Tempat Tak Terduga
*POV: Millicas
Sesuai rencana, hari ini Bunda lagi pergi menghubungi pemerintah berwenang, kata beliau--barangkali wali kota ini--sementara aku ditinggal di losmen.
E he he, barusan lagi-lagi aku menyebut ibuku pakai panggilan alias, ya? Kan aku udah pernah bilang, aku mulai suka alias kami itu. Yah, semoga nggak sampai keterusan aja di Gremory nanti sih.
Jadinya saat ini, aku lagi pakai identitas 'Prawasta' (terutama lantaran nama itu jauh lebih mudah disebutin!) yang sedang asyik baca-baca buku seputar objek wisata lain di kota ini di ruang tamu losmen. Ada TV-nya juga lho, meski nggak sebesar maupun seramping yang di wisma keluargaku di Lilith.
Selain aku sama Bunda, pengunjung losmen ini rupanya lagi sepi; cuma ada seorang bapak-bapak yang katanya sering dinas ke luar kota (orang itu juga lagi tekun baca koran di sebelahku) dan seorang mahasiswa tingkat akhir Akademi Crescentium--wahana pendidikan favorit di kota ini.
Si mas-mas tadi lagi mengurung diri di kamarnya dan katanya nggak mau diganggu. Lagi garap tugas akhir, sepertinya.
"Nak Prawasta."
"Ya, Paman?"
"Katanya kamu sama ibumu baru pertama kali datang ke sini, ya? Gimana kesanmu?"
"Lumayan kok, meski kami baru sekali keluar rumah."
"Nggak ada yang ganggu, kan?"
"Nggak sampai, walau kami pernah lihat orang bertengkar di suatu kafe. Gara-gara ayam, katanya. Hi hi hi, konyol ya..."
Paman tadi ikut tersenyum.
"Kalau saya, sudah sering sekali mampir ke losmen ini, yang punya saja sampai hafal."
"Oh, gitu... Paman biasanya nginap berapa lama?"
"Sejauh ini, seminggu paling lama. Bisa juga cuma tiga hari."
KLINING!
Suara bel pintu depan, lantas sunyi agak lama.
"Oh, mungkin itu bundaku."
Kami sama-sama menunggu, bahkan bapak tadi menghentikan bacaan korannya.
"Hei, Asta! Ternyata kamu juga di sini..."
!!!
"Kak Ishtar!"
"I-ishtar-sama... repot-repot inspeksi sampai ke tempat seperti ini..."
Bapak tadi segera berlutut sebelah.
"Hei, hei, siapa menyuruhmu begitu... Lanjutkan saja aktivitas kalian seperti biasa, aku ini cuma tamu yang baru datang."
"Saya... jadi merasa kurang nyaman kalau melakukannya di depan Anda."
"Kenapa? Anda tadi lagi baca koran, kan? Apa salahnya? Aku toh juga mau bicara sama si Prawasta, jadi tidak akan menganggumu."
Kupicingkan mata. Kalau bicara dengan Kak Ishtar, bisa saja topiknya serius atau santai--dan paman ini tentu jadi khawatir lantaran menganggap soal seperti itu tidak seharusnya ikut dia dengar...
Tapi... Kak Ishtar belum sampai tahu kalau aku ini sebenarnya Millicas si anak ningrat Klan Gremory... kan?
Atau sudah?
"Anu... Kak, daripada bikin suasana jadi canggung gini, kalau memang mau ngomong, lebih baik di tempat lain saja."
"Heh? Di mana lagi selain sini? Masa ngomong di luar losmen. Kurang sopan ah."
"Kita bisa bicarakan di kamarku..."
"Nggak mau! Jadi fitnah nanti."
"Lebih baik saya saja yang membawa koran ini ke kamar sendiri dan melanjutkan membacanya di sana," tawar paman tadi. "Anda berdua silakan lanjutkan bicara di sini."
"Gitu ya... tapi aku jadi nggak enak juga nih."
"Mohon jangan sungkan. Permisi dulu..."
Paman tadi, masih sambil mengapit korannya, lantas hendak naik ke lantai dua.
"Bukan aku yang minta lho."
Ia menoleh. "Saya melakukannya atas kehendak sendiri," tersenyum, lantas melanjutkan langkah.
Kak Ishtar menunggu beberapa menit sebelum mulai bicara lagi sambil bersandar ke sofa ruang tamu losmen.
"Yaah, beginilah satu bukti repotnya jadi anak ningrat; hampir semua yang mau kita bicarakan begitu saja dianggap penting sama orang lain, padahal bisa aja cuma mau curhat... Ingin deh bisa punya alias, nama yang unik sekaligus relatif pasaran kayak namamu."
Jadi... sepertinya dia beneran udah tahu!
"Eh... kayaknya bakal sulit dilakukan, Kak, selama masih di wilayah sendiri. Barangkali kalau udah pindah, misalnya ke Gremory, baru bisa. Lantas, apa yang tadi katanya mau dibicarain, Kak?"
"Nggak usah buru-buru lah... kayak Narva aja, kamu ini. Pertama, aku suka namamu, Asta. Nama yang gampang diingat."
"Makasih."
"Lantas... entah kenapa sejak kita pertama ketemu di luar kafe itu aku punya kesan kamu ini bukan wangsa biasa, jadi biar kuberitahu sesuatu yang biasanya dipahami kaum strata menengah-atas..."
"Oh? Kayak gimana itu?"
...kok tanpa sadar aku malah setuju sih?
"Kamu punya saudara kandung, tidak?"
"Apa? Saudara?"
"Iya, seperti kakak atau adik."
"Hm... seingatku tidak. Aku anak tunggal."
"Oh, gitu. Kalau sepupu?"
"Nggak punya juga. Bibi Rias kan belum punya anak."
"Eh? Rias?"
...celaka!! Kalau gini sih, nggak bakalan bisa berkelit lagi... aku secara langsung udah nyebutin nama figur yang pasti akan segera dikenalnya...
Kalau Kak Ishtar sampai tahu nama asliku...
"Pfff..."
...eh?
"Ha ha ha... nama bibi kamu unik juga, ternyata."
A...?
Kak Ishtar ini bodohnya kelewatan atau gimana sih?! Masa dia belum tahu bibiku...?
--Tunggu. Kalau diingat lagi, memang dia tidak ikut hadir waktu aku dan Kaa-sama dibawa ke hadapan penguasa Lycania ketika itu. Apalagi aku sekarang pakai nama alias, jadi mungkin Kak Ishtar memang benar-benar belum tahu siapa aku sebenarnya, apalagi identitas bibiku meski tadi telah tak sengaja kusebut namanya.
Hmm. Syukur deh kalau gitu. Tenang, Millicas; ladeni saja percakapannya seperti biasa...
"Terus, apa hubungannya sepupu tadi sama hal yang mau Kakak sampaikan?"
"Oh, begini... akhirnya aku bisa menemukan seorang lagi kerabat vampir dari cabang samping keluargaku."
"Ngg... aku nggak begitu paham, tapi syukurlah."
"--dan hebatnya lagi, upaya itu berhasil berkat bantuan salah seorang sepupuku, si Elsar."
"Oh, jadi masih ada sepupu selain Kak Narva yang tempo hari ya..."
"Begitulah. Cabang keluargaku cukup banyak sih... Oh ya, kamu sampai kapan mau ada di kota ini?"
"Sampai keperluan kami di sini selesai, dan setelahnya terserah Bunda."
"Seperti apa keperluannya?"
"Mengunjungi dua temanku."
Kak Ishtar manggut-manggut. "Semoga cepat ketemu ya, jadi kalian bisa menikmati suasana ibu kota Vladista kami sedikit lebih lama lagi."
"Iya, makasih Kak--dan makasih juga waktu itu udah dibantu nemuin losmen yang begini memadai."
"Er... sebenarnya... ini juga tempat langgananku kalau aku lagi nggak ingin tidur di Istana sih."
KLINING!
"Oh, sepertinya itu bundamu sudah datang."
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro