
(48)
Festival Komaba ke-70 akhirnya dimulai. Sekitar 150.000 orang yang mengunjungi Kampus Pertama Komaba untuk menikmati festival, disuguhi lebih dari 600 kios—di mana para mahasiswa lah yang memasak dan menjual berbagai jenis makanan—berjejer di seluruh kampus dan menambah kesan ceria.
Selama enam bulan perencanaan dan seminggu acara, Universitas Tokyo membuka gerbangnya untuk umum. Dan ini adalah hari terakhirnya.
Namun, kesan ceria disana tidak menggambarkan suasana gadis itu sendiri. Hatinya berbeda dari sekitarnya, seolah ia hanya berdiri sendiri di tengah podium menunggu sang juara yang akan datang di hadapannya.
Dilain sisi, [St/n] sibuk dengan segala macam urusan soal menjadi putri penutup acara.
Ya, gadis cantik namun sadis itu harus kerepotan dengan gaun panjang bernuansa merah desain asli Ibundanya.
"Ah, rasanya mengerikan sekali," keluh gadis itu.
Takao melirikkan matanya. Sosok serampangannya kini tertutupi oleh balutan jas hitamnya. "Ada apa?"
Sepupu menyebalkannya itu menoleh, mendapati sosok seorang gadis di sampingnya dengan kaun merahnya tengah bersedekap.
"Tunanganku sendiri di rawat dan aku mengenakan gaun bermodel bunga lycoris."
"Kau lupa, [St/n]? Itu model paling bagus, lho."
"Dan kau lupa, Takao? Ini seperti aku mengatakan selamat tinggal pada Sei."
Ah, benar juga. Takao tidak memikirkan arti bunga itu sendiri. Bunga merah yang cantik dan tumbuh pada bulan September sampai Oktober ini juga memiliki arti yang kurang baik.
Tapi di mata Takao, kalau sepupu sadisnya itu yang mengenakannya, terlebih seandainya ia mengenakan tanduk peri seperti punya Maleficent, [St/n] pasti terlihat seperti Iblis.
"Mungkin Akashi-kun akan bilang 'aku tidak akan memikirkan itu selama kau terlihat cantik, [St/n]' saat dia melihatmu."
"Jangan berkata hal yang mungkin saja tidak terjadi, Bakao."
👑
Seorang laki-laki dengan usia sekitar akhir 20-an tahun berjalan tegap, menandakan karisma dan jabatannya itu tinggi.
Langkah laki-laki itu berhenti begitu sosok berjas hitam dengan kemeja merahnya berhenti di depannya lalu menyapa, "I've been waiting for you, President Lawless."
"Siapa kau?"
"Aku datang untuk menyambutmu. Aku Akashi Seijuuro," ucap Akashi seraya menunduk hormat.
"Kau putra keluarga Akashi?" balas laki-laki itu. "Aku menerima proposal dari Ayahmu. Saldo untuk memecahkan risiko itu sangat mengesankan."
Akashi muda tersenyum puas. Kemudian laki-laki itu kembali bertanya, "dimana Ayahmu?"
"Aku yang mengirimkan proposal itu."
"Kau?" Laki-laki tampak heran dan setengah tidak percaya. Akashi mengangguk yakin.
"Ada seorang gadis yang ingin membuatmu tersenyum. Kau pasti tahu siapa dia."
"Maaf sebelumnya. Tapi aku datang ke Jepang untuk rapat."
Akashi menghela nafas singkat dan memasukkan kedua tangannya dalam saku.
Tetiba saja anggota Kiseki no Sedai datang dari belakang sang kapten.
Laki-laki itu tampak bingung sekaligus bimbang. Namun akhirnya ia menghela nafas pasrah dan sedikit menunduk. "Aku dengar adikku membuat masalah, maafkan aku."
"Kau salah, Lawless-san," sambung Kuroko. Untung saja laki-laki yang sedikit lebih tinggi itu tidak terkejut dengan keberadaan Kuroko yang datang tiba-tiba. "Dia membutuhkanmu."
👑
"Apa langkahmu selanjutnya, [St/n]?"
Gadis itu diam. Ia terus melangkah lurus menuju halaman utama kampus, mengabaikan pertanyaan Takao.
Berbicara tidak ada gunanya lagi? Lalu, bagaimana membuat Emilly sendiri sadar apa keinginan sesungguhnya?
Gadis itu hampir bahkan sebetulnya tidak bisa lagi menjalankan bidaknya, semuanya sudah buntung. Berhenti di jalan.
Keadaan Akashi masih tidak bagus, sementara suasana hati Emilly tengah runyam. Benar, kata-kata sudah tidak ada gunanya lagi.
Percuma berkali-kali gadis itu membujuknya, Emilly tidak akan mendengarnya.
"Aku sudah melakukan semua yang kubisa, sisanya terserah padanya. Itu keputusannya untuk terus maju atau berhenti melangkah."
"Aku baru menyadari satu hal." [St/n] menoleh ke arah Takao, kemudian ia melanjutkan, "kebiasaanmu yang satu ini, maksudku. Di belakang memberikan dorongan, ya?"
"Memangnya kau kira aku ini guru?"
"Lebih baik daripada kukatakan kau ini manipulator. Bagaimana?"
Kalau dipikir-pikir ucapan Takao memang ada benarnya. Dianggap sebagai seorang guru tidak buruk juga. Itu lebih baik daripada dirinya disebut sebagai manipulator.
"[St/n]-chan!"
Spontan [St/n] berhenti melangkah dan memutar tubuhnya sedikit ke belakang. Matanya dihadapkan dengan sosok Ota yang berlari kecil dan di belakangnya Nijimura menyusul.
"Terimakasih, Ota, sudah membantuku." Mata [St/n] berpaling ke arah Nijimura. "Juga Nijimura-senpai."
"Ya, aku juga kebetulan ada di sana dan melihat dia yang benar-benar melakukan pendorongan itu."
Walaupun begitu, [St/n] tetap tidak menyangka kalau pikiran abstraknya sungguh terjadi.
Apalagi tentang kejadian di atap itu, saat Emilly mengatakan....
"Kalau aku memang menyukai Seijuuro-san memangnya kenapa? Kau akan menghentikanku? Atau, mengadu padanya?"
Hanami diam sesaat. Namun gadis itu akhirnya mengatakan, "aku tidak akan mengatakannya, Emi."
"Oh, aku mengerti! Kau memihak [St/n], 'kan? Benar begitu? Berpikir kalau aku tidak akan bisa mengalahkannya?"
Hanami mengguatkan pandangannya. "Dilihat dari mana pun juga begitu. [St/n] jauh lebih mengenal Akashi-san daripada dirimu."
Emilly melangkah gusar mendekati Hanami, kemudian gadis itu menarik kerah baju gadis di depannya.
"Tidak bisakah kau sekali saja membelaku? [St/n], [St/n], [St/n]... memangnya hanya dia orang yang paling dekat denganmu? Aku ini orang pertama yang dekat denganmu, tapi kenapa kau tidak pernah membelaku sekali saja?"
"Kau tidak akan mengerti, Emi...." suara Hanami menghilang seiring dengan dialihkannya pandangannya dari Emilly. "[St/n]... sudah melihat semuanya. Dia tahu."
"Apa yang dia tahu tapi aku tidak tahu?"
"Semuanya."
Emilly menggertakkan giginya. Jengah rasanya Hanami selalu membela gadis itu. Ya, gadis itu, [St/n].
Ia begitu yakin akan dirinya lah orang pertama dan yang paling dekat dengan Hanami, tapi kenapa gadis itu tidak pernah membelanya?
"Aomine kau mendengarnya? Seperti ada orang lain di atap...."
"Paling hanya suara gadis yang biasanya bertengkar."
Dan benar saja yang dikatakan Aomine, memang ada dua orang gadis yang bertengkar di atap.
Nijimura tidak turun, melainkan hanya melihat dari atas tempat tangki air berada. Tidak ingin dirinya ikut campur dalam masalah orang lain yang bahkan dia tidak tahu namanya.
"Dia bisa melihat lebih dalam dari yang kau kira. Memang ucapannya begitu serampangan dan abstrak, tapi dia benar."
"Mungkin lebih baik dia menghilang."
Kalimat itu terdengar seperti gumaman, tapi Hanami bisa mendengarnya dengan sangat jelas.
Spontan gadis itu menarik sebelah tangan Emilly, namun ia itu langsung menghempaskannya dengan kasar sampai membuat tubuh Hanami terjungkal ke belakang.
Hanami yang awalnya bisa menyeimbangkan posisinya, tetiba saja belakang kakinya membentur pinggir atap yang hanya setinggi setengah betisnya saja.
Gadis itu pun terjatuh. Melihat itu, refleks Emilly memutar tubuhnya dan segera berlari. Tapi terlambat, tangannya tidak sanggup menggapai Hanami.
Berteriak pun tak ada gunanya, suaranya tercekat begitu saja. Tidak ada satu kata pun keluar dari ujung mulutnya.
Aomine dan Nijimura yang melihat kejadian itu pun hanya bisa berdiam diri. Rasa terkejut mereka tidak bisa ditutupi.
Melihat Emilly yang kalap langsung melihat ke bawah dan tetiba pergi, Nijimura dan Aomine pun ikut turun dan mengejar gadis terkait.
Alih-alih mendapatkannya, gadis itu sudah tidak terlihat sosoknya lagi. Terlebih hanya mengandalkan bagaimana bentuk wajahnya dari samping, salah-salah mengira orang malah bisa menjadi masalah baru.
"Kau mengingat wajahnya, Nijimura-senpai?" Aomine bertanya dengan intonasi terkejut.
"Tidak terlalu...."
Selama dua minggu kasus pendorongan itu terus ditelusuri atas permintaan keluarga Hanazono. Semua siswa dimintai keterangan dan alibinya masing-masing, tak terkecuali [St/n].
Hanya gadis itu yang memiliki alibi paling tidak jelas dan rasanya janggal. Walaupun begitu, kurangnya bukti membuatnya tidak bisa ditahan.
Sebetulnya Nakatsu saat itu ingin mengatakan alibi [St/n], tapi gadis itu menolaknya dengan alasan untuk mencari pelakunya sendiri.
Tapi yang sebenarnya dilakukan [St/n] adalah justru membebaskan pelakunya. Karena dia tahu, semua yang terjadi begitu cepat di hadapannya memiliki alasan tersendiri.
Satu minggu kemudian, waktu-waktunya hanya dihabiskan dengan meneliti semuanya sebelum akhirnya [St/n] angkat kaki dari SMP Teiko dan menghilangkan jejaknya.
"Bukan karena kecelakaan, tapi penyakit."
"Aku sudah melihat datanya, itu benar-benar karena penyakit," ujar Ota.
"Kalau begitu semuanya sudah jelas. Tidak ada yang kusembunyikan lagi. Ini yang terakhir," balas [St/n] sambil tersenyum.
"Walaupun begitu, Emilly masih menganggap dia yang melakukannya."
[St/n] menghela nafas pasrah. Itu satu-satunya hal yang harus Emilly akui padanya. Hanya itu.
Dia tidak peduli keinginannya agar selalu diakui atau sekalian mengambil posisinya, dia hanya ingin Emilly jujur padanya. Sungguh. Hanya itu keinginan dia.
Kebohongan yang selama ini Emilly tunjukkan semejak [St/n] mengenalnya, begitu membuatnya jengah.
Sejak SMP, gadis berambut pirang itu selalu memberikan sikap yang bertolak belakang dari [St/n]. Bahkan Hanami saja mengakui kalau gadis itu dan Emilly sebetulnya begitu mirip seperti pindang dibelah dua namun yang satunya begitu serabutan.
Ia sadar, tentu saja. Bahkan Takao sangat mengerti itu. Itu bukan kemampuan untuk melihat kebohongan orang lain, tapi kemampuan mengenal karakter dan memperhitungkannya.
Makannya Takao sebetulnya sedikit takut-takut untuk membohongi [St/n]. Gadis itu memang mudah percaya dan kurang peduli, tapi kesalahan sekecil apa pun yang dilakukan orang yang kini berada di depannya tidak akan terlewat dari pandangannya.
Gadis sadis itu selalu menghitung dan mempertimbangkan jalan selanjutnya lalu menjadi sosok yang diinginkan orang di depannya.
Seandainya ada seseorang yang memintanya menjadi jahat sekali pun, ia pasti akan melakukannya.
👑
"Sekarang waktunya penentuan! Pasangan mana yang akan menjadi Raja dan Ratu Festival Tahun ini?"
Suara seorang laki-laki memeriahkan suasana melalui speker kampus. Sorak sorai mahasiswa saling baur-membaur meneriakkan nama pilihan mereka.
"Silahkan kepada juri sekaligus komite utama acara hari ini, Takahashi Emilly-san."
"Terimakasih," ucap Emilly kepada sang pembawa acara. Ia mendekati ujung bibirnya pada microphone dan berkata, "terimakasih untuk semua dukungan teman-teman sekalian. Kalau begitu aku akan mengumumkan pemenangnya...."
Emilly membuka amplop merah dengan kertas vintage yang sudah bertuliskan sepasang orang yang akan ia sebutkan dan nominasi sebagai pemenangnya.
Lantas begitu melihat deretan tulisan bertinta hitam, ia kembali mendekatkan ujung bibirnya pada microphone, "pemenangnya—"
"Masih ada pasangan terakhir, Emilly."
Suara Emilly menghilang begitu mendengar suara bariton menyapa indra pendengarannya.
Tepat di sana Akashi datang dengan rekan setimnya yang sudah siap dengan seragam mereka. Sementara [St/n] yang melihat kedatangan Akashi hanya mengernyitkan dahinya.
Sepintas gadis itu berpikir, dia kabur dari rumah sakit?
"Tapi pasangan ini tidak akan lengkap kalau kau tidak ikut juga."
Mata Emilly membulat sempurna begitu mendapati siluet seorang laki-laki yang amat dikenalnya. Kakaknya sendiri.
Gadis berambut pirang dengan sedikit gelombang itu melangkah, mendekat.
"Onii-... sama?"
"Bukankah ada yang ingin kau katakan, Emilly?"
Emilly menatap Akashi lalu kembali menatap kakak di depannya. Ia menutup mulutnya rapat dan memantapkan hatinya.
Lalu ia pun akhirnya berkata, "semua yang kulakukan hanya untukmu. Sejak dulu Ayah dan Ibu tidak pernah mengakuiku, hanya kau. Hanya kau yang ada di pihakku dan aku... ingin kembali seperti dulu."
"Mereka selalu memikirkanmu, makannya mereka tidak ingin menyerahkan beban ini padamu. Aku juga begitu...." Lawless mengalihkan pandangannya sesaat, tapi akhirnya kembali lagi. "Aku selalu membuat jarak diantara dirimu. Tapi aku menyadari satu lagi kesalahanku...."
Lawless mendekat, lalu menaikkan tangannya dan memeluk adik kecilnya itu seraya mengusap lembut pucuk kepalanya.
Ia kemudian berkata tepat di dekat telinga gadis berambut pirang itu, "for now on... I'll be right here... right beside you."
Laki-laki berdarah campuran itu nelepaskan pelukannya, ia lalu tersenyum pada gadis di depannya.
Emilly tersenyum lebar. Senyuman yang sebelumnya belum pernah dia tampakkan sebelumnya, bahkan [St/n] itu senyuman paling tulus dari wajahnya.
Tanpa beban, ceria, dan sangat... bersahabat serta hangat.
Seketika suara tepukan tangan memeriahkan kembali suasana. Emilly dan sang kakak menatap penonton dan menunduk hormat.
"Jadi bagaimana kau bisa membawa Lawless-san di waktu setepat ini, Akashi-kun?" ujar Kuroko polos.
"Aku memberikan proposal rencana keuangan untuk menyelamatkan mereka."
"Tunggu—! Maksudmu kau mengirimkan proposal itu diam-diam?!" Tetiba [St/n]sudah datang dan langsung terkejut dengan jawaban Akashi barusan.
"Begitulah." Akashi tersenyum puas penuh kemenangan. "Ya, aku hanya sedikit menambahkan dan kuakui proposal itu memang mengesankan, Tuan Putri."
Ingin marah? Iya, sangat. Pasalnya proposal untuk partner kandidat yang [St/n] pilih dari perusahaan yang bergabung dengan [L/n] Group dan Akashi corporation digunakan diam-diam.
Sebetulnya bisa saja gadis itu menuntut Akashi atas penyalahgunaan kepemilikan hak cipta. Tapi kalau dipikir kembali, berkat rencana rahasia Akashi ini kondisi Takahashi sudah membaik.
Jadi alhasil....
PLAK!!
Rasa ngilu langsung menjalari tubuh Kiseki no Sedai mendengar pukulan yang terdengar nyaring itu.
Mereka tidak salah melihat. Baru saja [St/n] dengan santainya memukul punggung Akashi muda dengan melebarkan kelima jarinya.
Akashi menarik nafasnya panjang dan menatap [St/n] gusar. "Kenapa kau memukulku, [St/n] ...?"
"Pertama, kau menggunakan proposal itu tanpa sepengetahuanku. Kedua, kau tidak mengatakan apa pun soal ini, dan ketiga, selamat atas keluarnya dirimu dari rumah sakit... Tuan Muda."
Jadi itu... ucapan selamat? Akashi membatin.
Dan alasan ketika itu diucapkan [St/n] dengan senyuman kepuasan yang tak kalah dari pria bemanik crimson itu.
"Kalau begitu, silahkan untuk Takahashi Emilly-san."
Suara dari speker kembali membuyarkan perhatian. Semua kembali terfokus pada Emilly.
Emilly memutar tubuhnya dan menatap [St/n] sambil tersenyum, lalu gadis itu kembali membungkuk sopan.
"Baiklah." Ia menatap lurus mata [St/n], lalu dengan lantang berkata, "pemenangnya adalah... pasangan Akashi!"
Suara tepukan tangan kembali terdengar. Kini berbeda dari sebelum-sebelumnya, lebih terdengar meriah bahkan dengan segala macam letusan confetti dari arah mana saja bahkan langit-langit.
"Pasangan—" ucap Akashi.
"—Akashi ...?" [St/n] melanjutkan.
"[St/n]-chan, maafkan aku... untuk semua yang kulakukan. Dan soal Hanami... sebenarnya aku tidak sengaja dan malah membuatmu menjadi tertuduh." Emilly membungkukkan badannya hingga sembilan puluh derajat, ia pun melanjutkan, "terimakasih, karena sudah melindungiku juga. Terimakasih."
"Aku sudah tahu. Dan aku sudah lama memaafkanmu."
Emilly kembali bangun dan tersenyum pada [St/n]. Gadis sadis itu pun membalas senyuman itu dengan senyum tipisnya.
Selesai dengan acara pengumuman, Kiseki no Sedai (kecuali Akashi tentunya), mulai menampilkan hasil latihan dadakan dari [St/n] sekaligus menahan malu diri mereka. Walaupun begitu, suasana Festival Komaba menjadi lebih ceria.
👑
"Kemana lagi kau akan membawaku, Sei?"
"Masalahmu belum selesai, 'kan?"
[St/n] menghela singkat dan menatap Akashi datar. "Aku tidak akan mengerti kalau kau tidak mengatakannya dengan jelas."
Akashi tertawa kecil dan tersenyum tipis kala ucapannya kembali padanya. "Nanti juga kau akan tahu," ujarnya akhirnya.
Tak memerlukan waktu lama, akhirnya Akashi dan [St/n] sampai pada tujuannya. Rumah minimalis dengan nuansa klasik hitam putih.
Untuk sesaat, [St/n] ragu untuk melanjutkan langkahnya begitu menyadari keluarga mana pemilik rumah terkait.
Akashi menekan tombol merah dan tetiba sebuah suara menyapa, "dengan siapa?"
"Aku Akashi Seijuuro. Maaf datang tiba-tiba, tapi ada hal penting yang harus aku bicarakan dengan Hanazono Hayumi-san."
"Tunggu sebentar."
Pintu coklat di hadapan Akashi terbuka otomatis. Begitu dipersilahkan masuk, ia langsung melangkah sambil menggandeng tangan [St/n].
Walaupun terlihat tenang, Akashi bisa merasakan bagaimana kegugupan [St/n]. Tangannya terasa panas dan raut wajahnya sedikit bergetar.
👑
"Maaf 'kan saya karena tidak bisa menyediakan yang sepantasnya."
"Tidak masalah. Ini salahku juga karena datang tiba-tiba," ujar Akashi sesopan mungkin.
"Jadi ada apa?"
Akashi menoleh ke arah [St/n] yang membuang wajahnya. Pemuda itu tersenyum kecil mengetahui kelakuan gadis itu yang ternyata punya rasa kegugupan seperti itu.
Padahal biasanya ia begitu santai dan seolah tidak memiliki beban hidup bahkan masalah sekali pun.
"Ini soal Hanazono Miyuki-san."
"Mi-chan?"
"Mungkin ini bukan topik yang seharusnya aku tanyakan menyangkut masalah pribadi, tapi soal kematian Miyuki-san... apa kau mengetahui sesuatu?"
Hayumi terdiam sesaat mendengar alasan kedatangan Akashi muda yang begitu tiba-tiba.
Ia menggenggam nampan itu lebih erat dan [St/n] sadar akan hal itu. Ini benar-benar bukan topik yang bagus untuk dibahas.
"Aku sudah tahu...." Hayumi, Ibunda Hanami, tersenyum tipis. Namun sorot matanya menunjukkan kesedihan yang begitu jelas. "Dia anak keras kepala. Padahal aku sudah mengatakan agar dia tidak terlalu banyak mengikuti kegiatan, tapi dia tidak pernah mendengarnya."
Hayumi menuntun Akashi dan [St/n] menuju kamar Hanami. Kamar sederhana yang penuh dengan lemari buku-buku.
[St/n] bahkan masih mengingat dengan jelas bagaimana bentuk kamar itu. Aromanya tidak pernah berubah, aroma khas lembaran kertas pada buku.
Warna ruangannya pun tidak pelak lagi dengan warna monocrome dan barang-barang bernuansa merah.
Tanpa sadar [St/n] melangkah sendiri memasuki ruangan itu. Ia menyentuh meja di hadapannya lalu beralih pada sebuah bingkai foto di sana. Foto mereka ketika masih benar-benar lengkap.
Lalu matanya beralih pada tembok dengan wooden clip dan lumpu LED kecil. Foto-foto mereka juga yang tengah dalam berbagai macam kegiatan. Semuanya ada di sana.
Namun mata [St/n] kembali beralih pada bingkai foto di genggamannya. Ia membalik bingkai terkait dan mendapati tulisan dengan tinta perak bertuliskan "irren ist menschlich".
"Bahasa Jerman, ya?"
"Umn...."
"Kau tahu artinya?" Hayumi bertanya polos.
Untuk sekilas [St/n] menatap wanita itu. Ia ragu mengatakannya, tapi akhirnya ia menjawab, "manusia adalah sumber kesalahan."
"Begitu, ya?" Hayumi menerawang.
Wanita itu tetiba melangkah lebih memasuki kamar Hanami dan mengambil sesuatu seperti buku. Ia menyerahkan buku itu pada [St/n] dan gadis itu terima.
Itu bukan buku biasa, tapi kotak rahasia berbentuk buku. Ketika [St/n] membukanya, ia langsung dihadapkan dengan kunci kombinasi berupa angka.
Ia memutar-mutar kuncinya dan dalam waktu singkat, sebuah suara 'klik' terdengar. Buku itu terbuka.
"Bagaimana kau tahu kuncinya, [St/n]?" Akashi menanyakan yang ingin ditanyakan Hayumi lebih cepat.
"Dia selalu menggunakan tanggal lahirku dengannya untuk kode sejenis ini."
[St/n] membuka buku itu dan mendapati sebuah buku harian bercover merah dan dan biru dengan gambar-gambar bentuk kucing. Ia membuka dan membaca sekilas isinya.
[Tanggal XX bulan XX.
Dia kembali bertingkah meminta hal-hal aneh padaku. Menyebalkan? Tentu saja. Namun entah kenapa ingin marah pun rasanya begitu berat].
[Tanggal XX bulan XX.
Untuk pertama kalinya aku melihat [St/n] begitu aneh, sesuatu seperti mengambil semangat hidupnya. Tapi dia tetaplah dia. Gadis yang gerakannya tidak bisa kuprediksi itu begitu cepat memulihkan keadaan suasana hatinya].
[Tanggal XX bulan XX.
Festival Budaya berakhir dengan berfoto bersama. Tentu aku bisa mendapatkan foto bersama dengan yang lainnya. Seperti biasa, begitulah. Hanya saja [St/n] terlalu naif untuk mencoba berbicara dengan Akashi-san bahkan berfoto dengannya].
[Tanggal XX bulan XX.
Ini pertama kalinya seseorang menyadari keadaanku. Mungkin memang benar kalau [St/n] sebetulnya sulit untuk dibohongi atau, aku yang tidak bisa berbohong padanya?]
[Tanggal XX bulan XX.
Hasil cekku bertambah buruk. Apa tidak apa kali ini aku menyembunyikan keadaanku dan berbohong pada semuanya? Terutama pada [St/n]...].
Lembaran demi lembaran terus ia baca, tanpa sadar sesuatu membasahi kertas pada buku harian itu.
Akashi pun hanya bergeming, diam. Ini hal terbaik yang bisa dilakukannya. Seandainya gadisnya itu memang ingin menangis dan meluapkan semuanya, maka keluarkan saja.
Akhirnya [St/n] menarik nafasnya panjang, lantas gadis itu mengusap pipinya dan membalik tubuhnya kemudian menyerahkan buku itu pada Hayumi.
Namun Hayumi tidak menerima buku itu, justru melihat buku itu wanita itu tersenyum. "Sebaiknya kau yang menyimpannya. Aku tidak tahu apa keinginan terkahirnya, tapi aku percayakan kenangan itu padamu, [St/n]-chan."
Mata [St/n] sedikit membulat. Wanita itu pun melanjutkan, "melihat dirimu seperti ini, aku tahu kau begitu menganggapnya berharga. Kau simpanlah, aku sudah menyimpan yang lainnya untuk diriku sendiri."
👑
Akhirnya Akashi dan [St/n] menutup hari ini dengan semua masalahnya yang akhirnya berakhir.
Benar, sudah tidak ada yang [St/n] sembunyikan lagi. Semuanya sudah berakhir dan hatinya pun bisa bebas kembali.
Tapi gadis itu tetap bergeming diam di dalam mobil. Hanya menatap ke luar jendela di sampingnya, entah pikirannya melayang kemana.
"[St/n], bagaimana keadaanmu?"
[St/n] tersenyum getir. "Entahlah, aku—"
Kata-katanya menghilang begitu tiba-tuba Akashi menariknya dan menjatuhkan gadis itu pada dada bidangnya.
Pemuda itu menyentuh pucuk kepala [St/n] dan menyentuhkan ujung bibirnya pada rambutnya.
Sementara [St/n] masih terkejut, Akashi berkata, "jangan berbohong pada dirimu, [St/n]. Aku sudah melihat semuanya, kalau begitu...."
Tangan [St/n] terangkat dan meremas kemeja belakang Akashi. Pemuda itu pun melanjutkan, "... kau bisa meluapkan semuanya."
Tubuh gadis itu tetiba bergetar, isakan mulai terdengar dan Akashi mengangkat tangannya yang terbebas.
Diusapnya pucuk kepalanya dan diciumnya rambut gadis itu. Semakin kuat Akashi membekap gadis itu, semakin kuat juga [St/n] memeluk pemuda itu.
Akashi sebetulnya begitu terkejut mengetahui gadisnya ternyata begitu rapuh. Hatinya mudah digoyahkan dan mudah tersentuh.
Sedikit banyak ia mengerti kenapa ia bisa memahami rasa sakit yang diterimanya dan menerima orang lain dengan mudah.
Bahkan pada dirinya yang lain.
Ia menyadari satu hal dalam dirinya: setiap kata-kata dan tindakan [St/n] mengubahnya. Membuatnya selalu tergerak untuk melakukan sesuatu di luar kebiasannya yang selalu mematuhi perintah dan bergerak sebebas mungkin.
Perlahan ia memahami sesuatu dalam dirinya, sesuatu yang selama ini selalu ia cari.
Hanya hal sederhana tentang bagaimana akhirnya ia bisa terbebas dari apa yang membelenggunya.
Dan yang terus mengikat hal itu hanya satu.
Dan akhirnya, rantai merah itu terputus dan membebaskannya. Keinginan untuk meraih tangan gadis di depannya, membuat rantai itu rusak.
Apa yang dilakukannya ini benar? Atau, salah? Dia tidak tahu itu. Namun ia percaya....
Sosok keberadaan [St/n] adalah kuncinya.
Chapter 48 selesai! Ululululul~! Saia merasa tercengang bisa cepetin ampe kayak gini 😃 oke, ini gk cepet-cepet amat sih, cuman paling nggak... ya... ditekan gitu lah 🙂 udah abaikan ini 😂
Gimana dengerin Kisedai nyanyi MAJI Love 1000% 😂 ??? Dae(bug) keun? Aomine yang satu seiyuu sama Jinguji Ren jadi ancur beud yak 😂😂 Oh, iyak! Anggep aja Akasei gak ikutan nyanyi sambil joged-joged gaje yak 😃
Sekali lagi, abaikan! 😂😂🔪
Kajeh mao promosi 😀 gapapa yeu 😊 ini soal work baru acu kok 😄
— El • Tango • Egoista —
"Akan ada kemuliaan di bawah nama Tuhan."
Itulah kalimat yang sudah lama terpatri di dalam hatinya. Dabria Evangeline, seorang gadis yang disebut-sebut sebagai berkat Tuhan.
Awalnya, kehidupannya hanya biasa-biasa saja dalam sebuah biara kecil di kota yang hampir terisolasi. Namun, mau tidak mau, gadis itu harus menerima kenyataan pahit yang terjadi.
Ketika umurnya sudah dikatakan dewasa, sebuah kemampuan yang bahkan tidak pernah diketahuinya datang padanya. Kemampuan yang katanya adalah titisan dari Tuhan dan kemampuan yang mengundang para Vatikan datang menemuinya.
Disisi lain, orang-orang Vatikan itu menyembunyikan suatu rahasia besar. Ya, rahasia tentang para 'Malaikat Tidak Bernafsu' yang menginkan dirinya pula karena kekuatannya itu.
"Di dalam cahaya di sana ada kegelapan dan di dalam kegelapan, di sana ada cahaya."
Kenyataan demi kenyataan terus memukulnya. Entah tentang siapa sebenarnya orang tuanya itu, siapa yang kelak harus dipilihnya, atau...
... tentang seorang Iblis yang mulai jatuh hati padanya.
— El • Tango • Egoista —
Work bergenre fantasi pertama saia yang diadaptasi dari video vocaloid 😗 ide bikin video ini jadi cerita itu punya LevIria39 but, makhluk itu terlalu malas untuk membuatnya, jadi saia yang buat 🤣 so... ini book kolaborasi saya dengan makhluk astral itu 🤗
Next chapter review! Anjay 😃 saia lupa lagi kayak gimana ceritanya 😂👌 ya, pokoknya... ini persiapan pernikahan Akasei sama Reader-tachi! Yeay! Akhirnya, Ya, Lord! 😂😂😂
Silahkan baca cerita baru acu yeu 😊😊👌 jangan lupa tinggalkan vomentnya disini!!
Terimakasih
xoxo,
Kajeh-san-san
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro