[Sin 9]
Raut Ari tampak antusias saat menuju taman kompleks, mengingat butuh banyak perjuangan untuk mendapat jawaban 'iya' dari Rama--lelaki yang akan ia temui hari ini. Terlebih setelah mendengar penjelasan dari sang ibu semalam, tepatnya ketika makan malam usai, ia makin yakin. Hal yang membuatnya merenung, tak lagi maju-mundur atas apa yang terpikirkan, dan memohon sekencang-kencangnya agar seluruh rencananya diterima, telah memperkuat niatnya.
Kemarin, lelaki itu memberanikan diri untuk memasuki ruang kerja ibunya (lagi), saat si empunya tengah membuat soal untuk murid les. Ari yang semula menumpuk dosa karena memakai barang tanpa izin dan berbohong pula, akhirnya perlahan mendekat dan meminta untuk menyudahi kegiatannya terlebih dulu. Hawa keseriusan yang terpancar pun membuat Ani segera duduk di kursi sebelah putranya, tanpa mematikan komputer.
"Maaf, Bu, sebenarnya laptop Ari nggak rusak. Tadi, Ari nyari berkas notable karena mikir harusnya Ibu juga punya, dan ternyata iya."
Semula Ani ingin meluapkan amarah dan menyalahkan perbuatan anaknya, tetapi kejujuran itu menuntunnya untuk sekadar menghela napas dan menelan ludah. Ia juga mengangguk, sebagai tanda memaafkan. Kemudian meraih tangan kanan Ari dan menggenggamnya erat, berharap gemetar sang anak sedikit berkurang.
"Terus, kenapa sekarang Abang jujur ke Ibu?"
"Ari nggak punya alasan buat bohong. Ari percaya Ibu punya alasan sendiri kenapa nggak cerita masalah ini ke Ari. Ari juga mikir, tanpa Ibu, Ari nggak bakal tau maksud dari notable itu."
"Jadi, Abang jujur karena ingin Ibu jelaskan semuanya?"
Ragu, Ari mengangguk pelan. "I-iya, Bu, tapi kalau Ibu keberatan, nggak apa-apa, kok. Ari bakal nyari tahu sendiri nanti."
"Di mana?" tanya Ani ketika putranya beranjak.
Ari yang berniat keluar karena tidak ingin membebankan perjuangannya pada sang ibu sontak terpaku dan melirik. Ia menggigit bibir, memikirkan jawaban yang bahkan belum ia pikirkan sebelumnya. Merasa masih ditatap dengan tajam namun tulus, ia pun menggeleng dan kembali duduk.
Benar, ia memang belum memiliki tempat yang tepat.
"Kalau kamu mau tahu, Ibu bisa cerita, Ri. Tapi, ini privasi Kemuning, mantan tempat kerja Ibu. Hal-hal seperti ini seharusnya nggak Ibu ceritakan ke orang lain."
"Maksudnya?"
Ani bangkit, berjalan ke rak bagian kiri--daerah khusus berkas siswa, sedangkan Ari menoleh dan memperhatikan. Ia masih bingung dengan kalimat yang kurang lengkap tersebut.
"Sebagai mahasiswa Hukum, kamu pasti paham. Kalau hal ini meluap dan diketahui Ibu yang menjadi sumbernya, Ibu bisa dituntut penyebaran dokumen rahasia atau bahkan pencemaran nama baik. Jadi, kalau memang kamu ada perlu, cukup pakai ini buat pemancing."
Ari masih mengerutkan keningnya. Dari sini saja, ia sudah bisa menyimpulkan bahwa apa yang ada di notable bukanlah hal sembarangan. Namun, ia tak lantas mengamini pernyataan itu dan memilih untuk membaca dokumen yang ibunya berikan.
Ternyata, isinya sama dengan yang ia baca di komputer tadi.
"Ini data siswa yang termasuk di kalangan notable, kelompok yang mendapat perlakuan istimewa karena memiliki koneksi khusus dengan sekolah."
Lembar demi lembar Ari cermati lekat-lekat. Hampir semua yang tertera di sana memiliki kesamaan, membuatnya menatap Ani cukup lama. Kemudian ia berhenti di angkatan tahun masuk Rey, mengusap nama-nama familier yang kerap berurusan dengannya--juga dengan almarhum sang adik.
"Kebanyakan dari mereka adalah siswa yang di SD-SMP memiliki prestasi tinggi dan orang tuanya juga seseorang yang berpengaruh. Dulu, Ibu juga sempat ditawari saat mendaftarkan Rey, Ri."
"Terus? Ibu tolak?"
Ani mengangguk. "Orang tua dari siswa notable harus mengeluarkan biaya lebih untuk putranya, sebagai balasan karena pihak sekolah selalu mendahulukan anak-anak mereka dalam suatu perlombaan. Ibu rasa, Ibu nggak perlu melakukan itu karena Ari dan Rey punya kapasitas sendiri buat masuk."
"Hanya beruntung di perlombaan, Bu? Maksud Ari, hanya yang berhubungan dengan akademis?"
"Harusnya begitu."
" 'Harusnya'?" Ari mengulang ucapan sang ibu dengan alis yang bertaut.
Itu saja sudah salah, apalagi kalau ada yang lain.
"Ibu kurang tau tepatnya dari kapan, tapi setelah masalah postingan Rey waktu itu, Ibu sadar kalau siswa notable juga diberi keringanan hukuman. Mereka dihindarkan dari hal-hal yang memperburuk nilai rapor."
Ari bergeming. Meski ia sudah menduga ada yang tidak beres, ia tetap saja kaget, tidak habis pikir dengan SMA kebanggaan kotanya itu. Walau ia sendiri belum tahu korelasi hal ini dengan kematian adiknya, ia tetap terpanggil untuk menggali lebih dalam. Terlebih setelah ibunya mengatakan:
"Ibu sempat curiga kalau kecurangan Doni dan Pak Geri bukan berlangsung di Gritama saja, tapi juga melibatkan sekolah."
Namun, wanita itu tidak menyelidikinya lagi karena Geri telah dikeluarkan dari sekolah, sama sepertinya setelah kejadian rumor perusak rumah tangga orang lain. Ia tak menaruh curiga pada mantan rekan sesama guru itu sebab keduanya sama-sama korban.
Ari menutup memorinya dengan helaan napas panjang. Ia mengusap wajah, mencoba menghilangkan bayangan rasa bersalah ibunya sekejap saja. Ia harus fokus agar cepat sampai, takut kalau Rama tiba-tiba berubah pikiran dan membatalkan pertemuan mereka.
Namun, ternyata tidak. Lelaki itu setia di bangku taman sebelah ayunan, tepat di bawah pohon rindang. Sayang, lambaian tangan Ari tertahan saat mendapati tubuh yang terbaring di sana tengah meringkuk dan gemetaran. Sontak ia langsung berlari menghampiri Rama dan berjongkok di depan sahabat almarhum adiknya itu.
"Ram, Rama, Rama!" panggilnya berulang kali sambil menepuk-nepuk ringan.
Kacau. Ari menjambak rambutnya. Rama benar-benar sudah setengah sadar dengan baju lusuh dan celana sedikit sobek. Wajahnya bersih tanpa noda, tetapi tampak lebih pucat dari biasanya--yang sudah putih. Bibirnya pun kering, sesekali merintih sakit. Ari lekas menghubungi ambulans, sekaligus mengecek daerah mana yang membuat Rama mengernyit tanpa henti.
"Tunggu bentar, ya. Tahan sedikit lagi."
Dengan lembut Ari mengusap rambut Rama yang basah. Kemudian ia membuka kemeja lelaki itu. Tidak salah lagi, lebamnya ada di sana, persis seperti yang Rey ceritakan di dalam diari.
Mereka menghindari area luar yang terlihat dengan menyakiti bagian yang tertutupi.
Setelah pertolongan datang, Ari turut mengantar Rama ke UGD. Ia juga mengurus administrasi dan membayar seluruh perawatan menggunakan uang sakunya sendiri. Lelaki itu belum ingin menghubungi siapa pun--termasuk orang tua Rama, tanpa seizin yang masih memejamkan mata. Ia menunggu dan terus menunggu sampai akhirnya sosok yang dinanti-nanti mulai menggeliat.
Ari terkesiap, ia lekas membenahi duduknya dan menatap Rama dengan tulus. Ia tidak ingin membebani lelaki itu dengan sejuta pertanyaan yang terngiang di kepala. Hal yang ia lakukan hanya tersenyum tipis, menyambut mata yang perlahan terbuka dan menyesuaikan diri dengan suasana sekitar.
Rama mengernyit saat aroma obat-obatan menusuk hidung. Setelahnya ia menyentuh area dada dan perutnya yang terasa nyeri. Kemudian ia memperhatikan punggung tangan kirinya yang tertancap infus. Seketika memori yang terjadi sebelumnya memenuhi otak dan ia pun menutupi wajah, menumpahkan tangis tanpa suara.
"Gue di sini, lo nggak akan kenapa-napa lagi," ucap Ari seraya menepuk pundak Rama, lalu mengusapnya lembut.
Namun, hal itu tak membuat Rama lekas membuka suara. Ia masih ingat bagaimana Doni datang tiba-tiba dan memukulinya di balik pohon. Ia masih ingat bagaimana Sam dan Luis menutupi aksi sahabatnya agar warga yang melintas tak menyadari perbuatan mereka. Ia masih ingat bagaimana rasa sakitnya tercipta dan menetap di tubuh. Ia juga ingat … sahabatnya juga merasakan hal yang sama.
"Gue minta maaf. Harusnya gue nggak perlu melibatkan lo. Makasih sebelumnya karena lo udah mau ngobrol masalah Rey. Tapi, kalau hal ini ternyata bikin lo terluka, mending gue yang mundur, Ram."
Ari tidak membual. Ia menunduk, merasa bersalah karena tidak bisa menjaga sahabat adiknya. Ia seperti melakukan kesalahan yang sama. Hina, hina sekali. Ia spontan mengembuskan napas panjang, lalu tersenyum tipis, meyakinkan Rama kalau ia tidak harus melanjutkan perjuangan ini. Namun, lelaki yang semula meratap itu kian bangkit dan mencoba duduk. Ari lantas membantunya.
"Nggak, Bang. Rey benar. Mau secara nggak langsung dia nyakitin gue, pelakunya tetap sama. Selama Doni nggak punya niatan, pasti gue baik-baik aja. Itu juga berlaku buat lo. Maaf, harusnya kemarin gue nggak ngusir lo gitu aja."
Ari mengangguk. Ia maklum, mengingat apa yang terjadi tidaklah mudah untuk dilupakan. Rama berubah pikiran saja, ia sudah bersyukur luar-dalam. Selebihnya, biarkan waktu menyusun puzzle yang ia rancang.
Rama terlebih dulu meminum segelas air yang disediakan perawat di atas nakas. Ia menenangkan diri agar degup jantungnya kembali normal. Berulang kali ia menarik napas dalam-dalam sebelum mengulum bibir dan memantapkan niatnya untuk bercerita.
"Bang Ari liat hape gue?" tanya Rama saat mendapati kantongnya kosong.
"Oh, ini. Tadi gue simpen karena jatuh."
"Makasih, Bang."
Rama lekas membuka media sosialnya dan mencari nama Rey di arsip percakapan. Perlahan, ia menggulirkan layar sampai berada di awal masalah bermula.
Dua tahun lalu. Saat Rey menanyakan tentang kecurangan soal ujian yang Doni miliki.
"Abang baca sendiri."
Ari menelan ludah lalu mengangguk. Lantas mengambil alih ponsel yang disodorkan padanya. Setelah memejamkan mata dan menghela napas, ia membaca chat antara Rama dan Rey.
Lelaki itu mulai berkeringat, padahal kipas angin di UGD masih berfungsi. Ia beralih mencengkeram celananya erat, sedangkan Rama memilih menenggelamkan wajahnya.
Lama-kelamaan, kening Ari berkerut. Matanya berkaca-kaca. Susah payah ia menahan laju air mata yang terbendung. Namun, kekesalan yang menyesakkan itu makin menjadi-jadi dan ia pun mengentakkan kakinya hingga mengejutkan siapa saja yang ada di sekitarnya.
"Maaf, Bang. Setelah chat terakhir itu, gue nggak dapet balesan apa-apa, selain kabar meninggalnya Rey. Adik lo. Sahabat gue."
DAY 11
14 Januari 2022
1488 Kata
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro