Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14. Jadi Orang Pertama

14. Jadi Orang Pertama

***

'Aku hanya tokoh pendamping yang akan selalu menyukainya, bukan disukainya.'

- Kamma Onfarta -

Adira terdiam kaku di tempat, melihat tatapan tajam milik Bima mengarah padanya. Dia bagaikan diintimidasi melakukan kesalahan fatal yang harus dibawa ke kasus penanganan terberat. Oke. Adira memang gadis pelupa. Tapi ... dirinya tidak akan lupa terhadap peraturan di rumah ini.

Pertama, tidak boleh pacaran kecuali kalau sudah kuliah. Kedua, tidak boleh pulang di atas jam 5, tanpa izin. Tidak boleh keluar malam. Itu semua harus ditaati agar tidak menimbulkan bencana besar suatu saat nanti.

Adira tau peraturan itu sedikit tak memberatkan. Lagi pula anak rebahan mana juga yang suka bepergian di malam hari? Rasanya sungguh memalaskan. Lalu, soal pacaran, sepertinya Adira belum terlalu menginginkan itu.

"Lo tau ini jam berapa?" tanya Bima dengan wajah dingin.

"Bentar, cek dulu kak—" Adira mengeluarkan ponsel di saku rok nya dan mengintip jam tertera di sana. "Hampir jam 7 malam, kak. Kenapa memangnya?"

"Masih tanya lagi. Lo itu melanggar aturan di rumah ini! Nggak boleh pulang lebih dari jam lima sore. Ini apa?! Sudah masuk malam!" kesal Bima sembari menunjuk jam menggantung di sudut dinding rumah. "Untung Mama belum pulang, kalau dia tau—lo bisa habis."

"Ih, kak Bima! Jahat bener mulutnya!" Adira mengerucutkan bibir mendengar kata habis yang terlontar dari mulut Bima. "Kakak nggak tau aja, tadi di sekolah aku ketiduran sampai ke kunci bareng Kamma."

Bima mengerut kening. "Itu karena lo aja yang suka molor. Lagian kenapa nggak langsung pulang?"

"Itu karena aku belajar—hum, belajar kelompok." Adira sedikit bingung menjelaskan belajar apa yang membuat dia seperti ini. Karena ini murni dari keinginannya yang terwujud. Bukan karena belajar kelompok, yang kadang jadi suatu keterpaksaan.

"Kenapa nggak di rumah aja belajarnya?" tanya Bima heran.

"Nggak mau, ada kak Bima. Entar bukannya aku belajar, kakak malah ganggu aku."

"Heh—gue nggak gitu juga kali. Atau jangan-jangan itu alasan doang karena lo pengen pacaran sama itu Kamma," ucap Bima asal.

"Nggak ya, kakak sok tau. Mana ada aku suka sama dia. Kamma itu cuma teman."

"Teman apa? Teman tapi mesra?" Goda Bima sembari menaik turunkan salah satu alisnya.

"Huh, enggak kak! Kak Bima nih menyebalkan! Sebelas duabelas sama Kamma."

"Oh, ya? Jadi penasaran gue sama dia." Bima melipat tangannya di dada. "Kayaknya dia pintar—"

"Memang, lebih pintar dari kak Bima. Asal kakak tau aja. Itu cowok, anak olimpiade. Kak Bima mah, gak ada apa-apanya. Masih kecil kayak korek api."

"Idih, kok lo banggain dia dari pada Kakak kandung lo sendiri?!" kesal Bima seraya membuang wajah ke samping.

"Tapi ... itu faktanya kakak. Kamma memang pintar."

"Ish, gue curiga kalo kalian punya hubungan khusus selain sekadar teman. Hati-hati, entar gue bilang ke Mama."

"Kakak!" Seru Adira kesal.

"Apa?"

"Kalo kakak berani lapor aneh-aneh ke Mama. Awas aja! Aku bakal lapor juga, kalau kakak chat-an dan video call sama Ressa tiap hari di kamar," ancam Adira dengan pandangan menusuk. Seakan-seakan tidak takut dengan dengan ekspresi Bima saat ini.

"Gue nggak tiap hari ya, gituan. Jangan asal fitnah lo!"  Bima tak terima pun menatap  nyalang Adira.

"Tapi tetap aja ada 'kan? Huuu ... aku nggak takut sama kakak. Wlee!" Tanpa memperpanjang masalah, Adira pergi dari hadapan Bima dengan cibiran singkat dari mulutnya.

***

Pagi yang cerah, suasana yang sejuk. Hari ini  Adira berniat untuk berangkat pagi dengan sepeda baru berwarna biru. Itu adalah hadiah ulang tahunnya di tahun kemaren. Dan sekarang, dia berniat memakai itu. Tanpa harus menunggu Bima mengantarkan lebih dulu. Namun, alangkah sialnya nasib hidup—saat melihat ban sepeda bocor.

"Astaga, terpaksa jalan kaki ajalah. Nunggu kak Bima bangun, bikin darah tinggi." Adira melangkah keluar dari gerbang rumahnya. Di pikirannya hanya ingin cepat sampai digerbang.

"Pagi, Dirdir!" Kamma dari arah berbeda datang dengan sepeda hitamnya. Tatapannya memandang heran Adira yang tengah berjalan santai. "Nggak biasanya lo jalan kaki. Nggak nebeng sama saudara lo?"

"Malas. Dia kelamaan jadi cowok, ujung-ujungnya aku bakal telat nungguin dia," sahut Adira masih santai berjalan.

Kamma mangut-mangut mengerti, dengan sepeda yang sengaja diperlambat. "Utututu, kasihan banget Dirdir gue. Sini nebeng sama gue."

"Ha?" Adira menoleh ke arah Kamma, dengan wajah cengo.

"Sini naik! Ke sekolah bareng aja, biar lo nggak cape."

Adira terdiam sebentar, sebenarnya ucapan Kamma itu membuatnya tertarik. Tapi ... ketakutan terbesarnya, ketika sampai di sekolah bareng Kamma—pasti menimbulkan isu-isu gibah oleh para gadis di Sekolah.

"Nggak mau, nih?" Melihat Adira yang tak menyahut. Kamma pun merasa sedikit ditolak.

"Ma-mau kok. Ayo!" Adira tersadar dengan pikirannya pun berakhir menyetujui jawaban Kamma. Dia melangkah ke jok belakang, dan menetapkan diri di sana.


"Pegang gue, kalo nggak mau jatuh!" Perintah Kamma yang memang benar apa adanya.

Adira kebingungan. Dengan ragu, tangan Adira memegang tas punggung Kamma. "I-ini udah."

Kamma mangut-mangut pelan. "Oke, kita jalan, ya?"


***

Adira kesal luar biasa, dia pikir Kamma mengantarkannya hanya sampai di gerbang. Tapi ... ternyata cowok itu mengantar dirinya hingga parkiran. Semua murid yang baru berdatangan, berbisik-bisik pelan melihat keberadaan Adira yang tiba-tiba bersama Kamma. Bukan apa-apa, Adira tak suka menjadi sorot perhatian semua orang. Apalagi kalau sorot itu menunjukkan  ketidaksukaan, uh itu benar-benar menyebalkan.

"Kamma! Lo apa-apaan sih, tadi aku udah bilang. Jangan sampe ke dalam!" Kesal Adira sembari memukul punggung Kamma.

"Memang kenapa?" tanya Kamma bingung. Sepeda yang dikemudi, dia tempatkan di salah satu tempat parkiran yang kosong.

Adira turun duluan, dengan wajah kesal. Sementara, Kamma hanya bersikap acuh tak acuh. "Masih nanya lagi, itu fans lo pada lihat aku marah. Mana itu bola mata kayak mau keluar lagi."

"Hahaha." Kamma ikut turun dan memperhatikan sekitarnya. Hanya sebentar, setelah itu—dia mengalihkan pandangan ke arah Adira.

"Kok ketawa, sih!" Adira yang ditertawakan mengerucutkan bibir.

"Bukannya bagus? berati lo bakal terkenal entar, kalo sama gue terus," jawab Kamma enteng.

"Terkenal apanya. Aku nggak suka, entar aku dibully fans lo lagi. Bukannya populer, malah dapat masalah," gerutu Adira sembari berjalan duluan dari Kamma.

"Jadi lo nggak suka?" Kamma yang merasa ditinggalkan pun mengikuti langkah Adira.

"Iya, aku nggak suka jadi pusat perhatian."

"Humm ... padahal lo orang pertama yang gue tebeng, Ra. "

Deg

Adira menoleh ke arah Kamma dengan wajah kaget. Degub jantung yang terasa biasa sebelumnya, berubah menjadi rasa gugup luar biasa.

Orang pertama? Apa itu berati—Kamma tidak pernah mengizinkan seseorang duduk di sepedanya ini?

***

KOMEN NEXT DI SINI! BIAR UPDATENYA CEPAT!!

20 Juli 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro