
(5)
♠♠♠
Dalam sebuah mansion sederhana yang tidak terlalu luas. [St/n] dengan kedua orang tua dan sepupunya sedang sarapan bersama, mengawali aktivitas harian mereka. Keluarga sederhana yang membuat sebuah konsep desain dapur dan ruang makan minimalis yang menjadi satu, dengan alasan aspek kebersihan juga kesederhanaan.
[St/n] meneguk habis segelas air putihnya. Sang gadis berdiri mengambil ransel berwarna [fv/c] yang ukurannya tidak terlalu besar, namun matanya terfokus pada ponsel di genggamannya. Tak lama setelah dia selesai berurusan dengan apapun yang ada di layar ponselnya, dia menatap kedua orang tuanya berniat untuk berpamitan. Namun kegiatan itu terhenti seketika ayahnya berdehem memberikan isyarat.
Sang gadis yang masih tidak paham dengan isyarat sang ayah hanya menatapnya bingung, sementara ibundanya yang duduk tidak jauh dengan ayahnya saling melirik dengan sang suami. Tampak raut wajah sedikit khawatir orang tua [St/n] berikan.
"Begini [St/n], mungkin ini sudah sangat terlambat, tapi—"
"Kau akan segera bertunangan," sela ibu [St/n] cepat.
Sang gadis yang dimaksud menaikkan sebelah alisnya, menoleh kesegala arah mencoba mencerna perkataan dari orang tuanya yang sangat gadis itu sayangi. Tak lama, sang gadis melirik kedua orang tuanya bergantian.
"Apa maksud okasan? bertunangan?"
Sang gadis mengendus nafas lalu tersenyum kemudian terkekeh, menganggap kalimat yang di lontarkan ibunya itu hanya sebuah lelucon garing.
"Ini bukan lelucon, [St/n]," tegas sang ayah.
Mata sang gadis membulat seketika, manik [e/c]nya menampakkan dirinya dengan sangat jelas. [St/n] seketika menundukkan kepalanya, ponsel yang tadinya masih ada di genggamannya itu di letakkan di atas meja makan di depannya.
Ekor manik sang gadis menatap Takao, tampak Takao juga memalingkan wajahnya. Berusaha untuk tidak menatap sepupunya yang sedang dalam keadaan bingung itu. Namun dengan cepat, [St/n] simpulkan kalau Takao mengetahui sesuatu soal hal ini. Yaa... pasti!
"Dengar, [St/n]! Nanti—"
Brak!
"Sudah cukup!" teriak sang gadis. Membuat kedua orang tuanya itu tak bergeming, pertama kalinya [St/n] berani menggebrak meja di depan orang tuanya. Batas kesabaran sang gadis sudah habis, dirinya sudah lelah diikat dengan aturan-aturan yang sangat dia tidak sukai.
Sang gadis masih menundukkan wajahnya di depan meja, dia tidak menatap orang-orang di sekitarnya. [St/n] menahan deru air mata yang memaksa keluar. Bahkan tangannya gemetar saat menggebrak meja di bawahnya.
"Apa kalian lupa... dengan persyaratan yang kuberikan? Dan apa kalian lupa dengan permintaan kalian yang belum aku penuhi?!"
Alasan [St/n] menjadi dokter bukan semata-mata karena keinginannya atau kemauannya. Akan tetapi karena keinginan orang tua sang gadis. Ibunda tercintanya sangat ingin membuat putri sulungnya itu menjadi dokter, ayahnya pun setuju dengan pendapat istrinya itu.
Sang gadis yang tidak bisa menolak permintaan kedua orang tuanya itu pun berjanji, kala suatu saat sang gadis pasti akan menjadi dokter. Tetapi dengan satu syarat, sang gadis juga bebas melakukan apapun yang dia inginkan, termasuk soal bakatnya dalam melukis. Yup! Sang gadis juga tidak ingin bakat berharga itu terbuang sia-sia. Walaupun pada akhirnya orang tuanya tetap tidak mendukung keinginan yang sudah tertanam kuat dalam dirinya itu.
Dan syarat yang gadis itu maksud adalah… dia tidak akan bisa menerima pertunangan jika pria ini hanya memanfaatkan sesuatu dalam dirinya atau karena hal lainnya. Jika itu terjadi, gadis ini akan melakukan apapun untuk membatalkannya…
… termasuk jika ia harus membunuh dirinya sendiri.
"Okaasan ingat, [St/n]. Tapi kau harus—"
"Bagus kalau begitu," ucap sang gadis tenang. Dia menegakkan tubuhnya, membawa ransel di belakang punggungnya, dan ponsel kembali dalam genggamannya. Sang gadis tersenyum culas, "aku akan menerima pertunangan ini. Tapi dengan satu syarat... jika dia tidak memenuhi setidaknya satu harapanku. Bagaimanapun caranya aku akan membatalkan pertunangan ini."
[St/n] berlalu, pergi begitu saja meninggalkan orang tuanya bahkan tanpa berpamitan. Ibunya melirik Takao, mengisyaratkan Takao untuk segera mengejar putri sulungnya itu dan mencoba berbicara baik-baik dengannya. Takao yang mengerti pun mengangguk dan berdiri lalu membungkuk. Pria itu segera berlari kecil menyusul sepupu sadistic-nya itu.
[St/n] sudah berada di depan mobil silver-nya, langkahnya memasuki mobilnya itu terhenti seketika. Ketika Takao menarik tangannya, sehingga membuat sang gadis menoleh malas ke arah sepupu menyebalkannya itu.
[St/n] menatap Takao sambil mengemut permen batang rasa kesukaannya, dia menatap datar sepupunya itu. Sementara Takao menghela nafas pelan kemudian menatap sepupu kecilnya ini.
"Kau benar, aku memang tahu... dan tugasku, untuk mengamatimu dengan calon tunanganmu itu. Puas?"
[St/n] hanya ber-'oh' ria, sambil menaikkan bahunya tak acuh. Tak lama dia mengeluarkan permen batang dari mulutnya dan berpikir-pikir kecil. Kemudian senyuman tipis muncul di bibirnya itu, menandakan sang gadis mendapatkan sebuah ide.
"Jadi... siapa dia?"
"Maksudmu calon tunanganmu itu?" tanya Takao balik, memastikannya. [St/n] mengangguk kecil, masih dengan senyuman di wajahnya, "aku tidak bisa memberitahumu… tapi yang bisa kuberitahu adalah, fakta kalau dia ada di universitas yang sama dengan kita."
[St/n] tidak peduli dia bersekolah dimana. Asalkan setidaknya harapannya yang pertama bisa terpenuhi. Yup! Hanya hal sederhana itu.
Harapan pertama sang gadis adalah... pria itu harus bisa membuat [St/n] tertarik dengannya. Tidak peduli seperti apapun dia, selama sang gadis tertarik itu tidak masalah.
[St/n] menghela nafas pelan kemudian kembali menatap sepupunya itu. Tak lama kemudian ia memasuki mobil silver-nya itu dengan Takao, sementara butler yang akan mengantar kepergian sekolah mereka menutup pintu mobil tempat nona mudanya itu masuk.
👑
Jam pelajaran ketiga—keempat (Kesenian)
[St/n] berjalan riang menuju ruang kesenian. Yaa… pelajaran yang paling di sukainya, ditambah lagi materi kali ini adalah menggambar realist. Jelas itu adalah keahliannya selain menggambar anime atau manga.
Sesaat setelah dia pergi ke ruang guru untuk mengumpulkan tugas murid kelasnya, dia langsung pergi ke ruang kesenian.
Sreet!
Pintu ruang kesenian bergeser. Di depan sang gadis menampakkan seorang pria yang tingginya tidak jauh dari gadis, pria itu membelakangi sang gadis.
"[L/n]-san, tepat sekali. Kau akan berpasangan dengan Akashi-san. Jadi mohon kerjasamanya yaa," pinta sang guru sambil tersenyum.
Pria bersurai red pinkish itu menoleh kebelakang, sontak membuat sang gadis itu sedikit terkejut kemudian berjalan kehadapan guru kesenian di depannya itu.
Jelas, sang gadis tidak mau berpasangan dengan pria menyeramkan sepertinya. Tatapan intimidasi nan dingin itulah yang [St/n] tidak sukai, tapi selebihnya. Dia menyukainya, sebagai referensi untuknya menggambar. Tentunya.
Ahh… [St/n] ingat. Kelas seni hari ini adalah kelas seni gabungan, itulah alasan kenapa sang gadis bisa bertemu dengan Crimson Prince di pelajaran hari ini. Ditambah lagi dia harus menggambar realist pria bersurai red pinkish ini.
"Sensei, apa saya tidak bisa mengganti pasangan gambar saya?"
"Sayangnya tidak bisa [L/n]-san. Semua sudah tepat berpasangan, sisanya hanya kau dan Akashi-san."
[St/n] menghela nafas. Apa boleh buat? Sang gadis sadistic ini harus menerima fakta kalau dalam pelajaran kali ini dia harus berpasangan dengan pria tertampan namun sangat mengintimidasi ini di sekolahnya.
Jikalau [St/n] bisa bertukar pasangan, maka ia akan melakukannya. Tapi hal itu pasti akan sangat merepotkan, ditambah lagi pasti akan memakan waktu banyak.
[St/n] duduk tepat di hadapan Akashi muda. Saling berhadapan, begitulah. Sang gadis melepaskan jas sekolahnya lalu meletakkannya di atas pahanya, dia menggulung lengan kemejanya sampai di bawah sikutnya. Tak lama kemudian gadis itu mengikat rambut [h/c]nya pony tail kebelakang, untuk membuatnya lebih leluasa saat meggambar.
"Apa kau selalu seperti itu?" tanya Akashi, ketus.
"Kenapa?" tanya balik gadis itu.
Akashi menghela nafas. Kemudian menatap detail gadis di depannya. Yaa… bagi Akashi sendiri, [St/n] itu gadis yang termasuk aneh walaupun dia terkenal karena kecantikannya itu. Bagaimana tidak? Sang gadis memakai seragam sekolah, dengan bawahannya dia tambah dengan memakai celana training yang di gulung sampai seperdelapan kakinya.
"Tidak ada."
[St/n] mulai menggambar pria bersurai red pinkish di depannya itu. Dia memandang sang pria sangat detail. Bahkan matanya yang tajam itu sangat fokus. Akashi yang melihat gadis di depannya sangat serius ini sedikit kagum, tapi juga merasa risih—kala seluk beluk tiap detail di tubuhnya di amati seperti itu.
55 menit terlewati. Gambar yang [St/n] buat sudah selesai, gadis itu pun meletakkan alat-alat menggambarnya pada meja kecil di sampingnya. Merapikannya kemudian kembali mengenakan jas-nya.
Sang gadis melepas ikatan pada rambutnya, kemudian menyisirnya dengan jari-jari kecilnya itu sambil menatap gambarnya yang sudah selesai dia buat.
Sementara Akashi yang kebetulan juga baru saja menyelesaikan gambarnya, segera merapikan peralatannya. Namun tanpa dia sadari, sketchbook miliknya di rebut seseorang.
"Warukunai wa."
Ucapan seseorang membuat Akashi fokus pada sang pemilik suara. Dia menatap gadis berambut [h/c] yang duduk di depannya.
Sret!
Akashi tiba-tiba menarik kembali sketchbook miliknya, membuat manik [e/c] milik sang gadis bertatapan langsung dengan manik heterocromia milik Crimson Prince itu.
"Kenapa ada masalah?"
[St/n] memundurkan sedikit tubuhnya. Dia merucutkan bibir kecilnya sambil menatap Akashi yang duduk tak jauh di depannya.
"Tidak—tuk!"
"Urusai."
"Itta!"
Tiba-tiba Akashi menyentil kecil dahi sang gadis, membuat gadis itu berdecih pelan kesakitan lalu menyentuh dahinya yang sedikit memerah.
[St/n] menatap Akashi sedikit sebal, lalu memutar Kursinya menyampingi Akashi.
"Kau itu terlalu banyak bicara, Chiwa."
"Jangan memanggilku seperti itu!"
"Membangkang lagi. Ternyata aku memang harus melatihmu dari awal, ya."
Sang gadis membuka mulutnya lagi kemudian langsung menutupnya kembali, dibarengi dengan helaan nafas. [St/n] pun mendekati wajahnya dengan Akashi, Akashi pun tak bergeming sama sekali. Hanya diam saja.
Tak lama kemudian perempatan di dahi sang gadis muncul. Dia menatap mata Akashi lekat, karena rasa penasaran saat terakhir kali sang gadis menatap matanya.
Meyakinkan kalau matanya ini memang heterocromia, walaupun hati kecilnya masih tidak yakin kalau mata pria di depannya itu heterocromia merah–emas bukan berwarna merah di kedua matanya.
"Yappari, memang ada yang aneh denganmu."
[St/n] pun kembali memundurkan posisi duduknya dan kembali merapikan barang-barangnya lagi. Setelah selesai mengemasnya. Gadis itu mulai berdiri. Meninggalkan ruangan.
Sreet!
Pintu bergeser, menampakkan gadis yang tidak terlalu tinggi itu keluar dari dalam ruangan di belakangnya.
Baru saja beberapa langkah dia keluar. Tiba-tiba saja seseorang...
Brak!
"[L/n]cchi!"
…merangkulnya.
Gadis itu pun menoleh kebelakang, mendapati seorang pria bersurai kuning yang jelas lebih tinggi darinya.
Tatapan sang gadis pun bingung—kala tidak mengenal seseorang yang tiba-tiba saja merangkulnya begitu saja. Ditambah lagi, pria itu memanggilnya dengan tambahan aneh di belakang namanya.
"Anoo…"
"Ahh… aku Ryota Kise. Saat kau ada di atap waktu itu, aku ada di sana hanya saja kau tidak melihatku… sepertinya."
Gadis itu kembali bertopang dagu. Kembali berpikir-pikir tentang kejadian di atap waktu itu. Yaa… [St/n] ingat. Saat itu terjadi… perang yang melibatkan dua insan yang memiliki aura yang hampir sama.
"Ahh… maaf 'kan aku. Jadi ada urusan apa Kise-kun denganku?"
"Kalau kau tidak keberatan, mau istirahat denganku nanti? Kebetulan jam istirahat ini tidak di isi dengan latihan tambahan. Bagaimana?"
Gadis itu melepaskan dirinya dari rangkulan Kise, berjalan sedikit kedepan lalu berbalik. Berhadapan dengan pria bersurai kuning itu.
Awalnya gadis ini ingin menolaknya, namun mengingat kembali masalah dia dengan kedua orang tuanya tadi pagi. Mungkin saja sedikit bersantai dengan beberapa orang yang dikenal dekat dengan sepupunya ini bisa menghilangkan beban pikirannya sementara.
[St/n] tersenyum lembut. "Baiklah."
Sontak Kise yang mendengar jawaban setuju dari sang gadis langsung bersemangat, lalu segera pergi meninggalkan gadis di depannya itu.
Sementara sang gadis hanya terkekeh melihat kelakuan seseorang yang terlihat ceria seperti itu.
"Jarang sekali kau menerima hal ini?"
Suara yang sangat di kenal [St/n], membuat sang gadis menoleh cepat pada pemilik suara tersebut. Pria yang diketahui sebagai sepupunya itu tersenyum-senyum entah apa maksudnya, gadis itu tidak mengerti.
Tapi yang sebenarnya membuat Takao tersenyum-senyum seperti itu adalah karena dia berhasil mendapatkan foto sepupunya ini sedang bertatpan dekat dengan calon tunangannya. Yup! Dengan Seijuro Akashi. Tadi—saat pelajaran kesenian.
"Tidak ada, lagipula aku juga ingin melupakan kejadian tadi pagi."
[St/n] kembali mengembangkan senyumannya kembali. Lalu segera meninggalkan sepupunya itu, namun Takao langsung meyamakan langkahnya dengan [St/n] untuk kembali ke kelas.
Disisi lain, Akashi yang memperhatikan [St/n] di ambang pintu hanya berdiam diri saja. Kemudian segera pergi, menuju kelasnya.
👑
Jam istirahat.
Waktu yang ditunggu semua murid. Banyak siswa yang berhamburan keluar kelas membawa bekal, pergi ke kantin bersama, maupun hanya sekedar bercengkrama ria dengan kawanannya.
Sedangkan [St/n] bersama dengan Takao berjalan meneluauri koridor menuju atap kampus mereka.
Kriiit!
Mereka sudah sampai di pintu atap. Begitu keluar dari pintu itu, mereka berdua disambut oleh cahaya berwarna pelangi. Yup! Anggota tim inti basket di Universitas Tokyo.
"[L/n]cchi!"
Kisa berteriak kegirangan dengan mata yang berbinar-binar begitu mendapati gadis yang di undangnya sudah datang sesuai permintaannya.
Tak lama [St/n] dipersilahkan ikut duduk melingkar bersama dengan teman-teman dari tim basket sepupunya ini.
Akashi yang terlihat tidak tertarik dengan perbincangan receh ini, hanya bersandar di pembatas di belakangnya sambil membaca buku yang terlihat lumayan tebal itu.
Setelah selesai makan siang. Mereka mulai saling bercengkrama atau sekedar bercanda-canda ria. Bahkan tak jarang Midorima dan Murasakibara yang saling beradu argumen hanya karena beda pendapat ; Kise dan Aomine pun tak kalah berisiknya. Mereka berdua membicarakan tentang kemampuan basket siapa yang lebih baik di antara mereka.
Sementara Kuroko yang sering tiba-tiba muncul di belakang [St/n], membuat sang gadis sontak berteriak terkejut bahkan sampai melempar art knife miliknya tiba-tiba. Namun sangat beruntung, art knife itu hanya lewat begitu saja di samping Kuroko dan tertancap di dinding di belakang pria bersurai baby blue itu.
Akashi melirik ke arah [St/n] yang kebetulan sedang tertawa senang dengan teman-teman pria bersurai red pinkis itu.
[St/n] yang sadar dengan lirikan Akashi, menatap bingung Akashi kemudian mengembangkan senyuman manisnya tiba-tiba. Namun sifat dinginnya Akashi membuatnya tidak bergeming atau pun membalas senyuman [St/n].
Saat Akashi kembali fokus pada bukunya, tiba-tiba saja gadis sadistic itu meghampiri pria bermanik heterocromia itu.
Gadis itu berdiri tepat di depan Akashi, menatap sang empu yang masih duduk di bawahnya.
"Akashi-kun, kau tidak mau gabung?"
"Tidak, aku juga tidak tertarik."
Gadis itu menghela nafas. Senyuman merekah masih terlukis di wajahnya, dia pun segera berjongkok di depan pria bersurai red pinkish itu. Mensejajarkan posisinya.
"Jujur saja kau ini menyebalkan, tapi setidaknya saat berkumpul seperti ini seharusnya kau ikut bergabung. Bukankah mereka teman-temanmu?"
Sang gadis masih tersenyum, namun Akashi hanya menutup buku lalu menghela nafasnya pelan. Mengalihkan pandangannya sebentar lalu kembali menatap gadis di depannya itu.
Akashi mengangkat sebelah tangannya, mendekatkan ujung jarinya ke dahi [St/n] dan…
"Baka janai no."
Tuk!
"Ittai naa."
[St/n] mengeluh kesakitan lagi, ketika mendapat sentilan kecil di dahinya. Tentu dari orang yang sama. Sang gadis sontak kembali memegang dahinya lagi dan menatap pria di depannya sedikit sebal.
"Setidaknya kalau ada orang bersikap baik padamu, ucapkan 'terimakasih'," sahut [St/n] sambil sedikit merucutkan bibir mungilnya.
Pria bersurai red pinkish itu berdiri, membawa bukunya di tangan kirinya sementara tangan kanannya di masukkan kedalam saku celananya.
Akasi berjalan, membiarkan sang gadis masih berjongkok begitu saja. Lima langkah dia lalui, namun tubuhnya sedikit berputar menatap gadis di belakangnya yang sudah berdiri masih menatapnya sebal.
"Ayo kesini, Chiwa."
Glek!
Wajah [St/n] seketika meluap merah. Dia membungkam mulutnya rapat-rapat dan menatap Akashi makin sebal.
"KAU ITU MEMANG MENYEBALKAAAAAAAN!!!"
Akashi terkekeh dan berjalan mendekati teman-temannya lalu duduk bersama. Pria bersurai red pinkish itu menatap [St/n] datar, sementara sang gadis masih tampak menahan marah.
[St/n] mencoba menahan niat melempar art knife miliknya ke Akashi, karena ia tahu. Mungkin saja akan mengenai teman-temannya yang lain dan membuat suasana hancur.
Akasi yang masih menatap [St/n] tiba-tiba tersenyum tipis, menampakkan kurva di bibirnya itu. Takao yang melihat Akashi tersenyum, terkekeh sendiri.
"Ternyata mereka bisa juga."
Chapter 5 selesai~ :3 terimakasih yang sudah setia membaca FF ini :" silahkan kritik dan sarannya di kolom komentar, reader~
Maaf jika masih ada banyak kekurangan maupun kemiripan dalam cerita :" sekali lagi maafkan K-san decu~ :'3
Di chapter selanjutnya pertemuan Akashi (bokushi) dengan reader :3 walaupun pertemuannya akan di buat sedikit 'freak' :v wkwkwk
Kasih K-san semangat buat nulis donk dengan meninggalkan jejak berupa vote :""" (sedih beud gw :'3) lagi kena malastisme neeh gegara baru masuk sekolah X'D
Terimakasih _(:3 J )_
Neko Kurosaki
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro