Episode 25
"Hati-hati di jalan, Tuan Duke. Terima kasih untuk hari ini."
"Iya, aku senang dengan sambutannya, aku akan datang lagi nanti."
Nona Hakim tertawa kaku. "Jangan bicara sembarangan, Duke. Saya tidak tahu kalau Anda sangat kekurangan pekerjaan."
"Tentu tidak, Lady Beneviento."
Aku tidak berbohong, memang aku tidak terlalu banyak memiliki pekerjaan di Benteng Meropide. Lagi pula tidak setiap saat Benteng memerlukan diriku untuk berada di tempat. Kadang saking menganggurnya aku bisa seharian hanya memodifikasi sarung tinjuku dan melakukan uji coba atau latihan dengan para narapidana di area Pankration.
"Saya jadi penasaran, apa Anda membayar orang lain untuk mengerjakan tugas Anda?" tanyanya.
"Sebentar...." Aku berdehem dan berkata dengan percaya diri, "walaupun terlihat seperti ini, aku ini pengelola terbaik yang secara khusus—"
"—dianugrahkan gelar 'Duke' oleh Hakim Agung dari Palais Mermonia. Ya, saya tahu itu."
Dia melanjutkan sembari terlihat berpikir seolah kalimat-kalimat itu sudah ada di dalam kepalanya.
Mungkin Palais Mermonia memang menganugrahkan itu padaku, tetapi hanya karena alasan latar belakangku yang tidak jelas, orang-orang yang terbiasa tinggal dengan disinari cahaya mentari hanya menganggapnya keberuntungan dan gelar tak berarti.
Latar belakang....
Apa itu artinya Nona Hakim juga tahu itu? Ah, apa yang kuharapkan? Sudah pasti begitu, 'kan? Entah kenapa sedikit banyak aku takut dengan penilaiannya terhadap diriku, padahal aku cenderung mengabaikan hal-hal semacam ini dan tetap fokus pada hal yang bisa kukerjakan.
"Daripada itu, Duke... ada yang harus saya bicarakan," katanya lagi.
"Apa? Apa ini soal Lady Beneviento yang ahli dalam memanjat?"
"Benar, itu. Jadi bisa tolong untuk tidak memperjelasnya, Yang Mulia?" Wajahnya memerah karena malu.
Aku boleh sedikit menggodanya, 'kan? "Oh, ini menarik. Apa sekarang Nona ingin memberiku uang tutup mulut?"
"Anda membicarakan suap di depan saya?" Wajahnya terlihat sangat terkejut.
"Kalau begitu akan aku katakan yang kulihat siang ini pada Countess—!"
Sebelum aku sempat kembali, Nona Hakim menahanku dengan tangannya yang menggamit sebelah lenganku. Lalu dengan wajah serius berkata, "tolong, saya lebih memilih pergi ke Benteng Meropide daripada berurusan dengan Ibu saya."
Aku yang saat itu menghentikan langkahku menatap tangan kecilnya yang menggenggam erat lenganku. Saat itu pula aku menyadarinya jika dia benar-benar lebih kecil daripada yang terlihat.
Mengikuti arah pandangku, Nona Hakim melepaskan tangannya dariku dan dengan agak ragu mundur selangkah.
"Maaf, sepertinya saya sudah lancang menyentuh Anda," katanya.
Sejujurnya aku selalu penasaran dengan ini, apa alasan Nona Hakim selalu berusaha membuat jarak denganku karena dia takut denganku? Atau....
... karena tahu aku sempat mengirimkan surat lamaran padanya?
Aku merasa ia selalu memasang tembok tebal setiap kali aku mendekatinya yang membuatku terkadang merasa gelisah karena itu.
Akan tetapi setiap kali aku melihatnya saat bersama Neuvillette setelah sidang, ia terlihat tidak memberikan tembok apa pun pada orang itu dan mengungkapkan semua yang ia pikirkan. Aku tidak tahu apa itu semata hanya profesionalitasnya atau ia memiliki alasan lain.
"Aku tidak akan mengatakan apa pun soal itu, Nona tenang saja," kataku akhirnya.
"Ah! Terima kasih banyak, Tuan Duke!"
Aku memandanginya sesaat. Perlahan ia menaikan kedua sudut bibirnya. Itu adalah senyum yang lembut tanpa ada maksud apa pun, murni hanya semata untuk menunjukan rasa terima kasihnya.
Ah, aku tidak tahu ia bisa tersenyum seperti itu.
—oOo—
Seperti biasa, aku masih sibuk dengan pekerjaanku di Benteng Meropide. Selama beberapa hari ini, aku menerima lembar pendaftaran narapidana baru.
Kebanyakan dari mereka adalah penjahat kelas rendah yang telah mengakui kejahatannya dan langsung diberikan hukuman tanpa melewati persidangan yang panjang.
Walaupun begitu aku menatap dengan bosan pada lembaran di tanganku.
"Lihat wajah orang yang tidak memiliki pekerjaan itu."
"Kau pikir aku sedang apa? Bermain kartu."
"Iya."
Aku mengembuskan napasku lelah. Aku sudah terbiasa dengannya yang entah berusaha merobohkan pintu ruang kerjaku atau mengoloku karena tidak pernah terlihat seperti sedang bekerja.
Jika bisa, aku tertarik untuk beradu pukul dengan petarung juara terbaik di Fontaine ini sekarang juga. Sayangnya aku tidak punya alasan untuk melakukan itu saat ini.
"Di laci sebelah kananku ada cermin kecil milik Suster Kepala, coba kau ambil itu dan berkacalah, Clorinde," kataku.
"Terima kasih atas perhatiannya, Duke." Ia menyeruput tehnya dalam diam. Entah kenapa rasanya menyebalkan.
"Oh, ternyata kalian ada di sini."
"Sebenarnya ada perayaan apa hari ini? Rasanya kantorku jadi ramai sekali," ujarku saat melihat Nona berambut pirang dengan mata biru datang menghampiri.
"Apa Anda lupa kalau Anda meminta saya untuk mengantarkan laporan logistik bulan ini?"
"Ah, benar."
Aku menerima berkas yang Navia sodorkan padaku. Belakangan ini banyak masalah yang kupikirkan sampai melupakan satu dua hal penting lainnya. Aku harus fokus.
Aku tidak tahu apa masalahnya. Apa aku terlalu lelah bekerja? Pekerjaan yang terlalu banyak? Atau kurang beristirahat? Sepertinya aku harus mendatangi klinik Suster Kepala untuk melakukan pemeriksaan.
"Oh, benar! Clorinde, lihat yang kutemukan!"
"Surat? Dari mana kau mendapatkannya? Tunggu, ada sesuatu di dalamnya...."
"Benar, itu bandul liontin."
Aku mengalihkan perhatianku pada kedua wanita itu. Di tangannya Clorinde terdapat sebuah amplop berwarna putih, ia terlihat sedang menerawangnya dengan serius.
"Apa kalian benar-benar menganggur?" kataku.
"Apa Anda tahu ini milik siapa, Yang Mulia?"
"Mana aku tahu dan lagi darimana kau mendapatkannya?"
"Dekat pintu masuk Benteng, aku menemukannya di pinggir jembatan."
Hah? Aku melepaskan pena dan kertas-kertas di tanganku, bangun dari posisiku dan mendekati kedua wanita itu.
Begitu Clorinde memberikan amplop itu, aku meraba isinya sebelum menerawangnya dengan cahaya di atas kepalaku.
Seperti yang Navia katakan, itu adalah sebuah amplop berisi surat dan sebuah bandul liontin berukuran kecil. Apa mungkin milik salah seorang karyawan di sini?
Namun saat aku mengecek kembali amplop itu, tidak ada nama atau apa pun yang menjadi identitas pengirim atau penerima surat itu.
"Tidak ada nama penerimanya, apa mungkin sengaja dibuang?" tanya Clorinde memastikan.
"Aku tidak yakin, bisa saja itu barang berharga makanya sampai mengamankannya di dalam amplop," sambung Navia.
"Kalau begitu aku akan membuat pengumuman barang hilang saja."
Selesai berkata seperti itu, aku memanggil salah seorang karyawan dan memintanya untuk membuat sebuah pengumuman terkait barang hilang.
Aku tidak menyebutkan detailnya karena dapat memicu seseorang yang berbohong tentang kepemilikan barang, cukup menyebutkan kalau aku menemukan amplop putih dekat pintu masuk Benteng Meropide. Hanya itu.
Akan tetapi waktu terus berputar.
Sudah hampir lima belas menit berlalu, tapi tidak ada seorang pun yang datang untuk mengambil amplop ini.
"Sepertinya itu sungguh sudah dibuang," ujar Clorinde kembali setelah menyesap teh di tangannya.
"Apa mungkin bukan milik orang yang ada di Benteng?" tanya Navia.
"Apa sebaiknya kuberikan pada pihak Garde dan meminta mereka membuat pengumuman tertulis?"
"...."
"Ada apa, Clorinde?" tanyaku penasaran. Sejak tadi aku melihatnya seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Tidak ada. Hanya saja... aku terpikirkan seseorang yang mungkin bisa membantu kita untuk menemui pemiliknya."
—oOo—
Itulah alasan kenapa akhirnya aku keluar dari Benteng Meropide.
Setelah Clorinde secara acak asal menyebutkan nama seseorang yang dapat menemukan pemilik dari amplop itu, Navia bersikeras untuk menemui orang itu lebih dulu.
Aku lupa, Navia memang sangat suka sekali ikut campur dan entah bagaimana akhirnya bisa sangat membantu dengan caranya yang tak pernah terpikirkan olehku.
Awalnya aku bertanya pada Clorinde kenapa dia bisa tiba-tiba terpikirkan hal itu, lalu wanita itu berkata, "sebelumnya dia pernah menemukan pemilik cincin yang kutemukan di dalam Fountain of Lucine".
Saat kutanya bagaimana orang itu bisa menemukannya, Clorinde menjawab, "nama yang tertulis pada cincin itu adalah sebuah anagram".
Setelah kupikir, itu memang caranya sekali. Keahlian untuk menghubungkan satu fakta dengan fakta lainnya, kemampuan observasinya yang sempurna dan tajam hingga dapat memerhatikan detail kecil sekali pun.
Ada satu orang yang seperti itu.
"Nona [Name]."
"Ah, kalian. Jarang sekali melihat kalian bertiga seperti ini." Benar, Nona muda ini.
"Aku baru ingin pergi ke Palais Mermonia untuk menemuimu, tapi... apa kau sedang bertugas?" tanya Clorinde memastikan.
Nona itu melirik ke arah Neuvillette yang berdiri di sampingnya dan menggeleng. Ia menjawab, "tidak, aku baru selesai dari kunjungan untuk memberikan konsultasi hukum."
"Sebenarnya...."
Navia mulai menjelaskan situasinya dari alasan ia pergi ke Benteng meropide, menemukan sebuah amplop putih sampai melakukan beberapa upaya untuk menemukan pemiliknya dengan memakai pengeras suara.
Akan tetapi semua yang dilakukan tidak membuahkan hasil hingga kami memutuskan untuk memberikannya pada Garde agar dibuat pengumuman tertulis. Saat itulah Clorinde memberikan saran untuk menemui Nona Hakim terlebih dahulu untuk meminta bantuannya.
"Ah, begitu rupanya...."
"Apa kita harus bertanya pada Garde yang menjaga gerbang?" tanya Navia dengan wajah serius.
Namun pada waktu yang bersamaan, Nona Hakim merobek amplop yang membungkusnya hingga membuat Navia terkejut seketika.
"K-kenapa kau membukanya?!" Navia berseru kaget.
"Kita tidak menemukan namanya dimana pun, jadi apa yang bisa dilakukan?" jawab Nona Hakim polos. "Ya, pokoknya aku akan memikirkan alasan untuk itu saat mengembalikannya."
Navia awalnya terlihat sedikit keberatan, tapi pada akhirnya ia hanya diam saja dan terus memperhatikan.
Detik berikutnya, Nona muda dihadapanku mengeluarkan liontin itu dari dalamnya.
Liontin oval itu tidak terlalu besar pun tak terlalu kecil, ukurannya cukup untuk membuat bentuk pohon willow dengan akarnya yang besar dan diukir dengan warna putih sementara liontinnya berwarna hitam pekat.
Lalu yang paling menonjol dari itu adalah angka yang tertulis di belakangnya dan ukiran inisial di tengahnya, A.
"Oh, sepertinya ini terbuat dari berlian hitam yang diukir, ya," ujar Neuvillette.
"Aku juga pikir begitu," tambah Nona Hakim. Setelah berkata begitu, Nona muda itu memberikan liontin di tangannya kepada Navia untuk dilihatnya.
Ia pun mengeluarkan selembar kertas tersisa yang ada di dalam amplop di tangannya. Di sana tertulis "kelembutan pada namanya dan perasaan yang tak pernah kurasakan itu akan selalu kukenang. Maafkan aku dan selamat tinggal untuk selamanya".
"Itu... terdengar seperti pesan selamat tinggal," ujar Navia.
"Kupikir itu surat bunuh diri," kataku menimpali.
Saat itulah Nona Hakim memberikan tatapan yang sedikit membingungkan. Ia pun tertawa kaku sebelum berkata, "aku mengerti kenapa kalian berpikir begitu, tapi tidak seperti itu."
"Itu apa maksudnya?" tanya Clorinde. "Tapi liontin itu seperti benda yang biasa ditinggalkan seseorang saat ingin pergi untuk meninggalkan orang lain."
Nona Hakim menerima kembali liontin itu dan melihatnya kembali setelah kembali memasukan surat itu ke dalam amplop. Ia berkata, "ini memang liontin yang ditinggalkan seseorang tapi bukan milik orang yang ingin membuangnya."
"Maksudnya?"
"Ini Mourning Jewellery."
Nona Hakim menjelaskan jika angka yang terukir di balik liontinnya kemungkinan adalah tanggal kematian dari si "A" dan melihat seberapa baik keadaan liontinnya, tampaknya itu bukan liontin yang sudah lama dibuat—berbeda jauh dari tanggal yang tertulis.
Dengan kata lain, itu adalah liontin yang dibuat untuk mengingat orang yang telah meninggal. Namun dari semua penjelasan yang Nona Hakim berikan, satu informasinya berhasil membuat suara semua orang yang ada disekelilingnya tercekat di kerongkongan.
"Diatas berlian hitam, ukiran berwarna putihnya ini terbuat dari bubuk tulang orang yang sudah meninggal."
Tidak ada yang berani berkata apa pun, suasana seketika berubah menjadi dingin. Berkebalikan dengan apa yang dikatakannya, Nona Hakim tetap memasang senyuman pada kedua sudut bibirnya seolah yang diucapkannya bukan apa-apa.
Dengan suara agak bergetar, Navia mengulum kata, "... orang yang sudah... meninggal...."
"Benar. Kau bisa mengekstrak kadar hidrosilapatit pada tulang, mencampurkannya dengan resin kemudian memasukannya ke dalam ukiran pada berlian ini."
"Jadi itu... liontin yang berharga, ya ...?"
Aku juga sempat berpikir seperti itu, Clorinde pun terlihat seperti sedang memikirkan hal yang sama.
Mungkin bagi orang lain itu hanyalah abu yang sudah dikremasi. Kendati demikian bagi pemiliknya, itu adalah benda peninggalan terakhir dari seseorang yang tak tergantikan.
Namun dalam keheningan yang panjang itu, Nona Hakim berujar, "entahlah, mungkin juga tidak."
"Eh?! Jangan bilang kalau liontin itu sungguh ingin dibuangnya!?" Navia berseru. "Tidak mungkin ...! Tapi, kenapa?"
"Bukankah dia sudah mengatakan itu di suratnya?" Nona Hakim menunjukan amplop di tangannya. "Di sana tertulis '... selamat tinggal untuk selamanya'."
"Iya...."
"Perasaan ditinggalkan seseorang memang menyedihkan, tapi melepaskan adalah hal yang lebih sulit dilakukan," katanya. "Aku yakin Nona Navia pasti memahami hal itu."
"... !?" Tubuh Navia menegang. Aku tahu apa yang dirasakannya saat ini. Dia yang berusaha tetap berdiri dengan berpegang pada keadilan untuk kematian Ayahnya, jelas memahami hal itu. "Iya, aku tahu...."
Membuang liontin dari sisa kremasi orang yang dicintainya sama artinya dengan melepaskan kepergian orang itu dan mulai untuk menjalani kehidupan yang baru seperti pohon willow yang berakar kuat.
... dan selayaknya air yang mengalir akan berakhir di Fountain of Lucine, perasaan orang yang ditinggalkan pun akan kembali lagi pada pemiliknya.
Sama halnya seperti aku yang melepas nama yang diberikan padaku sebelumnya.
"Jika Nona Navia tetap ingin mwngembalikannya, kau bisa melacak pengerajinnya," kata Nona Hakim. "Ah, karena tidak banyak pengerajin yang menerima benda seperti ini, kau pasti bisa menemukannya dengan mudah."
"Kau benar, kita bisa melacak riwayat pembeliannya dari sana," tambah Clorinde.
Masalah sudah selesai, tapi tampaknya masih ada satu dua hal yang Navia pikirkan. Sejak beberapa saat yang lalu ia terlihat diam saja dan tak membuka mulutnya sama sekali.
"Tidak, aku tidak akan mengembalikannya," katanya dengan tegas akhirnya. "Aku akan membuangnya seperti yang diinginkan orang itu."
Nona Hakim mengembangkan senyumannya perlahan. Sembari memasukan liontin itu ke dalam amplop, ia membalas, "karena Anda yang menemukannya, saya serahkan keputusan itu pada Nona Navia."
Ingatan dari orang di masa lalu yang seperti kerikil itu hanya akan menjadi batu besar yang menghambat jalan baru di depannya.
Sedikit banyak aku mengerti alasan kenapa Nona Hakim hanya tersenyum saat ia memperhatikan liontin itu.
—oOo—
Halo ha! Reader Mikajeh yang tercinta, terkasih, dan tersayang! 🥺💕💕
Kek yang udah Mikajeh umumkan dari chapter sebelumnya, betul, ini jadi chapter terakhir sebelum Mikajeh menyatakan akan semi-hiatus sementara 😭🙏🏻 kabar yang gak terlalu buruknya, Mikajeh bakal tetep update tapi gk secara berkala jd bener-bener sikon aja 🥹👉🏻👈🏻
Terus kek yang Mikajeh janjiin, karena worknya sebelah udah sampe 6 chapter termasuk prolog, Mikajeh rencana buat publish hari ini jadi yang sudah menunggu jangan lupa dibaca, ya! 🥰
Sekian dari Mikajeh, kurang lebihnya mohon dimaapkan. Terima kasih buat semuanya yang setia dengan work ini! 🥺🙏🏻 see ya!
Xoxo,
Mikajeh
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro