Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

(29)

♠♠♠

Pukul satu siang.

Terik matahari tak terlalu terasa walaupun sudah memasuki pertengahan Juni, akhir musim semi. Bunga-bunga masih bermekaran indah bilamana mata memandang taman kampus dari atapnya. Udara mulai terasa hangat.

Namun, suasana Gymnasium tidak berubah semejak kedatangan tim basket dari Universitas Kyoto untuk latih tanding tiga bulan yang lalu. Ramai, begitulah.

Mahasiswi yang biasanya tidak suka berada di Gym di jam-jam seperti ini, menjadi terbiasa untuk datang.

Entah untuk sekadar melihat latihan tim utama atau ada beberapa yang membantu. Mungkin mencoba mencuri perhatian Kisedain (kecuali Akashi).

Ah, tidaklah ada seorang gadis pun berani mendekati Akashi, bahkan untuk memanggilnya sekali pun.

Sebenarnya [St/n] tidak menjadikan masalah jikalau ada seorang gadis yang memang merasa butuh waktu berbicara dengan tunangannya.

Ya, anggap saja dirinya tidak mau menjadi terlalu overprotective terhadap Akashi. Memberikan sedikit space.

[St/n] menatap barisan bangku penonton. Semua kursi barisan tengah penuh oleh penonton. [St/n] menghela nafas malas untuk kesekian kalinya, jenuh.

Pluit terdengar, latihan selesai. Kisedai yang tadinya tengah bertanding empat lawan empat tertarik kepinggir lapangan, beristirahat. Serempak mereka mengambil minum dan handuknya masing-masing.

Kisedai (kecuali Akashi) termasuk Kagami dan Takao menatap [St/n]. Wajahnya lebih lesuh dari biasanya.

Dirinya yang biasanya ceria, sirna. Senyuman ceria pun semejak dua minggu terakhir jarang mereka lihat, terlebih lagi hari ini. Kawan-kawan pelanginya ini tentu merasa khawatir, toh ini seperti bukan dirinya yang biasa.

"Ne, [St/n]cchi, ada apa denganmu-ssu yo? Kau sedang sakit-ssu ka?" tanya Kise polos.

[St/n] membalas dengan gelengan kepala. Netranya terfokus pada game yang saat ini tengah ia mainkan.

"Kau benar-benar tidak apa-apa, [St/n]-san?" tanya juga Kuroko, meyakinkan.

[St/n] kembali menggelengkan kepalanya.

"Oi, Akashi. Ada apa dengan [St/n]-nano ka? Kenapa dia—" sebelum Midorima mengakhiri kalimatnya, dirinya sudah disikut terlebih dahulu oleh Takao. Mengisyaratkan agar ia tidak berkata lebih lanjut.

Beruntungnya [St/n] tidak mendengar dengan baik apa kalimat sebelumnya yang dilontarkan Midorima.

Memang kata-kata 'like father like son' itu benar. Sayangnya [St/n] seorang perempuan bukan laki-laki walaupun sifatnya lebih monoton dari sang ayah, lebih menonjol.

Ya, tentu. Sifatnya yang tidak bisa fokus dua arah misalnya seperti sekarang : dirinya tengah bermain game, sementara seseorang tengah berbicara dengannya.

Tentu hanya sebagian yang benar-benar gadis itu cerna perkataannya. Lebih buruknya ia tidak akan mendengarkannya sama sekali. Tentu seperti ayahnya.

"Oi, [St/n]. Kau bertanding one-on-one denganku sekarang," pinta Aomine.

[St/n] mengangkat kepalanya, menatap Aomine datar. "Sekarang?" tanyanya kemudian.

"Tentu saja, sudahlah kau ganti saja seragamu itu."

[St/n] beranjak berdiri, bangkit dari tempat duduknya. Game yang masih berada dalam genggamannya segera ia keluarkan, mesleep layar ponselnya kemudian diletakannyalah di atas bench yang sempat ia duduki.

"Ya, aku juga tidak bisa menolak. Tunggulah sebentar." gadis manis itu mulai melangkahkan kakinya, menuju ruang ganti.

Pakaian? Tentunya ia selalu mengenakan kaus putih polos, tidak lupa pula dirinya yang terkenal tomboy sangat senang mengenakan celana training sepanjang lutut berwarna merah itu (walaupun ia tengah mengenakan rok).

Aomine berbalik, berniat menuju tengah Gym. Namun Akashi memanggilnya, tanpa yang dipanggil berbalik Akashi mengucapkan, "arigatou, Aomine. Sepertinya kau sangat mengerti situasi seperti ini dibandingkan diriku." Sembari tersenyum simpul.

Aomine mengenduskan nafasnya diselingi tawa kecil. "Tentu saja," balasnya kemudian dia bergumam sembari melangkahkan kakinya kembali, "karena aku yang selalu mendengar ceritanya, Akashi."

Sejujurnya Akashi mendengar itu. Namun ia berpura-pura saja. Itu lebih baik, pikirnya.

Sesuai perjanjian yang [St/n] buat dengan Aomine saat pertama kali mereka bertemu. Aomine memang sering mengundang [St/n] untuk one-on-one bahkan street ball dengannya. Dengan alasan apa? [St/n] tidak tahu, tapi ia kelak akan segera menyadari hal itu.

Selama mereka hanya tengah berdua, [St/n] selalu menceritakan banyak hal yang dipikirnya menarik, bahkan sering pula gadis ini menanyakan pasalnya tentang Satsuki Momoi yang [St/n] tahu sebagai kekasih dari tunangannya dan teman semasa kecil Aomine.

Menyakitkan? Sejujurnya tidak, hal ini pula dilakukannya hanya sebagai investigasi semata.

Bukan hanya [St/n] yang sering bertanya, bahkan Aomine yang terkesan tidak peduli tanpa ia sadari, dirinyalah pula selalu bertanya soal entah hubungannya dengan Akashi bagaimana atau cerita lainnya.

Akashi? Pria bermanik crimson itu. Tentunya ia tahu tunangannya terkadang memang suka bermain basket dengan kawannya ini. Toh, Aomine sendiri yang sering melaporkan pembicaraan mereka seolah-olah ia menjadi mata-mata Akashi. Namun, tentunya Akashi tidak meminta hal ini, tujuan Aomine menceritakan hal ini pun belum jelas.

"Akashi-kun, kau tidak menceritakannya… pada teman-temanmu ini?" Takao bertanya.

Akashi bergeming, diam. Dirinya terpaku bingung bagaimana mengatakannya. Latih tanding waktu itu sekitar tiga bulan yang lalu, tepat setelah Kisedai bersama Kagami tentunya manajer mereka juga, [St/n], makan malam bersama di Maji Burger.

👑

"[St/n], dengarkan aku baik-baik." [St/n] menatap lamat-lamat Akashi, membuka telinganya lebar-lebar kala dirinya tidak ingin sedikit pun kata yang terlewat begitu saja. "Setahun setelah pertunangan kita, tepatnya dua minggu setelahnya. Kita akan menikah."

Perlahan [St/n] membulatkan manik [e/c]nya. Entah ia harus senang atau sedih. Namun, yang ia bisa rasakan saat ini hanyalah kebingungan. Entah kenapa ia tidak bisa merasa senang.

"USO!?" teriak [St/n] terkejut. "Bagaimana kau tahu!? Ah, bukan. Kenapa Okasan dan Otousan tidak mengatakannya padaku!? Ah, bukan-bukan… tapi—ah, bagaimana ini!?"

"[St/n]," panggil Akashi menghentikan celoteh entah apa tunangannya itu. Ia bertanya polos, "bagaimana?"

Eh!?

Hening.

"Begitu… ya?" [St/n] mencoba tersenyum. Namun entah kenapa rasanya tidak membahagiakan. Dipaksakan justru menjadi menyakitkan.

Akashi yang menatap senyum penuh misteri itu menatap tunangan—calon istrinya itu khawatir. [St/n] juga sebenarnya sudah tahu dari awal, jikalau pertunangan ini sudah lama direncanakan.

Namun, kedua orang tuanya menyembunyikannya. Toh, itu membingungkan kala kepala keluarga Akashi bisa menerima pertunangan ini dengan mudah, kecuali memang sudah lama direncakan. Pikir gadis itu sebenarnya.

"[St/n], ada apa?" tanya Akashi cemas.

[St/n] terlonjak kaget. "Eh? Ah, umm… bagaimana, ya? Aku bingung harus bereaksi seperti apa," ucapnya. Ia menundukkan kepalanya kemudian mencoba tersenyum—masih bingung. "Atau lebih tepatnya… harus mengatakan apa," ia bergumam.

Akashi menarik tubuh [St/n], menjatuhkan dirinya dalam rengkuhan hangatnya. Membuatnya sedijit tenang dengan keputusan yang mendadak ini.

Ia tahu. Sangat. Tahu.

[St/n] sendiri tidak siap dengan semua ini. Dengan pernikahan mereka yang terbilang cukup cepat.

Padahal ibunda [St/n] sendiri yang mengatakan kala dirinya tidak ingin putri satu-satunya itu menjalin hubungan asmara apalagi sampai menikah diumurnya yang masih muda.

Ibundanya tidak inin putri tunggalnya itu seperti dirinya, menikah di umur 20 tahun. Tapi, apa faktanya? Jauh dari fakta itu, bahkan dirinya sudah ditunangkan.

Akashi juga—

Karena aku…

—dirinya—

…masih menyembunyikan…

—belum siap—

…banyak hal…

—karena sebagian dalam dirinya tertinggal—

…darimu.

—pada gadis itu.

[St/n] sebenarnya sadar. Sejak awal—setelah beberapa tahun kembali bertemu, ia tidak memiliki perasaan yang spesial untuk Akashi.

Hanya 'suka' yang biasa, tidak lebih. Sama halnya seperti perasaannya pada Takao. Dia menyadarinya—

—saat itu.

Saat Akashi berkata kalau gadis yang ada pada foto yang ia temukan saat itu adalah kekasihnya.

Mendengarnya saat itu—gadis ini—bergeming, diam. Tidak merespons marah atau sejenisnya, biasa saja. Entah kenapa.

Namun, satu hal yang ia simpulkan saat itu. Ia tahu, ia tidak pernah 'mencintai' Akashi, hanya perasaan 'suka' yang biasa.

Gadis itu senang, memang. Toh, Akashi teman masa kecilnya yang ia tinggalkan dan tidak pernah sekali pun memberikan kabar.

Akashi senang juga, tentunya. Kala itu, pria ini memang menganggapnya seperti keluarganya sendiri, sama halnya dengan anggapan ibu kandungnya saat itu.

👑

Kisedai terdiam seketika. Memang sedikit mengejutkan [St/n] hanya bereaksi… bingung, seperti itu. Lebih sering orang malah senang atau terburuknya berteriak tidak terima. Tapi gadis ini justru bingung.

"Ada apa sebenarnya dengan [St/n]cchi-ssu ka?" Kise cemas.

"Aku harap ia tidak terlalu memikirkan hal itu dan menjalaninya saja-nanodayo."

"Akachin dan [St/n]chin, bersemangatlah. Aku mendukung kalian."

"Akashi-kun, cobalah berbicara padanya. Aku yakin dia pasti akan mendengarkannya."

"Dia lebih menyeramkan seperti ini ketimbang saat mengeluarkan art knife miliknya itu." ya, dan Kagami ternyata lebih takut ketika dirinya nyaris benar-benar akan dirajam pisau.

"Maaf membuatmu menunggu, Aomine-kun." percakapan kecil Kisedai dan Kagami terhenti. [St/n] sudah selesai mengganti pakaiannya dan siap dengan permainan antar dirinya dengan Aomine.

"[St/n]cchi, aku ikut." oh, Kise tertarik.

"Baiklah two-on-two, aku akan bergabung juga." ah, bahkan Kagami. Ya, setidaknya dia yang sudah mengerti ikut menyemangati manajernya ini.

Pertandingan kecil [St/n] dengan kawan-kawannya dimulai, permainan yang entah akan sampai berapa lama ini membuat [St/n] kembali bersemangat.

Saat Akashi melihat itu. Senyumannya, keceriaannya, semangatnya. Semuanya tampak bersinar, benar-benar seperti ribuan bunga matahari yang memberikan kehangatannya. Menyenangkan.

Akashi tersenyum, dan ia sadar. Bukan hanya dirinya yang 'menyukai' [St/n]. Namun teman-temannya juga—dalam artian yang berbeda.

Dan dia menyukai semua itu. Semakin kalut dirinya ingin segera memiliki gadis itu sepenuhnya.

Namun, satu hal mengganjal dalam dirinya.

Kelak, ketika Akashi benar-benar mencintainya. Apa gadis itu akan merasakan perasaan yang sama? Apa kelak gadis itu akan menyadari perasaannya pada Akashi? Apa perasaan itu adalah sesuatu yang 'istimewa'?

Apa aku benar-benar bisa menangkapnya?

👑

Tiga hari berlalu.

Hari ini [St/n] tidak absen. Koloni menjadi terasa lenggang semejak [St/n] mulai sibuk dengan pekerjaannya.

Dari yang Kisedai dan Kagami dengar dari Takao, manajer mereka ini menjadi sangat sibuk semejak orang tuanya pergi liburan entah kemana—hanya mereka berdua, ayah [St/n] dan ibundanya—meninggalkan putri tunggalnya bersama Takao di waktu yang tidak tepat.

Seharusnya ini menjadi liburan musim panas keluarga yang menyenangkan, tetapi baru kali ini [St/n] ditinggal bersama sepupunya di mansion luas itu.

Maid dan butler juga sebagian sudah mengambil waktu liburan, kecuali Nanase, wanita berumur sekitar 40 tahunan yang sudah menjadi maid pribadinya semejak sang gadis bayi.

Saat [St/n] bertanya, "apa Nanase-san tidak pulang? Memangnya keluargamu tidak menunggu?"

Wanita itu hanya menjawab, "tempat saya kembali adalah Tuan Putri sendiri." Dengan senyuman yang terlihat sangat lembut.

Kemudian, sejak saat itu. [St/n] berhenti menanyakannya. Sedikit bingung memang awalnya.

Namun, yang ia ketahui saat ini. Nanase menyerahkan dirinya untuk keluarga ini. Menjadi seorang yang setia di keluarga ini.

Dan, ya! Pekerjaan sang gadis tidak berkurang. Bahkan untuk Akashi sendiri, tidak jarang Kisedai tidak mendengar Akashi tengah berbicara melalui ponselnya itu. Pekerjaan. Workaholic, memang.

"Kurokocchi, bagaimana kalau selama liburan musim panas ini kita latihan bersama. Menginap sambil mengerjakan tugas bersama, bagaimana-ssu ka?" tanya Kise semangat.

"Kupikir itu menyenangkan, bagaimana dengan yang lain?"

Midorima hanya membenarkan posisi kacamatanya, tampak ia setuju ; Murasakibara pun sama, sama halnya pula dengan Aomine. Setuju : Kagami, tampaknya tidak keberatan pula ; lalu Akashi? Kisedai melirikkan pandangannya pada Akashi, mengharapkan jawaban darinya yang kebetulan saat itu ia sudah selesai dengan urusan pada ponselnya itu.

Akashi bergeming diam, memahami situasi. "Baiklah," jawabnya akhirnya.

👑

Setelah persiapan dengan membawa pakaian dan benda-benda yang diperlukan, Kisedai akhirnya sampai. Di depan mansion luas dengan gerbang gold metalicnya. Mansion keluarga [L/n], jelas.

Kisedai terpaku menatap bangunan di depannya, memang seharusnya mereka tidak terkejut toh sebelumnya mereka juga pernah menginap di mansion keluarga Akashi di Kyoto. Namun yang membuat mereka mematung adalah—

—mereka baru percaya sekrang kala Takao tinggal serumah dengan [St/n].

Kuroko memang tahu kalau Takao tinggal serumah dengan [St/n] hanya untuk 'menumpang', toh waktu itu ia sempat bertanya bahkan pernah datang waktu itu.

Akashi memang tidak terkejut, dia tentunya tidak salah membaca plat dengan tulisan 'kediaman keluarga [L/n]'.

Tidak salah lagi, mansion milik keluarga tunangannya itu. Alasan ia tidak terkejut pula karena [St/n] sendiri yang bercerita kala Takao tinggal pula di mansion keluarganya.

"Eh! Matte! Kenapa disini!?" Takao bertanya, kejut.

"Takaocchi, bukankah kau bilang mungkin saja [St/n]cchi tidak bisa ikut. Jadi kupikir kita menginap disini saja…."

"Dan waktu Kise bertanya soal [St/n] yang mungkin mengizinkannya atau tidak, kau hanya mengangguk saja dan meng-'iya'-kan-nanodayo," timpal Midorima.

"Ya, tapi bukan berarti harus hari ini juga."

"Takachin, tidak baik lho mengundur-ngundur waktu."

"Aku setuju-ssu! Lagipula sebaiknya kita juga menghibur [St/n]cchi, 'kan?"

Takao menghela. Sudalah kalah dia menolaknya, lagipula mereka sudah siap dengan persiapan menginap mereka. Tidak enak juga kalau tiba-tiba memaksa mereka pulang, bukan? Tidak baik.

Sementara Akashi dan Kuroko berdiri tepat di belakang Takao, memberikan tatapan yang seakan-akan bisa di artikan, 'Takao-kun siapkan dirimu', 'terimalah entah bagaimana reaksi [St/n] nanti, Takao'.

Ya, paling tidak kalian tolonglah aku! Takao membatin seakan-akan mengerti pula maksud tatapan dua temannya ini.

Kisedai bersama Kagami dituntun Takao memasuki mansion. Ditemani langit yang tampak masih bercahaya terang itu, disuguhkan pemandangan taman khas Jepang dengan pohon sakura yang terjejer rapi.

Bunga-bunganya yang indah masih banyak yang bermekaran. Pohon hijau yang besar dipangkas dengan bentuk topiary¹ bergaya Inggris. Namun tidak jarang terlihat bentuknya jelas menyerupai kucing. Bahkan di depan pintu masuk utama yang langsung membawanya pada ballroom terdapat dua topiary berbentuk kucing yang saling berhadapan.

Setelah menaiki tangga melewati ballroom. Sampailah mereka di dalam mansion, tengah ruangan dengan beberapa sofa dan meja.

"Okairinasaimasu, Tuan Muda Takao. Ruangan yang Tuan Muda minta sudah disiapkan." spontan Kisedai (kecuali Akashi dan Kuroko tentunya) menahan tawa mereka. Jujur saja, Takao sedikit malu dengan panggilan itu.

Satu ruang bagi Kisedai menginap diisi oleh dua orang dengan kasur yang terpisah tentunya, ruangan nginap yang tidak jauh berbeda dengan mansion keluarga Akashi untuk tamu entah sanak keluarga atau tamu kehormatan seperti CEO dari perusahaan lain. Di design seperti penginapan hotel berbintang lima. Terlihat nyaman. Sangat. Nyaman.

Setelah selesai dengan pembagian ruangan. Kagami dengan Kuroko ; Kise dengan Aomine ; Midorima dengan Murasakibara ; Akashi? Tentunya tamu kehormatan—sebut saja tunangan putri pemilik mansion sekaligus penerus [L/n] Group—ruangan sendiri, yang entah kenapa Takao memberikan ruangan yang tepat berhadapan dengan ruangan sepupu sadisticnya itu.

"Rasakan itu [St/n]!" ucap Takao, bahagia.

"Oi!"

"Takao-kun, bagaimana jika terjadi sesuatu dengan mereka berdua?" tanya Kuroko polos.

Hening.

Hening sesaat.

Oh!

Kisedai serempak menatap Akashi, sementara empunya yang ditatap tetap memberikan wajah biasanya. Sebenarnya Akashi jelas tahu apa maksud pandangan itu, ia pun menghela nafas kemudian mengucapkan, "aku tidak akan melakukannya." Kisedai menghela nafas lega. "Semoga saja."

"PRIIIT!!! ITU TERLARANG!!!" teriak Kisedai serempak. Akashi tertawa ringan.

👑

"Tadaima."

"Okairinasaimasu, Ojou-sama. Bagaimana?"

Setelah melepas sepatu dengan renda tinggi berwarna hitam, ia mengangkatnya kemudian diberikannya pada maid pribadinya itu. Namun, begitu netranya mendapati banyak sepatu di dalam rak sepatu khusus tamu, dirinya tersentak bingung.

"Ano, Nanase-san. Kenapa ada banyak sepatu disini?" tanya gadis itu polos.

"Sebenarnya…."

Setelah mendengar penjelasan dari Nanase mengenai Takao yang membawa banyak teman-temannya, terlebih lagi Nanase sampai menyebutkan kala tunangannya juga datang.

Ia segera melangkahkan kakinya—bergegas ke ruang tengah. Sesampainya, ia mendapati Takao tengah duduk dengan beberapa buku di atas meja. Gebrakan pintu akibat dari [St/n] yang membukanya kasar, membuat Kisedai menoleh cepat.

Kagami dan Kise berseru kaget. "[St/n] (-cchi)!"

Begitu pula, [St/n]. "Kalian!"








Chapter 29 owari! Bagaimana? Alasan Reader-tachi masih bebayang, ya :v ??? Maksudnya yang pengen diungkapin Reader-tachi sekalyan '-' Gak bakal ngaruhin pernikahan kok '-' selo bae~ Reader-tachi bakal tetep nikah nanti ma Akasei :v wkwkwk~

Next chapter review! Bakal ada kejadian misteri di kediaman Reader-tachi :v bakalan ada hantu yang Kise rasa tuh ngintilin dia sampe meratiin dia saking TJAKEPNYA :v Reader-tachi coba pecahkan misteri ini ya :3 tapi kalo saiah khilap bikin ampe 2,5k word(s) lebih '-' paling ampe penyelesaian kasus simple ini :v

Oh, sankyu buat LevIria39 buat foto di atas :v wkwkwk sumpah thx beud :3 Mikajeh sumvah males pake sangadh buat nyari-nyari poto sejenis itu :v wkwkwk

Sempatkan votenya yak :3 untuk asupan nutrisi yang baik bagi Mikajeh XD kritik dan sarannya boleh di kolom komentar :3

Terima Kasih _(:3 J    )_


Neko Kurosaki


Topiary¹ Pohon yang dipangkas dengan berbagai macam bentuk.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro