
(35)
♠♠♠
Akashi menaikkan sebelah sudut bibirnya. Ia sedikit terperangah melihat penampilan tunangannya yang simple seperti tulisan pada jaketnya itu.
[St/n] risih, ia berujar, "jangan menatapku seperti itu!" Ketus.
Akashi terkekeh, kemudian maju beberapa langkah sembari memasukkan kedua telapak tangannya dalam saku.
"Kenapa?" tanya pria itu polos.
[St/n] mendengus. "Kau terlihat seperti menginginkan sesuatu, Sei," balasnya kemudian.
"Kalau aku katakan memang menginginkan sesuatu, bagaimana?"
[St/n] melengos sembari menaikkan sebelah sudut bibirnya dan terkekeh pelan, kemudian kembali membalas, "sudahlah, jangan menggodaku. Ayo, semuanya menunggu, lho." Sambil meninggalkan Akashi dibelakang.
Dalam beberapa langkah, Akashi sudah bisa menyamakan langkahnya tepat di belakang [St/n]. Saat gadis itu tengah berjalan, pria bermanik crimson itu menariknya dan mencium singkat bibir mungilnya.
[St/n] kembali dibuat terkejut, manik [e/c]nya membulat sempurna. "Sei!" teriaknya. "Ini masih—"
"Sudahlah cepat, yang lain menunggu," selanya cepat. Akashi berjalan mendahului gadis itu sambil tersenyum penuh kemenangan.
[St/n] memutar bola matanya. Ia kembali melangkahkan kakinya—menyusul langkah besar Akashi di belakang.
Astaga! Dirinya benar-benar tidak mengira. Setelah dengan memanggil namanya kemudian mencium tepat di bibirnya langsung tidak berhasil, kali ini dia memberikan serangan dadakan dengan tetiba menarik tubuh mungil gadisnya itu.
Ah, sudahlah!
Tak lama, dua sejoli ini sampai di depan pintu utama, ramai di luar sana Kisedai bersama Kagami dan Takao menunggu. Setelah semua personel lengkap, mereka memulai kegiatan paginya.
👑
Setelah keluar dari Stasiun Harajuku, sampailah mereka ditujuan memulai lari pagi sehat mereka—Taman Yoyogi. Taman yang terbuka selama 24 jam.
Jantung kawasan hijau di kota Tokyo dan lokasi yang cocok untuk sejenak menepi dari hiruk pikuk Shibuya dan Shinjuku. Berjarak hanya sekitar lima menit dari Stasiun Harajuku.
Taman Yoyogi menawarkan pemandangan menawan dan banyak ruang baik untuk kegiatan dalam maupun luar ruang.
Serempak mereka berlari membentuk barisan. Sementara Akashi, tentunya sigap berlari di samping tunangannya itu.
Mengawasi mata-mata jelalatan yang memandang mesum tunangannya atau menjauhi tunangannya dari siulan-siulan jahil yang ingin menggodanya.
"Sei, kau tidak memandu di depan?" tanya [St/n] polos ditengah-tengah kegiatannya.
Akashi melirikkan manik crimsonnya sekilas kemudian kembali memandang lurus ke depan. Ia pun membalas, "kau tahu posisi barisan serigala kutub?"
[St/n] mengerjap-ngerjapkan maniknya beberapa kali menatap Akashi. Oke! Dia sejujurnya tidak mengerti ucapan Akashi.
Akashi yang tidak mendengar respon langsung, ia menjelaskan, "barisan terdepan kawanan serigala. Serigala yang mengalami sakit berbaris di depan, dengan kondisi mereka yang seperti itu, mereka bisa mengatur kecepatan kawanan lainnya. Kalau mereka berada di belakang, mereka akan tertinggal. Mereka juga cenderung lebih tua dan paling tahu medan yang mereka tempuh."
[St/n] mengangguk mengerti, paham akan penjelasan simpel dari Akashi. Untuk sesaat manik [e/c] milik gadis ini terfokus pada suara alunan musik pagi di taman ini.
"Sementara barisan kedua dan keempat adalah pejantan."
"Lalu barisan ketiga?"
"Mereka betina," balas Akashi cepat.
[St/n] mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali, mengerti. Dia pun menjelaskan isi pikirannya, "oh, jadi barisan kedua dan keempat itu menjaga barisan ketiga yang sekawanan betina?"
"Ho, ternyata Tuan Putri cepat tanggap rupanya." Akashi tersenyum sambil melirikkan ekor matanya pada [St/n].
[St/n] mengembungkan pipi chubbynya. Ia risih kala dirinya dianggap seakan-akan bodoh. "Tentu saja. Don't understimate me, Sei," balasnya kemudian. Ia mempoutkan bibir mungilnya.
"Baiklah, baiklah. Dan yang terakhir… serigala pemimpin. Posisinya berada paling belakang. Berperan mengontrol, memberi perintah dan mengkoordinir barisan, sehingga sampai di tempat tujuan," Akashi kembali menjelaskan.
[St/n] ber-'oh' ria. Oh! Dia ingat. Ada sesuatu yang ganjil. "Kenapa aku berada di belakang? Kenapa kau tidak langsung bilang soal posisi barisan ini?" tanya gadia itu beruntun.
Akashi mengerutkan dahinya, ia tersenyum kemudian terkekeh pelan. "Ya, karena aku tidak yakin kalau kau ini benar-benar seorang gadis," jawabnya.
[St/n] membuka mulutnya, terkejut—dengan jawaban singkat dan sangat jujur yang meluncur dari mulut Akashi.
Ia membuang wajahnya sesaat, tidak percaya. Tampak saat dirinya menoleh, beberapa orang tengah melakukan pemanasan bahkan tak jauh dari sana—tengah terduduk—sepasang orang tengah bercumbu.
Tapi dengan cepat ia menutupnya dan menoleh kembali. Kemudian mendengus dan tersenyum. "Kau membodohiku? Oh, astaga! Sei, itu sangat jujur. Sangat. Jujur," ucapnya tidak percaya.
"Ya, tentu saja. Tingkahmu yang kelabakan dan berbicara apa adanya. Semua pria nyaris mematuhimu dan takut padamu. Mulutmu yang tajam itu juga. You are rare, [St/n]. Aku jarang menemui gadis sepertimu," jelasnya lebih jujur.
"So, you do not like this rotten little girl, huh?" tanya [St/n] sembari menaikkan sebelah sudut bibirnya.
"No, actually not. In fact I really like this rare girl," jawab Akashi entah jujur atau tidak. Yang jelas, [St/n] hanya semata-mata menganggap hal ini sebagai lelucon.
"Wow, that's… a great answer, Sei. And what's that mean?" balas gadis itu. Menganggap seakan-akan itu haya gurauan semata.
"Nope, and… thank you so munch, Milady."
Oke, itu panggilan yang membuatnya sedikit… merona, mungkin—Milady, nyonya—dirinya memang belum menjadi seorang Milady. Tidak sekarang. Masih belum. Namun yang pasti, hal itu akan segera terjadi.
👑
Waktu menunjukkan pukul 10 pagi, jogging pagi ini sudah usai dan koloni kecil [St/n] dan kawan-kawan tengah beristirahat sembari meminum minumannya masing-masing.
Sementara, gadis ini. [St/n] tengah sibuk berkutik di depan ponselnya sambil menyesap minumannya dalam botolnya melalui sedotan.
"[St/n]."
Gadis yang dipanggil itu pun menolehkan pandangannya ke sumber suara, tidak mengatakan apa pun dan kemudian Takao bertanya, "setelah ini kau ada pekerjaan, 'kan?"
[St/n] mengangguk, mengiyakan. "Memangnya kenapa?" tanyanya kembali.
"Hanya mengingatkan," balas Takao. "Kau juga, 'kan, Akashi-kun?"
Akashi hanya mengangguk.
Oke, jadi Takao simpulkan. Calon suami–istri ini akan pergi—kerja, tepatnya. Dan entah kenapa waktu dan tempatnya sama.
Oh, aku mengerti.
👑
"Tuan Putri, apa Anda perlu dijemput?" tanya sopir itu yang tetap memandang ke depan dan menjawab dengan gaya bicaranya yang formal seperti biasa.
"Aku akan mengabari itu," [St/n] membalas sambil melihat sopir itu melalui back mirror. Sembari merapihkan jam tangan yang ia kenakan, begitu pula tatanan rambutnya.
Pria itu berusia sekitar 30-an tahun, berperawakan tinggi dan rambut yang tertata rapih. Tubuhnya memakai tuksedo hitam yang formal bak seorang tamu undangan pesta pernikahan.
Namun, sebenarnya bukan begitu. Dirinya hanyalah seorang sopir pengganti yang bertugas mengantar–jemput [St/n].
Ayah [St/n], [Ft/n], adalah pemimpin grup finansial [L/n] Group. Dan saat ini, putri tunggal dan pewaris sejati [L/n] Group sibuk dengan posisinya menggantikan posisi ayahnya.
Pula saat ini, adalah sibuk-sibuknya ia menawarkan proposal rencana keuangan untuk menyelamatkan perusahaan yang tengah kesulitan. Bukan hanya [L/n] Group, bahkan Akashi Corporation juga turut membantu.
Meeting ini juga mencari partner kandidat untuk memilih perusahaan-perusahaan yang bergabung maupun belum resmi bergabung dengan [L/n] Group.
Sopir itu menghentikan mobilnya tepat di depan pintu masuk cabang utama [L/n] Group bagian finansial. Di belakangnya pula sudah datang beberapa mobil mewah dan bagus.
Tetapi karena limousine milik [St/n] adalah Cadillac Fleet One, jadi tidak ada yang bisa menandingi kehebatannya. Tentunya kecuali Akashi.
Beberapa menit yang lalu, tepat saat Akashi diminta agar pergi ke perusahaannya sendiri-sendiri—toh, mereka tidak ingin terlalu mencolok dengan datang bersama—ia memilih menggunakan Toyota Century Royal.
Limousine yang hanya terdapat empat unit di dunia. Ditambah lagi itu miliknya pribadi.
Begitu sopir itu menghentikan mobilnya perlahan, dengan gerakan yang cepat, dia turun dari kursi sopir ; lalu dengan cara yang elegan, ia membuka pintu kemudian mengulurkan tangannya.
"Silahkan, Tuan Putri," ujarnya sopan.
[St/n] tersenyum dan menundukkan kepalanya, gadis ini pun menerima uluran itu dan keluar dari mobilnya.
Sopir itu melepaskan tangan [St/n] kemudian membungkuk sopan dan gadis cantik ini mengucapkan terima kasih.
"Tolong ikuti kami, Tuan Putri," ujar pria di depannya.
"Kami akan mengantar Anda menuju ruang meeting," timpal wanita di sebelahnya, sopan.
[St/n] kembali mengangguk dan mulai melangkah mengikuti arahan dari dua orang di depannya. [St/n] tentunya mengenal mereka. Pria itu sekretaris ayahnya ; lalu wanita itu penitip pesan yang selalu duduk di depan meja resepsionis.
Setelah sampai di depan pintu ruang meeting, pria dan wanita itu membukakan pintunya dan mengarahkan [St/n] untuk segera memasuki ruangan itu.
Setelah [St/n] memasuki ruangan, dirinya sudah ditunggu oleh beberapa pemilik perusahaan. [St/n] langsung duduk di atas kursinya dan berujar, "bisa kita mulai sekarang."
👑
"Tuan Putri, ini dokumen yang kemarin. Beberapa perusahaan langsung menanggapinya dengan baik," ujar wanita yang tampak beberapa tahun lebih tua darinya.
"Aku akan mengurusnya," ujarnya cepat sembari tersenyum.
"Tuan Putri, ini dokumen yang Anda minta. Ini terlihat seperti prediksi Anda."
"Ah, Tachibana-san."
"Ha'i?" balas pria berseragam rapih itu tegas.
"Cari semuanya yang kau tahu tentang perusahaan-perusahaan di daftar ini," pinta [St/n] sopan.
Pria bernama Tachibana itu langsung menerima permintaan gadis ini. Sepertinya aku akan mulai sibuk selama beberapa hari ke depan, batinnya.
Setelah laporan dari beberapa orang yang bekerja padanya selesai, mereka pergi dan meninggalkan [St/n]—
"Ekhm!"
—dengan seseorang.
Gerakan tangan [St/n] terhenti begitu mendengar suara deheman seorang pria. Ia menaikkan kepalanya sembari menatap pria itu.
Seijuro Akashi, tepat.
Pria itu tengah tersenyum sembari menopangkan dagunya dengan kedua tangannya yang saling terlipat kemudian ia berdiri dan menghampiri tunangannya itu sambil memasukkan kedua tangannya dalam saku.
[St/n] menautkan kedua alisnya lalu mendengus dan tersenyum. Ia kembali berkutat pada kegiatannya—merapihkan selebaran yang tersebar di atas mejanya.
"Ada apa, Sei? Meetingnya sudah selesai, lho." [St/n] menyahutinya, sebelah tangannya menyelipkan helaian rambut tepat di belakang telinganya kemudian dokumen yang sudah rapi di tangannya itu diangkat dan diapit dengan tangan kirinya.
Gadis itu menatap Akashi sembari sedikit mendongakkan kepalanya.
"Menunggumu… untuk makan malam," balas Akashi singkat.
"Makan malam?" [St/n] mengulangi sembari berjalan keluar.
Pintu terbuka karena dibukakan kedua orang yang sigap menjaga pintu itu, kemudian kembali menutupnya.
Setelah beberapa langkah ke luar ruangan, [St/n] menghentikan langkahnya dan menatap Akashi. "Mungkin—"
"Akashi-kun! Seijuro Akashi-kun!" spontan [St/n] menghentikan ucapannya begitu mendengar suara melengking seorang gadis menyapa Akashi.
"Ah! Ternyata benar. Kau Seijuro Akashi ne?" tanya gadis itu, memastikan. Ia mengulurkan tangannya untuk dijabat dan melanjutkan, "aku Hayashi Kikyo."
[St/n] menatap Akashi dan tangan gadis itu bergantian. Ia kemudian teringat, "sepertinya aku mengganggu, maaf. Kalau begitu aku permisi."
Akashi menahan tangan [St/n] sebelum dirinya benar-benar pergi, sementara gadis bernama Kikyo itu memandang kejut dan tangannya tetap tergantung di udara.
"Maaf, aku—"
"Iie, domo arigatou. Kau bisa mengajaknya… mungkin makan malam bersamanya agar lebih mengenalnya, Sei," sela [St/n] sembari tersenyum.
"Benarkah? Oh, senangnya! Mungkin denganku kau akan merasa lebih senang, Akashi-kun," ujar gadis itu.
"Aku selalu merasa senang," balas Akashi tersenyum kemudian melirik [St/n] dan kembali pada gadis itu. Ia meneruskan, "tentunya karena tunanganku. Maaf, aku ada janji lebih dulu dengannya."
Akashi melewati gadis itu sembari merangkul tunangannya menuju lift. Sementara [St/n], gadis yang menjadi tunangannya itu, hanya mengikuti.
Ting!
Suara dentingan kecil lift terdengar. Pintu lift pun terbuka dan tidak ada seorang pun di dalamnya, kosong.
[St/n] bersama Akashi melangkah masuk, kemudian secara otomatis pintu kembali tertutup. Akashi menekan tombol menuju lantai dasar.
"Sei, kau tidak harus terus bersamaku. Tidak apa, kau juga pasti punya urusanmu sendiri, 'kan?" sahut [St/n], membuka percakapannya.
"Aku akan melakukan itu, tapi tidak dengan seorang wanita yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan," balasnya.
[St/n] menghela nafas sembari tersenyum. Ia berjinjit kemudian mengecup singkat pipi Akashi. "Maaf, mungkin perkataanku soal gadis itu membuatmu risih," ia membalas.
Akashi menaikkan kedua sudut bibirnya. Sebelah tangannya ia naikkan dan merangkul sang gadis kemudian mengelus pucuk kepala gadisnya lembut.
Ting!
Dentingan lift kembali terdengar dan pintunya secara otomatis terbuka kembali. Akashi dengan [St/n] melangkah keluar, sementara Akashi menunggu di luar gedung, gadisnya izin menuju meja resepsionis menerima beberapa laporan.
"Tuan Putri, konbawa. Bagaimana hari ini?" sapa ramah wanita 30-an tahun yang berada di meja resepsionis.
[St/n] tersenyum. "Baik. Apa ada titipan dari Otousan?" tanyanya.
"Ah, itu ada. Sebuah post card." wanita itu menundukkan kepalanya, mencari-cari benda yang dimaksud. Begitu mendapatkannya, segera ia berikan pada [St/n].
[St/n] menerimanya dan melihat post card berupa foto itu. Ia menyelipkan helaian rambut di telinganya sembari melihat foto yang terpampang di sana. Foto kedua orang tuanya yang tengah duduk bersama di meja dan nuansanya terlihat mewah.
Caption di bawah foto itu membuat [St/n] mendengus sembari tersenyum kecut. Ia berujar pada resepsionis itu, "bilang pada kedua pasangan bodoh ini, agar tidak kembali."
Wanita itu tertawa singkat. "Baiklah, Tuan Putri," balasnya.
[St/n] kembali melangkah pergi. Ia memasukkan dokumen dan post card itu pada tas punggung kecilnya kemudian mengambil ponsel miliknya.
Kini ia berkutat pada ponselnya, menghubungi sopirnya. Begitu selesai dan terdengar nada terhubung, ia meletakkannya tepat di telinganya.
[…moshi moshi, Tuan Putri. Perlu saya jemput?…] ujar sopir itu di sebrang sana.
"Tidak perlu, aku akan pulang dengan tunanganku," balasnya sopan.
[…Ha'i, wakarimashita, Tuan Putri. Semoga hari Anda menyenangkan…]
Sambungan diputus [St/n]. Begitu ia kembali menilik sekitarnya, ia mendapati Akashi berdiri di samping pintu limousine miliknya.
Dengan gentlenya, Akashi membukakan pintu dan mengulurkan tangan agar gadisnya itu masuk, [St/n] pun menerimanya.
Sesaat setelah [St/n] memasuki mobil bersama Akashi dan kemudian mobil limousine itu melaju perlahan. [St/n] kembali membuka ponselnya.
Tatapannya menjadi serius begitu membaca pesan yang mendarat di ponselnya. "Ada apa, [St/n]?" tanya Akashi, penasaran.
"Tidak ada, sebaiknya kita cepat pulang. Aku ada pekerjaan di sana."
👑
Pintu besar terbuka lebar kala seorang pelayan muda membukakan pintu utama ruang makan di kediaman mansion keluarga [L/n].
Seorang pria berpakaian jas rapih melangkahkan kakinya memasuki ruang makan yang dikhususkan tamu itu.
Pria itu tersenyum lebar kemudian sedikit berjalan cepat untuk bersalaman. "Anda pasti Tuan Putri [St/n]. Saya tersanjung Anda bersedia menemui saya," ujar pria itu sembari bersalaman dengan gadis itu.
[St/n] tampak tidak keberatan sama sekali. Gadis cantik itu pun sedikit menyerong mundur kemudian menggandeng tangan Akashi yang tepat berdiri di belakangnya.
"Terima kasih. Tidak masalahkan kalau saya mengundang tunangan saya untuk makan malam bersama?" ucapnya.
"Tentu tidak masakah, Tuan Putri. Saya akan lebih senang kalau seorang pewaris Akashi Corp. juga bisa mendengarnya," balas pria itu semangat.
"Kalau begitu tolong ikuti saya. Makan malam sudah disajikan di taman belakang."
[St/n] dengan masih menggandeng lengan Akashi berjalan mendahului, memandu tamu perusahaan [L/n] Group menuju taman belakang. Pria itu pun hanya mengikutinya.
👑
"Saya terkejut dengan penyambutan ini. Ini hebat sekali, Tuan Putri." Pria itu mengelap tangannya dengan kain yang sudah disiapkan sesudah hidangan.
"Ya, ini bukan apa," balas gadis itu. "Bagaimana kalau kita pindah ke ruang utama dulu sebelum membicarakan bisnis, Masamune-san?"
Tak lama kemudian, ruang makan yang berada di taman belakang dengan taman batu khas negara Jepang ini dengan air mancur batunya di tengah-tengah, hening.
[St/n], Akashi dan pria bernama Masamune itu segera meninggalkan ruang makan. Berdiri tak jauh di sana, Nanase sudah berdiri tegap untuk membersihkan peralatan makan.
Begitu wanita ini mendapati Tuan Putrinya lewat dihadapannya, ia membungkuk sopan. Dibalas anggukkan dan senyuman manis dari [St/n].
Sesampainya di dalam salon¹ khusus—tempat biasa [St/n] bersantai sembari membaca buku dan menikmati cocktail miliknya, entah itu novel atau karya sastra, juga tempat gadis ini meletakkan koleksi buku berharganya—kini terisi oleh tiga orang.
Salon bergaya gothic namun terkesan mewah yang bahkan dilengkapi dengan dapur khusus. Meja oval yang terbuat dari marmer dan diatasnya terdapat chanderlier Baccarat⁴ yang berkilauan menemani pembicaraan ini.
Akashi dan [St/n] kini duduk saling bersebelahan, sementara Masamune duduk tepat di bangku yang di khususkan memang untuk seorang tepat di hadapan pasangan sejoli ini.
Sambil menikmati Café au lait yang disajikan dengan croissant dan brioche sebagai makanan penutup.
Meja pun penuh dengan kudapan-kudapan manis khas Perancis yang dibuat langsung oleh patissier² yang ayah sang gadis kenal saat melakukan reset soal makanan untuk membuat restoran ryoritei³ bercampur barat.
Ayah dan ibunya pun kompak melakukannya, saling mendukung satu sama lain, dan saling mengumpulkan informasi dari berbagai negara dengan melakukan reset melalui kolegannya.
Café au lait yang saat ini [St/n] minum dengan tamu dan tunangannya pun berbeda. Café au lait secara tradisional cara Perancis mempersiapkan kopi dengan susu, rahasia kopi Perancis yang baik adalah biji kopi itu sendiri. Biji kopinya tentu bukan espresso.
Biji kopi luwak peaberry. Biji kopi khas Indonesia yang langka dan berasal dari luwak itu sendiri. Sebenarnya saat awal pertama kali gadis ini tahu, ia sedikit merasa jijik.
[St/n] tidak menyangka kala suatu hari ketika dia akan menikmati sesuatu yang keluar dari bokong musang. Apalagi, kopi itu enak sekali.
Rasa dan aromanya mengalahkan segalanya.
"Jadi bagaimana, Tuan Putri? Jika Anda bisa menambahkan £12.00, ini akan menjadi project yang besar," ujar Masamune.
Begitu [St/n] selesai menyesap kopinya, ia letakkan kemudian di atas piringan kopi itu. "Begitu, ya? Mungkin saya akan memikirkannya dulu, sekalian bicara pada Otousama," ucapnya sembari tersenyum penuh arti.
Masamune menarik nafas panjang, lega. "Baiklah. Oh, saya mohon izin menggunakan telpon Anda. Boleh?" izinnya.
[St/n] mengangguk. Ia tolehkan pandangannya kemudian pada Nanase, meminta agar Nanase mengantarkan pria itu. Nanase pun menerimanya dengan hormat.
Suasana salon menghening, kini tersisa Akashi dan [St/n]. Gadis ini menyendok kecil brioche miliknya dan memakannya perlahan.
"Terlihat sekali dari gelagatnya, ia menginginkan sesuatu," ucap Akashi santai.
"Um, memangnya dia kira aku tidak tahu. Project itu menguntungkan satu perusahaan tapi akan berdampak besar pada group," timpal [St/n].
"Membayar para pekerja, 'kah?"
👑
"Tenang saja, semuanya sudah direncanakan," ucap Masamune pada seseorang di sebrang telepon pada genggamannya.
[…apa kau yakin?…] ucap orang disana, terdengar suara pria lainnya.
"Tentu saja, dia hanya seorang anak yang baru saja dewasa. Itu bukan masalah hanya membodoh-bodohinya sedikit, 'kan?"
[…kau terdengar licik sekali, dude…] pria disana terkekeh.
"Kau seperti tidak mengenalku. Oh, dan anak itu membawa pewaris Akashi." Pria itu mulai meremeh.
[…benarkah? ah, lawan yang berat. Tapi beruntung sekali, sekali mendayung ; dua tiga pulau terlampaui…]
"Jangan lupa bayaranmu padaku, dude!" ucap Masamune mengingatkan.
[…akan kutunggu kabar baiknya…]
"No money, no honey. Man," Masamune menolak.
👑
Setelah menghubungi rekan bisnisnya, Masamune kembali didampingi Nanase. Mansion luas ini bisa-bisanya membuat dirinya tersesaat entah kemana.
Sesampainya depan pintu besar, Nanase membukakan pintu itu. Berdiri tak jauh disana, gadis itu, [St/n] tengah berdiri di depan meja yang setinggi pinggangnya itu.
Lembaran dokumen terletak tak beraturan di atasnya, sementara bolpoin—hanya ia pegang saja tidak ia gunakan.
"Oh, Anda sudah kembali, Masamune-san?" ucap [St/n] ramah, ia tersenyum.
"Yah, begitulah," balas Masamune ramah pula. Ia melanjutkan, "jadi bagaimana, apa Tuan Putri menyetujuinya?"
"Bagaimana, ya?" [St/n] menatap selebaran di atas meja tepat di depannya. Ia kembali menoleh pada Masamune dan berucap santai, "aku tidak bisa menerimanya."
Masamune terperanjat. Yang membuat dirinya terkejut adalah kala tidak menyangka jikalau [St/n] akan menolaknya dengan senyuman itu.
Sementara Akashi terduduk saja sambil menikmati kudapan dan kopinya—duduk dengan menaikkan sebelah kakinya—menatap kejadian di depannya santai.
"Aku tahu apa yang kau rencanakan, Masamune-san. Sebaiknya menyerah dan berikan aku informasi soal orang itu," [St/n] melanjutkan. Ia mulai serius kali ini.
"Tuan Putri—apa yang Anda—"
"Aku sudah tahu semuanya, Masamune-san. Ketika aku menyetujuinya, aku akan terus membayar tagihan itu, ditambah lagi hubungannya dengan Akashi Corporation. Suntikan dana darinya juga pasti akan berakhir pada orang itu, 'kan? Benar-benar rencana yang hebat. Dalam sekali tembak, kau bisa membunuh dua orang sekaligus," [St/n] kini menyeringai.
"Sial! Bagaimana kau bisa tahu rencana ini, huh!?"
"Mudah saja, kebodohanmu yang memasuki kandang macan dan tergigit itulah. Bukankah sudah pernah ada yang bilang padamu sebelumnya…."
[St/n] kini menggantungkan kalimatnya. Kilatan mata bercahaya tajam dan seringaian yang mampu membuat orang bergidik takut, berhasil membuat Masamune mematung.
Keringat dingin mengalir melewati pelipisnya. Tangannya gentar untuk meraih sesuatu dalam kantung celana bahan berwarna hitam itu.
Dia tidak punya pilihan lagi.
Dalam sekali sergap—dengan tangan yang masih ragu untuk melakukannya. Ia mengambil sebuah pistol dalam sakunya dan menodongkannya langsung ke arah [St/n].
Dengan santainya, gadis itu menilik pistol yang di pegang Masamune, sementara Akashi memincingkan pandangannya, berhati-hati. Pria bermanik crimson ini siap dengan segala hal yang terjadi.
"Heckler and Koch USP, Self pistol Loading Universal, 'kah?" ucapnya diselingi senyumannya.
"Damare!!!" teriak Masamune, gentar.
[St/n] menghela nafas, ia kemudian berjalan ke arah Masamune. Kini kilatan pada matanya sudah hilang. Ia sudah sedikit tenang.
[St/n] menghentikan langkahnya, ia menghela nafas kemudian. "Aku akan berikan penawaran. Berikan nama atasanmu, kau akan aku selamatkan dengan menggunakan nama perusahaan," ucapnya.
Masamune menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "IT JUST A BULSHIT, HUH?!" teriaknya.
"Nope…." [St/n] memutar bola matanya. Ia meneruskan, "actually… I'm note sure."
"Oho! You're so funny, princess."
"Jadi, apa kau akan memberikan namanya…," [St/n] kembali bertanya. "… Adron?"
Pria yang tetiba dipanggil Adron ini membulatkan maniknya sempurna. "Kau tahu… namaku?" ucapnya tidak percaya.
"Tentu saja." [St/n] menyeringai, pandangannya kembali mengeluarkan kilatan cahaya. Dalam langkahnya ia meneruskan, "seorang kolegan bawah tanah, klien mu semua orang-orang berjas, 'kan? Aku yakin bayaranmu itu sangat mahal. Bergerak dalam bayangan pasti sulit untuk—"
"DAMAREEE!!!"
DOOOR!!!
Akashi membulatkan maniknya tidak percaya. Ia terkejut bahkan dirinya sampai tidak sadar tertarik di antara pembicaraan entah apa ini.
Dirinya segera mendekati tunangannya itu dengan sangat cemas.
Sementara [St/n].
Sambil mengangkat sebuah pistol pada tangan kanannya, ia berdiri dengan sangat tenang. Menatap Adron yang tergeletak lemas di depannya.
"Hampir saja aku melakukannya," ucap Akashi tenang.
"Apa? Kau ingin benar-benar membunuhnya, Sei? Yang benar saja kau ini," ucap [St/n] tidak percaya.
"Lalu kau?"
"Oh, aku?" [St/n] menatap sesaat pistol pada genggamannya. Ia mengangkat tangannya kemudian menjelaskan, "ini senjata khusus yang kubuat sendiri. Pelurunya aku design sama seperti peluru pada umumnya, namun saat ditembakkan, pelurunya hanya menembakkan jarum suntik untuk melumpuhkan target."
Akashi menghela nafas panjang. Ya, sebuah kejutan kecil. Memang gadis ini sangat berbeda. Jalan pikir dan tindakannya benar-benar tidak bisa dia tebak sama sekali.
Dan lebih percaya dirinya dia jikalau dia tidak akan tertembak. Ya, sekali pun itu terjadi. Akashi bisa menanganinya.
"Baaaaka!"
[St/n] menoleh begitu Akashi mengatainya 'bodoh' dengan sangat halus. Namun, tiba-tiba saja kepalanya—TUK!—disambut dengan sentilan kecil ditengah dahinya.
"Itte! Kau yang bodoh! Dan apa yang kau lakukan, Sei?!" [St/n] meringis sembari menyentuh dahinya dengan kedua telapak tangannya.
"Ya, aku bodoh karena percaya kalau kau tidak akan tertembak. Walaupun itu tak terjadi. Bagaimana kalau sebaliknya? Kalau kau tertembak?"
[St/n] mengembungkan pipi chubbynya dan sedikit mempoutkan bibir mungilnya itu. Ia menjawab sambil menautkan kedua alisnya, "gomennasai," ucapnya singkat.
Akashi memijit pangkal hidungnya dan kembali menghelakan nafas panjang. Bagusnya tidak terjadi seperti yang dia pikirkan. Kalaupun terjadi sebaliknya, entah sekhawatir apa dirinya.
Memangnya [St/n] tahu seberapa kuat ia mencoba mempercayai dirinya? Seberapa kuat ia berusaha menahan dirinya untuk mencegah [St/n] memprovokasi Adron? Seberapa kuat ia mencoba menghentikan dirinya untuk menghancurkan rencananya, huh?
Ingin rasanya Akashi menghentikan gadis ini sekuat-kuatnya bahkan dengan kekerasan sekali pun karena seenaknya menerima risiko besar dari apa yang dia lakukan.
"Kau—bagaimana kau… tahu?" ucap Adron terpatah-patah.
"Itu hal yang mudah untukku," [St/n] membalas. Kemudian meneruskan, "kekuatan perusahaan… mungkin?"
Adron menyunggingkan senyuman tidak percayanya, kemudian dia tertawa sekuat-kuatnya.
"Oh, astaga. Informasi mengenai gadis ini memang gila itu—tidak bisa kuperacaya." Adron menatap [St/n] sebelum ia benar-benar pingsan. Kemudian melanjutkan…
"Kau seorang…"
…Ankoku Hime.
👑
Suara sirene polisi terdengar keras di depan mansion keluarga [L/n]. Seorang pria, Adron, ditangkap atas tuduhan rencana penggendapan dana.
Namun, sanksinya akan dikurangi dengan menggunakan nama [L/n] Group. Itu pun bersyarat : jika ia bisa memberikan nama perusahaan yang ingin menjatuhkan perusahaannya.
Dan, untung saja Adron membuka mulutnya. Ia memberitahu nama perusahaan itu. Sesuai dugaan [St/n] sebelumnya.
Perusahaan itu memang sedang dalam keadaan kritis. Tabungan perusahaan semakin lama semakin menurun drastis. Seperti data yang diminta gadis ini saat meeting tadi.
[St/n] juga tidak bisa membantu apapun. Toh, sewaktu perusahaan itu diundang untuk bergabung ; dia menolak, dan sewaktu undangan untuk meeting perusahaan hari ini ; dia pun menolak juga.
[St/n] menepuk kedua tangannya, dengan cerianya ia berucap, "yosh! Berakhir juga, dan aku akan bersantai malam ini."
Kisedai menatap [St/n] tidak percaya. Bagaimana mungkin gadis ini tetap bisa seceria ini walaupun nyaris saja terbunuh? Astaga!
"Ano… [St/n]-san."
"[St/n]."
"[St/n]chin."
"[St/n]cchi."
"[St/n]."
"Ya?" dengan polosnya [St/n] segera berbalik, menanggapi panggilan Kisedai dan Kagami yang entah apa itu.
"Tidak jadi," ucap mereka serempak.
"Ne, ne, [St/n]." Takao merangkul sepupunya itu sembari tersenyum semangat. Ia meminta, "kudapan itu… masih ada, 'kan?"
[St/n] menghela nafas. "Ya, kau mau? Habiskan saja," balasnya malas.
"Takao, kenapa kau bisa sesantai itu-nanodayo?" tanya Midorima, penasaran.
Takao mengerjapkan maniknya beberapa kali kemudian menjawab santai, "hal ini sering terjadi. Bukan hanya seperti tadi, bahkan pernah ada sekitar 50 orang bersenjata diam-diam memasuki mansion."
Kisedai kembali dibuat terkejut. Mereka memang sebelumnya pernah mendengar soal perampokan besar-besaran di sebuah berita TV beberapa bulan yang lalu.
Tapi… hey! Jangan bilang itu terjadi di mansion ini?! Akashi tidak terlalu heran. Toh, di mansionnya pun sama, semua anak buah sampai pembunuh bayaran selalu mendatanginya.
Tapi tidak ada yang berhasil, bahkan [St/n] juga begitu. Kesimpulannya, gadis ini masih memiliki kejutan-kejutan kecil dalam dirinya.
"Tapi bagaimana kalian bisa terlindungi-ssu ka?" kali ini Kise bertanya, ikut penasaran.
"Karena mansion ini tempat paling aman. Teknologi paling rahasia milik [L/n] Electronics semua diuji coba disini. Termasuk barang untuk pemerintah. Sudahlah pertanyaan berikutnya di salon saja. Ayo," jawab [St/n] panjang–lebar.
Takao dengan masih merangkul sepupu sadisticnya itu, melangkah menuju salon untuk menghabiskan sisa kudapan malamnya.
Sesampainya di sana, [St/n] sudah bertransformasi. Dengan pakaian yang sangat santai : menggunakan piyama berpola polkadot putih dan dasarnya berwarna tosca yang atasannya ia tambah hoody pink peach. Membersihkan riasan wajahnya. Menguncir rambutnya asal dan mengenakan kacamata besar berbingkai hitam. Sepatunya pun ia tanggalkan.
Dan yang membuat Kisedai dan Kagami terkejut pula adalah, dengan berpakaian seperti itu, ia menidurkan dirinya di atas sofa panjang membelakangi teman-teman pelanginya. Tangannya pun ia silangkan di depan dada.
Sementara suasana salon yang temboknya dilapisi wallpaper berwarna panas berpola garis-garis vertikal, seluruh ruangannya yang dilapisi karpet. Juga kabinet antik dengan kakinya melengkung—tampak ramai saat ini.
"[St/n], souffle ini akan kumakan, ya?" ucap Takao sembari mengangkat piring terakhir souffle terakhir yang ada.
[St/n] yang mendengarnya, langsung berdiri dan berniat merebut souffle itu. Namun Takao berusaha pula menjauhkannya dari tangan sepupu sadisticnya itu.
"Berikan padaku, Takao!" titah [St/n].
"Iie, iie, aku yang dapat dulu, jadi ini milikku."
"Cepat berikan padaku!" [St/n] menerjang Takao. Berusaha mengambil souffle itu. Namun, Takao bersikeras untuk menjauhkannya pula.
"Dari pada kau melakukan ini, lebih baik pikirkan apa kau akan pergi besok, [St/n]."
Mendengarnya, [St/n] menghentikan gerakannya tiba-tiba. Tangannya yang terangkat segera ia turunkan dan kembali ketempatnya semula.
Meringkuk di atas sofa.
"Iyada!"
"Hey! [St/n]—kau harus—"
"Tidak apa, ia besok akan seharian bersamaku." ucapan Akashi mengalihkan netra semua warga dalam salon. Ia meneruskan, "kalau dia tidak mau, aku juga tidak akan datang. Aku akan bersamanya seharian besok."
"Tapi, Akashi-kun itu—baiklah! Oke! Itu masalah kalian." Takao pasrah akhirnya.
"Lalu, apa yang akan kalian lakukan seharian itu, Akashi-kun?" kini Kuroko bertanya datar.
Akashi tersenyum penuh arti. Kemudian menjawab…
"Aku akan berkencan dengannya seharian penuh."
👑
Cahaya mentari pagi menyinari Kota Tokyo. [St/n] menggeliat kemudian ia segera beranjak berdiri dari kasurnya. Ditatapnya jam analog di atas meja tepat di samping tempat tidurnya. Pukul delapan pagi.
Gadis ini ingat! Ah! Hampir saja ia terlambat untuk kesekian kalinya saat Akashi mengajaknya kencan. Ya, jujur saja. Terakhir kali Akashi mengajaknya kencan ia terlambat satu jam.
Salahkan dirinya yang lupa membaca pesan baru dari Akashi soal waktu mereka janjian untuk bertemu.
[St/n] segera pergi memasuki bathtub dalam kamar mandi pribadinya. Air hangat dengan campuran bubble bath beraroma bunga jasmine. Selepasnya dari dalam bathtub, ia bangun dan membungkus tubuhnya dengan bath robe sementara rambutnya ia gulung rapi dengan bath towel. Selesainya ia mengusap dan menepuk-nepuk lembut wajahnya dengan face cloth.
Selesai dari itu semua, ia kembali beranjak pergi keluar dari kamar mandinya menuju pintu yang memang jarang digunakannya. Yap! Pintu menuju ruangan walk-in closet.
Berbeda dengan lemari pakaian miliknya, walk-in closet miliknya lebih sering ia gunakan untuk meletakkan entah pakaian, tas dan sepatu yang jarang ia gunakan. Seperti pakaian formal, dress, sepatu heels dan lain-lain.
Bahkan saking jarang menggunakannya, beberapa tas sepatu masih tampak baru dan masih ada dalam kemasannya.
Gadis cantik ini berdiri berhadapan dengan pintu yang lebar, tak lama pintu itu terbuka otomatis dan menampilkan deretan pakaian formal yang terlihat mewah dengan potongan simpel, tampak glamour dan sangat cocok memang untuknya.
Ia menarik dress merah berbahan satin dengan bagian belakangnya yang memanjang dengan lengan cape. Bagian pinggangnya melingkar pita berbahan sama berwarna hitam, bagian dada sebelah kanannya terdapat bunga berwarna hitam dengan menggantung mutiara dalam sangkar kecil sebagai hiasan.
Ia kembali melangkahkan kakinya kemudian mengambil sepatu slingback berwarna merah marun dan mengenakannya. Begitu selesai dengan itu, saatnya menata rambut.
Saat gadis ini ingin duduk di depan meja rias, tetiba berdiri tak jauh disana penata rias keluarganya. Sejujurnya gadis ini bingung, ia memang tidak memanggil hair stylish keluarganya, lalu tujuannya datang apa?
Ya, selagi Non-chan ada, kenapa aku harus repot-repot? Pikirnya begitu.
[St/n] tersenyum ramah, pada gadis yang disapanya Non-chan. Ia pun duduk tak lama Non-chan sudah menyisir lembut surai [h/c]nya dengan jemari-jemari lentiknya.
"Tuan Putri sepertinya ada acara, kalau boleh saya tahu... ada apa, ya?" tanyanya penasaran sembari tersenyum jahil.
Ya, [St/n] cukup akrab dengan Non-chan. Mereka lebih terbilang disebut adik-kakak ketimbang seperti, ya, seperti saat ini.
[St/n] terkekeh. "Tidak perlu kujawab kau sudah tahu jawabannya 'kan, Non-chan?" ucapnya kemudian.
Non-chan kembali terkekeh. "Tuan Putri benar juga," balasnya.
"Tidak perlu memanggilku formal seperti itu, lagi pula umur kita tidak berbeda jauh. Sapaan dekat tidak masalah buatku."
Non-chan hanya membalasnya dengan tertawa kecil. Ia langaung fokus pada tatanan rambut seperti apa yang akan ia buat untuk [St/n]. Sesaat tengah menyisir surai panjangnya itu, Non-chan mendapatkan sebuah ide.
👑
Tak lama [St/n] keluar dari ruangannya. Namun, belum lama dia menunggu Akashi di ruang tamu utama, pria bermanik crimson itu tampak terburu-buru mendekati [St/n]. Tanpa mengucapkan apapun, Akashi menarik paksa lengan [St/n], membuatnya ikut tertarik mengikuti Akashi.
Begitu Akashi hendak membuka pintu limousinenya, [St/n] menahan tangannya sesaat.
"Sei! Ada—apa maksudnya ini? Kenapa kau—"
"[St/n] tidak ada waktu untuk menjelaskan, tapi satu hal yang akan kuberitahu padamu," jelas Akashi mencoba setenang mungkin. "Orang tuamu...."
[St/n] membulatkan bola matanya sempurna. Mulut mungilnya perlahan terbuka perlahan.
"Kecelakaan."
Update spesial tahun baru 2018!
Wadadaw! Chapter 35 owari! Yeay! Wadaw panjang euy :v bonus dari Mikajeh 3k word(s) 😂😂🔫 maap-maap aje ye kepanjangan :'v sayah sendiri gasadar XD
BTW ini chapter ue tulis pas lagi ulangan kimia wkwkwk :v kenapa gk ketauan? Iya, saya duduk pojok paking belakang sebelah jendela 😣 posisi aman :3 makannya kepanjangan a.k.a kelebihan 😂😂🔫
Saia minta tolong ya untuk Reader-tachi tertjintah 😋 kalo ada ungkapan, baha Jepang, atau apa yang gk dimengerti langsung ke komen aja 😅 biar saia jelasin terus revisi lagi untuk bikin glossariumnya di akhir :3 saia ambil beberapa karta dari berbagai sumber inspirasi yang saia baca soalnya 😂 untuk mendukung suasana 😆 but, cerita masih ori dari saia sendiri 😁
Next chapter review! 🙌 GAH! SIAL! SIAL! SIAL! Duh... gimana, ya? Sumpah kezel sendiri gw 😑 pokoknya abis ini... kampret banget lah! Banyak beud musuh kumpul nanti 😒 jadi Reader-tachi, asah pisaumu nak. Chapter berikutnya bakal jadi tekanan banget (gak, biasa aja keknya :v) oke, gw lebay ._. Jadi gini, gan '-' Akashi berulah (lagi) 😂 gitu aja. Sekian.
Tinggalkan vote dan komennya yak '-' sejauh ini gimana? Paham? Ketara gak akhirnya gimana? Masih belom, ya? Oke, nantikan saja sampe akhir 😂
HAPPY NEW YEAR 2018!
AKIMASHITA OMEDETOU!
Terima Kasih _( :3 J )_
Neko Kurosaki
Salon¹ tempat orang-orang biasanya berkumpul. Digunakan untuk membicarakan hal-hal berbau sastra dan membicarakan hal akademik lainnya (bahasa Perancis)
Patissier² koki pembuat kudapan manis
Ryoritei³ restoran tradisional ala Jepang
Baccarat⁴ merk kristal mewah dari Perancis.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro