Chapter 8 - Her Smile
"Jadi... apa yang kau lakukan disini?"
Laki-laki itu memandang sinis orang di sampingnya. Baginya, ini hal paling buruk dalam tahun-tahun kehidupannya.
"Aku yang menyetujui permintaannya," katanya kembali.
"... dan aku yang membuat masalah ini, jadi aku yang ikut bertanggung jawab," balas orang di sebelahnya dengan tatapan yang sama.
Laki-laki bersurai coklat legam itu menghela nafas dan kembali menatap orang di sampingnya—ke bawah.
"Kenapa kau masih menggunakan topi bodoh itu, Chuuya?"
"APA—!?"
"Omatase. Maaf membuat kalian menunggu lama."
Chuuya menahan pukulannya pada Dazai lantas menoleh ke arah sumber suara ceria yang menyapa.
Detik itu juga, kedua lelaki itu mendapatkan senyuman lebar dari gadis kecil di depannya.
"Wow. Aku terkejut, kau benar-benar berbeda jika berpakaian seperti itu, Dazai-san," ujar gadis itu.
Dazai tersenyum sumringah. "Arigatou gozaimasu, Ojou-chan."
Merasa diabaikan, Chuuya berdehem yang langsung disambut dengan dua pasang mata dari orang di depannya.
Menyadari maksud Chuuya, gadis itu tersenyum lebar lalu berkata, "aku tidak melupakanmu, kok, Chuuya-kun. Tapi sepertinya kau selalu menggunakan itu, ya?"
"Topi ini? Memang. Aku memang menyukainya. Bagaimana denganmu? Kau tidak menggunakannya lagi?"
"Ah... yang satu itu... sudah dibakar oleh teman-temanku," gadis itu menjawab ringan
Chuuya lantas terdiam, melirik Dazai yang terus tersenyum menatap gadis di depannya.
Mendengar jawaban seringan kapas dari mulut gadis itu, Chuuya merasa jadi tidak enak hati. Untuk sesaat, dia bisa melihat sosok anak-anak domba yang dulu pernah dilindunginya.
"Karena semuanya sudah berkumpul. Ayo, kita pergi!"
🔰
"Aku penasaran, kenapa kau menyebutnya penyair yang jenius?"
Dazai melangkah perlahan ditengah kegelapan yang dingin ini. Sambil terus membawa [Name] dalam pelukannya, dia terus bercerita panjang lebar mengenai dirinya.
Dia tidak tahu pasti apa [Name] mendengarnya atau tidak, tapi yang jelas dia ingin mengatakan semuanya pada gadis ini.
"Apa kau tidak tahu, [Name]-chan? Dia itu pria licin seperti siput dan bocah cebol yang menyebalkan apalagi saat mabuk."
Dazai tidak akan pernah melupakan kejadian itu. Awalnya memang tidak sengaja Chuuya mabuk dan menghancurkan satu tiang dengan tangan kosong.
Tentu saja selanjutnya adalah kejahilan Dazai. Laki-laki itu sengaja membuat Chuuya mabuk dan membiarkan pria itu menghancurkan semua yang ada di sekitarnya.
"Nakahara Chuuya hanyalah orang idiot."
🔰
Gadis itu terdiam, memperhatikan Chuuya terus menulis di sampingnya di bawah pohon.
Sesekali dia menatap Chuuya kembali melantunkan tulisannya dengan suara yang rendah bahkan hampir tak terdengar.
"Puisi dari Kambing."
Chuuya langsung menoleh ke samping saat suara itu tertangkap indra pendebgarannya.
Eksistensinya mendapati gadis itu terus menatap rentetan tulisannya pada buku yang kini ia pegang.
Menyadari hal itu, Chuuya tetiba menutup bukunya dan berdehem lalu bertanya, "mana Orang Brengsek itu? Dia belum kembali."
Gadis itu menggeleng ringan. "Belum."
Hening sesaat. Untuk sesaat dia bingung harus membicarakan topik apa agar gadis ini tidak bertanya tentang apa yang baru saja ia lakukan.
"Kau sedang menulis apa, Chuuya-kun?" Sepertinya doanya tidak diterima.
"Hanya puisi."
"Benarkah?"
"Oi, kapan kau mengambil buku itu!?" Chuuya langsung menyambar kembali buku yang gadis itu genggam lalu berkata, "jangan membacanya seenaknya!"
"Kalau begitu, bacakan untukku!"
Chuuya terdiam kembali. Melihat kedua bola mata gadis itu yang penuh harap, senyumannya yang lebar seolah memaksanya untuk melakukan apa yang diinginkannya.
Dia menghela nafas pasrah, membuka bukunya dan mulai membaca syair pertama, "pierrot yang jahil, pierrot yang nakal."
Chuuya menatap gadis kecil di sampingnya yang masih senantiasa memperhatikannya. Senyumannya tak hilang dari wajah melankolisnya.
Dia melanjutkan, "akankah itu menjadi syairmu... atau syairku?"
"Mencoba menggoda anak kecil?"
Perempatan di dahi Chuuya muncul ketika suara menyebalkan itu terdengar di telinganya.
"Kenapa? Kau kecewa karena memiliki partner yang ternyata pengarang puisi?"
"Oh, tentu saja. Pengarangnya merupakan bencana terbesar daripada pekerjaannya."
"Diam kau, Tissu Toilet! Aku tidak ingin mendengar apa pun dari mulutmu!"
Gadis di sampingnya tetiba tertawa kecil lalu menatap Chuuya dan berkata, "kupikir itu puisi yang bagus, Chuuya-kun. Kau penyair yang berbakat."
🔰
Dazai akhirnya sampai di asramanya. Usai merebahkan [Name] di atas futon miliknya, laki-laki itu menyelimuti gadis itu.
Dazai tersenyum lembut, menatap wajah [Name] yang terlelap. Saat helaian rambutnya jatuh ke depan wajah, Dazai menyelipkan helaian itu perlahan di balik telinganya.
Senyuman Dazai semakin lebar begitu [Name] menggerakan kepalanya perlahan dalam keadaan masih tertidur.
"Oyasumi—"
Suara Dazai terhenti begitu tetiba tangan [Name] menahan lengan kemejanya. Untuk sesaat, dia tidak menyadari adanya kerutan di wajah [Name].
Saat menyadari hal itu, Dazai menggenggam tangan [Name] dengan raut wajah khawatir.
"[Name]-chan, aku di sini. Tidak apa-apa. Aku bersamamu."
🔰
Dazai mendesah berat, mengatur deru nafasnya dengan teratur dan duduk di depan air mancur dekat taman.
"Dia... masih belum selesai?"
"Sepertinya begitu," balas laki-laki di sampingnya.
Saat Dazai menoleh, dia mengetahui jikalau Chuuya mendapati posisi yang sama.
Wajahnya bahkan terlihat penuh pilu dan kemerahan. Sepertinya dia lebih terlihat kelelahan darinya.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Chuuya.
"Apa?"
"Tentang anak itu."
Dazai terdiam, dia bingung dengan pertanyaan Chuuya. Namun saat mengetahui maksudnya, dia sendiri mulai bimbang.
Mungkin memang seharusnya dari awal dialah yang membunuh gadis kecil itu, bukan menyerahkannya pada Chuuya.
Dia tahu hal ini pasti akan terjadi. Tapi ada hal lain yang membuatnya tidak ingin melakukannya.
Dazai melihat dirinya yang lama dalam diri gadis itu.
Bahkan saat Odasaku mendengar ceritanya tentang gadis ini, sobatnya yang satu itu berkata ingin menemui gadis ini.
Mungkin karena dua alasan itu, Dazai enggan melakukannya dan justru semakin ingin melihat bagaimana gadis ini akan tumbuh.
Apa sungguh sepertinya?
"Mungkin... aku menyukainya. Dia jujur, polos dan tidak takut dengan apa pun bahkan pada para mafia."
"Begitu...."
Dazai melirik Chuuya yang tak memberikan reaksi apa pun usai mendengar jawabannya.
Bagi Dazai, Chuuya terlihat seperti baru saja menemukan sesuatu.
"Oi, kau tidak mencoba menyebakku, 'kan?" kata Dazai. Dia melirik curiga. "Kau mencoba menjebakku dengan membuatku terlihat seperti pedofil, ya?"
"Kau ingin aku melakukan itu?" Chuuya tersenyum penuh kemenangan.
"Kalau kau melakukannya, akan kulakukan hal yang sama seperti dua tahun yang lalu."
Ancaman yang Dazai maksud tak lain adalah ketika kali pertama Chuuya menginjakkan kakinya di Port Mafia.
Kala itu, ketika perkenalan diri dimulai dan Chuuya sudah berdiri di depan untuk perkenalan, semua mafia malah tertawa melihatnya.
Merasa aneh, Chuuya akhirnya mencari tahu alasan semua mafiosi tingkat menengah sampai rendah itu tertawa.
Chuuya tahu alasannya—karena buletin Port Mafia tentang anggota baru waktu itu—tapi tidak tahu siapa yang membuat buletin itu sebelumnya.
"Aku juga berpikir seperti itu," tutur Chuuya seraya berdiri saat melihat gadis itu melambaikan tangannya dan mengisyaratkannya untuk menyusul.
Dazai berdecih. "Dasar Cebol."
🔰
Dazai tidak pernah tahu jika pengalaman yang tak pernah dilihatnya justru menjadi luka yang begitu dalam untuknya.
Dia menyesal. Sangat menyesalinya. Jika dia tahu akan membuat seseorang yang berharga untuknya terluka seperti ini, dia tidak akan pernah melakukannya.
Bahkan dia sendiri tidak yakin jika [Name] mengetahui pembunuh orang tuanya.
Bisa saja selama ini dia hanya berpura-pura. Hanya karena dia tidak percaya orang yang dulu bersamanya adalah pelakunya.
"[Name]-chan, ada hal yang harus dilupakan dan tidak dilupakan."
🔰
"Dazai-san, Chuuya-kun, arigatou."
Gadis kecil itu menghentikan langkahnya, memutar tubuh mungilnya dan menatap dua laki-laki di depannya.
Sambil tersenyum lebar, gadis itu kembali berkata, "terimakasih untuk hari ini."
"Aku senang kau bisa menikmatinya," tutur Dazai.
Gadis itu mengembangkan senyumannya lebih. Saat melihat ke arah Chuuya, gadis itu lantas berkata, "Chuuya-kun, kau bilang ini akan menjadi akhir bagiku, 'kan? Kalau begitu, lakukanlah."
"Apa kau serius?" tanya Chuuya dengan raut wajah seriusnya.
Gadis itu mengangguk semangat. "Lagipula, aku tidak punya siapa pun lagi. Aku hanya menyusahkan Paman dan Bibiku, jadi kupikir tidak ada gunanya lagi aku hidup."
Saat kalimat itu sampai di pendengarannya, Chuuya melirik ke arah partner di sampingnya.
Ucapannya benar-benar sama seperti Dazai. Partnernya itu pun terlihat tidak akan menyangkal jika Chuuya menceletuk demikian.
"Aku juga tidak memiliki teman. Jadi menghilang pun, tidak akan mempengaruhi siapa pun," gadis itu menambahkan.
Chuuya jadi teringat dengan ucapan gadis ini begitu pagi ini dia bertemu dengannya.
Mungkin ucapannya memang tidak bohong... tentang topinya yang dibakar habis.
"Kalau begitu, aku mulai," kata Chuuya.
Gadis kecil itu mengangguk, menyunggingkan senyuman dan mulai memejamkan matanya.
Chuuya mendengus dan tersenyum miring lalu tertawa kecil. "Dasar bodoh! Mana mungkin aku melakukannya."
Mata gadis itu langsung terbuka lebar. Dia terdiam, mencerna maksud ucapan Chuuya beberapa detik lalu.
"Aku tidak mungkin membunuh teman-teman kecilku sendiri."
Ucapan yang sederhana, namun kalimat yang Chuuya lontarkan padanya berdampak sangat kuat.
Matanya mulai memanas, tenggorokannya terasa perih seakan sesuatu menusuknya.
"Kami akan menjadi temanmu, Kuroneko-chan," Dazai menimpali.
Terkadang saat seseorang merasakan kebahagiaan, bukannya tawa atau memberikan senyuman yang ia keluarkan namun tangisan yang ia keluarkan. Seperti saat ini.
Teman. Hal sederhana yang gadis itu butuhkan. Dazai menyadari hal itu karena dia semakin yakin jika gadis ini sama dengannya.
Jika dia memiliki Odasaku dan Ango sebagai pendukungnya, lantas gadis ini memiliki dirinya dan Chuuya sebagai temannya.
Ketika seluruh dunia menganggapnya musuh, mungkin hanya Dazai dan Chuuya yang akan menjadi sekutunya.
"Anak bodoh! Kenapa menangis?"
"Kalau begitu... lain kali... biarkan aku melihat pekerjaan kalian secara langsung, ya?"
"Kalau itu tidak mungkin—!" Chuuya menjawab cepat.
"Lain kali, kita bermain lagi," sahut Dazai.
Gadis kecil itu tersenyum lebar dan mengangguk semangat. Sambil berlari menuju rumahnya dengan menggenggam topi yang diberikan Chuuya, dia melambaikan tangannya lalu berlalu pergi.
"Tidak masalah memberikan itu padanya?" tanya Dazai.
Chuuya tak langsung menjawab. Namun setelah gadis itu sungguh menghilang dari pandangan, dia berkata, "itu hanya topi."
🔰
"[Name]-chan, seandainya aku bisa mengatakannya...."
Dazai hanya menatap gadis yang tertidur di depannya. Tangannya terus menggenggam tangan gadis itu.
Laki-laki perban itu hanya bisa bertanya-tanya dalam batinnya tentang apa yang kini [Name] mimpikan di alam bawah sadarnya.
Namun yang jelas, ia begitu yakin jika mimpi itu ada hubungan dengannya. Untuk kesekian kalinya, Dazai menyesal karena sudah membunuh orang tua gadis ini.
Seandainya kala itu dia tidak kabur dan bisa membawa [Name] kecil saat itu, apa mungkin hal seperti ini tidak akan terjadi?
Kalau Dazai boleh berharap, dia ingin seperti itu.
"Okaasan... Otousan...."
Tangan laki-laki itu masih menggenggam erat gadisnya. Satu hal yang paling Dazai takuti adalah ketika saatnya tiba [Name] harus membencinya.
Walaupun berpikir demikian, Dazai mengulas senyum kecil di wajahnya. Dirinya mengingat bagaimana [Name] masih bisa tersenyum lebar—
—bahkan sampai saat ini.
Senyuman sehangat bunga matahari dan secerah mentari pagi. Dazai begitu menyukainya.
Saat manik hezel laki-laki itu bergulir, dia tidak sengaja mendapati ponsel milik [Name] mengeluarkan kedipan cahaya notifikasi.
Dia tidak berniat melihatnya, tapi notifikasi itu muncul sendiri dalam keadaan mati.
Matanya terbelalak. Bukan. Bukan karena siapa pengirim pesan atau apa isi pesannya, melainkan...
... foto pada layar kunci yang [Name] gunakan.
Itu fotonya—dengan Chuuya—saat mereka masih berkumpul bersama lima tahun lalu.
Tepat sehari sebelum [Name] meninggalkan Yokohama.
Benar-benar membuatku teringat, [Name]-chan....
🔜 To Be Continued 🔜
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro