Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[Sin 7]

Jam kosong di SMA Kemuning terbilang lain daripada yang lain. Mau ada atau tidak ada guru, posisi duduk para siswanya tetap di tempat masing-masing. Tidak ada yang bergeser, sekadar menertawakan hal receh atau mendiskusikan gosip hari ini. Semua tampak sama saja, kompak meneliti setiap angka yang tertera di buku materi. Kalau alasannya karena berada di tahun terakhir, seharusnya dua tahun lalu mereka tak melakukan hal yang sama.

Ari memainkan kursor laptopnya asal. Tatapannya kosong, terpaku pada lantai yang tak berdebu sedikit pun. Ia mencoba mengalihkan perhatian setelah mendapati Rama terus-menerus menunduk dan menggigit jari. Mungkin, memang bukan salahnya, tetapi ia tidak ingin memperparah keadaan.

Sesekali Ari melirik ke deretan paling kiri--darinya yang duduk di meja guru--tepatnya di dua kursi bagian depan. Ia sadar bahwa Sam dan Luis juga mencuri pandang, meski setelahnya memalingkan wajah dan berpura-pura tak tahu apa-apa.

Setelah bel istirahat berbunyi, Rama lekas mengemasi barangnya dan bergegas keluar. Tak mau ketinggalan, Ari turut menutup laptop--tanpa mematikannya--dan menyusul lelaki itu. Tepat di depan ambang pintu, ia dapat menahan tangan Rama yang gemetaran tak karuan, lalu mengajaknya menepi agar tak menghalangi jalan.

"Lo nggak apa-apa, Ram?"

Dibanding menjawab, Rama justru celingak-celinguk, mencari dua lelaki mata-mata Doni. Ia menelan ludah saat genggaman Ari makin kuat dan hangat. Sam dan Luis tak kunjung keluar, membuatnya panas-dingin dan menduga-duga. Susah payah Rama berusaha melepaskan diri, tetapi Ari terus menatapnya dengan sorot yang sendu dan penuh harap. Ia pun pasrah dan melemas.

"Lo disakiti anak-anak Fanstrio itu? Iya? Mana yang sakit?"

Dari ribuan kalimat, Rama luruh hanya karena tak kuat menjawab jika ia tidak baik-baik saja. Terlalu banyak pertanyaan hingga ia tidak memiliki kesempatan untuk bertanya pada diri sendiri. Ia ingin menggeleng sekuat mungkin, meluapkan kebenaran yang terkunci di kerongkongannya, tetapi mengingat ikatan yang Doni buat, Rama hanya bisa mendengkus dan menunduk.

Ari tak lekas menyerah, ia mengusap punggung tangan lelaki itu, berusaha menenangkan, berusaha menjelaskan bahwa ada ia di sini. Melihat Rama mengingatkannya pada raut Rey ketika sang ayah melakukan hal yang sama dengannya, mengulik kebenaran. Bedanya, sekarang ia mencoba untuk percaya tanpa menyela.

"Sebenernya ada apa?"

Rama mengangkat wajah. "Nggak pernah ada apa-apa, Bang, jadi jangan ganggu gue lagi."

"Mau sampai kapan lo begini?"

Rama memejamkan mata. Tatapan Ari hanya menurunkan nyalinya hingga ke dasar relung, menyentuh niat yang telah ia kubur dalam-dalam. Ia menghempaskan tangan lelaki di depannya lalu mengusap wajah, menarik napas panjang sebelum memberanikan diri menatap kakak dari almarhum sahabatnya.

"Sampai kapan pun itu, lo nggak ada urusannya, Bang."

"Beranilah, Ram, kayak Rey dulu," ucap Ari saat Rama berbalik badan.

"Lo lupa apa yang terjadi setelah dia seberani itu, Bang?"

Ari bergeming. Getar suara Rama perlahan memudar dan kini penuh penekanan. Ia makin terdiam ketika lelaki itu menatapnya tajam dengan alis yang bertaut.

"Ram--"

"Lo udah tau sejak awal kalau berurusan sama Fanstrio itu nggak gampang, tapi lo bahkan nggak tau-menau kalau adik lo beberin kasus kecurangan mereka ke medsos. Jangan lupa, Bang, kalau lo juga sama aja kayak mereka, yang nyalahin Rey, yang nggak percaya sama Rey. Dan setelah lo tau gimana ending-nya, lo masih nyaranin gue buat berani?"

Mata Rama mulai berkaca-kaca, membuat Ari makin merasa bersalah. Secara tak sengaja, ia terus menekan lelaki itu untuk memperjuangkan apa yang ia mau. Namun, sementara ini hanya Rama-lah yang dapat menyambung puzzle yang tersisa. Ia bisa apa, selain membujuk dan terus membujuk?

"Gue tau, gue juga salah. Karena itu, gue mau memperbaiki keadaan, Ram. Gue--"

"Kalau gitu, perbaiki sendiri, Bang. Jangan libatin gue dalam masalah ini."

"Sayangnya, lo salah satu kunci yang gue punya."

"Gue nggak pernah mau jadi kunci lo. Gue cuma mau lulus dari sini baik-baik. Please, Bang, pahami posisi gue."

"Emang menurut lo, setelah lulus, masa lalu bisa berubah? Rasa bersalah lo bisa hilang sepenuhnya?"

Rama berdecak dan tersenyum paksa. "Nggak usah berlagak bodoh, Bang. Lo udah tau jawabannya. Ngomong doang emang gampang, saking gampangnya bisa berakibat fatal. Harusnya lo belajar banyak dari Rey."

Setelahnya, Rama benar-benar melanjutkan langkah. Ia tak peduli dengan panggilan Ari. Hal yang ia pikirkan hanya lolos dari lorong kelas dua belas ini. Namun, dugaannya sungguh tak meleset. Doni yang sedari tadi menunggu di kelas sebelah lekas menariknya untuk masuk.

Sam dan Luis langsung keluar kelas, melewati Ari yang menyipitkan mata--memperhatikan Rama. Mereka tak melirik sedikit pun dan tetap berjalan dengan dagu yang terangkat. Ari semula masih bertanya-tanya hingga sadar kalau ketiga siswa mematikan itu masuk ke ruang yang sama, kelas yang Rama masuki.

"Mau ngapain lagi anak itu?"

Ari berniat untuk ikut campur, tetapi aksinya tertahan saat kemejanya ditarik dari belakang. Ia pun menoleh dan mengumpat dalam hati. Dasar, Toni.

"Mau ke mana lo? Dicariin Pak Ihsan, tuh!"

"Lo aja."

"Kok gue? Kan lo yang dicari. Kayaknya, sih, bukan perkara magang. Udah sana!"

"Tapi--"

"Udah, sana!"

Toni terus mendorong Ari sampai hampir tersandung. Ia pun mengiakan dengan tampang ingin menelan kawannya--yang tetap bergeming--bulat-bulat. Apa boleh buat? Ia akan melanjutkan urusannya nanti.

🍃

Lagi, Doni harus repot-repot mengotori tangannya dengan mendorong Rama hingga membentur pinggiran meja. Ia tidak peduli dengan bunyi yang dihasilkan. Bahkan, saat lelaki di bawahnya itu merintih kesakitan, ia tetap tak acuh. Ia justru tertantang untuk terus mendorongnya yang terus beringsut-ingsut ke belakang sampai menabrak dinding.

"Mau lo apa lagi, Don? Gue udah nurutin semuanya."

Doni terkekeh. Raut muka Rama sangat menggelikan, jauh lebih memprihatinkan dari Rey dulu. Payah, batinnya, sebelum berjongkok dan menatap Rama lekat-lekat. Sam dan Luis yang berjaga untuknya hanya duduk di meja sambil bersedekap.

"Jangan salah paham dulu, gue nggak bakal ngapa-ngapain lo, kok. Lagi capek," ucapnya jujur seraya memainkan ujung celana Rama. "Gue cuma mau ngingetin lo aja. Jangan banyak tingkah. Oke?"

Dengan cepat, Rama mengangguk. Doni lantas tersenyum puas.

"Sekarang, lepasin gue!"

"Okelah."

Doni menyingkir, mempersilakan Rama untuk lari sekencang mungkin. Setelahnya, ia bangkit dan berniat untuk menuju kantin. Akan tetapi, sosok yang sedari kemarin-kemarin ingin ia hindari justru dengan berani mendatanginya. Lelaki itu masuk ke kelas dengan yakin, lalu menutup pintu rapat-rapat. Doni dan kedua sahabatnya lantas tak berkutik dan saling pandang.

"Gue nggak bakal basa-basi. Lo pasti udah kenal siapa gue dan perihal apa yang mau gue tanyakan."

Sam mencengkeram lengan Doni dan menariknya untuk mundur. Kini, tiga lelaki itu berdiri sejajar. Luis pun mengeluarkan ponsel dan menyalakan recorder untuk berjaga-jaga.

"Gue emang tau siapa lo, tapi masalah kenapa lo neror gue, gue nggak tau apa-apa," respons Doni tanpa ragu.

"Lo nggak perlu ngelak, Don. Gue udah ngasih catatan itu, kan? Lo nggak perlu nekan Rama cuma buat hal yang udah jelas."

Doni mengepalkan tangannya. Oh, jadi Ari pikir hanya itu yang Rama tahu? "Oke, gue emang yang patahin tangan dia dulu. Terus kenapa? Itu masalah kita, Bang. Lagian, yang nuduh Rey sebagai pelaku itu Rama, bukan gue. Lagi pula, masalah ini nggak ada sangkut-pautnya sama kematian adik lo. Jadi, jangan ngejar gue seakan gue tersangkanya!"

"Gue nggak bego, ya. Rama nggak mungkin nuduh sahabatnya sendiri kalau nggak ada yang nyuruh dia."

Dan tentu semua ini ada hubungannya.

"Iya? Dari mana lo bisa seyakin itu, Bang?" Sam tak dapat menahan tawanya. "Kalaupun ada yang nyuruh, lo nggak bisa nyalahin kita sembarangan. Emang ada buktinya? Sebagai mahasiswa Twinning Program, Ilmu Hukum dan Civic Hukum, harusnya lo lebih paham segalanya."

Selalu. Ari selalu kalah jika kata bukti yang dibawa-bawa. Ia lemah, tak memiliki satu pun yang dapat dipegang. Lantas, ketika Doni mendorongnya untuk menjauh dari jalan, ia hanya bisa menarik tangan lelaki itu dan mencengkeramnya kuat-kuat. Namun, Sam dan Luis memisahkan mereka lalu keluar ruangan tanpa menoleh sama sekali.

"Don! Tunggu!"

Sang empunya nama tak mau tahu. Ia terus berjalan melewati lorong yang mulai ramai karena jam istirahat hampir selesai. Langkahnya kian dipercepat saat suara derap Ari makin terdengar mendekat. Ia tak dapat berkutik lagi ketika lelaki itu berhenti tepat di depannya.

"Tunggu, gue belum selesai ngomong."

"Ada apa lagi, sih? Gue, kan, udah bilang--"

"Gue tau lo merasa bersalah. Lo pasti dihantui perasaan itu, kan? Gue bisa liat dari mata lo, Don. Kita sama."

Doni menelan ludah. Ia memberi isyarat agar kedua kawannya berjalan lebih dulu. Meski Sam meragukan ketegaran sahabatnya, mengingat emosi Doni labilnya sebelas dua belas dengan gadis yang tengah PMS, ia tetap menuruti perintah dan menuju kantin bersama Luis. Diam berdiri di sana juga tidak akan menyelesaikan masalah. Di mata Ari, hanya Doni yang menjadi tombak kasus ini.

"Mau lo apa, Bang?"

Ari tersenyum manis. "Gue tau, lo nggak sepenuhnya salah dan lo pasti nggak sendirian. Gue pengin bantu lo buat lepas dari semua ini, Don, asal lo mau jujur."

Pelan. Lembut. Doni merasa ditenangkan. Genggaman yang semula terasa menyakitkan perlahan melonggar, seolah memberinya kesempatan untuk bebas. Ia tertegun, menatap keteduhan mata Ari. Namun, ia langsung berubah pikiran saat seorang lelaki paruh baya mengamatinya dari ambang pintu ruang guru.

"Sori, Bang," ucapnya lirih sebelum menghempaskan tangan Ari dan berlari ke sisi kiri.

"Don!"

Ari tak dapat menahan Doni lagi. Kecepatan lelaki itu terlalu tiba-tiba untuknya. Ia segera menoleh ke belakang, ke arah yang Doni tatap sebelum akhirnya berubah pikiran dan menjauh. Ia kemudian berdiri lalu sedikit membungkuk. Dalam tunduknya, ia mengepalkan tangan dan menggigit bibir.

DAY 9
12 Januari 2022

1537 Kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro