Tabir Merah
*POV: Rias
Dipanggil pulang barangkali masih bisa kuterima; sejak kunjungan Millicas ke kediaman Issei tempo hari (yang sekaligus merupakan markas keduaku di dimensi seberang), aku memang belum sempat mengunjungi Lilith lagi maupun rumah keluargaku. Tidak juga saat terjadi kerusuhan akibat serangan dadakan Jabberwock dan Bandersnatch, meski kabar tentangnya sempat membuatku sangat khawatir.
Tetapi, untungnya, saat itu Lilith masih dapat mengandalkan kehadiran jagoan seperti ibuku, Venelana (yang dijuluki 'Si Rambut Coklat Pembawa Kepunahan') serta Grayfia. Reputasi timku di Lilith saat ini mungkin hanya kalah dari reputasi yang ditimbulkan kemampuannya sebagai penggawa bidak Ratu dalam tim kakakku.
Wajar saja.
Namun saat ini, yang masih sukar kupahami adalah minimnya alasan yang menyebabkanku kembali. Petugas di kereta api pribadi menuju Lilith hanya mengatakan, "Kehadiran Anda diharapkan," dan menolak menjelaskan lebih lanjut.
Terakhir kali kunaiki kereta merah ini bersama seluruh anggota tim valet-ku, untuk menghadiri pertemuan jin-jin muda, yaitu dua tahun lalu.
Kali ini, aku datang sendirian.
Seberapa jauh suasana ibu kota klanku sudah berubah semenjak itu...?
"Putri, kita sudah sampai," ujar si petugas. "Semoga perjalanan Anda ke ibu kota aman dan cukup berkesan."
"Terima kasih."
***
Singkat cerita, aku sudah berada di depan rumah keluargaku dan sedang menerima sambutan formal si Grayfia yang kembali bertingkah sebagai maid.
Barangkali kalian sudah tahu, kakak iparku tidak suka diganggu-gugat dalam perannya yang satu ini.
Yang mengherankan, Grayfia sekalipun tidak hendak menjelaskan alasan kepulanganku kali ini--hingga akhirnya, aku berhadapan langsung dengan sang pemanggil. Berdua saja, di ruang yang sama dengan dua tahun lalu. Ketika itu, usai beberapa saat berdialog di sini, ibuku menyuruh memandu semua anggota valet-ku ke ruang makan.
Kali ini, seolah waktu diputar kembali. Bedanya, tidak ada Millicas yang menyambutku dengan riang; ia mungkin sedang menjalani sesi tutorial, dan kalau sudah seperti itu, tidak bisa diganggu kecuali oleh ibuku sendiri atau jika waktunya sudah habis. Penyebabnya sederhana: ibuku-lah yang memilih mempekerjakan si tutor.
Namun, ketika kutemui tokoh pentolan keluarga Gremory itu, ekspresi beliau entah kenapa tampak lebih tegang.
"Untuk soal seperti ini, lebih baik aku tidak membuang waktu maupun kalimat pembuka yang terlalu muluk, Rias," ujar beliau memulai pembicaraan. "Tampaknya selama keberadaanmu di dimensi tempat Issei-san tinggal, kamu jarang sekali mendengar kabar mengenai dimensi sini kecuali yang berkaitan erat dengan penugasan untuk kelompok valet-mu, hmm? Dan kamu juga tahu bahwa tiap kali kembali ke sini bersama rombongan, kalian akan disambut layaknya artis?"
"Itu... penilaian yang berlebihan, Bu. Dalam perjalanan kemari tadi tidak kujumpai sambutan macam itu--walaupun, pendapat Ibu mengenai kabar penugasan tadi harus kuakui ada benarnya."
"Nah," beliau bertepuk pelan satu kali. "Setidaknya, kamu tahu bahwa wilayah Lilith ini pernah mengalami kekacauan."
"Benar. Karena ulah monster Bandersnatch dan Jabberwock--"
"Aku tidak peduli nama-nama perusuhnya," sela beliau. "Siapa pun dalangnya, akan menerima hukuman setimpal begitu kita punya waktu mengadakan perhitungan dengannya. Selain itu," beliau mengacungkan telunjuk, "kekacauan itu punya dampak sampingan."
"Seperti apa?"
"Millicas dan kawan-kawannya sampai harus meninggalkan wilayah klan. Mengungsi."
"Apa? Tanpa pendampingan?"
"Ada Grayfia, tentunya. Kalau begitu saja kurasa masih wajar--memang keadaannya amat darurat ketika itu. Kacau. Tapi coba tebak, ke mana mereka lantas tersasar?"
"Tentu saja aku tidak--"
"Ke wilayah terluar Vladista. Kuharap kamu masih ingat nama klan itu."
"Kabarnya kini mereka dipandang sebagai panutan klan vampir lain."
"Lalu? Apakah kamu tidak merasa punya kenangan lain dengan mereka?"
"Kenangan lain...?"
"Suatu pertandingan Rating Game, misalnya."
"Aku benar-benar tidak mengerti, apa sih yang Ibu mau sampaikan sebenarnya? Katanya tadi tidak pakai pembuka muluk-muluk?"
Ibuku berdecak. "Aku tidak percaya kau benar-benar sudah melupakan Rating Game terbarumu dengan tim Vladista, Rias."
"Yah, maklumlah, akhir-akhir ini kami banyak urusan; mengenai Rating Game, kami bahkan sudah ratusan kali melakukannya, jadi mustahil mengingatnya satu persatu. Bagaimana jika Ibu jelaskan saja?"
"Baiklah." Beliau masih tampak jengkel. "Kamu pernah bertanding melawan tim valet utama Vladista, lebih tepatnya yang dibawahi oleh Vanya alias Erissa II. Kamu mencerai-beraikan para anggotanya, bahkan bisa membuat si Erissa itu menyetujui suatu perjanjian yang intinya menyerahkan salah seorang anggotanya pada kita."
"Untuk melayani klan kita, maksud Ibu. Tentu saja aku ingat. Lantas?"
"Pekerjaanmu waktu itu dapat dikatakan kurang sempurna."
"Eh...?"
"Ya, lantaran kamu tidak minta sesuatu yang lebih berat. Agar tim itu dibubarkan saja, misalnya, dan bidak-bidak dalam tiap anggotanya dihilangkan. Berdasar aturan pertandingan, mereka takkan bisa menolak."
"Tetapi... mengapa? Kenapa harus sampai seberat itu? Dengan mencerai-beraikan anggotanya saja kukira sudah cukup untuk membuatnya tidak merepotkan kita lagi sementara waktu."
"Sementara?" sahut beliau sinis. "Kau salah. Para anggota tim valet Vladista mulai berkumpul kembali, dan ini gara-gara kau ketika itu melepaskan mereka!"
"Ibu, jangan bicara hal yang tidak masuk nalar. Waktu itu aku mana mungkin tahu kalau jadinya akan seperti ini? Kalau mereka sungguh-sungguh bisa berkumpul kembali, baguslah. Artinya suatu saat kami bisa bertanding lagi secara adil--"
"Rias."
Beliau menatapku lekat-lekat, menangkupkan kedua tangan di bahuku.
"Sekarang bukan saatnya lagi berpikir seperti itu. Suatu langkah baru yang sedikit ekstrem harus segera dilakukan. Selama kepergianmu, ayahmu pada suatu waktu telah sampai pada simpulan bahwa Vladista harus diperangi. Karena sebab apa, entah; keputusan prerogratif ketua klan, katanya. Aku menerka perang yang ia maksud akan melibatkan kedua klan secara keseluruhan. Aku mencoba menahannya. Kukatakan, jika kamu bisa menang sekali lagi melawan tim valet mereka, maka itu sama saja kita berhasil; tetapi agaknya beliau belum mau segera mengubah keputusannya. Jadi, sekarang terserah kamu."
Menyimak penjelasan ini membuatku tertegun.
"Di mana Ayah sekarang?"
"Sedang pergi. Biasalah, pertemuan lain. Sama sibuknya seperti Zechs, dia itu, cuma lebih jarang kentara."
"Lantas, berapa lama aku diberi waktu memberi jawaban untuk hal tadi?"
"Beliau menyerahkannya padaku... jadi, bagaimana kalau dalam tiga hari?"
"Um..."
"Kuharap dalam jangka itu kamu tidak ke mana-mana. Millicas juga belum menyapa bibinya lagi, lho, sejak kunjungannya ke kediaman Hyodou."
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro