Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

(59)

[Datang ke ruanganku kurang dari 5 menit.]

"Eh?! Sei—!"

Suara [Name] terhenti di kerongkongan. Kali ini apa yang diinginkan Akashi Seijuuro darinya?

"Akashi-kun?"

[Name] mendengus pasrah lalu mengangguk sebagai jawaban. "Tiba-tiba dia memintaku bertemu dengannya, bagaimana?"

"Kau datang saja."

"Begitu ...?"

Mungkin yang dikatakan Takao ada benarnya. Setidaknya, dia masih menjadi istrinya dan ucapan seorang suami tidak bisa dibantah begitu saja.

Tak ingin mengulur waktu lebih lama lagi, nyonya muda Akashi ini berdiri lalu pergi memenuhi perintah sang suami.

Tak perlu waktu lama, akhirnya [Name] sampai pada ruang BEM. Saat tangannya terangkat hendak mengetuk pintu, suara dari dalam menyapa, "masuklah."

Kadang hal ini selalu mengganjal perasaannya, kenapa Akashi selalu bisa memprediksikan kedatangannya?

Begitu [Name] membuka pintu di hadapannya, pemandangan di dalam ruangan langsung menyambutnya.

Kini berdiri di depannya Akashi bersama dengan Momoi. Wajah Akashi terukir senyuman di kedua sudut bibirnya sementara Momoi terlihat begitu khawatir.

"Kau telat 34 detik," ujar Akashi begitu matanya menangkap sosok [Name].

Apa ini permainan Akashi lagi? Atau, hal lainnya? Apa maksudnya memanggil dirinya dikala dia tengah bersama dengan Momoi?

Mengabaikan [Name] yang menatapnya curiga, Akashi tetiba kembali mengangkat suara begitu [Name] berdiri di sampingnya, "aku ingin waktu dengan istriku, bisa kau tidak mengangguku untuk waktu yang sangaaaaat lama?"

Terdengar penekanan di akhir kalimat yang Akashi lemparkan pada Momoi. Momoi mengenduskan nafasnya kasar saat menyadari Akashi sudah sedari tadi merangkul bahu [Name]. Wanita itu seketika pergi dari hadapan Akashi.

"Aku tidak suka caramu seperti ini, Tuan Muda," ujar [Name]. "Bukankah terlalu kasar?"

"Kenapa, Sayang?"

Jemari Akashi menarik lembut helaian rambut [Name], memainkannya dengan gemas.

Untuk sesaat [Name] dibuat bungkam tatkala Akashi memanggilnya manja seperti itu.

"Aku memang ingin waktu denganmu, tidak bisa? Kau sibuk?" Akashi kembali angkat bicara.

[Name] kembali mengenduskan nafasnya dan menatap Akashi biasa kemudian. Sebenarnya [Name] sendiri tidak keberatan dengan permintaan sang suami.

Namun....

"Akashi Seijuuro, suamiku... apa Anda lupa kalau hari ini Anda harus datang ke pesta pribadi Duta Besar Spanyol?"

👑

Dengan balutan dress merah, [Name] menggamit lengan Akashi yang mengenakan setelan jas yang pas di tubuh atletisnya.

Pintu di depannya terbuka, kini dihadapannya kerlap kerlip cahaya hangat memenuhi taman belakang.

Makanan dari racikan resep terbaru yang dibuat oleh tangan sang ahli memenuhi meja beralas putih di sana.

Semua yang ada di sana tampak mengeluarkan kilauannya, menunjukkan betapa elegannya mereka dengan cahayanya itu.

Begitu [Name] dan sang suami menuruni undakan anak tangga terakhir, berdiri di depannya dua orang laki-laki berwibawa dengan seorang wanita yang terlihat tidak seperti orang Jepang pada umumnya.

"Dia Duta Besar Spanyol yang baru diangkat," ujar [Name] setengah berbisik pada Akashi, masih menggamit lengannya.

Begitu Akashi dengan sang istri berhenti di hadapan tiga orang itu, Akashi menyapa lebih dulu, "hola, felicidades por tu nueva posición."

"Escuché mucho sobre usted en España, Sr. Akashi. Encantada de conocerte."

Laki-laki di depan Akashi mengulurkan tangannya untuk dijabat yang langsung diterima oleh Akashi.

"Estoy encantado de conocerte también."

Senyumannya terukir sempurna pada paras rupawan Akashi dan sang istri.

Bukan hal sulit berbicara dalam tujuh bahasa berbeda malam ini demi menyapa para koleganya dari berbagai negara.

Entah hanya bersapa-ria atau membicarakan bisnis penting di luar sana, toh sesekali Akashi harus melakukan perjalanan bisnis di sana.

"Ahh... Akashi-sama memang berwibawa, ya?"

"Jika saja aku yang menikah dengannya, sudah kupastikan aku akan bahagia lahir batin."

"Hei, kecilkan suara kalian! Bagaimana jika ada yang mendengarnya?"

"Berdoa saja istrinya tidak mendengar ucapan tadi, ya...."

Akashi Seijuuro. Wakil pimpinan Akashi Corp. dan sejak ia menjabat selama dua tahun terakhir, laba perusahaannya naik dua kali lipat.

Itulah yang menjadikan CEO muda itu menjadi CEO terkompeten di Jepang, tidak heran jika banyak yang menginginkan dirinya.

Postur bagus, wajah tampan, setelannya selalu pas ditubuhnya terlebih memiliki istri yang cantik bersamanya. Dia memiliki segalanya.

"Akashi-san, Duta Besar menunggu."

Laki-laki bermanik heterochromia itu tersenyum dan mengangguk lantas [Name] kembali menggamit lengannya dan menuntunnya.

"Ngomong-ngomong, kapan kau belajar bahasa Spanyol?"

[Name] mengangkat sebelah alisnya. "Bahasa Spanyol?"

"Tadi kau cukup lama berbicara dengan para pemuda Spanyol yang menggodamu." Akashi melirik tajam, tanda tak suka. "Kau tahu... ingin rasanya aku menggunting pergelangan tangan mereka dengan gunting dahan."

"Oh, soal itu...." [Name] tersenyum lebar. Lantas menjelaskan, "karena tuntutan orang tua Anda, saya harus memperbaiki aksen bahasa Inggris dan Mandarin saya, jadi saya tidak sempat belajar bahasa Spanyol. Saya hanya menerka-nerka saja tadi."

"Menerka?" Akashi mengulang.

"Iya. Saat mereka menatap sambil menawarkan sampanye, itu pasti artinya 'permisi', kalau mereka berbicara padaku sambil menatapku itu berarti pujian jadi saya hanya tersenyum dan mengangguk."

Akashi mengangguk mengerti seraya tersenyum. "Ya, itu benar."

"Kalau ada seseorang mendekat, saya menyentuh telinga saya dengan tangan kiri."

Alis Akashi bertautan, bingung. Dia menginterupsi, "ada apa dengan tangan kirimu?"

Sambil tersenyum, [Name] menunjukkan tangan kirinya. Tepatnya pada benda berkilauan yang melingkari jemarinya.

"Saat kutunjukkan cincin pernikahan kita, semuanya beres."

Kalau boleh jujur, Akashi saat ini bisa saja tertawa. Namun setidaknya hal sederhana seperti ini pun membuatnya senang, dia bahkan masih ingat kalau statusnya sudah berbeda. Istrinya memang cerdas.

"Ngomong-ngomong, kenapa kau berbicara formal padaku?"

"Saya akan menjelaskannya sebagai istri Anda, Tuan Muda." [Name] berdehem pelan sebelum akhirnya menjelaskan, "karena kupikir ini pekerjaan bisnis, jadi aku akan berbicara sesuai suasana yang ada. Kau tidak keberatan, Sei?"

"Kalau kau tanya aku keberatan atau tidak, sejujurnya aku keberatan. Berhubung hasil pekerjaanmu hari ini bagus, jadi kumaafkan."

"Terimakasih."

"Tapi kau tidak akan kumaafkan karena sudah mengacaukan rencana kencanku denganmu."

"Jadi sebenarnya kau sengaja melupakan jadwal hari ini?"

"Iya."

"...."

👑

"Kenapa kau melakukan itu?"

[Name] mengalihkan eksistensinya saat itu dengan wajah bingung, sementara Akashi sudah menutup sekat antara pengemudi dan penumpang belakang, memberi ruang pribadi kecil di dalam.

"Maksudmu?" [Name] kembali bertanya.

"Setelah yang kau lihat... kenapa masih bertahan?" Akashi mempertegas maksudnya.

"Kenapa kau menanyakannya? Itu tidak penting."

"[Name], katakan ...!" Suara Akashi terdengar menusuk. [Name] hanya menghelakan nafasnya, berusaha setenang air.

"Aku akan mengatakannya karena ini Tuan Muda." Wanita itu menggenggam tangannya yang bergetar, keringat dingin sudah membanjiri dirinya. "Karena Ibumu."

"...."

Tanpa menatap mata Akashi muda, [Name] menjelaskan, "aku... orang pertama yang mengetahui keadaan Okaasama tapi Beliau tidak ingin aku mengatakannya pada Seijuuro."

Degupan jantung [Name] berpacu cepat. Apa dia harus melanjutkan ini? Atau, cukup sampai di sini?

Yang jelas, [Name] sendiri tidak tahu reaksi seperti apa yang kini suaminya itu berikan. Hanya terjadi keheningan diantara mereka.

"Setiap kali aku melihat Seijuuro tersenyum, aku semakin tidak tega. Ingin rasanya aku mengatakan semua itu, tapi aku tak sanggup."

[Name] tahu semuanya sudah berakhir, kini semuanya hanya tersisa sebuah rahasia diantara Akashi Masaomi dengan [Name] sendiri...

... tentang bagaimana Sang Ibunda bisa meninggalkan sisi Akashi atau alasan sebenarnya Akashi menjadi serapuh ini.

"Saat aku tahu dia sudah mendapat seseorang yang bisa mengisi kekosongan di hatinya, aku senang." [Name] tersenyum, bahkan Akashi yang ada di sampingnya dapat melihat itu. "Itu janjiku dengan Okaasama saat aku melihat keadaannya yang semakin memburuk. Okaasama... ingin Seijuuro bahagia makanya dia ingin aku terus memperhatikannya."

Cukup melihat laki-laki itu tersenyum dan tertawa, merasa senang dan nyaman dengan timnya.

Namun ketika mereka untuk pertama kali bertatap mata, [Name] tahu Akashi berbeda dari yang dikenalnya.

Wanita itu mengutuk dirinya sendiri, bahkan dia sendiri tidak tahu kabar terakhir Okaasamanya kala itu.

Okaasama sudah meninggal. Senyum lebar yang biasa Akashi berikan sudah menghilang. Bahkan keadaannya diperburuk dengan hatinya yang begitu rapuh.

"Saat aku menemukan foto Seijuuro dengan Momoi-san, yang kupikirkan hanya agar Sei pergi kepadanya tapi dia menolaknya hanya karena janji bodoh itu," [Name] melanjutkan. Dia menghelakan nafasnya sekali dan melempar senyum sebelum mengakhiri pengakuannya. "Dan... seperti yang kau lihat sekarang. Aku masih mengutuk diriku sendiri, menyakiti perasaanku. Bahkan membohongi—"

Suara [Name] terhenti detik itu juga ketika Akashi tetiba menarik tubuhnya dan memeluknya.

Wanita itu hanya terdiam, tidak tahu reaksi seperti apa yang harus dia berikan saat ini.

"Sei...."

"Kenapa kau sangat bodoh, [Name]? Hanya karena hal tak mendasar itu kau menyakiti dirimu sendiri? Menyakiti perasaanmu?"

"Aku... bukan bermaksud—"

"Jangan mengelak, aku mohon. Katakan yang sejujurnya tentang perasaanmu. Aku tidak akan mengerti kalau kau tidak mengatakannya."

[Name] perlahan menelusuri punggung Akashi. Seandainya boleh, dia ingin menangis saat ini juga. Namun tidak bisa, tidak bisa di depan Akashi dalam suasana yang seperti ini.

Entah kenapa, jika dia melakukan itu, rasanya semakin menjadi racun untuk Akashi.

"Maaf karena telah membuatmu merasakan hal itu dan tolong... jangan pernah melakukan hal itu lagi."

[Name] melepas pelukan itu, menatap kedua mata crimson di depannya. Matanya membulat sempurna.

Apa ini artinya? Sejak kapan mereka berdua bertukar tempat? Dan... apa maksud permintaan Akashi tadi?

Akashi menarik lembut tangan [Name], menyentuh bagian bawah tangannya dan mengelusnya lembut.

Walaupun samar dan kurang penerangan, dia masih bisa melihat luka sayatan itu. Entah sudah berapa kali [Name] melakukannya, tapi ini sungguh membuatnya menyesal.

Menyadari apa yang Akashi maksud, [Name] menarik tangannya dan menyembunyikannya.

Akashi menyadarinya? Atau, ada seseorang yang menceritakan kalau dia sering melakukan self-harm diam-diam?

Tapi siapa? Takao?!

"Takao juga sudah menceritakan semuanya." [Name] langsung menatap Akashi dengan kedua bola matanya yang membulat sempurna.

👑

"Kenapa kau ke sini? Apa pukulan dariku belum cukup?"

Akashi terus menatap Takao. Dia sudah melangkah masuk, tidak akan bisa keluar lagi. Menghadapinya adalah pilihan terbaik.

"Katakan padaku, kenapa [Name] melakukan semua itu?"

Takao kembali duduk di atas kursi putar lalu membelakangi Akashi dan berkata, "apa itu penting untukmu mengetahuinya?"

Takao sudah pasti tidak akan mengatakannya. Apa yang sudah dilakukannya saat itu, sungguh tak termaafkan.

Namun setidaknya, dia tetap ingin tahu. Apa alasan [Name]? Apa yang sudah dilakukannya di belakangnya? Apa yang disembunyikannya?

"Aku mohon padamu."

Saat Takao kembali memutar kursinya, di belakang Akashi sudah membungkuk serendah mungkin.

Mengetahui itu, Takao hanya mengusap kepalanya frustasi dan menyerah. "Ah, baiklah! Akan kukatakan semuanya, jadi kau angkat kepalamu!"

Usai dengan satu helaan kecil dan Akashi sudah kembali mengangkat kepalanya, Takao melempar satu file di atas meja.

Akashi duduk dan membuka file itu. Tidak satu, tapi cukup banyak terlebih terisi penuh.

"Ini apa?" Akashi bertanya bingung.

"Kau lihat saja."

Akashi membuka file pertama. Pada file itu kejadian tertulis sebuah tanggal. Sebulan yang lalu, artinya ini belum lama.

Saat dia melihat isi file terkait, tangannya refleks menggenggam kuat. Foto, detail berita, bahkan koran semua tertulis tentang gosip soal dirinya dengan Momoi.

Akashi membuka file berikutnya dengan terburu-buru, semuanya hampir sama. Topik utamanya tentang apa yang dilakukannya di belakang [Name] bahkan ketika Akashi menemui Momoi saat dinas luar negeri seminggu yang lalu.

"[Name]... dia... mengetahui semua yang kau lakukan. Dengan ini semua, dia menyakiti dirinya sendiri dan tak melakukan apa pun selain membungkuk serendahnya agar berita ini tidak tersebar."

Akashi mengangkat kepalanya, mata crimsonnya terbelalak. [Name] melakukan segalanya untuknya, tapi apa yang sudah dia lakukan untuk wanita itu?

"Akashi-kun, kau tidak akan bisa menghindar dari mata [Name]," kata Takao menambahkan.

"Apa maksudmu?"

"[Name] pernah ingin bunuh diri, tapi aku menggagalkannya. Kau tahu kenapa dia ingin melakukannya? Karena dia melihat Ibunya sendiri meminta agar Ayahnya membunuhnya."

Kerongkongan Akashi terasa sakit, dadanya berdebum kencang. [Name] tidak pernah mengatakan apa pun, bahkan kedua orang tuanya seperti buta tuli dengan cerita ini.

Namun, bagaimana Takao tahu?

"Saat orang tuanya tahu, mereka hanya diam dan banyak memulai hal baru. Namun saat itu juga, mereka sadar kalau kedua bola mata [Name] selama ini selalu memperhatikannya dalam diam."

Takao menghela lantas duduk dan tertunduk di hadapan Akashi dengan berkas yang tercecer di atas meja.

"Orang tuanya menyesal karena sering mengatakan hal buruk tanpa mengetahui alasan [Name] melakukan hal tak terduga seperti itu." Laki-laki bermata elang itu menatap Akashi dengan sorot seriusnya. "Jadi Akashi-kun, jangan pernah berpikir untuk membalas apa yang dilakukan [Name]. Mungkin saat ini terlambat, tapi cobalah untuk memperbaikinya perlahan."

👑

"Ini bukan pertama kalinya, 'kan? [Name], aku mohon... jangan menyakiti dirimu seperti ini."

Hanya Takao. Hanya sepupunya yang satu itu yang tahu kalau hati [Name] bahkan lebih lemah dari Akashi sendiri.

Mungkin, karena ucapannya dan tingkahnyalah yang membuat orang termotivasi bahkan bisa bertahan dalam keadaan terburuk.

Namun tidak bagi [Name].

Setiap ucapan yang keluar dari bibirnya, tidak bisa menembus dinding yang dibuatnya seolah pendengaran dan hatinya sudah tertutup rapat unuk menerimanya.

Ucapannya yang memotivasi orang lain bahkan tingkahnya, sudah tidak bisa mempengaruhi dirinya untuk tidak menyakiti dirinya.

Baginya, apa yang ingin didapatnya, pasti ada bayarannya yang setimpal.

Dia tidak tahu apa yang dilakukannya setimpal dengan hukumannya, makanya dia melakuaknnya terus menerus bahkan dalam keadaan tak sadar sekali pun.

Ketika [Name] sudah tidak lagi mengatakan apa pun, Akashi mendekati wajahnya dan mencium bibirnya.

Namun entah karena apa, dada [Name] terasa lega sampai ia bisa menitihkan air matanya begitu matanya terpejam.
































Chapter 59 owari!

UWAAA AKHIRNYA SELESAI JUGA MASALAH INI :'DDDDD SAIA SENANG SANGADH :'))))

HIYA SEMUA! Akhirnya cerita ini kelar acu repisi :333333 heuheuheuheu~ senangnya~ eits! Tenang sadja! Chapter 60 sekalyan menyusul :v tapi acu repisi doloe <(")

See yeah! Thank you~!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro