Pusat Perhatian
Meski sadar orang asing yang hendak mengunjunginya kian banyak, Volentia belum hendak pergi dari situ.
Sebaliknya, ia jadi amat tertarik mengamati lebih dekat ras baru yang bernama 'vampir' ini.
Menurut aneka penjelasan yang sering didengarnya mengenai kaum itu, tendensi utama mereka adalah penyuka suasana malam. Saat itu ia juga bertemu anak ini malam hari; tambahan lagi ia juga sempat ditanya apakah dirinya vampir atau bukan.
Berarti ada kemungkinan si Ishtar ini memang seorang vampir... dan jelas, dari cara orang-orang menyapanya, ia bukan dari wangsa biasa.
Ketika pertama kali beredar di wilayah Arisa, Volentia sadar benar kota tersebut tengah dikepung, dan ia merasa terpanggil lantaran bahkan dalam situasi tersebut pun masih terdapat orang-orang yang berperilaku baik.
Dan kini, menurut keterangan mbak-mbak bernama Valerin ini, kepungan itu telah dibubarkan... berarti akan banyak kelegaan, banyak yang bersyukur dengan satu dan lain cara. Itu akan sangat menambah kekuatan Volentia, setelah sekian lama warga kota ini dikuasai kemarahan, kejengkelan, rasa takut dan putus-asa.
Bukankah justru karena itulah aura si pemuda rambut merah kala itu menjadi demikian kuat hingga memampukannya menghajar seorang bangsawan vampir dengan tangan kosong, tanpa memperhitungkan perbedaan usia supernatural pelaku dan korban?
"...kenalkan, ini Volentia."
Si gadis kecil tersentak, tersadar dari lamunannya saat mendengar namanya dipanggil. Kini selain Valerin telah ada lagi seorang bapak-bapak yang berpakaian untuk berperang. Selebihnya, sekitar situ sepi.
"Ah! Maaf, sampai barusan saya tidak menyadari kehadiran Anda..."
"Tak apa. Aku Kron, ayah si Ishtar ini. Senang sekali bertemu kamu... dan sekali lagi, terima kasih."
Volentia mengangguk saja.
"Ehm! Kalau dilihat-lihat, bagus juga penampilanmu... rambut putih, ada bentuk seperti telinga rubah, dan syal biru dua cabang... Tampilan yang unik."
"Terima kasih..."
"Ngomong-ngomong, Volentia..." Ishtar menukas.
"Ya?"
"Apa kau tahu sesuatu mengenai pemuda kurang-ajar yang memukuliku waktu itu?"
"E-eh? Kenapa tiba-tiba kau menduga begitu?"
"Habis, pemuda itu terdengar terkejut saat mengenalimu, sampai berhenti memukulku segala... jadi aku pikir kalian tentu sekurangnya telah saling kenal."
...kukira kau sudah kehilangan kesadaran saat itu! Telinga vampir memang bukan telinga biasa ya...
"Kalau aku bilang kenal, akankah ada bedanya...?"
"Tentu saja!!!"
Semua yang hadir di ruang itu menyahut. Satu suara.
"Soalnya, meski kalian tahu siapa dia, kalian mungkin takkan semudah itu menemukannya."
Valerin memiringkan kepala.
"Mengapa begitu?"
"Sebab kami ini... yah, berbeda dari kalian."
"Beda bagaimana?" tuntut Kron. "Apakah dia manusia atau supernatural? Yang mana pun, kami dapat menangkap dan mengadilinya--"
"Papa, biarkan dia ngomong dulu dong..."
Volentia memandang satu persatu sosok di ruangan itu, lantas mendesah. Pasrah.
"Baik, baik, akan kujelaskan... tapi bisaku hanya sebatas itu. Tindakan selanjutnya terserah kalian.
"Pertama-tama... kalian kaum supernatural tentu sudah tidak asing lagi dengan para familiar, kan?"
"Tentu."
"Bagi kalian, mereka itu manfaatnya apa?"
Ishtar yang menyahut. "Macam-macam sih... bisa jadi pelayan, teman bicara, pendamping kalau bepergian... Memang kenapa?"
Remaja itu tak menyadari sekilas rona merah pada wajah Valerin.
"Wujud asal mereka itu kan roh, makhluk mistis, atau seperti apalah kalian menyebutnya," lanjut Volentia. "Sebelum ini, para roh itu hidup di tempat-tempat tersembunyi hingga para vampir menjadi ras supernatural pertama yang berani mencampuri habitat mereka."
"Oh..."
Kron bergumam.
"Dan di antara ras vampir itu, pasti klan Vladista-lah yang pertama masuk, ya?"
"Jangan malah bangga dengan itu! Kalian ini... tidak cukup hanya mencampuri, tapi beraninya bikin aturan konyol seperti Pakta Eternia--"
"...itu apa, Pa?"
"Tidak tahu..."
Valerin menaikkan alis.
"Uuh... pokoknya, begini... Berkat 'teladan' para vampir, kaum supernatural lain jadi terpacu ikut-ikutan menggunakan jasa para makhluk mistis tadi dan dengan entengnya melabeli mereka 'familiar'. Nah, selain para familiar tadi masih ada kami, para Unbound, yakni roh yang memilih menjaga kelangsungan kaum kami sendiri tanpa campur tangan dari kalian walau sesekali masih dapat berinteraksi juga, seperti yang kulakukan ini."
"Hee... jadi di antara para roh pun masih ada pembagian ya."
"Benar."
"Kalian ini supernatural juga dong kalau gitu."
"Yah, dalam artian kami ini bukan benar-benar bagian dari manusia... bisa dibilang begitu. Wujud ini hanya jelmaan, biar enak ngomongnya."
"Lalu, berarti antara kalian juga ada perangnya dong?"
"...kalian tidak perlu tahu itu. Nah, menjawab pertanyaan Ishtar tadi, pemuda rambut merah yang waktu itu menghajarmu juga adalah sosok jelmaan salah satu Unbound, dan kebetulan wataknya jauh lebih keras dariku. Kalau saja kalian tidak kutengahi..."
"...barangkali aku udah beneran mati."
"Anu, aku masih belum begitu mengerti," sela Valerin. "Volentia, kamu bilang tadi ada pembagian antara familiar dan Unbound; dari penjelasanmu, sepertinya antar Unbound saja belum tentu selalu akur. Lantas seperti apa hubunganku yang seorang familiar ini, denganmu? Haruskah kau kuanggap saudara, misalnya?"
"Terserah--sebab kau sudah terikat Pakta Eternia untuk melayani majikanmu. Aku juga tak dapat berbuat banyak mengenai itu. Kalau sekarang kamu mau menganggapku saudara lantaran sudah tahu bahwa asal kita ini sama, silakan saja--namun yang jelas, hubungan kita sudah berbeda lantaran pakta itu. Lagipula, sebagian besar familiar sekarang sudah terlanjur asyik dengan keadaan mereka..."
"Oh, begitu... Sayang sekali."
Sejenak semua orang berdiam diri, mencermati makna ujaran gadis kecil yang kini menjadi pusat perhatian itu.
"Anu... bisakah para Unbound sepertimu dihubungi lagi suatu saat?" ragu-ragu Kron bertanya. "Misalnya, jika ingin bertemu lagi..."
"Duh, kalian semua ini menyimak tidak sih? Aku sudah bilang, kan, kami ini para Unbound--tidak terikat aturan seperti apa pun dari kalian. Kami bisa datang mengunjungi kalau kami lagi ingin, tapi tidak berarti kalian bisa main panggil seenaknya!"
"Jadi... setelah ini kamu mau ke mana?"
"Pulang dong. Masa mau nginap di sini..."
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro