(3)
♠♠♠
Istirahat kali ini. Tanpa buang-buang waktu lagi [St/n] segera menelusuri koridor-koridor kampusnya menuju taman belakang sekolah.
Tidak sedikit orang yang hanya sekadar menyapa sang gadis dan dia membalasnya. Bahkan tidak jarang [St/n] lebih banyak menerima tepukan bahu dan tepuk tangan saat gadis manis itu lewat di depan gerombolan beberapa anak. Khususnya para pria.
Orang yang [St/n] temui selama perjalanannya kali ini hanya 2, yaitu Takao dan temannya yang dia tahu bernama Shintaro Midorima. Takao, ia dan sepupunya itu berpapasan di depan kelas biologi, saat sepupunya baru saja keluar kelas dan langsung berniat menarik dirinya agar mau istirahat makan siang bersama dengannya. [St/n] tahu akan hal itu, alhasil dia menarik kembali pergelangan tangannya agar tidak ikut dengan sepupu menyebalkannya itu.
"Yaudah aku nyerah, jadi... kau mau kemana buru-buru begitu?" tanyanya polos.
[St/n] menghela nafas pelan, lalu kembali menatap sepupunya malas. Dia menyodorkan dua surat yang baru saja dia dapati selama jam pelajaran berlangsung.
"Entah sudah ke berapa kalinya dia mengirim ini, biarkan saja. Aku mau ke taman setelah itu ke Gymnasium. Ja."
[St/n] pergi begitu saja. Di sisi lain Takao mendapat ide jahil di otaknya. Jelas dia menunjukkan senyuman konyol sambil tertawa-tawa sendiri, membuat orang yang lewat di depannya menatapnya heran.
Sementara Midorima, ia bertemu pria yang hari ini membawa boneka harimau coklat kecil di tangannya yang berdiri di depan kelas. [St/n] memprediksi, jika ia sedang menunggu seseorang dalam kelas itu. [St/n] memutuskan untuk tidak menyapanya. Toh, walaupun dirinya tahu siapa dia tapi mereka tidak dekat, bukan? [St/n] lebih memilih menyelesaikan urusannya siang ini dengan cepat, dikarenakan ada beberapa urusan penting lainnya yang harus dia selesaikan.
👑
Ketika [St/n] sampai di taman, pria bersurai hitam itu ternyata memang sudah menunggu di sana. Ia duduk di bawah pohon cemara tinggi yang banyak berjejeran di sepanjang taman itu. Matahari yang cukup hangat, menyusup halus ke sela-sela dedaunan dan menimpa kulit putih mulusnya bak boneka porselen. [St/n] berjalan tenang ke arah orang itu sambil tersenyum lembut.
Pria itu refleks bangun di hadapan sang gadis sambil memegang tengkuknya begitu menyadari gadis itu sudah berada di hadapannya.
"Ano sa... [L/n], arigatou... sudah membantuku waktu itu."
[St/n] kembali terperanjat lalu diam. Ahh... [St/n] ingat, sewaktu pria di depannya memukul segerombolan pria di belakang sekolah karena dia melihat aksi pelecehan yang di lakukan beberapa seniornya. [St/n] membelanya dan menjadi saksi untuk dirinya saat dia hampir di keluarkan dari sekolah.
[St/n] kembali mengembangkan senyumannya, "iee... douitashimashite."
Seketika wajah pria itu bersemu merah—kala melihat gadis yang perawakan lebih kecil darinya yang tersenyum seperti itu padanya. Dia jelas tahu siapa sebenarnya [F/n], di luar. Namun di dalamnya? Siapa yang menyangka kalau sang gadis manis ini adalah gadis sadistic?
"Ano [L/n]... douka... sukiatte kudasai!" dia membungkuk 90° padanya.
"Heeeh..."
Glek!
Pria itu spontan menoleh ke arah [St/n]. Tampak senyuman menyeramkan dengan seringaian gadis di depannya itu berikan, bisa di bilang [St/n] memberikan senyuman yang mengisyaratkan entahlah apa itu, karena pria di depannya ini baru pertama kali melihat senyuman itu.
"Saaa... douka naa?" ucap sang gadis dengan nada horror.
Pria di depan [St/n] menegakkan tubuhnya, gemetar yang ia rasakan sangat hebat. Bahkan keringat dingin tidak sedikit yang meluncur pada pelipisnya. [St/n] menghela nafas pelan, lalu menatapnya datar sedikit bingung.
"Apa... tidak bisa?"
"Tidak, bukannya tidak bisa... etto... paling tidak jika kau tidak lebih pintar dariku. Umm... apa kamu senang kalau di sakiti?"
"Eh?!"
"Biasanya aku memberikan keringanan jika kekasihku tidak lebih pintar dariku. Jadi... aku suka menyiksa kekasihku sendiri tentu, kau harus benar-benar tunduk padaku. Bagaimana?"
"EEEEEEEHH?!! aku tidak menyangka kau—"
"Aku tahu...," ucapmu singkat. Tak lama kemudian [St/n] kembali tersenyum lembut pada pria di depannya, mengulurkan tangannya untuk di jabat, kemudian kembali mengucapkan, "aku tahu kalau aku ini gadis yang mengkhawatirkan. Kalau begitu bagaimana jika menjadi temanku saja?"
[St/n] tahu jika dia seperti ini terus, dia akan sulit untuk mencari tipe pria yang sesuai atau mau menerima dirinya. Seaneh apapun dirinya, segila apapun dirinya, juga... se-extraordinary wild dirinya, tetap ingin menerimanya kelak.
Tak lama setelah pria di depannya tertegum, dia tersenyum. Lalu menjabat tangan [St/n]. "yoroshiku, [St/n]-chan."
Setelah selesai dengan urusan yang satu ini. [St/n] segera berbalik dan menghampiri masalah yang selanjutnya. Yup! pergi menuju Gymnasium.
👑
Sebelum [St/n] benar-benar sampai di sana. Dia berpapasan dengan seseorang bersurai red pinkish. Tampak orang yang tingginya tidak jauh darinya itu menoleh pada gadis belia ini. crimson eyes-nya bertemu dengan manik [e/c] milik [St/n], saling bertatap tanpa mengatakan apapun.
Sementara Akashi yang memandang gadis di depannya berlalu begitu saja, menatap sang gadis aneh. Tak lama kemudian dia beradu argumen lagi dalam pikirannya yang lain.
"Berani sekali dia, kontak mata langsung tanpa melayaniku."
"Biarkan saja, lagipula—"
"Akasi-kun!"
Tubuh Akashi kembali terisi tiba-tiba. Seketika dia tersadar dari lamunannya begitu mendengar suara yang tak asing di telinganya menyapa pendengarannya. Dia pun menoleh kebelakang, mendapati rekan dari tim basketnya menyapa indra pendengarannya itu.
"Kuroko to Kagami, 'kah?" gumamnya.
"Semuanya menunggu di Gym, kau mau ikut?" tanya Kuroko.
"Gym? Tak biasanya," batinnya.
Tanpa menjawabnya Akashi langsung berbalik, berjalan, menuju arah yang sama dengan [St/n]. Batinnya masih bertanya-tanya. Tak biasanya dia di ajak untuk berkumpul di Gymnasium, bahkan saat Akashi kembali bertanya pada Kuroko siapa gerangan yang mengajaknya untuk berkumpul di Gym. Kuroko hanya menjawabnya dengan gelengan kepala kecil lalu menaikkan bahu tak acuh.
👑
Pria yang sama, di waktu yang sama, hari yang berbeda. Pria dengan surai orange mengirimi [St/n] surat untuk kesekian kalinya.
Sesampainya [St/n] di depan pria itu, dia memberikan surat pink dengan perekat love berwarna merah pada pria di depannya. pria itu segera membuka suratnya. Mendapati surat cinta dia yang gadis itu perbaiki penggunaan kosa kata Bahasa Inggris-nya yang salah.
Sret!
Takao mengambil surat itu tiba-tiba dari genggaman pria di sampingnya dengan cepat. Entah sejak kapan Takao juga sudah berada di Gym. Terlebih lagi dengan cepat dia sudah berada di samping pria di depan [St/n].
Dia menahan tawanya, kemudian melepaskannya begitu saja. "Astaga! Suratmu di perbaiki. Lagi?! Pfft."
[St/n] menoleh ke arah pria yang terdiam di depannya. Kemudian menghela nafas pelan lalu menatapnya bosan. Sang gadis berbalik, mengambil bola basket yang berada tak jauh di belakangnya.
"Kau bisa main basket, 'kan? Kalau begitu one-on-one satu quarter denganku. Jika aku kalah aku akan menerimamu."
Kamu tersenyum lembut pada pria di depanmu. Sementara pria itu langsung tersenyum miring tanda dia menerima tantanganmu, sedangkan Takao melihatmu tidak percaya. Toh, bagaimana jika [St/n] kalah lalu menerimanya? Apa yang terjadi kelak dengan pertunangannya nanti? itulah hal yang di khawatirkan Takao dan Takao juga tidak yakin jika sepupunya ini bisa bermain basket atau tidak.
"O-ooi! [St/n], apa kau yakin!?"
Gadis itu merucutkan bibir mungilnya, lalu menatap Takao polos. "Tentu saja."
Di sisi lain. Aomine dan Kise baru saja sampai di Gym. Yup! Mereka juga diminta seseorang untuk berkumpul di Gym dengan alasan akan ada kejadian yang menarik. Entah kedua orang ini percaya atau tidak, tapi yang jelas mereka tetap datang.
"Ada apa ini?" tanya Kise.
Gadis yang berdiri tepat di depan Kise menoleh dengan cepat, tampak rona merah bersemu di pipinya.
"Ahh Kise-kun, 'kah? [L/n]-san mengajak Shinkai-san one-on-one."
Kise hanya ber-'oh' ria. Sedangkan Aomine yang menatap [St/n] jauh di tengah lapangan Gym dengan malasnya.
"Jadi... apa hadiahnya kali ini?" tanya Kise lagi.
"Huh? Hadiah?" tanya balik Aomine.
Kise menatap Aomine tidak percaya. Toh, dia bisa-bisanya tidak mengenal gadis yang terkenal pintar juga cantik seperti [F/n]. Yaa... Kise mengenalmu, secara positif.
"Kau tidak tahu, Aominecchi? [St/n]cchi selalu mendapat pengakuan-ssu. Tapi tidak pernah menerimanya jika pria itu lebih bodoh atau tidak bisa melampauinya-ssu."
"Haah!? Sombong sekali dia!"
"Umm... hadiah kali ini," gadis itu, Aomine, dan Kise menatap [St/n] kembali yang tersenyum di tengah lapangan. "[L/n]-san akan menerima pengakuannya."
[St/n] bukan gadis yang sombong atau yang lainnya. Tapi karakternya yang sangat membenci hal-hal berbau male chauvinism-lah yang membuatnya seperti ini. Bisa di bilang gadis ini juga sangat membenci laki-laki, khususnya dengan laki-laki yang suka memberikan perintah, memiliki nada bicara yang terkesan tinggi, dan terlalu dingin.
Tak lama kemudian permainan di mulai. Tentu [St/n] dengan mudah memenangkan pertandingan ini, sebagai gadis yang sering kabur dari rumah untuk merasakan kebebasan termasuk jeratan dari aturan-aturan yang dibuat orang tuanya. Tentu tidak jarang juga gadis manis ini bermain streetball di luar sana dengan orang-orang yang dia temui.
10 menit berlalu, skor menunjukkan 75-15.
Kemenangan telak dia raih. Kise yang berdiri jauh di pinggir lapangan hanya tertawa ria, sedikit terkejut atau entah lah apa itu. Tapi yang jelas dia tidak percaya. Bahwa seorang gadis muda nan manis di depannya ini memiliki hal-hal dalam dirinya yang belum pernah dia lihat.
"Aominecchi bagai—heee?! sejak kapan dia menghilang-ssu?!"
Aomine tidak keluar Gym, lebih tepatnya dia berjalan mendekat ke tengah Gym sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya.
Dia berhenti, tepat di depan kakinya terdapat bola basket. Dia mengambilnya dan melemparkannya ke arah [St/n] tiba-tiba. Namun dengan sigap sang gadis menangkapnya dan melihat sosok pria bersurai navy itu.
"Apa maksudmu?" tanya gadis itu sedikit sarkastik.
"Bagaimana jika aku katakan 'aku ingin kau one-on-one denganku' bagaimana?" jelasnya dengan tersenyum miring.
[St/n] belum menjawab tantangan dari Aomine, justru sang gadis berbalik mendekati pria yang menundukkan kepalanya di bawah. Dia tampak menyerah... benar-benar menyerah setelah di permalukan oleh gadis yang disukainya berkali-kali.
Love letter yang dia harap dapat di jawab hanya dengan 'iya' atau 'tidak' justru di jawab dengan koreksian menggunakan tinta merah. Tentu bukan kali pertamanya ini terjadi.
Kesempatan kedua dari yang [St/n] berikan pun tidak bisa dia menangkan. Sang gadis mengerti akan hal itu, tapi bukan berarti dia benar-benar jahat. Hanya saja ada alasan khusus [St/n] selalu menolak setiap pria yang menyatakan perasaannya padanya, dan itu...
"Gomennasai, aku benar-benar tidak bisa menerimamu. Jika kau masih tetap mau... kau harus tunduk padaku." [St/n] tersenyum. Yaa... senyuman yang menyeramkan, bahkan Takao yang melihatmu lebih memilih mundur dan bersembunyi di balik Midorima yang baru saja datang di belakang Aomine.
Tapi tak lama kemudian senyuman itu berubah, menjadi senyuman yang terkesan lembut, menyenangkan, dan bersahabat.
"Aku juga bukan gadis baik yang kau pikirkan, sebaiknya menyerah saja. Setidaknya bagaimana jika kau menjadi temanku? bukankah itu sudah cukup juga?" lanjut sang gadis.
Pria bersurai orange itu membulatkan maniknya sempurna, dia tidak bisa menerimanya. Walaupun dia tahu akan percuma jika memaksakan kehendaknya, karena keras kepalanya gadis yang disukainya ini.
Pria di depan [St/n] berdiri lalu berdecih pelan dan tersenyum, kemudian dia menyodorkan tangannya dan langsung gadis di depannya itu jabat. [St/n] kembali menyunggingkan senyuman cerianya, membuat pria di depannya gemas dengan dirinya. Juga membuat pria bersurai orange itu sulit melepas [St/n] begitu saja.
Bahkan karakter sebenarnya yang menyatakan kalau gadis ini, [F/n] adalah gadis sadistic hanya di anggap angin lewat saja. Entah pria itu mengerti maksud pernyataan sang gadis atau tidak, hanya di biarkan begitu saja oleh [St/n] sendiri.
Tak lama [St/n] kembali berbalik menghadap pria bersurai navy itu dengan bola basket masih dalam genggamannya. Kemudian gadis manis itu melempar bola itu pada Aomine, Aomine pun menerimanya.
"Aku menerima tantanganmu."
[St/n] dan Aomine berdiri berhadapan di tengah lapangan basket di Gym. Sementara Akashi, Kuroko, dan Kagami yang baru saja sampai dan di suguhkan pemandangan Aomine yang bertanding one-on-one dengan gadis yang mereka tidak kenal.
Kagami yang tahu kalau Aomine menantangmu, tertawa. Bertanding melawan perempuan? Apa tidak salah? Yaa... walaupun tadi [St/n] bisa menang, apa mungkin melawan ace dari Generation of Miracles dapat menang? Ditambah lagi dia ini laki-laki!
Selama pertandingan di mulai. [St/n] cukup bersenang-senang, bahkan sangat bersemangat. Toh, belum ada yang menyeimbangi kemampuan basketnya, walaupun dirinya ini seorang wanita. Tentu membuatmu bersemangat.
10 menit berlalu, skor menunjukkan 55-57.
Kemenangan untuk Aomine, jelas. [St/n] yang menundukkan wajahnya sambil menarik nafasnya yang tersedak-sedak. Sementara Aomine menatap gadis di depannya datar yang berdiri tak jauh darinya.
Aomine berjalan mendekat ke arah gadis yang jelas lebih pendek darinya dan Takao, berada di belakang sepupunya dengan raut khawatir, takut akan sepupunya mengamuk atau sejenisnya.
"Ahhh... permainan yang menyenangkan," ucap [St/n] tiba-tiba. Dia menaikkan wajahnya dan tersenyum melihat pria berusrai navy di depannya. Ucapan yang bersemangat, penuh energik, juga tampak berbunga-bunga. Takao yang melihat sepupu manisnya tersenyum karena kekalahannya sendiri, bingung. Sementara Aomine terkejut.
"Kenapa kau bisa bersenang-senang seperti itu? Jelas sekali kalau kau kalah," sahut Aomine.
Sang gadis berpikir keras. Mencari-cari jawaban. "Kenapa? Bukankah kekalahan itu menyenangkan? Lagipula kalau aku selalu menang, aku tidak bisa bersenang-senang seperti ini."
Aomine membulatkan matanya sempurna. Dia menganggap gadis berparas cantik ini aneh, bagaimana tidak? Untuk pertama kalinya [St/n] kalah, dia juga menerima kekalahannya bahkan menyebutnya menyenangkan?
Yang Aomine tahu, seseorang selalu mendambakan kemenangan. Tapi melihat gadis di depannya yang senang karena kekalahannya sendiri... dia benar-benar tidak mengerti.
[St/n] mengulurkan tangannya untuk di jabat lalu tersenyum. "Watashi [F/n] desu, yoroshiku Aomine Daiki-kun."
Aomine terperangah. Dia cukup tertegum karena [St/n] mengetahui namanya, bahkan nama lengkap. Tentu saja, karena telinga kecil [St/n] hampir terbakar mendengar cerita panjang kali lebar sama dengan luas dari Takao yang bercerita tentang teman-teman dari tim basketnya
Aomine ikut tersenyum, menjabat tanganmu. "Yoroshiku, [St/n]."
Bel tiba-tiba berbunyi. [St/n] yang tersadar langsung mengambil jas miliknya yang di letakkan di bench yang tak jauh darinya kemudian berlari kecil, keluar dari gedung Gym.
"Oii hadiahku?!"
"Besok saja!"
Aomine berdecih lalu tersenyum. "Dia benar-benar... kawaii." gumamnya.
Takao yang tampak masih terkejut masih berdiri memandang sepupunya itu. Tapi tak lama kemudian dia tersenyum bodoh. Yup! Dia mendapatkan sebuah ide lain... ide untuk membuat seorang [F/n] bertemu dengan calon tunangan sepupunya yang keras kepala ini.
Sementara Akashi sendiri. Tidak mengeluarkan mimik apapun. Namun dia memikirkan perkataan gadis yang tidak dia kenal itu. Yaa... perkataan sang gadis tentang kekalahannya sendiri. Akashi masih ingat dengan sangat baik, kekalahan yang dia rasakan sangat sakit. Tapi kenapa gadis tadi bisa berkata kalau kekalahan itu menyenangkan?
"Apa dia bodoh? Menyenangkan? Pasti itu bualan dia saja!" ucap Bokushi.
"Menurutmu begitu? Bagaimana jika dia serius menganggapnya begitu?"
"Aku tidak peduli, tapi yang jelas dia terlihat seperti anjing liar."
"Bagaimana jika aku katakan...," Oreshi tersenyum. Dia kembali lagi pada tubuh Seijuro Akashi.
"Dia menarik."
"Akashi-kun, barusan kau bilang apa?" tanya Kuroko tiba-tiba.
"Tidak ada, aku akan kembali ke kelas lebih dulu."
👑
Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam. Waktunya [St/n] belajar dengan Takao. Bahkan di rumah, tidak ada henti-hentinya Takao di hujani soal-soal iblis oleh sepupunya yang sadistic ini. Jikalau Takao bisa tidak mengerjakannya, maka dia akan melakukannya. Tapi kalau dia tidak mengerjakan soal dari [St/n], sang gadis pasti akan merobek seragam sekolahnya.
Setelah beberapa puluh menit Takao selesai mengerjakan soal dari sepupunya ini. [St/n] mengkoreksinya dan...
Sret!
[St/n] meletakkan selebaran soal yang sudah di koreksi olehnya. gadis itu memijat keningnya—kala Takao masih belum ada peningkatan sedikit pun dalam belajarnya.
Nilainya 1.
Kalau [St/n] tidak memberikan nilai belas kasihan atas nama yang dia tulis satu-satunya benar. Mungkin [St/n] hanya akan menatap kertas itu dan langsung melemparnya begitu saja. Bahkan terkadang tanpa menatapnya lagi, kertas itu pasti sudah di robek-robek sekecil mungkin.
Yaa... bisa dikatakan dari 50 soal campuran Matematika dan Bahasa. Dia hanya benar menulis ejaan namanya saja.
"[St/n] memangnya kau tidak bisa memberikan soal yang mudah?"
"Astaga, Takao! Itu sudah mudah."
"Ini tidak—clepp!"
[St/n] menancapkan art knife miliknya ke atas kertas milik Takao. Tentu saja sontak membuat dia terkejut dan langsung terdiam, tidak ingin membuat masalah dengan gadis di depannya lagi.
"Baiklah aku mengerti! Jadi... bagaimana urusanmu dengan Aomine? Kau sudah memberikan hadiah kemenangan dia?"
"Belum."
Takao menghela nafas pelan. "Nanti kau ketemu saja dengannya di atap sekolah."
Sang gadis sempat berpikir untuk setuju dengan ide sepupu bodohnya ini, namun pikiran itu segera ia buang jauh-jauh. Toh, Aomine pasti akan bersama dengan teman-temannya yang lain, 'kan?
"Aku tidak bisa, kau saja yang tanyakan padanya."
Takao kembali menghelakan nafasnya. "Sudah kuduga kau akan mengatakan hal itu. Dengar [St/n]! Kalau kau bertemu dengan teman-teman dari tim basketnya, mungkin saja kau akan bertemu orang-orang yang menarik perhatianmu."
"Maksudmu?"
"Kau tahu, 'kan? Mungkin saja kau bisa dekat dengan orang yang pastinya bisa melampaui nilai sempurna milikmu itu."
"Hah?! Apa maksudmu Takao? Memangnya ada?"
"Yaa... orang itu baru saja kembali, dia juga baru masuk di Universitas yang sama dengan kita."
[St/n] mulai kembali berpikir keras. Bertopang dagu dan sesekali melirik curiga sepupu yang katanya tampan ini. Tentu, bagaimana tidak? Karena dirinya jelas tahu kalau Takao ini memiliki 1001 kejahilan apalagi padanya dalam otak kecilnya itu.
Sang gadis tidak memiliki rasa curiga sedikit pun dari kat-kata yang terlontar dari mulut sepupunya, Takao. [St/n] ingin menolaknya. Namun dia juga ingin. Yaa... jadi daripada menyesal lebih baik...
"Aku akan ikut."
Finish chapter 3 ~~~ Accieee Oreshi tertarik :v huehehe XD Rea semangat yak bikin Bokushi tertarik juga :v
Chapter selanjutnya '-' reader bakal jadi jagoan yang berani menantang seorang emperor bergunting <(") nah looooh :v reader ngapain hayooo~
Terimakasih untuk reader yang sudah berbaik hati setia membaca sampai sini :'3 silahkan vote dan komennya :g
Terimakasih _(:3 J )_
Neko Kurosaki
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro