(40)
♠♠♠
Dimana kau, [St/n]?
Kini Akashi terpaku bingung. Ia benar-benar menyesal melepas pandangannya dari calon istrinya itu. Kalut dirinya mencari gadisnya itu.
Padahal ia bisa memberikan cincin yang lebih dari yang setahun lalu pria itu berikan. Tapi, kenapa gadis itu sampai keras kepala begitu hanya untuk sebuah cincin?
"Apa [St/n]cchi tidak bisa dihubungi-ssu ka?" Kise memberikan ide.
Takao menggeleng sebagai balasan dan ia menjelaskan, "Iblis Kecil itu tidak akan menjawabnya."
Untuk kesekian kalinya Kisedai menghelakan nafasnya panjang, berusaha berpikir bagaimana menemukan [St/n] di atas kapal pesiar ini.
"Bagaimana kalau lewat GPS-nanodayo?" kini Midorima memberikan saran.
"Tidak bisa juga, dia tidak pernah menyalahkan GPS-nya juga. Terlebih terakhir aku menghubunginya, ponselnya sudah mati," jelas Takao panjang–lebar.
Akashi kini bertambah frustasi. Apa tidak ada ide lain? Mungkin kalau ia tahu hal ini sejak awal, ia pasti sudah meletakkan alat pelacak di dalam sol sepatunya.
Takao tentunya tahu ini, makannya di saat mereka tengah pergi bersama—pria bersurai hitam itu selalu menyempitkan jarak kala pasti dalam keramaian kecil saja [St/n] bisa menghilang.
Bahkan saat di mansionnya sendiri. Terakhir kali suasana mansion jadi sangat ramai hanya karena [St/n] disangka belum kembali. Menghilang.
Ayahnya, [Ft/n], yang saat itu pulang lebih awal untuk makan malam bersama, malah tidak mendapati sosok putrinya.
Ayahnya yang khawatir menunggu putrinya itu dan mencari-carinya bahkan ke rumah-rumah temannya yang sang Ayah tahu.
Namun, nihil. Saat itu [St/n] benar-benar tidak ditemukan keberadaannya. Sampai menunggu jam 11 malam, satu tempat yang tidak sang Ayah periksa—
—kamar pribadinya.
Para housekeepers yang bekerja mebgkonfirmasikan jikalau [St/n] belum kembali sama sekali. Toh, tidak terdengar langkahnya saat kembali.
Sesaat ayahnya menaikkan tangannya berniat ingin membuka pintu, tiba-tiba saja pintu itu terbuka.
Tepat di sana putrinya berdiri mematung dengan wajah masamnya khas orang baru bangun tidur.
Ya, salahkan housekeepers di rumahnya yang tidak pernah langsung membuka masuk ruangannya hanya karena alasan kesopanan.
Padahal [St/n] sudah bilang agar mereka masuk saja dengan mengetuk pintu. Namun, saat tidak ada jawaban dari dalam, mereka bisa langsung masuk saja.
Toh, dalam hal ini bisa saja terjadi hal-hal tak terduga seperti orang yang ingin menculiknya. Anggap saja sebagai alasan keselamatan dan keamanan [St/n] sendiri.
"Aku akan mencarinya lagi, kalian cari informasi lagi. Tanya seluruh orang yang tiga jam lalu berkunjung ke taman ini," perintah Akashi.
"OSU!"
👑
Akashi berlari cepat menuju cabinnya, kemudian menuju ruang makan di rooftop—dimana keluarganya berada.
Begitu Akashi menghentikan langkahnya yang tergesa-gesa itu, tiba-tiba ibunda [St/n] menyapa, "Seijuro-kun, kau kacau sekali. Ada apa?"
"Maaf mengganggu makan malam ini. Tapi, apa dari kalian ada yang melihat [St/n]?" tanya Akashi to–the–point.
Seluruh warga meja makan saling melirik. Kecuali Senri, gadis itu hanya menikmati wine miliknya dengan santai.
Shinju mengerutkan dahinya, ia kemudian bertanya, "bukankah kalian bersama saja dari tadi?"
Akashi muda menggeleng. "Maaf, aku kehilangannya tadi," ucapnya tanpa menatap ibu tirinya itu.
"Anata, aku akan mencarinya," sahut ibunda [St/n], raut wajahnya tersirat kekhawatiran yang mendalam.
Suaminya itu hanya mengangguk. "Aku akan meminta pengumumannya pada kapten awak ini," ucapnya pula.
"Aku akan membantu," Masaomi menimpali. Ia menolehkan pandangannya pada istri keduanya itu dan berucap, "kau temani Haha ue—"
"Enggak," Shinju berkata tegas. Akashi muda bersidekap, terkejut. Wanita ini menatap Akashi dalam-dalam. "Aku akan mencarinya juga. Senri-chan, kau temani Haha ue disini."
Begitu berkata seperti itu, Shinju lekas pergi diikuti ibunda [St/n] dan Akashi sendiri. Ibunda sang gadis begitu terlihat cemas.
Sementara Shinju—wajahnya terlihat sangat tegar. Begitu serius tatapannya.
👑
Sesampainya di Taman Mawar—tempat Kisedai dan Kagami berkumpul tadi—kini hanya terdapat tiga orang.
Akashi dan ibunya, kemudian ibunda [St/n] sendiri. Shinju bertanya-tanya soal informasi yang di dapatnya.
Wanita ini sedikit menautkan kedua alisnya dan bertanya heran, "cincin?"
Akashi mengangguk. "Cincin yang kuberikan," jawabnya.
"Oh, jadi itu darimu?" ibunda [St/n], [Mt/n], tersenyum penuh arti. Ia menundukkan sedikit kepalanya dan berucap sedikit lirih, "pantas saja dia tidak pernah ingin melepasnya walaupun sedang membersihkan kukunya."
Akashi mendengarkan dengan baik. Ia menyimak.
"Aku jadi teringat dengan cincin yang kuberikan padanya saat berumur 9 tahun. Kau tahu? Dia tidak pernah melepaskannya selama 5 tahun sampai jarinya terluka."
Akashi mengerutkan alisnya. Itu artinya untuk benda sepenting itu, [St/n] tidak akan ceroboh. Lalu kenapa bisa terlepas begitu saja dan menghilang?
Namun satu hal yang Akashi tahu. Walaupun hanya cincin, itu begitu berharga untuknya. Ia jadi teringat kala waktu itu [St/n] pernah berkata, "apapun yang kau berikan, selama itu dari orang yang aku suka. Itu akan menjadi benda yang paling berharga."
Suara telepon berdering kencang. Akashi yang tersadar dari lamunannya segera meraih ponsel dalam sakunya.
Ia menjawab dengan nada kesal, "apa!?"
[Akashi-kun, seseorang melihat [St/n]. Dia menuju cabin pembakaran sampah]
Mendengarnya Akashi membulatkan maniknya sempurna. Begitu mendapati kabar yang menurutnya buruk itu, ia segera menjelaskannya debgan singkat dan pergi ke cabin terbawah kapal.
👑
"Obaa-sama, apa kau ingin minum sesuatu?" tawar Senri dengan suara yang seakan di lembut-lembutkan.
Ume Obaa-sama menolak dengan menggelengkan kepalanya. Ia berpikir sembari menatap langit, semoga [St/n]-chan segera ditemukan. Firasatku buruk.
Begitu Senri kembali setelah mengambil beberapa kudapan manis dan meletakkannya di atas meja, ia duduk menyandarkan diri di atas sofa yang berada di rooftop.
"Senri!"
Sebuah suara menyapa indra pendengarannya. Senri dan Ume Obaa-sama menengokkan kepalanya bersamaan.
Netra mereka mendapati Takao berdiri di belakang mereka dengan wajah yang tampak marah.
Takao berjalan cepat ke arah Senri dan menarik tangannya. Senri pun menurut dan bertanya gusar, "apa-apaan kau?!"
"Kembalikan cincin itu, atau kau terima akibatnya," ucap Takao mengancam.
Senri menikkan sebelah alisnya. Ia kemudian tertawa lepas. "Apa yang kau katakan? Kau kira aku mencurinya?" tanyanya.
"Iya, aku jelas melihatmu saat menarik keluar cincin itu."
"Ada apa ini?"
Takao dan Senri menoleh bersamaan. Kini mereka tengah di tatap Ume Obaa-sama dengan tatapan yang meminta penjelasan.
Takao kembali melirik Senri, menatapnya seakan-akan mengucapkan, kau yang katakan atau aku yang mengatakannya?
Senri mengerutkan dahinya lebih. Ia menatap Takao sekilas dan kembali menatap neneknya itu. Ia menjawab, "tidak apa-apa, hanya Takao-san mengira—"
"Kau mengambil cincinnya." Takao menyela cepat. Kini Senri dan neneknya itu menatap Takao.
Keringat dingin menuruni pelipis gadis itu, sementara Ume Obaa-sama kembali memberikan raut bingung, tidak mengerti.
"Cincin apa, Taka-chan?" tanyanya.
"Benda yang [St/n] cari—cincin dari Akashi-kun—hilang. Dan gadis yang menyukai Akashi inilah yang mencurinya!" sarkas Takao sembari menunjuk Senri.
"I-itu tidak benar Obaa—"
Manik Senri membulat sempurna. Kini netranya menatap kejut benda yang baru saja Takao tarik dari lehernya.
Yap! Sebuah kalung cincin. Tepat itu cincin milik sepupunya Takao, [St/n]. Cincin emas dengan hiasan beberapa permata kecil yang mengelilinginya berwarna ruby.
"Tentu saja tidak ada yang melihatnya. Ingin dicari dalam ruanganmu sekali pun tidak akan pernah ketemu." Takao tersenyum jahil, menaikkan sebelah sudut bibirnya.
"Ba-bagaimana kau… tahu?" Senri berucap tak percaya.
"Kau mencurinya, Senri-chan? Kenapa?" sesaat Senri menatap neneknya itu. Namun, gadis ini tidak memberikan jawaban.
Ia hanya menunduk kemudian menatap Takao menuntut penjelasan atas pertanyaannya.
Takao menarik kalung itu sampai putus, kini cincin itu aman bersama dengannya. Ia memasukkan ke dalam sakunya dan kembali menatap Senri.
Takao menjelaskan, "[St/n] berkata, 'sembunyikan benda yang ingin kau sembunyikan di tempat tak terduga' dan tempat itu pasti mencolok, itu poin pertamanya. Lalu poin keduanya, pastinya selalu dibawa."
Takao beranjak pergi, langkahnya kini ikut menyambut sepupunya yang sibuk mencari-cari cincinnya hampir lebih dari dua jam lamanya.
👑
Tetesan keringat tiada henti-hentinya meluncur melewati pelipis gadis itu. Tangannya yang sudah hitam dan kukunya yang sudah tidak berbentuk itu tidak ia pikirkan.
Kini satu-satunya yang bisa ia pikirkan hanya menemukan cincin itu—cincin yang Akashi berikan untuknya.
Mungkin banyak orang berpikir dia gila hanya karena sebuah cincin. Tapi, tak peduli dengan hal itu!
Alasan dirinya mencari cincin itu karena Akashi. Yap! Karena calon suaminya itu.
Hadiah apapun selama itu dari seseorang yang menurutnya berharga, sesederhana apapun benda itu—itu akan menjadi benda yang paling berharga.
Dan kalaupun benda itu hilang, ia akan mati-matian mencarinya.
Terakhir kali saat Takao memberikannya kalung yang ia dapat dari stand menembak dan kalung itu hilang terjatuh ke dalam kolam di rumahnya.
Tanpa pikir panjang [St/n] langsung melompat ke dalam kolam itu. Tanpa diduganya, kolam itu lebih dalam dari tingginya.
Kalaupun saat itu Takao tidak ada, entah apa yang terjadi nantinya. Mungkin saja gadis itu sudah mati karena kehabisan nafas.
Bahkan saat [St/n] sudah aman, gadis itu tetap bersikeras untuk mencari kalung itu.
"[St/n]!"
Tanpa menoleh, tepat saat [St/n] ingin berdiri. Akashi langsung datang dan menarik dirinya. Memegang tangan gadis itu kuat-kuat.
"Apa yang kau lakukan?! Astaga! Kau itu—"
"Sakit, Sei." [St/n] berucap pelan. Seketika langsung membuat Akashi sedikit tenang.
Akashi menarik tubuh mungil gadis itu. Memeluknya dalam dekapan hangatnya.
Akashi benar-benar khawatir. Ia memeluk [St/n] kuat-kuat—seakan-akan tidak akan pernah lagi melepaskan gadisnya itu.
Akashi mengelus pucuk kepala belakangnya, membuat gadis itu seketika bisa merasakan betapa khawatirnya calon suaminya itu.
"Maafkan aku, Sei. Karena membuatmu khawatir. Maaf."
[St/n] perlahan menaikkan kedua tangannya tepat di atas punggung Akashi. Gadis itu menepuk-nepuk pelan—membuat Akashi seketika merasakan perasaan tenang.
Begitu pria bermanik crimson itu merasa tenang, ia melepaskan pelukannya. [St/n] menatap kedua wanita di depannya dan bertanya, "kenapa Okaa—"
"[St/n]!" dengan cepat, ibunda [St/n] langsung memeluk putrinya itu penuh kasih sayang. Ia berucap khawatir, "kau—kenapa pergi ke sini!? Kau membuat Okaasan khawatir, [St/n]! Okaasan pikir kau akan sampai mencarinya ke dalam pembakaran sampah."
[St/n] bersweatdrop. Memang tadinya aku ingin melakukan itu, Okaasan, batinnya.
Ya, dia memang ingin melakukannya—tepat setelah kantung sampah yang terakhir ini dia bereskan.
Namun, sepertinya tidak jadi. Toh, ia sudah membuat banyak orang khawatir.
Ibunda Akashi, Shinju, berjalan mendekati putranya itu. Ia menyentuh hangat tangan putranya.
"Sei, entah kau akan mendengarkan ini atau tidak. Satu hal yang harus kau ketahui…." wanita itu menundukkan kepalanya. Namun, segera ia dongakkan. "Dari pandanganku, [St/n]-chan itu gadis yang kuat. Kau tidak perlu khawatir, itu juga yang ia inginkan, bukan?"
Akashi mematung terkejut. Perkataan ibunya memang benar, memikirkan hal itu—membuat Akashi sadar—sosok ibu kandungnya tidak pernah hilang.
Itu yang aku cari selama ini, akhirnya aku menemukannya…
Sosok yang kuat, sosok yang menerima risiko apapun, sosok yang selalu memberikan dukungan, sosok yang selalu tersenyum dan menyemangatinya kala dirinya tengah terjatuh.
Dan sosok itu—
—sudah lama ia dapatkan.
"Mungkin aku tidak bisa menjadi ibu yang kau harapkan, tapi—"
"Arigatou, Okaasan." Akashi tiba-tiba memeluk ibu tirinya itu.
Kalau saja ibunya tidak mengatakan hal itu, mungkin selama ini—ia akan terus-terusan mencari sosok itu.
Harapan ia…
…jawabannya…
…selama ini…
…selalu berada di sisinya.
Namun—
—ia tidak pernah menyadari itu.
Shinju yang terkejut langsung membalas pelukan putranya itu. Astaga! Ini pertama kalinya Akashi memanggilnya seperti itu, rasanya benar-benar—hangat.
Untuk pertama kalinya, ia benar-benar menjadi seorang ibu.
Mungkin ia tidak bisa memberikan dorongan pada Akashi. Namun, ia bisa selalu memberikan rasa tenang dan saran yang baik.
Sekilas Shinju melirikkan pandangannya ke arah [St/n]. Gadis itu tengah tersenyum lembut dengan memeluk lembut hangat tangan ibunya.
Shinju bergumam, "arigatou, [St/n]-chan."
Kalau aku tidak pernah ingin melangkah lebih dulu dan memulainya, lalu siapa lagi?
👑
Setelah samapi di dalam cabin, [St/n] segera mandi dan Akashi sudah mengantarkan pakaian bersih yang baru saja ia beli untuknya.
Begitu [St/n] melangkah keluar dengan masih mengenakan bath robe. Akashi sudah menatapnya dari jauh.
Pria itu kini duduk di atas meja yang penuh dengan dokumen—bekerja, pasti—dan baru kali ini [St/n] melihat pria itu mengenakan kacamatanya selagi kerja di depan laptop.
"Apa yang kau lakukan, Sei?" [St/n] bertanya datar dengan memincingkan pandangannya.
"Bekerja, tentu saja."
"Iya, aku tahu itu."
Akashi mengangkat sesuatu—shopping bag. Entah apa maksudnya menunjukkan hal itu. Itu yang gadis itu tanya-tanyakan dalam gemercik pikirannya.
"Pakaianmu," ucap Akashi sembari menaikkan sebelah sudut bibirnya.
[St/n] menghelakan nafasnya. Dan menaikkan tangannya—bermaksud agar Akashi memberikannya.
Namun, Akashi bergeming diam dalam posisinya. Ia tetap mengangkat shopping bag itu tapi tidak ia berikan.
"Kau yang butuh, harusnya kau yang ambil sendiri, [St/n]," ucapnya masih dengan senyuman yang sama.
Oke! [St/n] mengalah. Daripada dirinya berlama-lama mengenakan pakaian keburu ada seseorang yang tiba-tiba membukakan pintu, itu akan lebih berbahaya tentunya.
[St/n] mendengus sebelum melangkahkan kakinya mendekati Akashi. Pria itu kini berdiri dengan menyodorkan shopping bag berisi pakaian itu.
Begitu [St/n] tengah ingin meraihnya, Akashi justru menjauhkan shopping bag itu. Kelakuan konyolnya itu benar-benar membuat urat marahnya terlihat jelas.
"Sei! Cepat—"
Belum selesai bibir itu berbicara, Akashi sudah mengecupnya. Dengan tenaga seadanya, [St/n] berusaha mendorong tubuh atletis milik Akashi.
Namun, pria itu bergeming diam. Ia tidak bergerak seinch pun. Semakin [St/n] berontak—berusaha melepaskan ciuman itu—semakin Akashi mendekapnya.
Akashi melepaskan ciumannya. "Jangan coba-coba menghilang tanpa jejak lagi, Tuan Putri," ucap Akashi sambil melingkarkan tangannya pada pinggang [St/n].
[St/n] mendengus dan memutar bola matanya. Gadis ini tersenyum miring. "Oh, sepertinya Tuan Muda Akashi ini tidak mau kalah dengan dirinya yang lain," balasnya.
Akashi mengerutkan keningnya, bingung. "Maksudmu? Apa dia meminta sesuatu darimu?"
"Tidak, dan…." [St/n] memundurkan dirinya selangkah dan menunjukkan shopping bag yang ia berhasil rebut. Ia meneruskan, "aku terima pakaiannya. Terima kasih banyak dan maaf merepotkanmu, Tuan Muda Seijuro."
Gadis itu mengakhirinya sembari tersenyum miring. Begitu berbalik, ia tertawa kecil entah pada siapa.
Sementara Akashi masih memandang punggung [St/n] sampai kembali ke dalam kamar mandi. Dia berpikir-pikir tentang apa yang dikatakan gadisnya itu.
Tidak mau kalah dari diriku yang lain?
👑
Setelah jam makan malam usai, kini [St/n] memilih meringkukkan dirinya di atas sofa dalam cabinnya. Mulutnya tak berkesudahan memakan roti kering dengan saus coklat di atasnya.
Pandangannya begitu kosong, lebih tepatnya seperti orang yang kehilangan jiwanya. Ia lebih seperti—melamun—mungkin.
Akashi memasuki cabin, netranya mendapati calon istrinya itu seperti patung hidup yang tengah melahap habis roti kering di hadapannya.
Gadisnya tidak menoleh sama sekali. Ia benar-benar melamun sembari makan dengan tenangnya, mengabaikan keberadaan Akashi.
Akashi menghela nafas panjang, ia mengerti kenapa [St/n] seperti ini. Pria ini tersenyum dan mendekati calon istrinya itu.
Ia menyilangkan kedua tangannya di atas penyandar sofa yang tidak terlalu tinggi dan rata itu.
Akashi menundukkan kepalanya. "[St/n]," panggilnya.
Begitu [St/n] mendongak dengan roti kering kecil pada mulutnya, Akashi ikut memakan roti itu langsung dengan mulutnya.
Beberapa detik berlangsung. Roti kering yang Akashi gigit dari mulut calon istrinya itu sudah habis, begitu pula dengan [St/n] sendiri.
"Okaeri, Sei." kata itu diucapkan dengan nada yang datar, tidak bersemangat, dan sangat lesu.
Akashi menaikkan kedua alisnya dan tersenyum simpul. Ia kemudian berjalan dan duduk di sofa yang tak jauh dari calon istrinya itu.
Selang beberapa saat, [St/n] ternyata masih mengabaikan keberadaan Akashi.
"[St/n]." untuk kesekian kalinya Akashi memanggil gadis itu.
Pria ini berjongkok di depan [St/n] dan meraih tangan kanannya. Ia kemudian melingkarkan sesuatu di jari manisnya.
Begitu Akashi menyingkirkan tangannya. [St/n] dibuat terkejut. Itu cincinnya! Itu cincin yang ia cari-cari selama hampir seperempat hari ini.
"Bagaimana… kau—"
"Takao yang menemukannya."
"Eh!?"
👑
"Bagaimana keadaan, [St/n]?"
Akashi menoleh. Setelah mengantarkan gadisnya kembali ke cabin, kini ia harus sibuk membeli beberapa pakaian ganti untuk calon istrinya itu.
"Baik-baik saja, tapi ia pasti memikirkan soal cincin itu," jawabnya akhirnya.
Tak lama kemudian, ia sampai tepat di depan butik baju ternama. Tidak membutuhkan waktu lama, setelah Akashi menanyakan pesanannya pada seorang kasir yang berjaga. Wanita itu segera memberikan shopping bag dengan pakaian yang sudah ia pilih.
Wanita itu tidak mengalihkan pandangannya dari Akashi, tidak pula menghilangkan senyuman dan rona merah di pipinya.
Setelah menerima shopping bag itu, Akashi berbalik pergi.
"Lalu, apa yang kau lakukan, Takao? Aku yakin kau punya tujuan tertentu," sahut Akashi kembali.
Ya, tepat. Memang bukan kebetulan Takao bisa berpapasan dengan Akashi di perjalanan sesaat setelah dirinya usai bermain di studio game centre.
Dan Akashi juga tidak berpikir ini kebetulan.
Takao merogoh kantung celananya, dikeluarkannya sebuah kalung dengan bandul cincin yang Akashi kenal.
"Berikan padanya, aku memohon padamu," ucapnya sembari menyerahkan cincin itu.
Akashi menerimanya kemudian Takao melanjutkan, "jangan katakan kalau aku yang menemukannya."
"Bagaimana kau tahu kalau Senri yang mengambilnya?" tanya Akashi akhirnya, penasaran. "Kau pasti sangat menyukai [St/n] sampai-sampai sangat teliti memantau orang-orang di sekitarnya."
Takao berbalik, mengabaikan. Ia berjalan sembari memasukkan sebelah tangannya dalam saku dan melambaikan sebelah tangannya yang lain.
"Sampaikan kata-kataku, 'jangan sampai aku mengatakan hal itu'."
Akashi mengendus dan menaikkan sebelah sudut bibirnya. "Akan kusampaikan," balasnya.
Kata-kata itu—kata-kata yang sangat [St/n] tidak ingin dengar keluar dari mulut Takao—kata-kata sederhana yang Akashi tahu bahkan bisa melukai hati kecilnya kala dirinya kalut menyayangi Takao sebagai sosok seorang 'kakak' ketimbang sepupu.
👑
[St/n] menghelakan nafasnya panjang. "Astaga, dia itu…." Dialihkannya pandangannya dari Akashi.
[St/n] mengigit-gigit ibu jarinya. Cemas akan perkataan Takao yang mengancamnya akan mengeluarkan kata-kata yang amat ia benci itu.
Ia berdecih. "Apa-apaan dia itu!? Seenaknya mengancamku seperti itu!" ucap [St/n] kesal sendiri. Wajahnya kini semerah tomat dan pipinya ia kembungkan.
Gadis itu pula menyilangkan kedua tangannya di antara perut dan pahanya—dirinya masih meringkuk di atas sofa.
Akashi tertawa kecil. Lucu rasanya melihat kelakuan calon istrinya yang kekanak-kanakan namun terkesan imut itu.
Ingin rasanya aku mencubit pipinya itu, batin Akashi.
Tanpa Akashi sadari, ia benar-benar meluapkan isi pikirannya. Dicubitnya kedua pipi calon istrinya itu dengan gemas—tidak menyakitkan, begitulah.
"Bersemangatlah, [St/n]. Itu lebih cocok untukmu," sahut Akashi sembari meletakkan tangan di atas kepalanya, lembut.
"Meow!"
[St/n] dan Akashi spontan menoleh ke sumber suara. Manik [e/c] [St/n] berbinar-binar, ia spontan menundukkan dirinya dari atas sofa dan meraih bola bulu itu.
Yap! Seekor kucing Exotic Shorthair berbulu lebat berwarna putih dengan bulu pada ekornya dan kedua telinga kecilnya sedikit kekuningan.
[St/n] mengelus-ngelus lembut kucing itu. Kucing itu pun membalas kelembutan [St/n] dengan mengeluskan kepalanya pada tangan tuan barunya itu.
"Kawaii, Sei!" ucap gadis itu senang. "Dia tersesat? Boleh dia tetap di sini sampai kita pulang?" tanyanya berantai. Senyuman bahagia tidak sirna pada wajahnya.
Akashi menaikkan sebelah sudut bibirnya. "Bagaiaman, ya?" ucapnya sedikit menggoda.
[St/n] mengerutkan keningnya dan menunjukkan mata besar berbinar itu pada Akashi bersamaan dengan kucingnya itu. Menatap memohon.
"Ayolah, Sei. Aku mau bawa pulang dia."
Tidakkan kau pikir itu kucing punya orang lain—sudah ada pemiliknya gitu, [St/n]? Batin Akashi.
Akashi bersweatdrop dan menghelakan nafasnya singkat. Ya, dia tidak bisa menolak permintaan sederhana gadisnya itu.
"Baik—"
"Yeay!"
Belum selesai aku menjawab, lho!
"Tapi ada syaratnya." [St/n] berkedip beberapa kali. Menunggu Akashi memberitahu apa syarat hanya untuk seekor kucing agar berada di cabin ini.
"Kau…."
Chapter 40 owari! Hayo, Akashi ngasih syarat apa? Ada yang mau coba tebak? Oh, gimana chapter ini, BTW? Siapa aja yang bener nebak benda itu cincin :v/ ???
Next chapter review! 🙋 Jadi gini, gan '-' Reader-tachi bakal diubah! Yeay! Penampilannya maksudku :3 naaah! Akasei bakal liat sisi Reader-tachi yang lain '3' kan udah tuh Reader-tachi versi anak sekolah :3 versi Tuan Putri kayah :v versi males-malesan di rumah XD versi jadi hacker jadi-jadian(?) <(") terakhir versi… di chapter berikutnya :v
Tolong vote dan komennya yak :3a senengin saia lah~ :v oke ini bonus 😂 cause saia salah itung hari :"""
Terima Kasih
Neko Kurosaki
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro