Laporan Kedua
Wanita itu, usai mendengar uraian pria di seberangnya, memandangnya dengan memicingkan mata.
"Aku tidak mau percaya."
"Terserah. Anak-anak itu sekarang ada di Osmania, dan tak banyak yang dapat kulakukan untuk menjemputnya."
"Mereka tidak akan sampai berbuat begini jika tidak ada sebab--dan kau-lah penyebabnya kukira, Mas."
"Hm. Apa benar begitu?"
Alya beringsut sedikit, menjauh dari sisi suaminya di tepi ranjang. Tangan Irdeas yang terulur hendak membelai istrinya untuk menenangkannya, perlahan ditariknya kembali.
"Aku memang tidak terlalu memahami politik dan segalanya itu, tapi ibu mana yang tidak sedih ditinggal anaknya dengan cara seperti ini--"
Sejauh ini, belum tampak isakan maupun air mata.
"Lalu, apa yang kau harapkan dariku?" tanya Irdeas.
"Biarkan aku sendiri dulu di sini."
"Sampai berapa lama?"
"Sampai anak-anakku kembali."
"Jangan bicara hal yang mustahil. Momen seperti itu... aku tidak tahu akan berlanjut sampai berapa lama. Apa selama itu kamu memilih mati saja di sini?"
"Kejam sekali kata-katamu! Kalau kuingat, kapan pernah kau benar-benar peduli pada Azdim maupun Irdim?! Benar katanya, mereka tak lebih hanya bidak-bidakmu, yang kau gunakan sejauh bisa menguntungkan dirimu, lantas kau singkirkan setelah kegunaannya berakhir! Mereka juga punya nyawa, Mas. Nyawa!! Astaga! Kenapa tidak kau ambil-alih saja seluruh klan ini, jika memang itu maumu..."
Sudah kuduga, ini akan lebih sulit.
Irdeas berdiri.
"Pesannya sudah kusampaikan; bagaimana kau menerimanya, aku tak berhak menentukan meskipun kau istriku. Jika pun kau hendak menyusul ke wilayah Osmania, silakan, aku dapat mengatur agar kau dikirim ke sana--itu paling jauh yang dapat kulakukan. Kau akan sendirian, berada di wilayah asing, mencari dua orang yang sekarang barangkali sudah berpindah lagi--sementara di sini..." pria itu mendekatkan wajah ke samping telinga istrinya, "barangkali, seperti katamu, akan kuambil-alih klan ini. Jika sudah begitu, siapa yang untung--"
"PERGI!!"
Seruan murka Alya, dihantarkan dalam jarak sedekat itu dengan sebelah telinga Irdeas sendiri, membuat pria itu sontak menutupi sebelah telinga tadi dan berdiam diri sambil menutup mata, menunggu dengingan dalam kepalanya mereda--bahkan tak sempat membalasnya. Alya sendiri sudah keluar sambil membanting pintu.
***
Pintu kamarnya tadi terbuat dari jenis kayu yang cukup tebal, tapi ia sedang tak ingin peduli apakah ada yang sampai mendengar teriakannya tadi atau tidak; satu-satunya tindakan di luar tata-krama, seingatnya, yang ia lakukan sebagai istri perdana menteri.
Langkahnya, yang saat ini dipenuhi duka yang memuncak, tertuju ke taman belakang kamar.
Semoga duduk beberapa jam di sana dapat membantu kembali menjernihkan pikirannya.
Untunglah tidak ada pelayan maupun pengawal yang berjumpa dengannya selama itu. Jika bisa, Alya memang tak ingin berpapasan dengan siapa pun.
Osmania? Mendengar tentangnya saja baru sekarang. Klan macam apa itu? Seberapa luas wilayahnya?
Dalam duka, semua ini tidak banyak berpengaruh bagi Alya--tidak juga pikiran yang sempat mampir mengenai apa yang mungkin dilakukan suaminya terhadap Kanin, setelah meraih posisi setinggi itu.
Yang menjadi pusat perhatian Alya hanyalah: di bagian mana dari wilayah Osmania itu (yang belum benar-benar ia ketahui luasannya) kedua putranya saat ini berada, bagaimana keadaan mereka, dan apa yang sedang mereka lakukan.
Jika semua itu tidak dapat ia ketahui dari sini... mungkinkah ia akan punya keberanian meninggalkan Kanin, seperti yang dicemoohkan suaminya beberapa saat lalu? Ataukah lebih baik mengakhiri hidup saja?
Di lingkungan siluman lycan seperti saat ini, di mana rupa mereka tak selalu sebaik wataknya, tanpa kedua buah-hatinya, ia toh tak begitu yakin bakal mampu bertahan terlalu lama lagi.
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro