dianggap sebagai Ayah yang ideal bagi mereka—itu yang orang-orang dan para Melusine ketahui tentangnya.

Karena ketika ia menghadapi kedua anaknya, Neuvillette benar-benar tidak tahu harus melakukan apa.

Dan [Name] dapat merasakan itu bahkan ketika keluarga kecilnya sedang sarapan bersama di ruang makan pagi ini.

[Name] tahu kalau anak-anaknya sangat istimewa. Bukan hanya dari sikap mereka, bahkan cara berbicara dan berpikirnya pun demikian hingga membuat [Name] bingung bagaimana harus menanggapi mereka. Apa karena mereka memiliki darah Naga Hydro? Atau, karena mereka telah berevolusi lebih jauh dari kerabat Vishap yang lain?

Ini mengkhawatirkan….

"Karena itu, Profesor René memujiku."

[Name] tertawa kecil. "Padahal dia bukan orang yang akan memuji mahasiswanya sembarangan."

"Kudengar darinya, Mama juga begitu." Sambil bilang begitu, Louise berdiri dari kursinya. Dia menambahkan, "oh, iya! Ada yang ingin kutunjukan pada Ibu."

"Apa?"

"Paman Scylla memberikanku partitur baru, aku ingin menunjukannya pada Mama di taman."

"Ah, ayo kita lihat." [Name] beralih pada Neuvillette yang duduk berhadapan dengannya. "Aku pergi dulu sebentar."

Kemudian Neuvillette mengangguk dan [Name] meninggalkannya berdua dengan putrinya, sementara istrinya pergi dengan putranya.

Saat di perjalanan, [Name] mencuri pandang ke arah belakang untuk melihat Neuvillette dan… sungguh, ini mengkhawatirkan.

Sebetulnya Neuvillette bukan tidak akur dengan kedua anaknya dan dia tidak ada masalah dengan Louise yang banyak berbicara dan cenderung mengutarakan apa pun yang dirasakannya, tetapi dia sedikit sulit berkomunikasi dengan putrinya, Lorraine.

Dulu, Lorraine sangat dekat dengan Neuvillette. Semua orang di Fontaine sering kali melihat sang Iudex dari Palais Mermonia menggendong putrinya untuk sekadar berjalan-jalan dan melihat pinggir pantai, tetapi entah sejak kapan, Lorraine enggan melakukannya lagi. Awalnya [Name] berpikir mungkin karena mereka merasa sudah semakin dewasa dan tidak ingin diperlakukan layaknya anak-anak, tetapi ia yakin bukan karena itu.

Ada sesuatu yang terjadi pada putrinya, [Name] bisa merasakan itu.

"Paman Scylla bilang kalau dia mendapatkan ini dari sahabatnya di Remuria," kata Louise.

"Begitu rupanya."

"Iya!" Louise berbalik, menghadap ke arah kolam dimana di depannya berdiri patung-patung besar yang memegang berbagai macam instrumen. "Aku sedikit mengaransemennya, coba Mama dengarkan ini."

Kemudian saat Louise mengangkat tangan layaknya seorang dirigen, patung-patung dihadapannya bergerak seolah tahu apa yang harus mereka lakukan. Sepersekian detik kemudian, suara musik mulai mengalun disekelilingnya.

Di waktu yang sama, [Name] menyadarinya lagi—anaknya terlalu luar biasa, dan dia tidak bisa mengimbangi mereka. Mereka cepat belajar, sangat cepat sampai [Name] merasa tidak ada yang bisa ia berikan lagi dan merasa tak berguna.

"Mama?"

[Name] tersentak, segera tersadar dari lamunannya, dan dia tersenyum kecil kepada putranya. "Maaf, permainanmu benar-benar bagus. Mama jadi terlalu menikmatinya."

Louise tersenyum lebar, merasa bangga akan pujian dari ibunya. "Terima kasih, Mama."

"Ngomong-ngomong, Louise," panggilnya. "Apa yang ingin kau bicarakan dengan Mama?"

"!?" Louise menutup mulutnya, dia menunduk dan mengalihkan pandangannya dari [Name].

Lantas [Name] bersimpuh dihadapan putranya dan menangkup wajahnya, mengelus pipinya yang tebal itu sambil berkata, "Louise, tidak apa-apa. Katakan saja."

"Itu…." Louise mengangkat sedikit wajahnya, dengan agak ragu menjelaskan, "Lorraine belakangan ini sering murung. Dia tidak ingin mengatakannya, dan aku tidak tahu kenapa, dan…."

[Name] mengangguk, mencoba memahami situasinya. "Dan …?"

"… dan aku bermimpi, mimpi yang berulang," jelas Louise padanya. "Aku melihat kota dengan bangunan tinggi yang bercahaya, rasanya sangat asing. Lalu ada seorang gadis di sana, dia seperti seorang penyendiri dan selalu terlihat sedih."

Entah kenapa—

"Walaupun kotanya indah, tapi dia tidak terlihat bahagia seakan…." Louise menghentikan kata-katanya, dengan ragu melanjutkan, "… seakan dia tidak ingin berada di sana."

—tidak mungkin.

"Di tengah ruangan yang selalu tampak gelap, dengan sedikit barang disekitarnya, sementara sampah dimana-mana," [Name] bergumam. Dia memejamkan matanya sejenak dan melanjutkan. "Dia selalu duduk di atas lantai sambil mengadah keluar jendela, menatap kosong balkon dihadapannya."

"Mama…."

[Name] meremas tangannya yang kini berada di bahu putranya, dan jemarinya bergetar.

Tidak, tidak mungkin—

"Bagaimana Mama bisa tahu?"

bagaimana bisa mereka melihat diriku di kehidupanku sebelumnya?

—oOo—

Setelah [Name] pergi, Neuvillette dibiarkan berdua dengan putrinya yang masih menikmati kudapan dan tehnya dengan tenang. Cahaya matahari senja bercahaya dengan lembut, menerangi taman di mansionnya dengan kilauan emas yang indah. Gazebo itu terasa hening, hanya terdengar suara gemerincing halus dari sendok teh yang beradu dengan cangkir. Neuvillette duduk dengan tegap di kursinya, tengah mencoba mencari topik pembicaraan yang sesuai. Namun, kecanggungan pun terjadi, dan keheningan itu terasa semakin kental.

Istrinya sudah sering membuat Neuvillette hanya bersama dengan putra atau putrinya. Setiap kali situasi seperti ini terjadi, selalu dimulai dengan suasana sunyi yang canggung seperti ini. Awalnya, tidak ada yang berbicara sampai istrinya kembali, sementara waktu terasa berjalan lambat, dan Neuvillette sering kali hanya mengamati gerak-gerik anaknya dengan penuh perhatian, berharap menemukan sesuatu untuk dijadikan bahan percakapan.

Namun tidak ada, dan pada akhirnya Neuvillette hanya berkata, "maaf, Papa tidak tahu apa yang harus dibicarakan. Papa sangat menyesal."

Setelah beberapa kali terjadi, dan ketika kedua anaknya sudah lebih fasih berbicara, mereka jadi lebih sering mengobrol bersama terutama dengan Louise, dan Neuvillette segera menyadari bahwa itu adalah momen-momen yang berharga untuk lebih dekat dengan mereka. Tetapi pada akhirnya, semuanya kembali dari bagaimana itu bermula.

Putrinya mendadak tidak banyak berbicara, cenderung membalasnya dengan kalimat seadanya sampai hanya pada anggukkan dan gelengan saja, sementara Neuvillette tidak tahu apa masalahnya.

Hari ini, lagi-lagi dia hanya melihat putrinya yang tengah memakan kuenya dengan tenang-sebaiknya

Aku coba mengatakan sesuatu….

"Bagaimana rasanya? Apa sesuai seleramu?" Tanya Neuvillette dengan agak canggung.

"Iya."

"Ingin tambah lagi? Papa akan minta pelayan—"

"Tidak perlu," jawab Lorraine dengan intonasi yang identik.

"Papa dengar kau membaca buku hukum kasus pidana milik Mama," ucap Neuvillette. "Apa buku milikmu kurang menarik? Kau tidak—"

"Aku bosan," jawab Lorraine singkat. "Aku sudah pernah mempelajari semua materi yang para pengajar itu berikan."

"… bukankah itu sulit?"

"Tidak."

"Atau jika kau membutuhkan buku yang lainnya, katakan saja pada—"

"Tidak perlu."

"...."

Neuvillette sangat ingat kalau [Name] pernah mengatakan sesuatu tentang kedua anaknya, berkata kalau mereka adalah anak yang jenius dan mungkin membutuhkan cara yang berbeda untuk menghadapinya, dan sekarang dia baru benar-benar paham apa yang dibicarakan istrinya itu.

Namun entah kenapa, dia merasakan ada sesuatu yang lain dari putrinya. Sesuatu yang sangat tidak asing ia rasakan tapi juga tidak dikenalnya secara bersamaan.

Lorraine melanjutkan makannya dengan tenang, wajahnya tetap tanpa ekspresi. Neuvillette merasa putrinya semakin jauh, dan semakin sulit untuk didekati. Dia mencoba untuk memikirkan cara lain, sesuatu yang bisa membuka percakapan lebih lanjut.

"Papa tahu kau cerdas, Lorraine. Mungkin ada sesuatu yang ingin kau bicarakan? Apa saja," Neuvillette mencoba lagi dengan lembut.

Lorraine mengangkat wajahnya dan menatap Neuvillette sejenak sebelum kembali menunduk. "Tidak ada, Papa," jawabnya pelan.

"Sungguh? Kalau ada—"

"Tidak ada dan tolong berhenti memaksaku, aku tidak ingin bicara lagi, Papa."

—oOo—

"Begitu rupanya."

Neuvillette mendesah. Mereka baru 7 tahun, tapi sikap mereka… sikap mereka tidak seperti anak-anak pada umumnya yang Neuvillette ketahui.

Benar, mereka cerdas. Sangat cerdas. Bahkan para tutor yang Neuvillette tunjuk sebagai pengajar pribadi kedua anaknya pun mengaku tidak ada banyak hal yang bisa mereka ajari pada kedua anaknya setelah 2 tahun mendidik anak-anaknya. Etiket mereka sangat sempurna, terutama Lorraine dan kemampuan pemahaman Louise pun tinggi.

"Jadi kau merasakannya juga," gumam [Name], sorotnya sedikit turun.

"Iya, kurang lebih." Sambil berkata begitu, Neuvillette menarik pinggang [Name] hingga kini ia duduk berhadapan dengan istrinya di atas pangkuannya. "Mungkin ini ada hubungannya dengan kelahiran para Vishap, aku akan mencoba mencari tahunya. Kau tidak perlu khawatir."

"Maafkan aku…." [Name] menangkup wajah Neuvillette, mengusap wajahnya dengan ibu jarinya.

"Untuk apa?"

"Karena… menjadi tidak berguna."

Neuvillette terdiam sejenak, dia menggeleng dan memegang tangan [Name] dengan lembut. "Jangan pernah berpikir begitu. Kau adalah ibu yang luar biasa," katanya.

"Tapi mereka—aku…." [Name] mendesah, menurunkan wajahnya hingga menyentuh bahu Neuvillette, menyembunyikannya di sana. "Tidak ada yang bisa kuberikan untuk mereka, dan aku merasa begitu jauh dengan mereka…."

"Kau tidak seperti itu." Seraya berkata demikian, Neuvillette mengusap punggung [Name] dan mencium cuping telinganya. "Kau tidak seperti itu, [Name]. Kau sudah memberikan banyak hal pada mereka."

"…." [Name] mengangkat wajahnya, menatap Neuvillette lurus.

Melihat itu, Neuvillette menatap [Name] dalam-dalam. Menyadari bahwa perasaan istrinya benar-benar valid dan ia tidak bisa membantahnya.

Benar, anak-anaknya begitu istimewa, begitu luar biasa. Mereka secara bertahap beradaptasi dengan cepat layaknya para Vishap dengan pemikiran seorang manusia, dan jika dugaannya tepat, maka kedua anaknya bukan hanya anak-anaknya saja.

Para Vishap mewarisi ingatan dengan memakan sesamanya satu sama lain, melihat kehidupan dan kenangan dari saudaranya yang dimakan dan menjadikannya senjata untuk mereka berkembang. Neuvillette benar-benar melupakan hal itu, dan sekarang dia merasa dirinya sangat bodoh karena membiarkan istrinya berpikir bahwa dialah yang tidak berguna padahal dia telah memberikan segalanya.

"Waktu, tenaga, bahkan perasaanmu," ucap Neuvillette lembut, dia mencium bibir [Name] dengan usapan samar. "Kau mencurahkan semua itu untuk mereka, tidak ada Ibu yang lebih baik daripada dirimu. Kau luar biasa dan kau sempurna."

"!?"

[Name] segera memeluk Neuvillette dengan erat, menyembunyikan wajahnya kembali. Sementara Neuvillette panik. Mungkinkah dia salah berbicara? Kenapa sekarang [Name] seperti ini? Aku harus minta maaf….

"[Name], maafkan—"

"Jangan meminta maaf," potong [Name]. "Kau tidak salah, jadi jangan meminta maaf."

"Lalu kenapa?"

"Aku senang…." Ucap [Name] samar, kendati demikian Neuvillette dapat mendengarnya dengan jelas.

Oh, sungguh. Itu benar-benar membuatnya takut, tetapi juga senang disaat yang bersamaan. Karena itulah Neuvillette mengangkat tangannya, mengelus punggung [Name] dengan penuh kasih. Sentuhan lembut itu seperti mengirimkan gelombang kehangatan yang menyelimuti tubuhnya, membuat rasa aman dan nyaman meresap ke dalam setiap serat dirinya.

Mereka tetap dalam pelukan itu beberapa saat, menikmati kebersamaan yang langka di tengah segala kesibukan dan kekhawatiran. Tidak ada kata yang perlu diucapkan, karena keheningan di antara mereka berbicara lebih banyak daripada ribuan kalimat. Malam itu terasa lebih tenang, seolah dunia di luar kamar mereka mengerti dan memberikan mereka waktu untuk menikmati momen manis ini. Cahaya bulan yang lembut menembus jendela, menciptakan siluet yang indah di dinding, seakan ikut menyaksikan kebersamaan mereka.

Neuvillette menyandarkan dagunya di atas kepala [Name], menariknya lebih dekat seakan tidak ingin membiarkan momen ini berlalu. [Name] merasakan kehangatan dari dada Neuvillette, dan sejenak semua beban pikiran dan kekhawatiran hilang, tergantikan oleh perasaan damai dan bahagia.

"Istriku, kau tahu bukan kalau bukan hanya anak-anak saja yang membutuhkan perhatianmu?"

Akhirnya dengan enggan, Neuvillette beranjak dari pelukan itu dan menatap [Name] yang melihatnya dengan sorot bingung.

Pada detik berikutnya, seakan tahu apa yang baru saja Neuvillette hendak katakan, [Name] tersenyum tipis. "Tentu saja, aku tahu. Jadi apa yang kau ingin untuk kulakukan?"

"Cium aku."

Kemudian [Name] menciumnya, mencium bibirnya dengan lembut, menyalurkan kehangatan di antara usapannya yang samar. Mengalirkan seluruh luapan perasaannya yang mendalam, lalu tenggelam dalam momen itu seolah waktu telah berhenti, hanya ada mereka berdua yang merasakan kebahagiaan yang sederhana namun sangat berarti.

Saat [Name] mengubah ciumannya menjadi sesuatu yang lebih dalam dan intim, Neuvillette tanpa ragu menyambutnya. Membiarkan istrinya menjelajahinya, mencicipinya, mengulum bibirnya dengan miliknya. Kala Neuvillette tak lagi bisa menahan gairahnya, dia mengangkat tubuh [Name] dan melemparnya ke atas ranjang, membuat wanita itu terbaring tepat di bawahnya.

"Apa perlu kuingatkan kalau kau yang memancingku untuk melakukan ini, Istriku?" Ucap Neuvillette dengan suaranya yang rendah.

[Name] terkekeh pelan, tatapannya penuh dengan kehangatan dan antisipasi. "Mungkin aku memang menginginkannya," bisiknya, mata mereka bertemu dalam pandangan yang intens.

Neuvillette tersenyum, dia menurunkan wajahnya untuk mencium [Name] kembali dengan penuh gairah, sambil menyentuh istrinya, menjelajahi tubuh wanita itu dengan kelembutan dan kehangatan.

[Name] merasakan setiap gerakan Neuvillette, setiap sentuhan, dan setiap bisikan lembut di telinganya. Neuvillette mengelus rambutnya, mengecup dahinya, pipinya, dan akhirnya kembali ke bibirnya, seolah-olah ingin menghafal setiap detail dari wajah istrinya. Menjebaknya dalam pusaran perasaan yang membuat waktu seakan berhenti, hanya ada mereka berdua di dunia ini.

Saat Neuvillette menarik diri untuk melihat wajah [Name], wanita itu mengelus pipi Neuvillette dengan lembut, menatapnya dalam-dalam. "Terima kasih telah selalu ada untukku, Neuvillette."

"Selalu, [Name]."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro