Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

(45)

♠♠♠

"[St/n], apa ini sudah cukup?"

Sang gadis menoleh ke belakang. Usai memilah beberapa pakaiannya dan memasukkannya dalam koper, sementara Takao membantunya membawa barang-barang penting untuknya.

Berbeda dengan gadis pada umumnya [St/n] lebih memilih membawa set laptop dan PC miliknya untuk bermain game, tak lupa pula dengan peralatan menggambarnya itu.

"Sudah. Selanjutnya ke Salon," ujar sang gadis.

Tak membutuhkan waktu lama, [St/n] dengan Sepupunya-Takao-menuju Salon, singkatnya mengambil beberapa buku bacaan kesukaan miliknya.

Namun saat sang gadis barus saja membuka pintu di depannya, Kiseki no Sedai kecuali Akashi sudah berada di sana.

Beberapa dari mereka tengah membawa tumpukan buku, bahkan baru saja ada yang tengah ingin meletakkannya di atas meja untuk gadis itu pilih.

"Kalian-! Tunggu, kenapa kalian ada di sini?!" tanya sang gadis bingung.

"Ano, [St/n]-san, kau tahu 'kan kalau ada yang harus kami ketahui?" ujar Kuroko polos.

"Benar-ssu! Aku baru saja melihat album fotomu...."

"... dan melihat kau memakai seragam Teiko, sementara kami tidak pernah melihatmu sama sekali-nanodayo."

"Tapi dilain album, kau malah menggunakan seragam SMP lain," tuntas Aomine.

Sebetulnya, [St/n] sedikit bingung dengan situasi ini. Sesaat, sang gadis dilanda dilema antara ingin langsung menceritakannya atau tidak.

Tapi mau bagaimana lagi? Sudah jelas keingintahuan mereka berada di puncaknya, bahkan sampai-sampai harus datang semalam ini untuk mendengarnya.

Lalu Takao? Sebenarnya [St/n] sendiri tahu kalau sepupunya itu tidak mungkin sembarangan mengatakannya, kalau pun itu terjadi, tidak mungkin Kiseki no Sedai akan datang, bukan?

Sang gadis menghela nafas, jenjang kalinya kembali digerakannya menuju sofa yang berada dalam Salon terkait.

Seolah mengabaikan ungkapan dari kawan-kawan pelanginya itu, [St/n] hanya mengambil salah satu buku yang ditumpuk di atas meja santai.

Sambil tersenyum, sang gadis berkata, "bagaimana kalau pertama-tama kita bereskan ini dulu."

👑

Setelah Nanase membawakan teh untuk [St/n] dan Kisedai yang berada di Salon, cerita di awali dengan saling beristirahat sejenak dan menanyakan hal-hal sederhana.

"[St/n]cchi, aku tidak tahu kalau kau ternyata gadis itu, maksudku yang pernah menjadi pasangan modelku."

"Ah, aku juga terkejut saat itu, tapi karena kupikir kau tidak terlalu dekat dengan Sei, jadi kuabaikan saja."

"Hidoi-ssu!"

"Kau juga yang membuat perangkat sederhana itu di Laboratorium-nanoka?" lanjut Midorima. "Aku tidak menyangka itu. Bahkan guru memujinya-nanodayo."

"Ah, tidak juga. Aku hanya pernah iseng untuk membuatnya sendiri karena melihat di buku."

Namanya memang tidak pernah disebut, tapi faktanya gadis itu sendiri yang menghilangkan namanya.

Karena saat itu, ia memiliki alasan tersendiri.

"Jadi [St/n], bagaimana ...?"

Sang gadis menghentikan gerakan menempelkan bibir gelas dengan bibirnya sendiri, mengurungkan niat untuk meneguk teh terkait.

Namun untuk sesaat, ia tidak langsung meletakkan gelas itu. Hanya tetap berada di depan wajahnya.

Setelah memantapkan hatinya, gadis itu mulai bercerita....

Tentang bagaimana dirinya bisa memilih Teiko.

Tentang bagaimana ia bisa menggunakan seragam sekolah yang berbeda.

Dan tentang bagaimana, Nijimura dan Ota langsung seolah menhembunyikan keberadaannya.

Sebenarnya....

👑

Aku bukan siswi tahun ajaran baru, tepatnya siswi pindahan saat semester dua angkatan tahun pertama.

Alasannya sederhana, pekerjaan Otousan dan Seijuro-kun.

Walaupun aku tahu Sei ada di Teiko, tapi aku tidak pernah menyapanya. Apa harus kukatakan ini alasanku? Atau, karena mungkin (kuakui) sifat tsundereku?

Terserah kalian ingin mengatakannya bagaimana. Tapi aku cukup dengan diriku, maksudku kau tahu? Ketika kau memiliki seribu teman, dirasa kurang ; sedangkan saat kau memiliki satu musuh, dirasa beban.

Itulah yang kupikirkan.

Aku sebenarnya gadis yang sulit bergaul dan agak pemalu, tapi kalau sesuatu sudah menarik perhatianku ; kenal tak kenal dengan orang itu, aku akan langsung akrab.

Karena sifatku yang tidak pandang bulu seperti itu, siapa pun bisa menjadi temanku tanpa memandang apa pun. Termasuk seniorku di Sekolah Dasar.

Walaupun aku hanya mengenal senior itu dari tempat kursus dan level yang sama, tapi di sekolah aku bisa santai dengannya seolah bukan masalah

Ketika aku berbicara dengan senior-senior itu dan akrab dengan mereka, pandangan yang diberikan padaku justru dirasa menyakitkan.

Aku dijauhkan, dikucilkan. Banyak yang mulai menjahiliku dan melakukan banyak hal lainnya.

Bahkan aku pernah sekali dituding menghancurkan hubungan salah seorang teman sekelasku, padahal hal itu aku tidak ketahui sama sekali.

Aku tidak pernah mengadukan hal ini pada Otousan dan Okaasan, karena aku takut justru anak-anak itu terkena masalah.

Jadi lebih baik, aku berdiam diri saja.

Kemudian, mulai saat aku lulus, aku hanya menghabiskan waktuku dengan diriku seorang diri.

Enam bulan berada di Tokyo, terasa membosankan. Alasanku yang lainnya, Okaasan dan Otousan sering bertengkar.

Tapi bukan berarti aku tidak pernah melihat mereka bertengkar sebelumnya, justru kurasa sering.

Tapi aku selalu menutup kedua telingaku dan menganggap hal tersebut tidak pernah terjadi. Lebih baik begitu, bukan?

Setelah kembali ke Kyoto, aku mendapatkan kabar kalau Seijuuro-kun ada di Teiko.

Alih-alih mengikuti permintaan orang tuaku, justru aku keras kepala memilih sekolah yang sama dengannya.

Tapi semuanya tidak berjalan seperti apa yang kupikirkan. Sebenarnya, aku seperti orang yang berbohong (tapi tidak benar-benar seperti itu).

Setelah aku diterima di Teiko, seorang gadis yang terlampau sedikit tinggi dariku dipanggil Kepala Sekolah, namanya Hanami (sebenarnya ini singkatan nama lengkapnya).

"Hanazono-san, [L/n]-san sekarang berada di kelas yang sama dengamu. Mohon antarkan dia ke kelasnya, ya. Aku mengandalkanmu."

Begitu pintu tertutup, kini hanya meninggalkanku dengan Hanami di depan ruang Kepala Sekolah.

Sejak pertemuan itu, aku selalu seperti bergantung padanya. Meminta apapun padanya seperti menemaniku berkeliling sekolah, kota atau keluar kota sekali pun.

Tentu saja dia tahu latar belakang keluargaku, tapi kurasa yang membuatku bisa dekat dengannya adalah karena dia sama denganku.

Aku memanfaatkannya, dia pun sama. Tapi aku atau pun dia tidak pernah saling meninggalkan.

Dan....

Anehnya, Hanami menuruti permintaan tak masuk akal dariku. Jujur, aku sadar aku begitu egois.

Saking egoisnya dan begitu Hanami seperti ingin membunuhku, ia pernah lantang berteriak di tengah lapangan seperti ini....

"Aku ingin sekali memukulmu. Amat sangat ingin sampai membawamu ke Mars. Tapi aku tidak bisa!"

Aku menanggapi perkataan itu hanya dengan tertawa kaku dengan senyuman konyolku.

Tentunya ditutup dengan godaan-godaan kecilku pada Hanami sampai gadis itu pusing kepalang.

Namun gadis itu tidak pernah mengatakan kalau aku egois. Aku memang gadis ceria yang merepotkan, saking merepotkannya aku bahkan pernah memintanya, "Hanami, ayo, kita buat klub!"

Gadis itu hanya menatapku datar tanpa mengatakan apapun. Jadi, aku pun melanjutkan....

👑

"Klub pecinta sekolah."

Kisesai menatap [St/n] tak percaya. Pasalnya selama mereka bersekolah di Teiko, belum pernah mendengar nama klub seaneh itu.

Takao yang berusaha menahan tawanya, akhirnya dilepas juga. Merasa kalau memang nama klub terkait lucu, beberapa dari Kisedai hanya tertawa kecil atau sedikit menahannya.

"Klubmu aneh sekali, [St/n]! Klub pecinta sekolah? Apa-apaan itu?!" ucap Takao.

"Aku juga berpikir begitu, tapi memang kami ini anak-anak pecinta sekolah."

"Ya, baiklah...." Takao berdiri, kemudian menatap [St/n]. Ia melanjutkan, "aku akan keluar dulu."

[St/n] mengangguk. Lalu ia kembali melanjutkan....

👑

Target ketertarikanku selanjutnya, Kushiiro Ota dan Akasaki Aria. Usia tiga belas tahun, kelas tujuh.

Masing-masing dari mereka berada di kelas yang berbeda, tapi mereka selalu berjalan bersama seperti saudara kembar tapi tak sama.

Rahasia terbesar mereka adalah seorang otaku, justru karena itu aku tertarik pada mereka.

Perlahan namun pasti, aku bisa mendekati mereka bahkan sangat akrab dengan mereka.

Kerap kali pula aku dan Hanami selalu istirahat bersama dengan mereka, menceritakan cerita fantasi masing-masing, tentunya sampai melewati waktu berakhirnya kegiatan klub.

Semakin aku mengenal mereka, aku semakin tertarik pada mereka.

Ota walaupun sering diejek sebagai marshmallow girl, bagiku ia sangat imut. Imajinasinya tinggi, tapi tidak bisa diungkapkan. Banyak ide, tapi selalu ragu. Begitulah.

Berbeda dengan Aria. Gadis itu selalu bisa mengaplikasikan imajinasinya melalui tulisan. Beberapa tulisannya bahkan ia sudah ketik dan tersebar di internet, menjadikan gadis itu penulis muda berbakat.

Aku pernah menawarkan agar karyanya dijadikan light novel, tapi ia masih sedikit ragu dan merasa masih memerlukan banyak kritik untuk tulisannya.

Lalu dua orang lainnya, Fuyuki Raishi dan Takamiwa Fuyuki. Nama mereka memang sama, tapi tentu saja sangat berbeda.

Kalau Rai-chan bertubuh tinggi kurus, berambut panjang dan sering kali menutupi setengah wajahnya dengan tirai rambutnya.

Berkebalikan dengan Taka-chan yang memiliki tubuh mungil seperti loli dan berambut pendek. Gadis ini pun sangat energetik.

Mereka dua gadis yang transparan. Tapi bukan maksudku mereka sungguh transparan, tapi hampir tidak terlihat secara umum.

Rai-chan memang dasarnya gadis yang kalem, tapi kalau Taka-chan mungkin ada masalah dengan cara bicaranya.

Awalnya kupikir mereka berdua memang begitu, tapi rasa penasaran begitu memukulku. Alhasil aku pun mendekati mereka dan berbicara dengan mereka.

Awalnya sulit karena mereka begitu tertutup. Tapi aku menyadari satu hal, mereka memiliki ketertarikan yang sama denganku.

Game. Khususnya Taka-chan. Kami sama-sama menyukai game apalagi yang berbau rhythm game.

Sedikit banyak aku mengetahui rahasia mereka. Masa lalu mereka, masalah internal keluarga mereka, dan alasan mereka memisahkan diri.

Bukan hanya Taka-chan dan Rai-chan. Tapi semua anggota Klub Pecinta Sekolah.

👑

[St/n] menyentuh foto dalam album bersampul [fv/c] di atas meja. Album itu menunjukkan sebuah foto landscape lima gadis dengan penampilan yang berbeda-beda tengah tersenyum lebar.

Tentunya di tengah adalah [St/n] sendiri.

Matanya menatap nanar foto itu, rasanya begitu mengenang. Penyesalan begitu menusuk hatinya, tapi semua sudah dilewatinya.

"Aku pernah bertemu dengan salah satu dari mereka," ujar Kuroko. "Kalau tidak salah yang... ini."

[St/n] mengikuti arah yang ditunjuk Kuroko. Dan sosok yang ditunjuknya itu adalah gadis berambut pendek berpotongan bob, Takahashi Fuyuki.

"Taka-chan?" tanya [St/n]. "Kapan kau bertemu dengannya?"

"Saat aku baru datang setelah berganti pakaian. Dia bertanya soal Akashi-kun."

Eh? "Apa yang ditanyanya?" [St/n] mulai penasaran.

"Tentang Akashi-kun yang mempunyai teman dekat seorang gadis," jawab Kuroko. "Tapi karena Akashi-kun memang tidak pernah mengatakan hal itu, jadi aku menjawab seadanya."

Mulut [St/n] sedikit terbuka. Ia mengerti dari perkataan Kuroko, tapi tetap tidak tahu siapa 'teman dekat gadis' Akashi yang dimaksud Kuroko.

Tak ingin memikirkan itu terlalu jauh, setelah menghela nafas singkat, ia melanjutkan....

👑

Waktu terus berputar dan berputar. Selagi aku bersama Hanami, aku selalu membicarakan banyak hal termasuk tentang Seijuuro-kun.

Gadis itu menjadi orang pertama yang mengetahui kalau aku memang pernah dekat dengan Sei, juga orang pertama yang kuberitahu kalau aku sering memperhatikan Sei dari jarak yang amat jauh.

"Kau tetap tidak ingin bertemu dengannya," tanya Hanami.

"Aku sudah cukup melihatnya. Lagi juga dia baik-baik saja dengan timnya, jadi tidak masalah."

Bertepatan ketika aku selesai berkata begitu, keempat temanku baru saja sampai di atap setelah selesai piket.

Hari kembali berganti. Aku mendapatkan beberapa masalah dengan nilai ektrakulikulerku.

Aku yang tahu kalau wali kelasku memanggilku, begitu pelajaran selesai, aku berlari dan berlari.

Kulewati pintu geser yang bertepatan di depanku dan langsung menutupnya. Karena tahu aku pasti akan langsung ditemukan, begitu kulihat jendela di belakangku bisa kugunakan....

Aku melompat dari sana. Yang tak kuperhitungkan adalah keberadaan seseorang di sana.

Mungkin kalau itu orang lain, aku tidak akan peduli. Tapi itu, Akashi Seijuuro-kun.

Aku yang benar-benar tidak tahu harus berkata apa begitu melihat dirinya, hanya menatapnya lekat.

"[L/n]!"

Tubuhku menegang. Kupikir hari itu aku benar-benar sial. Aku harus dikejar pengawas dan sekarang bertemu Sei disini.

Selagi aku dilanda kebingungan, kurogoh apapun dalam sakuku. Begitu kudapati sebatang permen, aku langsung memberikan padanya sebagai bayaran tutup mulut.

"Tolong jangan katakan kalau kau melihatku, ya."

Sei yang menatap permenku bingung, akhirnya kupaksa untuk menerimanya. Selesainya aku berbalik dan berlari setelah memastikan sekelilingku.

"Kau... namamu?"

Rasanya dadaku seperti tertikam sesuatu. Sei tidak mengingatku, tapi itu lebih baik.

Aku pun dengan percaya dirinya menoleh ke belakang dan tersenyum, kemudian berkata....

👑

['Kau akan mengingatnya, Sei']

Takao bersandar pada tembok di belakangnya. Sambil tersenyum dan memegang kaleng soda di tangannya, ia menatap pria di depannya.

"Jadi, kau mengingatnya, Akashi-kun?"

Akashi mendengus dan tersenyum. Ia tentu saja mengingatnya, mengingat pertemuan itu.

Karena pertemuan itu, menjadi awal bagi dirinya untuk mulai bergerak.

Setelah kejadian itu, ia selalu sibuk sendiri mencari sosok gadis yang ditemuinya di belakang sekolah dan membayar dirinya dengan sebatang permen.

"Kalau kuingat kembali, kupikir dia lucu seperti itu," ucap pria bermanik crimson itu.

"Kau benar," timpal Takao. Ia kemudian meneguk sodanya sekali. "Aku saja sering dibayar dengan makanan di kulkasnya untuk membantu menyembunyikan dirinya."

👑

Aku bodoh. Sungguh. Aku bodoh! Kenapa aku bisa mengatakan hal itu pada Seijuuro-kun?

Sejak pertemuan kami, aku selalu merasa Seijuuro-kun selalu mencari-cari sosokku. Aku tentu saja sedikit takut.

Apalagi membayangkan bagaimana penggemarnya nanti akan membunuhku kalau tahu tetiba saja seorang murid baru bisa mendekati Akashi-sama.

"Sebaiknya kau jangan coba-coba lagi, [St/n]."

Kata-kata itu diucapkan oleh Takahashi Emi. Sedikit banyak penampilannya sangat berbeda dengan yang sekarang. Tapi bagiku ia masih sama.

Ah, aku lupa menjelaskannya, ya? Dialah Takahashi Emilly. Gadis bercampur Jepang-Singapura yang terkenal di kampus itu.

Sebetulnya dia gadis sederhana. Tidak berbeda sepertiku dan anak-anak dari Klub Pecinta Sekolah.

Omong-omong, sejak penangkapan diriku hari itu, Klub Pecinta Sekolah resmi dibuka.

Aneh? Sedikit. Lalu pekerjaan kami? Membantu pihak sekolah bersih-bersih, menjadi cadangan latihan di ekstrakulikuler lain, membersihkan ruang kesenian dan sebagainya.

Kami pun yang sebenarnya mengurusi perkebunan dan taman di atap dan depan sekolah.

Kami juga yang menanam bibit baru dan membuat hidroponik di dalam taman kaca sekolah.

Satu sekolah serasa milik kami. Perlahan Klub Pecinta Sekolah pun dikenal, tapi bukan sebutan seperti itu yang sering kudengar. Melainkan nama lain....

[St/n] dan kawan-kawan.

Aku tidak suka, sungguh. Rasanya seperti aku memanfaatkan teman-teman terbaikku sendiri untuk membuat diriku lebih bercahaya di sini.

Justru aku membuat ini karena ingin menyembunyikan diriku dari Seijuuro-kun, bukan menunjukkannya.

Awalnya ini hanya masalah kecil, jadi aku mengabaikannya. Teman-temanku yang lain pun tidak peduli dengan sebutan itu, karena yang terpenting bagi kami adalah kami tetap bersama.

"[St/n]-chan...."

Aku menoleh ke belakang setelah aku meletakkan pot bunga di pinggir gedung, menanggapi panggilan dari Ota.

"Ano... tadi, Akashi-kun... menanyakanmu."

Rasanya apa yang baru saja kudengar menjadi ancaman bagiku. Jadi aku pun segera melancarkan rencana menghilangkan diriku yang lain.

Seperti biasa, sebagai anggota Klub Perfilman, aku selalu membawa kamera saat kegiatan klub berlangsung.

Saat itu, pengambilan foto kegiatan ekskul olahraga untuk perlombaan antar sekolah dan aku mendapat bagian mengambil foto latihan basket di gedung tiga.

Tapi karena seniorku yang seharusnya mengambil gambar di gedung satu tetiba izin, jadilah aku di sana dengan sangat mendadak.

Awalnya aku sangat ragu untuk melakukannya, tapi aku tetap melakukannya.

Aku mengambil foto anak-anak tim inti diam-diam tapi hasil memuaskan. Ketika aku tengah berada di dekat bench bangku penonton, kebetulan aku berpapasan dengan kapten tim basket saat itu.

Nijimuro Shuzo.

"Nijimura-senpai!" Senpai menoleh padaku. Sambil tersenyum, aku mengatakan padanya, "boleh aku minta sesuatu padamu?"

"Apa yang diinginkan anak dari Klub Perfilman?" tanyanya.

"Kau sudah tahu, ya?" Aku pun duduk di sebelahnya, kemudian menjelaskan, "kau bisa membuat Akashi-kun sibuk? Kau tahu, dia belakangan ini populer dan aku ingin memanfaatkan fotonya."

"Hanya itu?"

"Kalau bisa jangan sampai dia tahu, ya? Dan juga...." Aku melompat dari satu bangku, ke bangku yang lainnya sampai mendarat di atas lantai dengan sempurna. "Jangan sampai dia bertemu denganku."

Permintaanku padanya benar-benar diterima. Seijuuro-kun kerap kali diturunkan ke lapangan selama latih tanding bahkan untuk latihan biasa.

Aku pun dengan mudah selalu bisa menghindari kontak mata dengannya, pun bisa mendapatkan gambar terbaik untuk perlombaan antar sekolah nanti.

Pernah sekali aku menatap manik crimsonnya itu. Saat itu aku berada di depan pintu Gym sementara dia tengah duduk untuk mengatur nafasnya.

Ketika cahaya matahari menerpa dari sampingku, aku menoleh dan langsung bertatapan dengan matanya yang begitu memikat.

Jadi aku pun hanya tersenyum sebelum akhirnya pintu Gymnasium tertutup sempurna.

👑

"Oh, foto-foto itu-ssu ka?!" seru Kise. "Pantas saja kepala sekolah memintaku untuk foto juga-ssu."

[St/n] tersenyum kaku. Ia membantin, dan saat itu, Teiko dilanda kerusuhan untuk menjadi pasangan fotomu, Kise-kun.

Gadis itu meneguk teh panasnya, lalu kembali meletakkannya di atas meja santai depan sofa di Salonnya.

👑

Semakin cantik dan bercahayanya seseorang, semakin busuk juga latar belakangnya.

Itu yang siswi lain pikirkan soal diriku, tapi mereka salah.

Ke enam sahabatku yang tahu aku terpuruk karena perkataan itu, mendorongku dari belakang untuk bangkit. Menarik tanganku, membahuku, semuanya mereka lakukan.

Memang bagi siswi lain aku seperti itu. Tapi bagi mereka, aku justru seolah seperti tali merah yang mengikat mereka.

Ikatan yang kubuat di antara mereka, bagi mereka sangat berharga. Aku pun sama, makannya aku tidak peduli selain pada mereka.

Tapi aku tahu, cahaya tidak selamanya akan selalu bercahaya. Ada kalanya mereka berangsur-angsur redup dan menghilang.

Aku pun sama, perlahan aku meredup. Karena aku tahu, seseorang ada yang berusaha memutuskan itu.

Emi, Takahashi Emilly. Awalnya memang hanya perasaanku kalau dia iri bahkan tidak suka padaku, jadi aku tidak peduli.

Tapi justru saat aku semakin tidak peduli itulah, aku sadar semakin besar rasa tidak suka dia padaku.

Posisiku. Bukan hanya karena sebagai cahaya, tapi karena menurutnya aku terlalu banyak menerima perhatian dari sahabat pertamanya.

Ya, dia iri dengan rasa peduli Hanami padaku. Hanami mengerti, makannya kami kerap kali bertengkar dan saling menyalahkan. Tapi akhirnya dia mengerti dan memihakku tanpa aku harus bersusah payah memaksanya percaya padaku.

Sudah kukatakan, bukan? Kalau aku sangat mempercayai sahabat-sahabatku? Jadi, aku pun tidak akan berbohong pada mereka. Juga aku berjanji akan selalu menjadi orang pertama yang bisa mendengarkan mereka selagi seluruh dunia memusuhi dan menjauhi mereka.

Dan yang lainnya karena....

👑

[Akashi Seijuuro-kun....]

Akashi memalingkan pandangannya, ke luar jendela besar yang diterpa cahaya kebiruan rembulan pada malam hari.

Pemuda bersurai red pinkish itu menghela nafas, memundurkan dirinya selangkah hingga bersandar pada tembok di belakangnya.

Sementara Takao hanya menatap gelas sodanya yang mulai berkeringat. Tatapannya begitu nanar seolah tidak ingin mendengar ini lagi.

"Ini salinan yang berhasil aku dapatkan dari database milik [St/n]," ujar Takao seraya memberikan selebaran pada Akashi. "Mendapatkan itu sangat sulit...."

"Aku tahu," balas Akashi cepat.

👑

Aku tidak tahu apa yang terjadi di depanku. Darah tidak ada hentinya keluar dari sana, tubuhnya tidak bergerak.

Apa-apaan ini? Aku sungguh tidak mengerti, bukankah dia-bagaimana bisa?

Bukankah dia ingin bertemu seseorang, lalu sekarang bagaimana bisa... dia ...?

Suara langkah kaki yang cepat tetiba menghampiriku, langkah kaki itu saling bersahut-sahutan. Semakin jelas.

Tapi seketika suara langkah itu terhenti, digantikan suara teriakan cempreng beberapa gadis yang histeris.

Aku menyentuh dahinya, menyibak rambut yang menutupi sebelah wajahnya.

Kurasakan rasa dingin menjalari tanganku. Ketika kubalik telapak tanganku, cairan merah menempel di sana.

Mataku semakin membulat sempurna, aku masih tidak tahu apa ini. Ketika aku ingin kembali menyentuh wajah gadis yang terkapar di depanku, berniat membangkunkannya, gerakanku terhenti ketika kusadari pandangan percaya tak percaya menikamku dari depan.

Ota, Aria, Rai-chan, Taka-chan, dan....

Emi....

Menatapku. Apa? Kenapa? Kenapa kalian menatapku seperti itu? Lalu bagaimana bisa... Hanami... seperti ini?

"Semuanya keluar dari tempat ini!"

Ah... saat itu duniaku serasa terhenti, warna seolah menghilang dari pandanganku.

Kurasakan tubuhku tertarik kala seseorang menarikku keluar. Aku hanya mengikuti itu, sampai diriku di bawa ke Unit Kesehatan Sekolah.

👑

"Siapa... pelakunya, [St/n]-san?"

Gadis yang diajukan pertanyaan itu hanya terdiam. Hanya bergeming, diam. Tidak langsung menjawab.

Melihat itu, Kuroko mengerti kalau memang gadis itu tidak ingin menjawabnya, maka tidak masalah.

Tapi gadis itu menjawab sambil tersenyum, namun pandangannya seolah berkata lain. Ia menjawab, "akulah... pelakunya."

👑

Hari-hari di Teiko kembali seperti biasa, tapi belum ada seorang pun yang mengakui siapa yang melakukan tragedi pendorongan itu.

Aku juga begitu, aku diam tak mengaku dan hanya menghindari pandangan ke lima sahabatku.

Ketika Ota bertanya, aku langsung berlari menjauhinya ; ketika aku berpapasan dengan Aria, aku memilih memutari jalan ; saat ada kelas bersama dengan Rai-chan, gadis itu untungnya memilih diam. Namun saat dengan Taka-chan, aku jadi buta-tuli.

"[St/n], kau sungguh tidak ingin mengakui itu?" tanya Natsu-sen-maksudku, Nakatsu-senpai.

"Aku bukannya tidak ingin mengakui itu, hanya saja... sulit."

Pria berambut spiky itu berdecih. "Terserah kau saja. Ingat, ya! Alibimu itu kuat, aku juga memegang buktinya."

"Masih ada yang ingin kulakulan, Natsu-senpai," ucapku dengan penekanan saat memanggil namanya.

"Mencari pelakunya, ya?"

Aku mengangguk. Hari saat kejadian itu terjadi, aku mengumpulkan semua buktinya sendiri.

Tapi ketika aku tertangkap basah tengah menggenggam secarik surat yang kuambil dari dalam tas Hanami oleh Ota, Aria, Rai-chan, dan Taka-chan-mereka menatapku semakin tidak percaya.

Aku hanya menatap ke empat sahabatku datar sambil melewati mereka bak angin lalu. Tapi di belakang mereka, aku menggenggam kuat kertas itu.

👑

"Malaikat bersayap Iblis, atau Iblis bersayap Malaikat?"

Hening. Pilihan sulit, bahkan untuk Akashi sendiri. Takao yang memberikan pertanyaan itu pun bingung ingin menjawab apa.

Takao berdehem lalu tersenyum kecil. "Bagaimana kalau pertanyaannya kuganti, 'apa kau masih ingin bersama dengan [St/n] walaupun ia sudah mengotori tangannya?'?"

"Tentu saja," jawab Akashi santai sambil balas tersenyum.

Takao memejamkan maniknya. Ia menghela nafas lega, lalu berkata, "syukurlah."

👑

Kisedai terdiam. Salon seketika hanya menjadi ruang kosong. Tidak ada seorang pun yang bergerak walaupun sedikit, bahkan gelas dalam genggaman pun hanya seperti hiasan saja.

Mereka mencoba menerimanya, menerima semua fakta yang ada. Perlahan mereka tahu jawaban dari semua ini.

"[St/n]-san, kau meninggalkan Teiko, ya?" tanya Kuroko polos.

"Ah... begitulah." Hening kembali. [St/n] melanjutkan, "kau pasti tahu dari arsip data siswa di Perpustakaan, Kuroko?"

Kuroko mengangguk. "Ada dua kursi kosong saat itu. Tidak ada yang tahu pasti kemana dua siswi itu, tapi aku menemukan data satu siswi yang keluar dari sekolah."

"Mendengar ceritaku, akhirnya puzzle itu terisi. Data siswi yang keluar itu aku, dan kau pasti tahu siapa lagi data yang hilang itu...."

"Hanazono Miyuki-nano ka?"

[St/n] mengangguk lalu kembali menjelaskan, "saat kejadian pendorongan itu...."

👑

Tubuh Hanami yang mendingin, dibawah salah seorang guru dan terlihat hanya seperti orang pingsan dengan luka kecil di kepalanya.

Mungkin kalian pernah mendengar desas desus soal seorang gadis yang mati karena di dorong dari atap atau seorang gadis yang lupa ingatan dan dikeluarkan dari sana.

Gosip kedua adalah karangan sekolah, itu permintaan Otousan karena saat itu Otousan tahu akulah pelakunya. Tentu saja bayaran tutup mulut ini cukup besar. Dan sebagai tambahannya, aku juga harus keluar dari Teiko.

Mulai dari sinilah kenapa aku bisa menggunakan seragam SMP yang berbeda.

Aku pindah di sekolah yang sama dengan Takao dan mulai tinggal dengannya dan keluarganya.

Sebetulnya, ada alasan lain kenapa setelah hampir setengah tahun aku tidak sekolah dan tetiba masuk ke SMP yang sama dengan sepupu menyebalkan itu.

Okaasan juga tidak menyangka ini, terlebih dia mendengar kalau aku tahu ketika ia melihatku begitu tersakiti.

Pandanganku berbeda, sangat berbeda. Aku tidak pernah tersenyum lagi seperti dulu, dan pandanganku sangat jatuh.

Hari pertama kepindahanku ke rumah keluarga Kazunari, Takao berkata, "aku tidak ingin gadis lemah ini tinggal denganku!"

Gadis lemah ...?

"Dia juga pasti merepotkan dan cengeng."

Merepotkan dan cengeng ...?

"Aku yakin dia pasti mirip dengan adik perempuanku."

Itu memang terdengar seperti gumaman, tapi aku jelas mendengarnya. Disamakan? Apa baru saja dia menyamakanku dengan seseorang?

Aku tidak tahan lagi! Aku pun mendekati Takao perlahan. Begitu kutatap matanya dengan sengit, kulempar pukulan telak langsung ke ulu hatinya dengan sikutku.

Saat tengah menahan sakit sampai terjatuh itu, aku langsung duduk di atas tubuhnya dan melayangkan beberapa pukulan ke wajahnya. Walaupun begitu, Takao tetap berusaha menghindarinya namun tidak membalas.

BUK!

"Kau jangan pernah menyamaiku!"

BUK!

"Tidak peduli siapapun dia!"

BUK!

"Jangan juga mengatakan seolah kau tahu apa yang sudah terjadi padaku!"

BUK!

"Aku membunuh temanku dan ayahku sekarang sedang dalam pengadilan karena kasus pengendapan dana!"

BUK!

"dan kau seenaknya mengatakan kalau aku seperti itu, HAH?!"

BUKKK!!

Aku tidak tahu pasti bagaimana wajah Okaasan saat itu. Kuat? Mungkin itu kurang cocok untukku walaupun aku tidak menangis (lebih tepatnya, aku menahannya).

Kedua orang tua Takao bahkan langsung terdiam dan tidak berusaha menghentikanku memukuli Takao kala mendengar perkataanku....

... Okaasan juga.

Aku menggenggam kerah baju pemuda dengan mata elang itu. Menggenggamnya kuat. Aku menunduk.

Sungguh, sakit hati ini kembali teringat itu semua. Bukan hanya membunuh sahabatku sendiri, bahkan menyusahkan Otousan.

"Aku mohon... kau diam saja," ucapku lirih.

"Kau ternyata sangat positif, ya?"

Aku menaikkan kepalaku, menatap sepupuku dengan lecet sekitar wajahnya. Tapi pemuda itu tersenyum.

Aku bangkit, lalu terduduk disampingnya. Aku saat itu masih terus menatap lurus mata keabu-abuan miliknya.

Begitu Takao ikut terduduk di depanku, ia menyentuh pucuk kepalaku lembut dan tersenyum.

👑

"Kau tidak ingin mengatakannya?"

Takao menatap Akashi bingung. Namun akhirnya ia mengerti maksud pertanyaan itu, jadi ia pun mengabaikannya sambil meninggalkan Akashi di belakang.

"Tidak, ya?" ucap Akashi lagi sambil tersenyum miring.

"Aku sudah selesai. Jadi aku kembali saja, ya?" balas Takao tanpa memutar tubuhnya menghadap Akashi dan tetap berjalan.

"Jangan lupa membuang alat penyadap itu, kau bisa menjadi korban pembunuhan [St/n] yang ke dua."

"Ah... aku tahu itu. Kalau begitu, ja."

👑

Selama dua tahun aku terus berada disamping Takao. Tapi Takao seolah seperti bayangan untukku, atau pelayan? Menempel terus padaku dan berdiri di belakangku.

Dia terkenal, karena wajahnya. Lalu tetiba membawa seorang gadis ke sekolahnya dan berkata dengan lantang kalau aku ini sepupunya.

Tidak ingin kejadian seperti dulu terulang lagi, jadi aku hanya menjadi siswi yang tenang sambil menenggelamkan diriku dalam tumpukkan buku.

Banyak adik kelas bahkan senior yang sudah mengatakan perasaannya padaku, tapi selalu aku tolak. Bahkan karena aku menolak mereka, beberapa gadis melabrakku.

Toh itu bukan salahku, aku menolaknya lantaran tidak memiliki perasaan pada mereka, jadi aku melawan mereka.

Aku juga sering menemui beberapa pembully di sekolah baruku, tentunya aku berkata halus membela orang yang dibully itu.

Bahkan aku tidak luput dari hal itu. Berkali-kali aku diperlakukan seperti itu, berkali-kali aku melawan mereka kembali.

Sampai pada puncaknya, tepatnya tahun ketiga SMP, dimulainya panggilan itu. Panggilan yang berawal dari diriku yang suka melawan siapa pun.

Ratu sekolah.

Bahkan panggilan itu terus berlanjut saat aku menjadi siswi SMA Shutoku. Senior yang mencoba memojokkanku, bahkan aku bisa membuatnya di drop out dari sekolah dengan mudah.

"Dasar wanita sadis."

Aku melirikkan ekor mataku menatap pemuda yang sedikit lebih tinggi dariku itu.

"Apa?"

"Kau sudah menguasai sekolah, lalu nama ayahmu akan segera dibersihkan karena kau bekerja di belakangnya."

"Lalu?"

"Kau tidak ingin kembali?"

"Kembali?" Aku mendengus, lalu tersenyum miring. "Melihat kebelakang itu bukan diriku. Aku hanya akan melanglah terus dan melawan semuanya, Takao."

Takao tersenyum lebar lalu tetiba merangkulku dan mengacak rambutku. "Kau ini benar-benar menggemaskan seperti itu!"

"Berhentilah, Bakao!"

👑

"Jadi kau gadis yang selalu bersama Takao itu-nano ka?" tanya Midorima tidak percaya. "Aku baru tahu ini-nanodayo."

"Wajar saja. Aku di Shutoku hanya satu tahun, lalu keluar meneruskan pekerjaan Otousan di belakang layar."

"Aku kembali!"

Semuanya menoleh ke arah pintu Salon, tepat berdiri di sana Takao dengan senyum lebar konyolnya.

Mungkin bisa dikatakan hampir selama [St/n] bercerita, pemuda itu menghilang entah kemana.

[St/n] melirik ke arah Takao, curiga. "Kau habis menemui seseorang, ya?"

Glek! Takao menelan ludahnya sendiri kasar. Tapi ia tetap memasang wajah tenang, lalu berujar, "kau tahu kalau aku tidak suka mendengar cerita itu, 'kan?"

Tidak merasa curiga dengan apa yang baru saja dikatakan Takao, [St/n] dengan cepat berpikir demikian.

Takao memang sesungguhnya tidak menyukai cerita itu. Baginya seolah [St/n] sosok gadis yang lemah mengingat-ngingat bahkan menceritakan ulang masa lalu. Seakan mengatakan kalau gadis itu menyalahkan masa lalu.

"Oh, iya... [St/n]," panggil Takao. "Besok pulang kampus, Akashi-kun akan langsung membawamu."

"...."

Eh?!

















Chapter 45 owari! Jadi ceritanya... Reader-tachi ngebunuh sahabat sendiri? Sip! 😂😂👌 chapter macam apa sih ini, random bener sudut pandangnya 😃 kalian paham, tak? Enggak? Yasudah, saia juga soalnya 😆 intinya ini cerita satu sisi~ beda sudut pandang, beda pandangan. Kelanjutannya bukan sama Reader-tachi tapi sama... adalah pokoknya 😂 bukan karakter baru, kok 🙂 udah keluar cukup... lama (saia rasa 😂).

Next chapter review :333 persiapan festival kampus, event sakral untuk makasiswa Jepang 😃 Komaba Matsuri! Disini Kiseki no Sedai bakal jadi boyband sementara 😂😂🔫 yang merintah? Siapalagi kalo bukan... Reader-tachi XD eh, Akashi gak ikutan :""" kenapa? Sibuk. Udah. Gitu aja.

Dan BOOYEAH! Mikajeh kembaleh! Yuhu~ wkwkwk :v oke, saia retjeh 😂 maap keun Mikajeh yeu, Reader-tachi :""" saia lupa dengan work ini X'D

Oh dan... sepertinya sudah banyak yang pengen Akasei cepet kawin-eh, maksud saia itu nikah :v iya itu lah pokoknya (oke, abaikan)

Mikajeh gatau perkiraan di chapter berapa itu... apa tuh... itunya... nikahnya, iya :v/ jadi sabar aja~

Sekian retjeh-retjeh dari saia 😗 tolong vote dan krisarnya yak manteman 😚😚😚

Terimakasih

xoxo,
Kajeh-san-san

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro