(2)
♠♠♠
Tok... tok... tok...
"[St/n]!"
"Hmm..."
"[St/n]!"
"Hmm..."
"[St/n]!"
"Apa?!" teriak gadis belia dari dalam kamarnya dalam keadaan terduduk di atas kasurnya. Yaa... begitulah ibu [F/n] membangunkan dirinya. Memanggil [St/n] berulang-ulang kali sampai dia mendengar jawaban singkat, jelas, dan lantang dari dalam ruangan dengan dominasi barang-barang berwarna [fv/c] agar dia dapat mendengarnya dengan jelas.
"Waktunya sarapan. Cepat bangun dan mandi, jangan sampai terlambat sekolah."
"Haaa'i" jawab gadis manis itu.
Pagi hari yang cerah. Awal tahun pertamanya kuliah setelah lulus SMA dengan nilai yang memuaskan. [St/n] segera bangkit lalu pergi ke kamar mandi. Mencuci wajahnya sampai bersih, menggosok giginya dan mengganti pakaiannya.
Rutinitas yang biasa gadis muda itu lakukan. Begitulah.
👑
[St/n] berdiri di depan pintu besar. Sambil memegang sketchbook binder berukuran A4 dengan hardcover berwarna hitam dengan ring spiral yang menyambung salah satu sisinya.
Namun tanpa dirinya sadari, sepupunya Takao mengikuti dia dari belakang diam-diam. Sesaat setelah Takao melihat sketchbook dalam genggaman sang gadis, dia segera merebutnya dengan cepat dan...
Brak!
… masuk secara tiba-tiba tanpa mengetuk pintu ruang makan. [St/n] yang sadar sketchbook kesayangannya di ambil segera berlari berusaha merebutnya.
"[L/n] obaa-san! [St/n] menggambar lagi!" teriak Takao langsung menghampiri ibu [St/n].
"Takao baka! Kembalikan padaku!"
Slap!
Takao berhenti di samping ibunya, memperlihatkan gambar yang baru-baru ini [St/n] buat. Namun, sayangnya—kala ibunya telah melihat gambarnya bahkan menyetuh sketcbook kesayangan [St/n] itu, dia tidak bisa sembarangan merebutnya begitu saja.
[St/n] berdecih begitu melihat senyuman penuh kemenangan yang terpampang di wajah menyebalkan milik Takao.
Ibunya nampak memperhatikan gambar putri kecilnya, sedikit serius. Gambar seorang pria, tampak seperti pangeran. Mengenakan pakaian formal lengkap dengan topinya bak seorang jendral dengan seragam putihnya. Bagian rambut yang tampak sangat halus sang gadis warnai itu berwarna...
"Merah?!" kejut ibumu.
Puuuuupt!
"Otousan!!!"
Sesaat setelah ibu [St/n] berteriak terkejut, karena [St/n] mewarnai karakter pria bersurai merah, yang tampak aneh di pikiran ibunya. Bahkan ayah [St/n] sampai menyemburkan keluar teh yang hampir melewati tenggorokan itu. Yup! Juga hampir mengenai dirinya.
"Biar aku lihat!" pinta ayah [St/n]. Dia nampak tidak terlalu serius memperhatikannya, namun di wajahnya terukir senyuman halus yang hampir [St/n] tidak sadari.
Sang ayah tidak berkomentar apapun, namun senyuman yang sekilas [St/n] lihat itu membuat sang gadis sedikit memikirkannya. Entah kenapa batinnya merasa curiga dengan senyuman yang hampir tak-kasat mata itu.
"Ahh... jadi kapan kau bertemu dengan pria di gambarmu ini, [St/n]?"
"Hah?! Maksud otousan apa?"
Tanpa [St/n] ketahui, Takao sudah sarapan lebih dulu. Sementara [St/n] sendiri masih berdiri tak jauh dari ayahnya yang masih memperhatikan gambar putri kecilnya itu, berharap dapat kritik atau saran dari ayahnya. Namun nihil.
Harapan itu juga musnah seketika. Ketika ayahnya menanyakan pertanyaan yang jelas tidak mungkin tokoh tampan bak seorang pangeran yang [St/n] gambar ada di dunia nyata.
Tapi entah mengapa hati kecil gadis itu nampak sedikit aneh mendengar pertanyaan itu pula. Dia ingat dengan baik, [St/n] menggambar itu bukan hasil dari imajinasinya semata. Melainkan gambaran seseorang yang pernah di temuinya dulu, namun mungkin hampir terlupakan.
Yup! model yang cocok untuknya gambar.
"Tidak apa, kau sarapan saja setelah itu otousan akan mengantarmu dan Takao sekolah."
Ayah [St/n] meletakkan sketchbook binder kesayangan gadis kecilnya. Sementara sang empu mengmbil posisi duduk tepat di hadapan sepupu yang menyebalkannya dan menatapnya datar, mengartikan sesuatu.
[St/n] yang masih menatap Takao lekat, mengisyaratkan akan kematian Takao sudah tinggal seujung kuku saja. Takao yang mengerti dengan tatapan sepupu sadistic di depannya mengeluarkan keringat dingin juga meneguk saliva-nya kasar. Dia takut akan apa yang terjadi setelah ini pada dirinya.
Suasana seketika hening. Meja makan yang tidak terlalu besar, hanya diisi dengan 6 bangku saja. Yang terdengar hanya suara narasumber berita yang membawakan acaranya.
Berita itu sedang membicarakan seseorang. Yaa... tentu saja, berita tentang kembalinya seorang pewaris tunggal keluarga Akashi. Yang sangat populer di antara para gadis, tak peduli berapa pun usianya. Seijuro Akashi. Baru saja kembali jauh-jauh dari London dan menghentikan pendidikannya di sana.
[St/n] hanya menatap ponselnya sambil mencerna makanan dalam mulutnya. [St/n] men-scrollup layar ponselnya malas. Semua berita, percakapan grup di whatsapp, line, foto di instagram berisi tentang kembalinya 'Crimson Prince', seorang pewaris tunggal keluarga Akashi.
Dirinya yang sudah malas melihat berita-berita yang sama, memilih untuk mematikan ponselnya dan fokus pada sarapan di depannya. Pendengaran gadis belia yang masih baik itu, membuatnya dapat dengan jelas mendengar berita pagi yang sedang di bawakan hari ini.
Bahkan [St/n] dapat dengan jelas mendengar bahwa pewaris tunggal perusahaan Akashi kembali dari pendidikkannya di Inggris dan akan belajar di Tokyo. Bukan hanya itu, bahkan kamu mendengar jika seorang yang di sebut sebagai 'Crimson Prince' itu kembali juga untuk pernikahan bisnis perusahaannya dengan perusahaan yang tidak di sebutkan namanya. Tapi kebenaran itu masih belum dikonfirmasi kembali.
[St/n] yang tertarik menoleh ke layar TV LED berukuran 60 inch yang tidak terlalu jauh itu. Menampakkan seorang pria tegap yang terlihat dari samping itu pun [St/n] hanya melihatnya sekilas.
Tapi apa pedulinya? Toh, selama kembali tidaknya 'Crimson Prince' itu tidak terlalu berpengaruh pada dirinya, untuk apa di pikirkan? Abaikan saja!
[S/n] langsung meneguk habis segelas teh hangat yang di letakkan tak jauh dari piring makannya. Dia berdiri dan mengambil tas serta sketchbook kesayangannya, kemudian segera beranjak pergi.
"[St/n] ada—"
"Otousan, gomen. Aku sudah terlambat, aku akan pergi lebih dulu."
Ayah sang gadis saling melirik dengan ibundanya. Menghela nafas pelan lalu kembali menatap putri mereka, lekat.
"Baiklah, kalau begitu."
Sang gadis membungkuk, memberi hormat. "Itte kimasu."
"Itteirasshai," balas ibundanya.
Gadis manis itu meninggalkan Takao begitu saja. Sementara ayah dan ibunya saling bertatap khawatir lalu kembali menghela nafas bersamaan, mereka khawatir dengan pernikahan putri sulungnya dengan salah satu anak dari rekan bisnis ayahnya yang terbilang terlalu terburu-buru. Mereka berpikir apa [St/n] akan menerimanya atau tidak. Toh, mereka masih belum memberitahu [St/n] sendiri sama sekali.
"Bagaimana mengatakan padanya? Kau tahu kan dia anak yang keras kepala?" tanya ibu [St/n].
"Biarkan saja, aku akan meminta waktu lagi."
Takao tentu mengerti apa yang dibicarakan kedua orang tua sepupu yang dia anggap lucu itu. Yup! Pertunangan. Bagaimana mungkin jika Takao tidak tahu—kala dia tidak sengaja menguping saat dia menghadiri pesta kelulusan [St/n].
Sebagai hukuman karena Takao mengetahuinya, dia ditugaskan untuk memantau sepupunya dengan calon tunangannya yang akan segera bersekolah di universitas yang sama dengan [St/n] di Tokyo. Memberikan laporan pada ayah sepupu kecilnya, tentu harus tanpa sepengetahuan [St/n].
👑
Di mansion keluarga besar Akashi di Kyoto. Topik yang masih sama di bicarakan. Seorang yang di percaya mengumpulkan informasi seputar keluarga dari calon tunangan Akashi muda, memberikan hasil laporannya pada kepala keluarga Akashi. Masaomi.
Tanaka, memberikan selembar foto seorang gadis belia pada tuannya. Masaomi tampak tersenyum dan sedikit terkekeh melihat foto gadis muda itu. Foto seorang gadis yang tersenyum ceria sambil menoleh ke arah seseorang. Rambut [h/c] yang panjang terurai indah dan juga manik [e/c] yang masih terlihat tajam.
"Keluarganya tinggal tidak jauh dari sekolahnya. Soal nilai-nilainya cukup memuaskan juga. Saya rasa dia bisa menyayingi Tuan Muda, Akashi-sama."
Masaomi hampir tidak mendengarnya. Dia masih terfokus dengan foto gadis yang berada dalam genggamannya, bahkan kepala keluarga yang terkenal dingin itu pula dapat menyunggingkan senyumannya.
"Dia masih seperti dulu," batinnya.
Sang kepala keluarga mengembalikan foto itu pada Tanaka, kemudian meminta Tanaka untuk kembali memantau aktivitas harian gadis yang akan segera menjadi calon menantunya itu. Bukan hanya itu, Masaomi juga meminta Tanaka untuk berbicara kembali pada keluarganya mengenai pendapatnya tentang perunangan ini.
👑
Di lain sisi. Akashi memasuki ruang keluarga, mendapati neneknya duduk sambil menyeruput tehnya.
Akashi menampakkan senyumannya pada nenek yang dia sayang itu. Dia menyayangi nenek tirinya, karena neneknya selalu mendengarkan dirinya. Selalu berbicara lembut juga sangat baik padanya.
Akashi duduk di depan neneknya itu lalu mengambil segelas teh di depannya dan menyeruputnya, kemudian Akashi muda kembali meletakkan gelas itu hingga bersentuhan dengan wadahnya sampai menghasilkan bunyi dentingan kecil.
"Tolong bawakan manisan yang sudah kusiapkan," perintah nenek Akashi pada seorang maid di sebelahnya yang sedang berdiri.
Maid itu membungkuk, memberi hormat. Lalu berbalik, mengambilkan kue yang di minta sang nenek.
"Sei-chan. Kau belum menjawabnya. Apa pendapatmu tentang pernikahan ini?"
Akashi berdiam diri. Memikirkan jawaban yang tepat—kala dirinya tidak ingin mengeluarkan kata-kata yang dapat menyakiti nenek kesayangan di depannya.
"Jika aku menjawab sebagai seorang putra penerus keluarga Akashi. Dengan pernikahan atas perjanjian yang sudah lama di sepakati, aku tidak bisa menghindarinya."
Tak lama kemudian seorang maid datang, membawakan manisan berupa macaron dengan tiga rasa yang berbeda. Lengkap dengan sendok peraknya yang di letakkan di atas piring kecil yang sama. Yang seketika membuat suasana hening di antara Akashi dengan sang nenek tercintanya.
Setelah meletakkan manisan itu di atas meja. Maid itu membungkuk untuk kembali, lalu menyisahkan Akashi berdua dengan neneknya. Membiarkan mereka berbicara serius dengan namun tetap santai.
"Jawaban yang bagus."
"Kalau nenek bisa menjawabnya, sejak kapan perjanjian ini di buat? Aku tidak pernah mendengarnya sama sekali," ucap Akashi muda.
Sang nenek mengambil kembali gelas tehnya, menyeruputnya kembali sambil memejamkan matanya. Mencoba untuk merasakan kenikmatan serta aromanya. Tak lama kemudian dia meletakkannya kembali. Dia kembali menatap Akashi.
"Sudah sangat lama... jauh sebelum meninggalnya ibu kandungmu."
Jawaban yang sebenarnya tidak ingin di jawab sang nenek—kala takut melukai kembali hati kecil cucu bersurai red pinkish kesayangannya itu dan benar, Seijuro menundukkan kepalanya. Mengingat kembali ibundanya tercinta yang telah meninggal.
Melihat hal itu, sang nenek berdiri. Berjalan menuju Akashi lalu meletakkan tangannya lembut di atas sebelah bahunya sambil sedikit mengelusnya perlahan. Akashi yang sadar akan hal itu, manik crimson miliknya menatap neneknya lekat. Tampak senyuman menyambut dirinya, lembut.
"Sei-chan, kau akan menepati janji ini atau tidak. Itu keputusanmu. Pilihlah keputusan yang tidak akan pernah kau sesali."
Akashi mengangguk mengerti, walaupun terdapat kesedihan yang menderu pada pandangannya. Wajahnya juga tampak di landa setres berat. Namun dia tetap mencoba tersenyum berkat perkataan mendukung dari neneknya.
👑
Akashi muda sudah siap dengan seragam sekolahnya. Ia memandang keluar jendela sambil membenarkan sedikit posisi pada pergelangan tangannya kemudian memakai jam tangan bertuliskan Chopard L.U.C Tourbillon Baguette. (jangan tanya harganya berapa :'v)
Ruangan yang cukup luas. Gorden merah maroon menutupi jendela kacanya yang tinggi hampir menyentuh langit-langit sekitar ruangan. Kursi dan meja kecil di belakangnya, serasi dengan gorden maroon-nya. Dengan cat pada kayu berwarna gold, membuat kesan glamour sekitar ruangan.
Akashi hampir siap. Sesaat setelah dia selesai mengenakan jam tangan hitamnya di tangan kirinya. Ia memasukkan kedua tangannya dalam saku. Dia kembali termenung. Beradu argumen dalam pikirannya yang lain.
"Apa kau akan mengikuti perintahnya lagi?"
Oreshi terdiam sesaat. "Hmm..."
"Apa kau yakin? Kau tahu akibatnya jika aku tidak tertarik dengan gadis ini, 'kan? Mungkin saja kali ini aku akan membunuhnya."
"Hmm... aku tahu, kalau begitu biarkan aku mengambil kesempatan ini. Jika saatnya tiba, akan kubiarkan kau berbicara langsung dengannya, itu pun jika aku tidak menghalangimu lagi."
"Tuan muda."
Seketika tubuh Seijuro Akashi yang hampir mendingin itu kembali terisi. Sosok Oreshi-lah yang mengambil tempatnya kali ini.
Akashi yang telah tersadar, menoleh perlahan. Mendapati seorang butler yang menjadi tangan kanannya yang sudah menyiapkan semua kebutuhannya.
"Mobil sudah siap."
"Arigatou. Jangan lupa permintaanku setelah ini."
"Saya mengerti, tuan muda."
Akashi langsung pergi. Menuju mobilnya untuk segera pergi ke stasiun, menuju Tokyo. Juga diikuti butler pribadinya di belakang.
👑
Di dalam kelas. [St/n] mengamati Takao yang sedang mengerjakan soal iblis dari yang diberikan sendiri olehnya. Sementara dia sendiri fokus dengan sketch yang dibuatnya. Yup! umur Takao dengan [St/n] sama, juga mereka berada di kelas yang sama.
Hanya keheningan yang terisi di sekitar [St/n] dan Takao. Baru saja Takao berpikir ingin mengajak [St/n] makan siang bersama dengan teman-teman dari tim basket kampusnya, namun dia tahu. Pasti dirinya akan langsung menolaknya begitu saja.
Toh, berdiri di antara banyak pria bukankah hanya akan membuat kesan negatif? Itulah yang [St/n] pikirkan dan di jadikan alasan kenapa dirinya tidak pernah ikut makan siang bersama degan Takao dan kawan-kawan basketnya.
Jam pelajaran pertama—kedua (Biologi)
[St/n] memandangi awan di luar jendela. Akhir-akhir ini matahari selalu menampakkan senyuman cerahnya. Entah ada apa ini. Walaupun begitu, namun hal itu tidak mengganggu [St/n]. Mengganggu dalam arti kata mengganggu kegiatan belajar mengajarnya, toh dia juga sangat suka belajar. Karena menurutnya setidaknya dalam hal akademis, dia bisa mengatur hasilnya. Entah itu baik atau buruk.
"[L/n]-san. Apa perbedaan kedua percobaan ini?"
Sang gadis menoleh malas. Mendapati sang guru mengajukan pertanyaan kepadanya. Namun dengan santainya, [St/n] berdiri dan langsung menjawabnya.
"Percobaan Ingenhousz membuktikan jika fotosintesis mengeluarkan O² sedangkan percobaan Sach membuktikan jika fotosintesis menghasilkan amilum."
"Benar sekali. Dengan kata lain saat..."
Sesaat kemudian [St/n] langsung duduk kembali. Menopangkan dagunya, namun pandangannya mengarah keluar jendela. Berharap pelajaran yang membosankan ini segera berakhir. Toh, walaupun dia suka belajar tapi jika mengulang materi kembali bukankah terasa membosankan?
[St/n] bahkan pernah berpikir untuk tidak hadir dalam pelajaran Bahasa Inggris yang sangat ia kuasai. Karena dia berpikir jika dia hanya akan menjadi pengganggu karena mulai malas mengikuti pelajaran. Singkatnya, merusak suasana.
Sret!
Pandangan [St/n] teralihkan seketika. Mendapati secarik surat berwarna pink dengan perekat berbentuk hati berwarna merah. Dia menatap surat itu biasa, namun segera membuka dan membaca isinya.
Love letter.
[St/n] memperhatikan setiap detail tulisan pada surat itu. Tulisan yang ditulis dengan sangat rapi, bahkan dalam benak sang gadis terpikirkan. Jika tulisan pada surat itu lebih bagus dibanding dengan tulisannya.
Namun tanpa berpikir panjang. [St/n] mengambil bolpoin berwarna merah dan menulis sesuatu juga di atas surat itu. Selesainya, dia kembali memasukkan surat itu rapi dan memasukkannya ke dalam kolong meja nya. Lalu kembali menatap keluar jendela sambil menghela nafas pelan, kembali berharap kebosanan yang menimpanya segera berakhir.
Jam pelajaran ketiga—keempat (Bahasa Inggris)
Gerakan tak acuh mengisi jam pelajaran Bahasa Inggris yang sudah hampir berjalan selama empat puluh menit. [St/n] yang tidak memiliki kerjaan lagi, akhirnya kembali ke kebiasaannya : menggambar short manga atau membuat karakter dalam imajinasi sang gadis.
Sang gadis membuka halaman sketchbook berukuran A5 dengan hardcover berwarna merah bertuliskan moleskine. Memindahkan pembatasnya agar tidak mengganggunya selama goresan-goresan tercipta dalam pocket sketchbook merah miliknya.
Pluk!
"Hmm!?"
[St/n] terkejut begitu mendapati secarik kertas lipat menyentuh punggung tangannya. Dia berusaha mencari-cari orang yang melemparkan kertas itu ke arahnya dan... gotcha! I got you!
Seorang pria berambut hitam sedikit panjang sampai menyentuh bahunya sedang berusaha mengalihkan pandangannya dari dari [St/n]. Bisa dia simpulkan dengan mudah, dialah orang yang melempar kertas itu.
Dia membuka isinya dan membaca tulisannya. Seperti yang [St/n] duga, sang gadis belia terperanjat, kemudian terdiam setelah membaca tulisan yang membosankan baginya...
Hueeek! :" masih belom ketemu ama Akashi 😂😂🔫 sabar yaa reader :v selo ae yang pasti ketemu '3'/
Chapter selanjutnya reader bakal entah ngapain sama Aomine :v hayoo ngapain ?!! Udeh di tunggu ae :3
Silahkan vote dan komentarnya beb :'3
Terimakasih _(:3 J )_
Neko Kurosaki
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro