Weak Spot
*Special POV: Ilishtar
Langkahku kembali tertuju ke sana--ke ruang itu. Tidak banyak orang dalam klan yang mengetahui keberadaannya, kecuali turunanku
Ya, seharusnya memang memori yang satu itu jangan sampai hilang dari benak mereka.
Aku kini tiba di sebuah undakan dengan pintu besar di ujungnya. Tak kujumpai seorang pun di koridor tadi, karena memang ini jalan rahasia pribadi.
Para pelayan pun, khusus untuk bagian ini, hanya diperbolehkan beredar di balik pintu tadi.
TOK TOK.
"Siapa?"
"Ilishtar."
Pintu terbuka sedikit, hanya cukup lebar untuk mengizinkanku masuk; lantas segera kembali ditutup.
"Beliau ada?" tanyaku pada seorang pelayan pria yang menjura.
"Beliau menanti Anda. Silakan..."
Ruang itu seluruhnya berupa kamar luas yang dihias sesuai selera penghuninya--tidak terlalu mewah. Banyak turunanku yang berkomentar, setelah mengunjungi ruang ini, bahwa keadaan di dalamnya belumlah sepenuhnya mencerminkan posisi penghuninya sebagai anggota grad teratas yang masih hidup dalam cabang Keluarga Bristan.
Selain ruang utama, masih ada lagi dua lapis tirai yang mengarah ke peraduan pribadi sang penghuni. Perlahan kulewati lapis pertama tirai itu.
"Permisi... apakah kehadiran saya mengganggu?"
"Kalau benar begitu, kau takkan berani melangkah hingga sejauh ini." Suara seorang wanita. "Karena secara aturan tidak ada yang dapat memasuki ruanganku ini selain turunan Bristan, dan karena hari ini aku tidak sedang ingin mengundangmu, kuduga kamu datang atas kemauanmu sendiri... Ilish."
Sosok yang ingin kutemui itu masih terhalang selapis tirai lagi yang lebih transparan. Sorot mata ungu beliau, warna yang senada dengan rambutnya yang dikuncir hingga melewati bahu, tampak tenang sekaligus muram.
"Saya amat senang dapat berjumpa kembali dengan Anda, Erissa-sama."
Beliau sepertinya tersenyum, lantas bangkit berdiri. "Siapa yang tidak."
Erissa yang kumaksudkan ini adalah Erissa I, anak kedua mendiang kakekku, Grimm I. Berarti, dia bibiku.
Lantaran kedua orang tua maupun saudaranya semua telah tiada, serta tidak lagi harus berurusan dengan pemerintahan klan yang sekarang, menurut kabar yang sering kudengar, beliau jadi cenderung bersikap agak bebas; mengunjungi berbagai tempat dalam Istana Vladista ini tetapi membatasi kepergian ke luar dindingnya sebisa mungkin. Tak ada yang tahu mengapa.
Perpustakaan keluarga adalah tempat yang paling sering beliau sambangi.
Erissa I itu kini mengulurkan sebelah punggung-tangannya, yang lantas kugenggam dengan kedua tangan dan kucium dengan takzim. Tangan tadi lantas digunakan membelaiku yang masih bersimpuh, pandangan terarah ke pangkuan sendiri.
"Ilish."
"Ya, Erissa-sama."
"Sudah lama juga ya, tidak ada kabar dari kakakmu. Si Tishrena itu..."
"Ah... hal tersebut, mohon jangan terlalu dipikirkan."
"Tidak, aku justru mau memikirkannya. Tak banyak lagi yang bisa dilakukan sih. Ayah-ibuku dan Kak Areena sudah tidak ada... barangkali hal sepele itu juga jadi perhatian kalian, grad-grad yang lebih muda, bukan? Lantas kenapa aku tidak boleh memikirkan orang-orang dalam grad-ku sendiri?"
"Jika menurut Bibi demikian..."
"Kamu juga, padahal sudah dipanggil nenek, rupanya tidak juga ingin mencoba lagi menemukan kakakmu! Kenapa? Apa kau sengaja menjauhkannya?"
"Saya tidak bermaksud demikian."
"Makanya aku tanya, kenapa tidak dilanjutkan upaya itu? Meski secara aturan mereka tidak dapat lagi mencampuri alur pewarisan klan, kan tidak ada salahnya menemukan kembali kerabatmu."
"Ya."
Beliau mendesah. "Gara-gara Nenek Alista menikah dua kali, klan ini jadi mempunyai terlalu banyak cabang... Sini, Lish, mari kita omongkan hal ini lebih lanjut di tepi ranjangku."
"Bibi! Hal seperti itu--"
"Tak apa, aku yang mengizinkanmu. Mari..."
Berpadu rasa segan yang besar, kuturuti juga anjuran itu.
"Di antara ketiga cabang Keluarga dalam coven Hospodia ini," lanjut beliau, "Bristan-lah yang saat ini memiliki potensi jadi kacau paling besar jika ada celah ketidakrukunan internal sekecil apa pun. Kamu juga tahu, kan."
"Saya mengerti."
"Sejauh ini, yang terus menjadi penguasa klan hingga hampir masuk grad keenam adalah turunan Kak Areena. Tapi, calon di luar itu masih sangat banyak: dari sesama cabang Bristan ini saja masih ada turunanku dan turunan si Vanya kelak; selain cabang Vlossite dan Urdean. Dari cabang terakhir itu saja masih ada empat ranting lagi. Mereka semua punya hak yang sama. Belum lagi empat coven lain di luar Hospodia, yang pastinya juga punya cabang Keluarga dengan silsilahnya masing-masing. Astaga, memikirkan bagaimana struktur serumit itu dapat tetap bersatu selama lebih-kurang 50 dekade... Sepertinya klan ini sekian lama telah dikaruniai orang-orang dengan kaliber yang tepat untuk mengelolanya."
"Saya sependapat."
"Tapi, sekuat apa pun suatu klan, tentu ada saat-saat lemahnya. Mau kuberitahu, titik-lemah Vladista ini?"
"Ilishtar akan menyimpannya baik-baik."
"Titik lemahnya..." di sini, pandangan beliau menerawang, "...adalah saat penobatannya."
"...mengapa demikian?"
"Coba pikir. Ayahmu sendiri adalah seorang manusia, dan penobatannya sebagai komandan tertinggi kala itu berlangsung secara kilat saat legiun kita dulu mengepung markas utama Kanin. Setelahnya, ketika keadaan sudah jauh lebih tenang dan para petinggi dapat berpikir lebih jernih, mereka ramai-ramai mempertanyakan kelayakan seorang manusia menjadi pemimpin klan vampir; bahkan ada pula faksi yang mendukung penobatanku, meski aku ini anak kedua dan juga seorang wanita... tapi pokoknya aku vampir. Hanya itu yang masuk perhitungan mereka. Perang sipil benar-benar hampir terjadi--Ibu sampai harus turun tangan menghukum mati para provokator-nya."
"Oh, Brista-sama benar-benar menakutkan."
"Hal itu juga menjadikan Ayah amat murka hingga memutuskan tidak akan melepaskan jabatan hingga kelahiranmu. Baru setelah itu beliau mengizinkan Kak Areena menggenggam tahta--setelah ia punya pewaris vampir."
"Tetapi... Kak Tishrena juga adalah seorang vampir. Mengapa Kakek tidak memilih turun tahta ketika itu?"
Erissa-sama menggerakkan bahu. "Barangkali beliau merasa satu anak vampir saja belum cukup. Inginnya dua, agar fondasinya lebih kokoh."
"Bagian ini... tidak pernah saya dengar sebelumnya."
"Yah, bagaimana pun, ketika itu kita punya tokoh-tokoh kuat semisal Grimm I dan Brista I, dan syukurlah kakakku akhirnya juga mampu membuktikan kelayakannya dengan memperluas wilayah pengaruh klan ini. Dengan begitu, para petinggi jadi tenang. Tapi sekarang..."
Sunyi lagi, sejenak.
"Sekarang, keadaan serupa bisa jadi terulang kembali. Kamu sendiri juga sudah punya cucu manusia, bukan? Si Kron itu. Seperti kakakku, dia juga akan memerintah klan suatu saat. Seperti dia juga, Kron memiliki saudari yang nama gelarnya sama persis denganku, dan yang juga seorang vampir. Di sisi lain, Kron sudah memiliki calon pewaris vampir bahkan sebelum mulai berkuasa. Dalam hal itu ia jauh lebih beruntung daripada kakakku--tapi pertanyaanku sekarang: masih adakah kira-kira tokoh sekaliber Grimm I di Vladista saat ini, yang bahkan sudah pernah mengalami satu kali pemberontakan internal, untuk meredam gejolak yang mungkin timbul?"
Lidahku kelu, tanpa sadar aku ternganga. Pertanyaan ini... apakah ada jawabannya...?
Bibi tentu melihat dampaknya juga, sebab beberapa saat kemudian beliau menyentuh hidungku dengan ujung jari. Buru buru kukatupkan mulut.
"Pikirkan itu baik-baik ya, Lishtar sayangku, dan jangan ragu menghubungi lagi kakakmu jika memang benar-benar perlu--karena, jika aku tidak ada lagi, kalian-lah yang akan dipandang sebagai otoritas tertinggi dalam cabang Keluarga ini."
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro