
[Sin 5]
Bukan salah hujan kalau sosok yang merenung di depan meja belajar telah bergeming selama setengah jam. Hening yang mengisi ruangan setelah belasan lagu selesai diputar turut memperkuat alasan itu. Terlebih lagi kalimat yang terngiang sejak tadi sore juga menancap kuat hingga mendatangkan berbagai memori lama. Ari benar-benar terpaku pada buku harian di genggamannya.
Gue emang salah ….
Kalimat itu kembali ia baca, meski sudah hafal di luar kepala. Detik berikutnya, Ari menatap kosong ke dinding polos di sebelah kiri, seolah hamparan itu dapat menuangkan seluruh imajinasinya. Sosok Rey yang entah muncul dari mana seakan datang dan terukir di sana, tampak tengah menulis keluh kesahnya yang disertai air mata. Ari tak mengada-ada, berhubung ada tinta yang memudar di baris paling bawah.
Harusnya emang gue dengerin lo, Ram. Entah masalah Fanstrio atau sontekan itu. Harusnya gue nggak usah cari gara-gara sama sekolah. Iya, harusnya … karena gue tau semua udah terlambat.
Ari mengusap rambutnya lalu memangku dagu. Ia belum mengalihkan pandangan, masih menikmati komunikasi semu yang ia ciptakan sendiri. Lelaki itu menghela napas hingga menelan ludah, memijat pelipis yang makin terasa berat. Membayangkan betapa sesaknya Rey saat itu membuatnya tak sanggup mengangkat wajah.
Awalnya, gue nggak mau disalahkan atas apa yang terjadi ke lo karena emang bukan gue pelakunya. Tapi, setelah dipikir-pikir, lo nggak bakal kayak gini kalau nggak temenan sama gue. Iya, kan?
Maaf, Ram.
Maaf karena udah temenan sama lo.
Tepat di kalimat terakhir, Ari menyandarkan tubuh dan menatap langit-langit. Dua tahun lalu, tepat setelah Rey mengunggah kecurangan ujian SMA Kemuning, satu per satu masalah muncul. Adiknya yang merupakan salah satu siswa berpotensi tiba-tiba dilaporkan atas tindak kekerasan. Lucunya, hal itu terjadi pada sahabatnya dan Rama sendiri yang melapor. Rey sempat diskors dan perundungan pun mulai muncul hingga mengantarnya ke akhir yang berbeda.
Tidak ada alasan bagi Ari untuk mempercayai Rama. Toh, tidak ada bukti maupun orang ketiga yang menyudutkan Rey. Namun, semua berlalu begitu saja. Angin berembus ke arah lain dan ia ikut mengaminkan. Nama Fanstrio yang tak terpikirkan kini jadi masuk akal setelah ia berada di posisi yang sama, persis seperti Rey dulu.
"Apa mungkin karena kemarin gue ngehubungi Doni?" Ari menggigit bibir sambil mengetuk-ngetukkan jarinya pada meja.
Doni, Rey, Rama. Doni, Ari, Rama. Keduanya berakhir dengan kalimat yang sama: secara tidak langsung menjadi penyebab luka orang lain. Ari mendengkus, merenungi tindakan yang sepantasnya Rama lakukan sejak hari pertama: melawan. Sayang, pemikirannya itu terhenti setelah ingat siapa Doni dan kawan-kawannya. Berbuat ulah hanya akan mengantar Rama ke tempat lain, yang tak pernah ia inginkan. Mereka paling paham dan tahu hal itu.
"Ri?"
Sang empunya nama tersentak dari lamunannya. Ia lekas duduk dan berdeham untuk mencairkan kecanggungan. Ani yang sudah mengetuk pintu lantas menautkan alisnya ketika melihat gelagat putranya.
"Lagi mikirin apa?"
"Nggak, nggak mikir apa-apa," jawab Ari seraya menutup diari Rey dan menyelipkannya di antara tumpukan jurnal hukum.
Ani berjalan menuju kasur dan duduk di sebelah Ari--setelah lelaki itu beranjak dari kursi belajarnya. "Makan, yuk. Ayahmu udah pulang."
"Ibu turun duluan aja. Dua menit lagi Ari nyusul."
"Oke, deh."
Setelah mendengar jawaban itu, Ani berniat bangkit dan keluar kamar. Namun, Ari tiba-tiba menahan tangannya dan menatap lekat. Lelaki itu teringat sesuatu yang juga mengganjal sedari tadi.
"Kenapa?"
"Ibu tau notable, nggak?"
Ani sempat terpaku beberapa saat, kemudian menggeleng kecil dan tersenyum tipis. Ia kembali duduk, menatap Ari yang tampak sembilan puluh persen penasaran akan kata itu.
"Bahasa Indonesia-nya notable aja kamu nggak tahu? Ri--"
"Bukan, Bu. Maksud Ari, notable-nya Kemuning. Tadi aku sempat lihat nama foldernya di komputer BK."
Wanita yang sedikit terbelalak itu melepaskan genggaman putranya. Ia juga menggeser duduknya seraya melayangkan tatapan tajam. Ari yang menyadari perubahan ibunya lekas mengangkat tangan dan menggeleng cepat, menyanggah tuduhan yang belum sempat terucap.
"Jangan mikir macem-macem dulu. Ari nggak bobol, kok. Sumpah! Tadi Pak Ihsan emang nyuruh mindah data dan nggak sengaja baca itu. Ibu pasti tahu, kan?"
Ari menyimpulkan demikian karena sang ibu merupakan mantan guru bimbingan konseling di SMA Kemuning. Meski dipecat dan berujung tak dapat mengajar lagi--di mana pun itu--Ani seharusnya tahu akan isi komputer yang dulu menjadi partner kerjanya. Namun, bukannya anggukan, wanita itu justru menepuk punggung tangan Ari dan berdiri begitu saja.
"Makan dulu, ya, nanti Ibu jelaskan."
Mau tidak mau Ari mengangguk. Pasalnya, Galis pasti sudah menunggu mereka. Ia tidak ingin menambah masalah dengan keterlambatan sepele seperti ini. Alhasil, ibu dan anak itu turun bersamaan dan dua menit yang Ari katakan lantas dibatalkan.
Sayangnya, setelah makan malam, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Ani.
Ari masih tidak tahu apa-apa. Ia belum memiliki petunjuk. Baik tentang Rama, maupun folder aneh yang menarik perhatian. Padahal, bisa saja hal itu bukan apa-apa, seperti yang dikatakan Toni saat mereka tiba di Kemuning pagi ini.
"Nethink lo kadarnya gede banget. Ngeri gue," ucap lelaki itu saat Ari menduga-duga.
"Gue nggak nethink, penasaran doang. Itu beda, ya."
"Penasaran lo mengandung konotasi negatif, Bos. Udah, ke kelas sana. Bu Monik lewat, tuh."
"Oiya, oke."
Ari hampir lupa kalau hari ini ia diizinkan ikut masuk ke kelas dua belas. Lelaki itu dengan antusias menaiki anak tangga yang dulu juga ia pijak setiap hari. Namun, hal tersebut bukan menjadi alasan utama keceriaannya. Ia lebih tidak sabar karena akan menyambut (mantan) teman sekelas adiknya dulu.
Setelah mengucap salam, Ari masuk dan berdiri di dekat meja di ujung kiri--dekat pintu. Ia memandangi siswa di depannya yang sibuk menatap buku paket masing-masing. Tentu, tidak ada yang menyapanya. Memang benar, semuanya masih sama. Tempat duduk tunggal yang memisahkan satu sama lain sangat berhasil membuat mereka tidak bersosialisasi.
"Bener kata Rey--di bukunya, ngobrol sama meja sebelah aja enggak," gumamnya saat Bu Monik mempersilakan siswanya untuk memahami pertanyaan.
Kelas ini sungguh hening. Keramaian hanya terjadi saat mereka berebut suara untuk mendapat nilai. Jalinan di antara mereka tak jauh dari kata persaingan dan lawan. Lantas, atas dasar apa mereka menyatakan adiknya depresi akan nilainya yang merosot, seolah ada keakraban di sana?
"Nggak mungkin Rey cerita masalah seperti ini ke mereka, kan?" Ari bermonolog lagi. Sayangnya, hanya angin yang menjawab pertanyaan tersebut.
Lelaki beralmamater biru dongker itu kemudian berjalan ke belakang, menanggapi permintaan Bu Monik untuk berkeliling. Tanpa sengaja, matanya bertemu dengan sosok yang sempat terlupakan. Siswa yang harusnya tak pernah ia abaikan. Orang yang sepantasnya mendapat seluruh perhatiannya.
Doni. Ia memang siswa kelas ini.
Tatapan mereka beradu cukup lama. Ari tak berkedip sedikit pun saat ditantang demikian. Sadar atau tidak, hal ini cukup menguntungkan karena seharusnya mereka tak memiliki masalah apa pun sebelumnya. Jadi, tentu Doni masih asyik bermain sembunyi tangan dengannya--juga dengan siapa pun yang terlibat. Begitulah perkiraan Ari saat ini.
Lelaki itu segera duduk di kursi kosong yang tersisa. Lama berselang, ia makin geram ketika tidak menemukan getaran apa-apa dalam raut wajah Doni. Entah perasaan takut, berdosa, atau bersalah. Malah, lelaki yang duduk di deret paling kanan, tepatnya bangku nomor tiga dari depan itu terlihat santai dan bahkan menyeringai.
Oh, jadi setelah berhasil mengunci Rama, dia merasa menang?
Ari lantas mengeluarkan ponselnya diam-diam. Ia mengetikkan beberapa kalimat dan mengirim pesan itu ke nomor yang dituju. Sosok yang menerimanya pun menoleh, tampak mengepalkan tangan lalu mencengkeram celana. Kini, giliran Ari yang menguasai permainan.
DAY 5
8 Januari 2022
1213 Kata
Mood-ku jelek banget hari ini, semoga nggak ngaruh ke tulisannya 🙃
Nanti kutambah lagi, deh, jumlah katanya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro