Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

(32)

♠♠♠

Mentari pagi menyinari terang bangunan mewah yang besar dan luas tamannya. Bangunan putih itu menampakkan dirinya dengan bunyi kicauan-kicauan burung di pagi hari yang terdengar merdu.

Seorang pria tengah berjalan di koridor bagian timur mansion keluarga [L/n], entah tujuan ia untuk apa. Sampai sesaat langkahnya terhenti begitu mendapati sosok wanita berumur sekitar empat puluh tahunan itu tengah berjongkok di tengah taman lengkap dengan topi dan sarung tangan—dirinya sibuk menata bunga-bunga di pekarangan.

Nanase berdiri begitu netranya mendapati Akashi berjalan di koridor luar yang langsung menuju taman bagian timur. Wanita itu tersenyum kemudian menyapa, "ohayou gozaimasu, Tuan Muda Akashi. Bagaimana disini? Apa Anda merasa nyaman? Kalau ada yang Anda butuhkan silahkan panggil wanita tua ini."

Akashi tersenyum simpul. Ia menolaknya dengan sopan, "aku cukup nyaman disini, tidak perlu repot-repot dan terlalu formal padaku."

"Maaf, Tuan Muda. Ini memang pekerjaan saya, terlebih karena tuan ini tunangan Tuan Putri."

Akashi terkekeh kemudian sedikit membungkuk sopan untuk pergi. Ia kembali melanjutkan perjalanan, tepat di depan pintu utama mansion keluarga [L/n]—Kisedai sudah menunggunya bersama dengan Takao dan Kagami.

Ia menoleh-nolehkan pandangannya, mencari sosok seorang gadis. Namun, nihil. Gadis itu tidak ada. [St/n] tidak ada di tempat mereka berkumpul.

"[St/n]... dimana?" tanyanya kemudian.

Kisedai saling bertatapan bingung. Takao menjawab ragu, "ah, dia... belum bangun. Kau tahu, ia semalaman terbangun dan baru tertidur di ruang kerjanya."

Akashi memaklumi. Dirinya juga biasa seperti itu kala tugas dari ayahnya datang, sementara ayahnya sibuk dengan urusan di luar negeri. Yap! Menggantikan posisi ayahnya sementara di Jepang.

Dan ia tahu hal itu sebelum Takao berucap. Karena faktanya saat gadis itu tertidur di ruang kerjanya, Akashi lah yang membopongnya sampai ruangannya.

Eh!? Takao tahu? Oh, berarti sepupunya ini lihat saat Akashi membawanya? Namun sedikit. Sedikit. Sedikit terbesit kecurigaan Akashi pada Takao. 

Seperti ada yang pria itu sembunyikan.

👑

Khusus hari Sabtu dan Minggu. Kegiatan pagi mereka diisi dengan latihan basket. Ya, lebih tepatnya streetball.

Tentunya Kagami dan Aomine yang kompak menyarankan hal ini. Akashi pun tidak keberatan dengan usulan kawan pelanginya itu.

"[St/n]cchi sibuk sekali-ssu. Padahal seharusnya dia juga memantau kita latihan ini-ssu," celoteh Kise.

"Kise-kun, kau jangan begitu. [St/n]-san itu orang yang sibuk. Kau seharusnya mengerti," balas Kuroko.

"Ha'i, ha'i. Gomennasai-ssu. Dan... gomenasai Akashicchi!"

Akashi terkekeh.

"Nah, itu lapangan basketnya. Oh, aku lupa." Aomine menghentikan langkahnya. Ia kembali berucap, "kudengar pemilik lapangan itu lumayan bagus permainannya."

"Heh, benarkah? Kalau begitu kita beruntung kalau bisa mengajak mereka bertanding, 'kan?"

Kuroko tersenyum. "Aku setuju," tambahnya.

"Umn... bisa kita tidak kesana. Aku tidak suka mengganggu tempat mereka," timpal Takao.

"Memangnya ada apa, Takao?" tanya Midorima.

"Pemiliknya itu—ketua gangnya... menyeramkan."

"Heh, sepertinya aku jadi tambah bersemangat." Kagami berjalan lebih dulu. Melangkahkan kakinya lebih cepat, diikuti Aomine yang kelihatan jelas jikalau ia pun bersemangat. Oke! Aomine dan Kagami seketika seperti saudara yang terpisah lalu bertemu kembali.

Begitu sekawanan pelangi ini sampai, mereka disuguhkan pemandangan lapangan basket yang luas dengan penontonnya yang sorak-sorai bersemangat. Entah itu pria atau wanita.

Sementara terlihat jelas, lapangan basket tengah ramai dengan pertandingan two–on–two. Tidak jarang terlihat orang berpakaian serba hitam, bertopi, dan mengenakan masker. Semuanya pria.

"Itu mereka-ssu ka?" tanya Kise sembari menunjuk gerombolan pria dengan pakaian serba hitam.

"The Jerk," Takao bergidik mengucapkan nama gang itu.

"Aku akan berbicara dengan ketuanya." Aomine berbicara kemudian berjalan menghampiri pria dengan tubuh yang terlihat sama dengannya. Pakaiannya serba hitam begitu pun dengan surainya.

Salah seorang teman dari pria itu menyikutnya, menunjuk ke arah Aomine yang mendekat dengan dagunya. Pria itu menoleh, menatap Aomine heran.

"Oi! Kau... bertandinglah denganku," ucap Aomine spontan.

Pria itu menaikkan sebelah alisnya, menepuk punggung teman di sebelahnya sambil menaikkan sebelah senyumannya kemudian berdiri.

Pria itu tampan dengan wajah oval dan kulit putihnya, Aomine bahkan mengakui itu dalam batinnya. Namun, hal lain mengganggunya. Seakan-akan melihat pria ini sedikit familiar.

Pria menurunkan sedikit kepalanya. Menandakan jikalau ia mengakui Aaomine itu adalah lawan yang sepadan.

Pria itu berjalan melewati Aomine, menyentuh bola di lantai lapangan basket ditempatnya, bola itu memantul cepat dan langsung berada digenggamannya.

Ia kembali memutarkan tubuhnya, menghadap Aomine. Aomine pun menatap pria itu biasa saja. Malas, sesungguhnya.

"One–on–one, kuterima," jawab pria tampan itu.

Quarter pertama dimulai. Sorak-sorai penonton menggelegar di sekitar lapangan basket ini. Semua saling bersahut-sahutan—teriak sekuat-kuatnya—menyebut nama orang yang mereka dukung.

Terutama untuk pria tampan itu, beberapa wanita bahkan memanggil namanya sambil mengedipkan matanya untuk menarik perhatian pria itu. Namun, pria itu tidak peduli.

Aomine mendrible bola dengan cepat kemudian melakukan fake. Gerakan yang sama berulang-ulang ia lakukan, membuat pria yang menjadi lawannya mulai terbiasa dengan ritmen gerakannya. Ia pun selalu nyaris berhasil memblock Aomine.

Gerakan pria itu pun tentunya tidak bisa Aomine remehkan, ia tahu itu. Streetball style milik pria ini cukup membuatnya terkejut. Seperti pria di depannya ini cukup terbiasa melakukannya.

Gerakannya yang terbilang lincah itu berhasil menumbuhkan semangat bermainnya. Ah, lawan yang mungkin memang nyaris (atau bahkan bisa) menyetarainya.

Seperti gadis itu, [St/n]. Sejujurnya Aomine mengakui kemampuannya walaupun seorang gadis. Ia hampir menyetarai dirinya terlebih kemampuan pengamatannya untuk mengcopy gerakan lawan dengan sempurna hampir seperti Kise itu dirasa menyebalkan.

Aomine kali ini berhadapan langsung dengan pria itu sambil sedikit membungkukkan tubuhnya—bersiap dengan segala kemungkinan gerakan dadakan yang kelak diberikannya. Terlihat pria itu tersenyum dengan menaikkan sebelah sudut bibirnya.

"Tidak kusangka kau lebih hebat dariku, mungkin Hime-sama akan sangat senang merekrutmu," ucapnya.

"Asal kau tahu saja, yang bisa mengalahkan aku hanya aku," Aomine balas menaikkan sebelah sudut bibirnya. "Oh, dan aku tidak tertarik bergabung dengan gang konyol milikmu ini."

"Kita lihat saja." Pria itu bergerak mendadak begitu selesai mengucapkan kalimat simpel itu, begitu dirinya melakukan fake di depan Aomine dan berniat untuk berbelok mendadak dengan gerakan berputar. Tetiba saja, bola yang dirasanya tadi berada di tangannya hilang.

Ia menoleh bersamaan. Netranya dengan Aaomine menangkap sosok seorang gadis berpakaian serba hitam. Celana kulot hitam polos sepanjang tepat di bawah dengkulnya dan baju hitam dengan gambar skull abu-abu tepat ditengahnya membalut tubuh mungilnya.

Baju berpotongan crop tee itu membuat lekuk pinggulnya terlihat—bagian ujung lengan panjang dan bagian bawah bajunya yang merekat karet, membuat tubuhnya sedikit berisi.

Surai [h/c]nya terkuncir ponytail—mengenakan topi snapback hitam dengan gambar wajah Cheshire Cat yang menyeringai—ujung topinya terdapat tiga ring sebagai aksesoris tambahan. Wajahnya tertutup masker hitam, lengkap pula mengenakan kacamata berbingkai hitam dengan lensa lebar—manik [e/c] menatap Aomine dan pria itu tajam.

Aomine dan pria itu—yang berniat merebut bola dari gadis, gagal. Gadis itu melakukan gerakan angkle break yang sangat mirip dengan Akashi—Aomine dan pria itu terjatuh, sementara gadis itu sudah mengangkat bola tepat di dapan dadanya dengan sebelah tangannya.

"Kau!" ucap Aomine. Ia terbelalak melihat gerakan barusan, terkejut. Sangat.

Hanya Akashi yang bisa melakukan kemampuan angkle break itu. Kalau pun ada selain dirinya, sudah pasti [St/n] atau Kise.

"Hime-sama!" susul pria itu.

Pria tampan berperawakan tinggi itu segera berdiri—mengahadap gadis yang dipanggil 'Hime-sama' itu. Tak lama kemudian, Aomine ikut pula berdiri.

Netra gadis itu—[St/n]—menatap Aaomine tajam.

Semoga ia tidak menyadari ini diriku. Kalau iya, rencanaku bisa berantakan, batin [St/n].

Aomine kembali menatap gadis itu. Matanya juga menatap gadis itu tajam. Curiga, lebih tepatnya.

Apa jangan-jangan dia…. Aomine berpikir, menyelidik.

"Oi! Jangan mebatap Hime-sama seperti itu!" titah pria disamping [St/n]. Sementara [St/n] bergeming, diam.

"Oi, kau! Apa jangan-jangan kau…." Aomine mengabaikan pria di depannya. Tetap menatap menyelidik ke arah [St/n].

[St/n] tersentak. Ia berusaha tetap tenang. Kemudian berpikir, apa ia menyadari diriku? Atau….

"Stalker," lanjut Aomine akhirnya.

Sudah kuduga dia benar-benar bodoh, [St/n] membatin kembali, gadis ini bersweatdrop.

"Tidak ada yang bisa melakukan gerakan itu kecuali Akashi dan [St/n]. Kalaupun ada yang bisa, pastinya sering memperhatikan mereka berdua saat melakukannya dan butuh latihan," jelas Aomine panjang lebar.

"Anggap saja aku orang biasa yang kebetulan bisa melakukannya juga," balas [St/n] dingin. "Oi, Hide. Apa yang kau lakukan? Apa kau tahu siapa yang kau lawan?"

"Hime-sama, kau mengenal orang hitam ini?"

Hitam!? Aomine merasa tersindir.

[St/n] mengangguk kemudian menatap Aomine. "Aomine Daiki, ace dari Generation of Miracles. Kalau aku tidak langsung menghentikan ini, mungkin saja kau sudah kalah dengan selisih point tiga kali lipat dari total pointmu," jelas sang gadis.

"Bagaimana kalau kita melakukan pertandingan persahabatan, siapa pun yang menang, bisa tetap bermain dilapangan ini, 'kan?"

Sebuah suara bariton menyapa indra pendengaran [St/n]. Matanya terbelalak begitu mendapati sosok pria berperawakan kecil dengan surai red pinkish dan manik crimsonnya.

Tidak lupa wajah tampan dan senyuman menawan yang begitu ia mengucapkan kalimat simpel tadi dan mendekati Aomine—bisik dan sorakan ramai bahkan berteriak menyebut namanya—tentunya seorang gadis.

Ah, sial! Umpat sang gadis. Kenapa Takao sampai membawa Seijuro-kun kesini juga!? Dan lagi… dengan yang lain?

"Bagaimana menurutmu…." Akashi menggantungkan kalimatnya. [St/n] berusaha tenang. Matanya menatap Akashi tajam. "[St/—"

"Aku pinjam dulu!"

"Akashi!"

"Hime-sama!"

Astaga, Akashi! Kenapa ia menyebut nama gadis itu—tunangannya?! Bagaimana ia tahu? Bersyukurlah [St/n] langsung menarik Akashi pergi dari lapangan dan membawanya tepat di samping WC umum tak jauh dari lapangan basket itu. Berbicara empat mata.

[St/n] berdiri tepat berhadapan dengan Akashi. Di samping kanannya tepat tembok abu-abu tinggi menghalangi. Ia melepaskan masker hitam yang menutup setengah wajahnya itu dengan cepat.

"Kenapa kau disini? Dan bagaimana kau—"

"Sudah kuduga itu kau."

Eh!? Apa maksudnya?

Akashi tersenyum. Ia meletakkan tangan kiri tepat di tembok yang dekat dengan telinga [St/n] kemudian mendekatkan wajahnya pada sang gadis. Tunangannya itu.

"Tadinya aku ragu itu kau, tapi melihatnya sekarang, ternyata perkiraanku benar," lanjut Akashi kemudian. Ia terkekeh pelan.

[St/n] terkejut. Ah, sial! Kenapa ia bodoh sekali!? Ingin sekali ia mengutuk dirinya sendiri karena kebodohannya.

Astaga! Kalau saja ia tetap tenang dan berpura-pura bodoh saat mendengar namanya sendiri disebut—yap! Berpura-pura tidak mengenal nama itu, hanya tahu sebatas ia tunangan dari Akashi lewat berita TV—bodoh! Sekarang bagaimana?!

"Kau—ah, aku bodoh sekali!" [St/n] mengigit bibir bawahnya. Alisnya saling bertautan. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan menyandarkan punggungnya. Berusaha berpikir. Berpikir apa rencana selanjutnya. Masalahnya adalah jikalau Hideo bertanya tentang sikapnya yang aneh, atau tetiba dirinya menarik Akashi.

"Hime-sama," panggil Akashi. Gadis itu pun menoleh. Namun ia terkejut begitu Akashi tepat berada di depannya—mekabe-don dirinya—Akashi meletakkan kedua tangannya tepat di samping kanan dan kirinya.

"Etto… kenapa kau—"

"Aku tidak suka."

Eh!?

Yang membuat [St/n] terkejut bukan karena dirinya dikabe-don, melainkan nada suara dan tatapan dingin yang Akashi berikan itu… membuatnya terkejut.

"Ano… Akashi… -kun?"

"Kenapa kau memanggilku begitu, [St/n]?" tanya Akashi datar.

"Oh, ternyata memang benar kau Tuan Muda?" [St/n] mulai malas. "Ada apa—"

"Ini aku," sela Akashi.

"Uso!"

Akashi pasrah. Ia membuang wajahnya, malas juga. "Terserah kau mau percaya atau tidak, ini jelas aku," tegasnya.

"Buktikan," balas [St/n] santai. Ia sedikit mendongakkan kepalanya. Menatap Akashi dingin.

Dengan cepat Akashi sudah menempelkan bibirnya tepat di bibir [St/n], melumatnya tanpa ampun. [St/n] yang tidak mengira bibirnya dilumat—bergeming diam, terkejut.

Perlahan tangan kanan Akashi menarik perlahan tengkuk [St/n], sementara tangan kirinya melingkar di pinggul sang gadis.

[St/n] yang sudah sadar dari keterkejutannya, berusaha melepaskan lumatan itu dengan mendorong sekuat tenaga dada atletis milik Akashi. Namun, sang empu tidak bergerak sedikit pun.

Tanpa pikir panjang, [St/n] menggigit bibir bawah Akashi. Akashi pun spontan memundurkan dirinya sambil sedikit menyentuh sudut bibirnya.

"Apa yang kau lakukan!?" sarkas [St/n] sembari menutupi bibirnya dengan punggung tangannya.

"Tentu saja membuktikannya," jawab Akashi santai.

[St/n] mengenduskan nafasnya. Ia tidak percaya Akashi sampai melakukan itu. Memang kalau dipikir-pikir Tuan–Muda–Maha–Absolut itu belum pernah menciumnya lagi sejak terakhir kalinya saat malam di taman itu, terlebih seperti tadi.

"A-a-aku percaya. Tapi… kau jangan melakukan seperti tadi…." [St/n] menatap Akashi ragu. Masih menutup bibirnya. "Aku… terkejut," gumamnya kemudian.

Akashi terkekeh. Dia tersenyum kemudian. "Kenapa kau tidak percaya itu aku?" tanyanya kemudian.

"Karena kau tiba-tiba aneh, kau tidak pernah seperti ini. Kau marah hanya karena seorang pria memanggilku 'Hime-sama'? Kau seperti kekasih yang cemburu," tukas [St/n] cepat.

Akashi tertegun. Cemburu? Memangnya cemburu? Bukankah ini hanya perasaan [St/n] saja? Kalau begini, bukankah ia juga menjadi lebih possesive?

Cemburu? Memangnya—aku bahkan tidak tahu rasanya cemburu. Apa ini… cemburu? Akashi membatin, meyakinkan dirinya. Bertanya-tanya dalam gemercik pikirannya.

"Sudahlah lupakan itu, jadi bagaimana? Pekerjaanku jadi berantakan!" [St/n] menautkan alisnya, menggigit ibu jarinya frustasi. Sekaligus kesal dengan dirinya.

Akashi menghela nafasnya. Ia mengucapkan, "aku akan membantumu. Tapi sebelumnya…."

Ceritakan soal pekerjaanmu ini.

👑

[St/n] kembali ke mansion mewahnya yang luas tepat saat makan malam. Saat ia memasuki rumah, ia sudah berganti pakaian menjadi pakaian formal.

Pakaian yang biasa ia kenakan saat bekerja. Kemeja putih dengan rok hitam dan jas yang senada dengan roknya sepanjang lutut. Rambutnya ia kuncir ponytail seperti tadi, hanya saja ini sedikit lebih rapih.

Gadis sadistic ini sudah usai dari kegiatan makan malamnya. Ia pun langsung menghilang. Sementara Kisedai bersama Takao dan Kagami bersantai menikmati malam liburan mereka setelah cukup lelah selama seharian ini latihan. Lebih tepatnya streetball diberbagai tempat yang mereka serempak kunjungi.

"Aku pergi sebentar, menemui [St/n]," sahut Takao, sopan. Iia berdiri dan membalikkan tubuhnya.

Tak lama kemudian Akashi menyusul Takao tepat dibelakangnya.

"Nanase-san, dimana [St/n]? Dia di ruangannya?" tanya Takao setengah berbisik.

"Tak perlu bicara seperti itu, Takao." Takao berbalik cepat, ia terkejut begitu mendapati Akashi sudah berdiri tepat di belakangnya sembari memasukkan kedua tangannya dalam saku.

"Akashi-kun… ada perlu—"

"Aku juga mencarinya. [St/n]," sela Akashi cepat.

Takao terkejut. Ia bingung harus menjelaskannya bagaimana. Tidak mungkin ia mengantar Akashi ke dalam ruang pribadi miliknya yang bahkan gadis yang dicarinya jelas tidak ada di dalam.

Yap! Takao tahu itu. Ruangannya yang sesungguhnya bukanlah kamar tidur atau ruangan ia bekerja didepan laptop miliknya selama berjam-jam.

"Kalau begitu tolong ikuti saya, Tuan Muda Takao… dan juga Tuan Muda Akashi," Nanase berucap sopan.

Takao menghentikan langkah Nanase begitu ia ingin pergi dengan menahan pergelangan tangan wanita tua itu. Kemudian berucap, "Nanase-san bukankah—"

Nanase menyentuh lembut tangan Takao yang menggenggamnya. Ia menenangkan, "Tuan Putri sudah mengizinkannya, ia juga sudah cerita semua pada saya, Tuan Muda. Anda juga ditunggu disana." Berucap lembut.

Takao melepaskan pegangannya. Kemudian kembali berjalan mengikuti Nanase di belakang bersama Akashi tanpa suara.

"Disaat seperti ini, Tuan Putri jarang berada di ruang kerja atau ruangan pribadinya, ia lebih sering menghabiskan waktunya di dalam basement." Nanase tetiba membuka suara. Ia kembali menjelaskan, "tidak ada yang tahu ruangan ini kecuali orang tua, Tuan Muda Takao, dan saya sendiri. Dan yang bisa masuk tentunya hanya Tuan Putri, dua ekor kucing kesayangannya, dan saya."

Nanase berhenti di depan tembok besar berpola simetris. Garis pintu masuknya tidak terlihat karena di design memang untuk ruangan rahasia.

Tangan Nanase menekan tembok kemudian pintu kecil terbuka dan menyembul keluar keyboard angka. Nanase memasukkan empat digit angka, setelah password dikonfirmasi, ia memasukkan kunci dengan bentuk yang berbeda—jarang ditemukan, lebih tepatnya.

Tak lama, tembok simetris di depan Takao dan Akashi membuka lebar pintu seukuran pintu normal dengan bergeser kesamping. Di dalamnya mereka mendapati lorong dengan penerangan cahaya lampu yang cukup terang dengan alasnya karpet yang lembut. Jelas lorong itu terlihat semakin menuju kebawah.

Nanase mempersilahkan Takao dan Akashi masuk, kedua pria ini mengangguk dan melangkahkan kakinya kedalam. Setelah semuanya masuk, pintu utama kembali tertutup, tombol keyboard angkanya pun kembali bersembunyi dengan sempurna.

Sejujurnya Takao bersemangat memasuki ruangan ini. Toh, ia memang tahu keberadaan ruangan ini dan pernah masuk pula, namun sampainya diujung koridor. Ia disuguhkan pintu otomatis yang hanya bisa dibuka menggunakan sidik jari dan eyes scan atau mendapatkan izin masuk dari dalam.

Ia memang bisa bertemu [St/n] yang ada di dalam, namun itu pun Takao hanya berbicara melalui layar LCD yang terpampang, gelombang suaranya pun hanya dikirim melalui gelombang elektromagnetik.

Sampailah Nanase mengantar Takao dengan Akashi diujung koridor. Nanase menekan tombol kemudian berbicara, "Tuan Putri, ini saya. Tuan Muda Akashi dan Tuan Muda Takao izin masuk."

Layar LCD keluar dari atap dinding kemudian berhenti tepat di depan Takao. Layar menampilkan siluet seorang gadis yang amat mereka kenal. [F/n]. Sambil mengemut permen batangan rasa kesukaannya.

[…Ada apa?…]

[St/n] bertanya melalui layar proyeksi.

"Aku ingin membicarakan hal yang tadi," Akashi menjawab.

"Aku menerima undanganmu," tambah Takao.

[…Izin diterima…]

Layar LCD kembali menghilang melewati atap. Tak lama kemudian pintu terbuka. Nanase dengan sopan mengangguk, memberikan tanda agar Takao dan Akashi segera masuk. Setelah mereka masuk, pintu kembali tertutup cepat. Nanase menutupnya dan menguncinya dari luar.

Ruangan basement yang mereka masuki sangat luas. Hampir seluas Gymnasium. Di depan mereka terdapat layar LCD seukuran dinding yang bercahaya, menampilkan gambaran berupa akuarium dasar laut.

Sisi kanan dan kiri layar LCD raksasa itu berjejer belasan komputer. Tepat di bawahnya meja panjang dengan tiga keyboard diatasnya juga mouse dan mouse padnya lengkap—dikanan, kiri, dan depannya.

Tengah ruangan terdapat sofa panjang lengkap dengan mejanya yang diatasnya tertumpuk banyak kertas dan dokumen penting. Sebelah kanan mereka ada ruangan kaca.

Yap! Ruangan dalam ruangan. Alas ruangan kaca itu sedikit tinggi sampai hampir setinggi 1,5 m—tersedia tangga menuju kedalamnya, sekilas Akashi dan Takao lihat disana terletak tempat tidur.

Di depan tempat tidur, terjejer rapih buku-buku dalam rak minimalis. Sebelah kirinya pun sama, ada ruang kaca yang seukuran ruang kaca tidur.

Didalamnya berbagai macam perlengkapan ilmiah. Ruang kaca itu jelas terlihat sangat bersih. Lemari kaca tersusun rapih di dalamnya berbagai cairan kimia bahkan terdapat alat laminar air flow pula. Didepannya pula terjejer rapih buku-buku dalam rak yang sama.

Setelah Akashi dan Takao berjalan sampai tepat dibelakang salah satu bangku ditengah layar LCD sebesar tembok itu—bangku di depannya berputar—diatasnya sosok gadis yang mereka cari duduk bersandar sambil mengemut permen.

Yang membuat mereka mematung adalah… Akashi bahkan Takao nyaris tidak mengenalnya. [St/n] mengenakan bawahan piyama atasnya ia tambah dengan hoody berwarna merah marun. Rambutnya ia kuncir ponytail asal dan mengenakan kacamata—kacamata seperti biasa. Dan masih… mengemut permen.

"Youkoso… [St/n] Secret Room."




















Haloha! Bagaimana chapter kali ini? Keliatan gak hasil perjuangan mencari referensi saiah (IYKWIM) :v ??? Wkwkwk~ soal basement itu '-' imajinasi kalian sampe, 'kan?  '3' kalo ditanya gimana gambarnya sampe minta contoh sepertinya saiah gak bisa 😂 soalnya murni imajinasi saiah soal basement itu dengan sedikit referensi gambar-gambar dari google :""" maap keun saia yak :'3

Oke saia double update aja :3 terima kasih yang udah ngasih ucapan baek-baek atau pun sejenisnya, yak :'v saia terhura :"""

Next chapter review! Masalah ini kelar di chapter selanjutnya, yeay! \:v/ jadi, Reader-tachi disini lagi nyelesain bisnis :v bisnis apa? Nanti dikasih tau di chapter selanjutnya~ dan—WOW! Akashi doing something that suprised me (actually you, Reader-tachi) Akashi mulai aneh semakin bersama dengan Reader-tachi :v paham, 'kan? Paham, lah~ masa iya ginian gapaham 😆

Oh, iya '-' terimakasih yang udah baca sampe sini :3 saiah terkejut ternyata beneran jadi banyak ini cerita chapternya 😂😂🔫 iyak, bisa sampe 50+ oh, selo aja ini udah tamat kok di otak saiah gimana akhirnya :v BadEnd or GoodEnd ya kira-kira 😣 ~

Kepo? Baca terus :v jangan lupa kasih vote biar bisa double update XD atau triple update? 😝 kritik dan sarannya juga boleh :v ~

Terima Kasih _(:3 J    )_





Neko Kurosaki

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro