Chapter 72
Hari itu, Countess Beneviento mengajukan banyak sekali pertanyaan kepada [Name].
Awalnya Ibunya tidak berbasa-basi dan langsung menanyakan tentang kegiatan intimnya dengan Neuvillette, dan [Name] menjawab selaa kadarnya saat merasakan wajahnya memerah padam karena malu.
Kemudian tentang pernikahannya dan alasan wanita itu menyembunyikannya. Jadi dengan enggan, [Name] mengakui kecerobohannya ketika ia secara tidak sengaja mencium Neuvillette pada malam itu.
"[Name]," ujarnya, suara sang Countess mendadak melengking. "Kau sudah berciuman dengan Monsieur Neuvillette jauh sebelum kau memutuskan untuk menikahinya?"
[Name] merasakan kulitnya mulai memanas. "Mungkin saja," gumamnya.
"Oh, astaga! [Name] Beneviento!" Seru sang Countess. "Bukankah aku sudah memperingatkanmu soal pria yang bisa saja seenaknya melakukan apa saja padamu ketika kau mendekatinya?"
"Aku tahu itu!" Pekiknya. "Tapi itu benar-benar hanya kecelakaan, itu tidak disengaja!"
"Tapi tetap saja—" Countess mendesah pasrah. "Apa karena itu kau memutuskan untuk menikah dengan Monsieur Neuvillette?"
[Name] menatap Ibunya dengan ekspresi tercengang. Pertanyaan yang tiba-tiba dan terdengar rendah itu membuat [Name] mencemaskan sesuatu. "Eh, iya," jawab [Name] akhirnya.
"[Name]…." Countess mendesah sekali lagi. "Ibu tidak ingin kau menikah karena perasaan bertanggung jawabmu itu, kau sungguh tidak harus melakukannya."
"…."
Ibunya mengalihkan pandangan sejenak, lantas menggenggam tangan [Name] penuh perhatian. "Ibu ingin kau bahagia, lebih bahagia daripada siapa pun di dunia ini. Dan jika pernikahanmu berdasar pada rasa tanggungjawabmu, kau—"
"Oh, Ibu…."
"—kau tidak harus melakukannya."
Dan pada detik ini [Name] memahami Ibunya, sangat memahami wanita itu hingga ia hanya bisa tersenyum dan mengelus punggung tangan Ibunya dengan Ibu jari.
Ibunya benar-benar memikirkan kebahagiaannya. Dia ingin [Name] menikah dengan orang yang dicintainya, bukan menghabiskan waktunya dengan pria yang tidak sengaja menodai reputasinya demi menutupi kesalahan itu.
Mungkin-hanya pemikirannya-jika sejak awal [Name] memutuskan untuk mengatakan semua masalahnya pada orang tuanya, mereka akan benar-benar berusaha keras untuk mencarikannya jalan keluar untuk masalah ini. Oleh karena itulah, dalam keheningan itu [Name] membalas, "aku mencintainya, Ibu. Dan kurasa, inilah yang kau inginkan untukku agar aku bahagia."
"[Name]…."
"Maafkan aku karena menyembunyikan ini semua, sungguh…."
Countess Beneviento menatap [Name] dengan penuh kasih sayang, memahami beban yang [Name] rasakan. "Tidak perlu minta maaf, [Name]. Apapun keputusanmu, Ibumu akan selalu mendukungmu."
[Name] merasakan kelegaan mendengar kata-kata tersebut, terdorong untuk membebaskan diri dari rasa bersalah yang selama ini membebani pikirannya. Oh, apakah seperti ini rasanya memiliki Ibu yang begitu pengertian? Begitu mencintainya sepenuh hati? Sosok seorang Ibu yang selalu [Name] dambakan dikehidupan sebelumnya?
Dia benar-benar baru memahaminya sekarang dan tanpa sadar memeluk sang Countess dengan hangat seraya membenamkan wajahnya di bahu sang Ibu.
"Ada apa? Kenapa sekarang kau bersikap manja seperti ini, [Name]?" Tanya Countess geli.
[Name] menggeleng. "Apa aku tidak boleh memeluk Ibuku sendiri seperti ini?"
Countess tertawa kecil mendengarnga dan balas memeluknya. "Kupikir setelah kau menikah, kau akan bersikap semakin dewasa," katanya. "Tapi kenapa justru semakin terlihat seperti anak-anak?"
"Di rumah ini, aku adalah putrimu tentu saja aku harus bersikap seperti anak-anak, 'kan?"
Countess tertawa lebih, tahu bahwa yang dikatakannya begitu tulus dan murni tanpa maksud apa pun. Dan [Name] meyayanginya, mencintainya meski jauh di dalam lubuk hatinya dia begitu merasa bersalah lantaran sudah menipunya.
Namun bagaimana pun, [Name] adalah putrinya sekarang dan dia akan tetap menjadi putrinya di mata wanita ini sekali pun ia sudah menikah dan memiliki seorang anak, hal itu tidak akan pernah berubah.
"[Name]," panggil sang Ibu.
"Ya?"
"Kau pasti bahagia."
—oOo—
Hari ini Neuvillette sudah menyelesaikan seluruh pekerjaannya lagi dan dia tidak pernah merasa begitu senang ketika menyelesaikannya, tapi hari-harinya berbeda dan dia selalu menantikan waktu ketika ia menyelesaikan seluruh tugasnya.
Alasannya sederhana, dia bisa menghabiskan waktu istirahatnya yang singkat itu dengan [Name].
Saat [Name] berbicara dengan Ibunya pagi ini, Neuvillette bertemu dengan Count Beneviento dan membicarakan masalah surat resmi pernikahannya. Count masih belum percaya kalau putrinya sudah menikah dan karena itulah Neuvillette merasakan sebuah penolakan darinya.
Entah karena Count menyadari ekspresi Neuvillette yang tampak cemas atau ia merasa tidak enak hati dengannya, Count berkata, "[Name] adalah putriku satu-satunya, putri yang sudah kunantikan sejak lama. Aku selalu merasa dia masih ada dipelukanku tapi tiba-tiba dia sudah sedewasa ini untuk memutuskan masa depannya sendiri."
Kemudian sang Count terdiam, tatapannya menyendu, penuh dengan kasih sayang seraya menatap potretnya dan [Name] kecil dalam pangkuan.
Meskipun pada malam ketika [Name] terbaring tak sadarkan diri Count tidak banyak berekspresi, tapi Neuvillette dapat merasakan ketakutan dan kecemasan dalam kata-katanya kala dirinya berpikir mungkin kali ini dia akan sungguh kehilangan putrinya yang terkasih.
"Aku mungkin bukan Ayah yang terbaik, tapi aku berharap [Name] bisa bahagia," katanya lagi. "Tolong jaga dia baik-baik, Monsieur Neuvillette."
Setelah itu, Neuvillette berbincang dengan sang Countess sebelum ia kembali ke Palais Mermonia untuk mengurus persidangan kembali dan menyiapkan salinan dokumen pernikahannya dengan [Name] untuk dikirimkan ke kediaman Beneviento.
Siangnya Neuvilette kembali ke rumah kedua orang tua istrinya, hendak bertemu dengan wanita itu dan memberikan salinan dokumennya. Selesai dari itu, Neuvillette menemui [Name] di ruang kaca di tamannya, di sana [Name] tengah menyibukan dirinya dengan merangkai bunga.
Dan [Name] yang segera menyadari eksistensi Neuvillette menghentikan kegiatannya dan menghampirinya. Neuvillette menyambutnya dengan sebuah pelukan dan ciuman di bibir wanita itu.
"Kau sudah selesai?" Tanya [Name].
Neuvillette mengangguk, tangannya masih berada di pinggang [Name]. "Untuk hari ini. Kapan kau kembali ke Palais Mermonia?"
"Lusa. Masih ada pekerjaan yang harus kuurus di sini, tidak apa-apa, 'kan?"
Neuvillette mengangguk lagi, senyuman di wajahnya tidak berubah sama sekali. Dia tidak bisa mengalihkan tatapannya dari [Name] barang satu detik pun.
Kemudian dia teringat kembali pada kegiatan malamnya yang begitu bergairah. Rasanya begitu ajaib setiap kali Neuvillette memikirkannya, rasanya begitu berbeda pada aktivitasnya pada malam itu. [Name] benar, mungkin karena ia merasa puas sudah mengetahui semua tentang [Name], tentang orang yang dicintainya.
"Kapan kita menikah?" Tanya Neuvillette, dengan lembut mengangkat tubuh [Name] dan membiarkan wanita itu duduk di atas meja di depannya. [Name] tertawa, Neuvillette sadar kalau pertanyaannya terdengar sangat konyol.
"Bukankah kita sudah menikah?" Ucapnya memastikan, tangan [Name] terangkat menyentuh rahangnya dan mendekatkan ujung hidung mereka hingga bersentuhan.
"Kita membutuhkan pestanya untuk mengumumkan pernikahan kita, [Name]."
[Name] sekali lagi terkekeh. "Tiga bulan."
"Buat jadi dua minggu," tukas Neuvillette. "Aku akan mengatakan sesuatu untuk membujuk Ibumu. Akan kubuat menjadi dua minggu atau aku akan mengurungmu di dalam mansionku diam-diam."
[Name] mengangguk, mencondongkan tubuhnya untuk mencium Neuvillette dalam belaian samar. "Oh, kenapa itu jadi terdengar menggoda?" Ucapnya.
"Akan lebih baik jika kita bisa menyelesaikannya dalam seminggu," putus Neuvillette. Dia membalas kecupan [Name].
[Name] tertawa di dalam ciumannya. Neuvillette menarik pinggang [Name] lebih hingga tubuhnya menempel padanya, menciumnya lagi, lalu—
Tok! Tok! Tok!
—pintu ruang kaca diketuk.
"Nona—maaf, Nyonya Muda," panggil pelayan dari baliknya. "Nyonya Besar memanggil Anda."
"Aku akan segera keluar," [Name] menjawab lantang.
"Saya mengerti."
Sementara itu Neuvillette tampak merajuk. Alisnya berkerut samar, ekspresinya menunjukan ketidaknyamanan yang jelas di sana. Tiba-tiba dia berkata, "aku akan pastikan untuk memasang segel di pintu setiap kali bertemu denganmu."
[Name] tertawa geli hingga ia secara refleks memeluk kepala Neuvillette, menyembunyikan wajahnya di bahu pria itu. "Jangan, jangan lakukan itu. Kita tidak tahu ada hal darurat apa yang terjadi kalau kau menyegel pintunya dan membuat ruangannya menjadi kedap suara," kata [Name].
"Karena inilah aku ingin segera membawamu ke mansionku." Sambil mengatakan itu, Neuvillette menegakkan tubuhnya.
"Oh, Neuvillette …!" [Name] menggeleng dan terkekeh, dia tersenyum tipis. "Ah, benar. Jadi apa alasanmu mendatangiku selain untuk merayuku?"
"Aku harus pergi sebentar," kata Neuvillette langsung. "Ada yang harus kukerjakan."
"Bukankah semua pekerjaanmu sudah selesai?" [Name] memiringkan kepalanya, kespresinya tampak bingung.
"Aku akan segera kembali dan memberitahumu," kata Neuvillette, dia mengecup bibir [Name] singkat. "Tunggulah aku di sini. Dan jika Ibu dan Ayah mengizinkannya, aku akan menginap lagi malam ini."
"Kau jelas tidak bermaksud untuk sekadar menginap bukan, Iudex?" [Name] tersenyum penuh makna, tatapan yang menyiratkan bahwa dia tahu jelas apa yang hendak dikatakan Neuvillette.
"Segera. Aku akan segera kembali."
—oOo—
Neuvillette tahu tanah di pesisir pantai Fontaine selalu terasa lembab. Bukan karena hujan yang baru saja turun, tapi udaranya yang terasa basah dan dingin.
Suasana pantai Fontaine yang lembab itu memang sudah menjadi bagian dari keseharian Neuvillette. Meskipun tidak ada hujan yang turun, tetapi udara pantai yang basah dan dingin selalu menyelimuti setiap harinya. Baginya, itu adalah satu-satunya cara alam mengingatkan bahwa ia berada di tepi laut, di dunia yang terus berubah, di mana dia berasal.
Namun kali ini tujuannya sedikit berbeda.
Sebelumnya dia berkata pada [Name] tentang hal yang harus dikerjakannya, dan [Name] yang sadar bahwa Neuvillette enggan untuk mengatakannya saat itu juga, membiarkan dia pergi begitu saja dan menunggu sang Iudex menjelaskannya sendiri.
Jadi di sinilah Neuvillette sekarang, menyusuri jalan setapak di pesisir pantai seolah ia sedang menikmati dirinya sendiri seperti yang selalu ia lakukan.
Setelah beberapa langkah terlewati, Neuvillette berhenti tepat ketika ia menemukan seseorang yang sedari tadi dicarinya di sana. Berdiri seorang diri, sementara netranya menangkap pemandangan laut Fontaine yang membentang luas, membiarkan embusan angin menerba wajahnya dan menggoyangkan rambut merahnya yang ia kenali.
"Nona Beneviento," sapanya penuh hormat. "Saya mencari Anda."
Wanita itu memutar tubuhnya, berbalik untuk melihatnya tanpa berekspresi. "Monsieur Neuvillette, apa ada sesuatu yang Anda butuhkan dari saya?"
Meski wajahnya mirip—lebih tepatnya, memang [Name] yang kini mengambil rupanya—perasaan Neuvillette padanya tidaklah sama. Dia merasa seakan-akan melihat [Name] dengan cara yang berbeda dan terasa baru, sorot matanya lebih tajam tetapi tanpa ambisi, tetapi sarat akan rahasia di sana.
"Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan dengan Anda," kata Neuvillette lagi.
"Silakan katakan, Monsieur."
"Saya yakin kalau Anda tidak memerlukan perasaan berterima kasih saya untuk semua yang telah Anda lakukan untuk istri saya."
"Tentu saja," jawabnya sambil mengangguk anggun.
"Tetapi saya tidak bisa mengabaikan kekhawatiran istri saya pada Anda."
"[Name]" Beneviento mendesah lelah, dia menyilangkan tangannya. "Apa? Apa dia masih marah karena saya hampir mencium Anda?"
Alis Neuvillette berkedut dengan tidak nyaman, kendati demikian dia berusaha tetap tenang. "Tidak, dan tolong untuk tidak mengungkitnya meski saya tahu kalau sejak awal Anda sengaja melakukannya."
Wanita itu tertawa. "Sudah saya duga kalau Anda pasti menyadarinya."
"Tentu saja, [Name] adalah istri saya," tukasnya, ada intonasi kebanggaan saat Neuvillette mengatakannya. "Dan saya mencintainya, mana mungkin saya tidak mengenalinya."
"Ya." Sambil berkata begitu, "[Name]" tersenyum penuh makna. "Jadi, apa yang ingin Anda katakan pada saya?"
"Saya bisa menyelesaikan masalah Anda untuk tetap bertahan di dunia ini."
"Oh?" Wanita berambut merah itu tampak tertarik. "Seperti yang diharapkan dari Naga penguasa Hydro, Anda sangat bisa diandalkan."
"Memberi Anda tubuh baru bukanlah perkara yang sulit," kata Neuvillette lagi. "Jika Anda menginginkannya, saya bisa memberi Anda tubuh baru."
Sama seperti bagaimana Hydro Archon pertama—Egeria—mengubah wujud Oceanid menjadi manusia menggunakan air Lautan Purba yang mengalir disekitar Fontaine, Neuvillette juga bisa melakukannya. Dialah penguasa Hydro saat ini, pemegang kekuatan Pneumosia yang menggerakan Fontaine, memberinya tubuh baru untuk "[Name]" tempati adalah hal yang mudah.
Walaupun orang-orang Fontaine sudah berubah, pada dasarnya esensi mereka masih sama. Mereka tetaplah orang-orang yang lahir dari harapan dan doa di Fountain of Lucine sebelum Neuvillette mengubah mereka seutuhnya.
Awalnya Neuvillette enggan untuk melakukan ini, tetapi melihat wajah muram [Name] yang menyalahkan dirinya dan mengkhawatirkan pemilik asli tubuhnya, cukup menyayat hatinya. Karena itulah Neuvillette mencari wanita ini, menawarkan sebuah solusi padanya.
Namun dia menjawab, "ini memang terdengar menggiurkan, tapi saya harus menolaknya."
"Apa alasannya?"
"Teyvat memiliki aturannya sendiri," ucapnya dramatis, lagi-lagi pandangannya menerawang. "Saya sudah melihat banyak hal yang terjadi di berbagai belahan Teyvat, dan tanpa sadar mempelajari dunia ini dari mata [Name]. Kita tidak tahu hukuman langit apalagi yang akan turun begitu Anda melakukannya, Monsieur Neuvillette."
"…."
"Dan mungkin kali ini [Name] yang paling terkena dampaknya langsung," lanjutnya. Dia menoleh sedikit ke arah Neuvillette. "Kami memiliki warna jiwa yang sangat identik, aturan dunia ini akan menganggapnya sebagai sebuah kesalahan yang harus dihilangkan. Apa Anda tahu ketika kita bertemu dengan Doppelgänger, salah satunya harus mati?"
Neuvillette terdiam, dia sudah tahu konsekuensi itu dan siap menanggungnya. Namun dia tahu, Teyvat sudah berubah.
"[Name]" melangkah, mendekati Neuvillette dan berhenti dihadapannya. Dia berdiri dengan anggun layaknya wanita bangsawan terhormat. Sambil tersenyum berkata, "tolong katakan pada istri Anda, dia tidak harus mengkhawatirkan saya. Ini keputusan saya."
"…."
[Name] tidak akan menerimanya, Neuvillette tahu itu. Dia adalah orang yang paling memikirkan orang lain dibandingkan dirinya sendiri, semua yang dilakukannya adalah demi orang-orang untuk tidak merasakan hal yang sama dengannya.
Karena itulah Neuvillette mendesaknya dengan berkata, "kalau begitu, izinkan saya memberi Anda solusi yang lain."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro