Rumor
Sudah dua hari ini sosok itu keluyuran di sekitar barak pasukan garnisun Lycania, namun rupanya belum sampai mengundang perhatian. Setiap selesai melakukan itu, dia akan pulang ke suatu penginapan murah di pinggiran kota, naik ke kamarnya tanpa ribut-ribut, mengunci pintu, kemudian mondar-mandir tak tentu arah selama beberapa menit.
Bukan tanpa alasan.
Kini, pada hari ketiga, balasan surat yang dikirimnya akhirnya tiba juga. Tak sampai dua jam setelah menerima balasan itu, ia yang mengenakan mantel kulit kelelawar penahan dingin telah tiba di bangunan kantor sang pengawas coven. Seiring langkahnya menuju pintu besar yang dijaga seorang pengawal, jubah hijau orang itu melambai pelan.
Setelah mengenali sosoknya, pengawal itu segera menepi setelah membukakan pintu.
Sosok lain di belakang meja di ruang luas itu, yang dua di antara empat sisinya dijejali rak buku tiga tingkat berbahan kayu jati, mendongak mendengar suara pintu ditutup.
"Oh, kamu rupanya. Duduklah. Kalau mau, ada cemilan."
Orang itu tersenyum, lantas beranjak ke sofa yang ditunjuk si wanita.
"Tak usah repot-repot, Bu."
Wanita itu menutup buku yang sedang dibaca, lantas mengatur letak kacamata-baca beliau.
"Tak kusangka rupanya kamu masih berminat mengunjungi ujung wilayah klan ini di sela kesibukanmu, Kron. Oh ya, maaf balasanku atas suratnya agak telat."
"Ibu pasti juga sibuk."
Raut Brista II tidak berubah. "Bisa dikatakan aku cukup menikmati waktu senggang ini, apalagi karena ada kamu."
Kron memandang sekeliling; pandangannya berhenti sebentar pada perapian yang masih menyala, memancarkan kehangatan beraroma kayu gosong ke sekitar ruang itu.
"Jadi ini ya, ruang tempat mendiang Brista I pernah berada..."
"Aneh, kamu ini. Mestinya kamu sudah tahu, keluarga beliau itu sudah diberi kepercayaan mengelola coven Lycania ini sejak sebelum pernikahannya dengan Grimm I."
"Ya, aku ingat."
"Tetapi lantaran beliau itu putri tunggal, jika menikah, maka logikanya tak ada lagi yang akan meneruskan pengelolaan coven paling barat Vladista ini. Beliau tidak menginginkan hal tersebut... maka setelah berunding, diputuskan bahwa yang akan mengelolanya adalah istri dari setiap turunan beliau. Orang pertama yang menempati posisi itu, yakni Tarnis, istri Areena. Pada masa Ilishtar-sama, lantaran beliau berkehendak memerintah klan secara langsung dari Istana Vladista yang terletak dalam kewenangan Coven Hospodia, pengelolaan Lycania sempat diserahkan pada kakaknya, Tishrena, sampai ia memutuskan mengambil langkah adopsi.
"Akibat tindakan itu, Tishrena diizinkan meninggalkan klan; namun hanya setelah menunjuk seorang pengelola lain. Itulah saat pertama--dan semoga satu-satunya--di mana coven dalam klan kita dikelola oleh orang yang bukan dari keluarga penanggung-jawab asalnya. Gara-gara itu sempat beredar kabar bahwa nenekmu jadi tidak dapat benar-benar menikmati sisa masa pemerintahannya. Benar-tidaknya, entahlah.
"Kemudian, setelah resmi ditetapkan bahwa aku akan menikah dengan ayahmu, Ilishtar-sama melantikku sebagai penanggung-jawab coven ini pada malam kedua syukuran pernikahan kami. Oh, aku masih ingat benar, cincin perak itu masih melingkari jari-manisku. Bahkan, beliau sampai memberikan gelar 'Brista II' padaku, saking gembiranya..."
"Oh, jadi seperti itu kisahnya."
"Dan kamu, setelah membuat ibumu ini bercerita sepanjang itu," Brista II menangkupkan sebelah tangan di bahu putranya, "pasti punya kisah sendiri."
"Aku lebih suka menyebutnya 'laporan'."
"Oh? Laporan ini rupanya tidak dapat ditangani di Istana, hingga kamu membawanya sejauh ini?"
Kron menggeleng. "Ini laporan mengenai keadaan keluarga... tidak, barangkali juga akan ada sangkut-pautnya dengan kelangsungan klan kita."
"Katakan."
"Ibu sudah tahu bukan, bahwa dalam masa pemerintahan Ayah, Baginda Grimm II, keutuhan wilayah klan ini dapat dipertahankan."
"Benar. Semua juga berkat jerih-payahmu. Aku yakin kamu akan jadi ketua klan yang baik."
"Terima kasih, semoga memang demikian; tetapi, kembali ke laporan tadi."
"Ya?"
"Baru-baru ini aku mendapat laporan dari mata-mata penjaga perbatasan bahwa suatu klan supernatural lain, lebih tepatnya dari bangsa jin, sedang memulai persiapan pengerahan pasukan. Lebih lanjut, ada indikasi bahwa tujuan mereka adalah wilayah Lycania ini."
Brista II mengedip. "Seberapa jauh laporan itu bisa dipercaya?"
"Sudah tiga hari ini kuterima laporan serupa, selagi menunggu balasan surat Ibu, dan angka jumlah pasukan musuh yang hendak dikerahkan kian tinggi saja... jadi, keakuratannya cukup tinggi, kurasa."
"Klan jin, ya... Itu belum cukup membantu, kecuali nama klannya dapat dilaporkan juga."
"Bukankah Ibu pernah mengizinkan masuk ke wilayah Lycania ini, rombongan dari Gremory?"
"Memang, tapi waktu itu aku melakukannya karena wilayah mereka sendiri kabarnya sedang dilanda krisis. Aku tak yakin hal itu cukup dijadikan dalih buat mengerahkan pasukan pada kita sekarang--kecuali mereka benar-benar tak tahu terima kasih. Rombongannya juga hanya terdiri dari seorang wanita dan tiga bocah. Belum cukup membahayakan."
"Berarti... kemungkinan, pasukan yang sedang kita bahas ini berasal dari klan jin lainnya."
Wanita itu mendesah kesal.
"Cakupan seperti itu masih terlalu luas, Kron. Hanya karena adanya laporan seperti itu, kita tidak bisa lantas mencurigai setiap klan jin di Vikr ini. Kalau hanya itu yang hendak kamu utarakan--"
Pria itu kini merogoh bagian dalam mantelnya, mengulurkan secarik kertas. "Ibu pernah dengar nama ini sebelumnya?"
"'Bael'? Apakah ini nama klan yang kamu risaukan tadi?"
"Bisa jadi. Mereka juga klan jin, kabarnya."
"Baiklah, akan kuingat namanya. Lantas, anggap saja laporan itu benar. Mereka akan menuju Lycania ini?"
"Begitulah. Karena itu, mohon persiapkan diri sebaik mungkin."
"Apa kamu mengira akan terjadi pengepungan atau semacamnya?"
"Siapa tahu? Wilayah ini cukup strategis sebagai pijakan untuk memasuki Vladista dari barat--dan justru di wilayah itulah sebagian besar klan jin berada."
"Hm, argumen yang cukup meyakinkan... tetapi, lantas apa kaitannya laporan tadi dengan kelangsungan keluarga serta barangkali klan kita juga?"
"Sebelum datang kemari, tentu saja kabar tadi terlebih dulu kusampaikan pada Ayah--tetapi reaksi beliau agak sulit kupahami."
"Sulit dipahami bagaimana?"
"Mulanya beliau juga tidak mau percaya laporan kemungkinan perang tadi; lantas beliau berujar, 'Apa kamu sadar risikonya jika main serang sana-sini? Sumberdaya klan kita ini perlu dihemat! Apa belum cukup bagimu, wilayah seluas ini?!'... begitu."
"Dia sepertinya belum mau percaya kalau belum ada bukti solid. Toh, itu memang masih berupa rumor. Lantas, apanya yang gawat?"
"Yah... kita tahu, beliau kan dulunya mewarisi klan dengan wilayah seluas ini, setelah aneka peperangan yang dilakoni para ketua sebelumnya. Apalagi, beliau juga yang telah menyatukan kembali klan ini dalam satu panji, dengan cara menundukkan coven-coven bermasalah. Masih dapat dipahami jika lantas menolak berperang melawan pihak ketiga dengan alasan penghematan tadi. Yang aku khawatirkan adalah jika beliau tetap pada sikap itu setelah serangan Bael terjadi."
"Mas Magnar tidak sebodoh itu. Jika ada musuh, pasti akan dihalaunya."
"Itu pun jika beliau memahami legiun Bael sebagai musuh--"
"Sebentar. Jangan-jangan kamu berpikir naluri strategis ayahmu mulai kendur karena lamanya keadaan damai yang kita alami, sampai-sampai menolak percaya jika wilayahnya segera akan digempur lagi oleh pihak luar?"
"...itu bukan skenario yang mustahil."
"Hm, memang gawat juga kalau demikian... tapi, kan kamu bisa kembali memimpin legiun seperti yang kamu lakukan dulu?"
"Aku tidak bisa melakukannya jika tidak ada otorisasi beliau. Lagipula, bakal seperti apa reaksi legiun Bael jika tahu ada pasukan vampir yang hendak melawan mereka, tapi dipimpin oleh seorang manusia? Salah-salah, mereka malah menggunakan fakta itu untuk kian memecah-belah komandoku."
"Lantas apa yang hendak kamu lakukan?"
"Menunggu dulu perkembangannya, sambil meyakinkan Ayah. Jika segalanya tidak lagi memungkinkan, apa boleh buat; sepertinya aku akan mengambil-alih kepemimpinan klan ini untuk sementara. Toh akhirnya seluruh klan ini akan harus mematuhiku juga..."
"Astaga, memangnya harus sampai sejauh itu, hanya gara-gara sebuah rumor?! Kron, putraku, gunakan nalarmu! Itu sama saja kamu mau memulai pemberontakan lagi!"
Kron tersentak.
"Jangan cari gara-gara lagi. Kamu itu sudah hampir kena hukuman ekspulsi satu kali, namun lolos lantaran intervensi Grimm I. Kau lakukan itu lagi, maka peluang keluargamu memegang peranan penting dalam klan ini bakal benar-benar pupus! Mengerti?!"
"Tapi, Ibu..."
"Sudah, aku tak mau dengar. Sementara jangan singgung lagi soal ini. Sampai dapat dipastikan adanya pergerakan legiun Bael itu, jangan lakukan apa pun terhadap posisi ayahmu tanpa sepengetahuanku. Jika ini kamu langgar, aku tidak bisa lagi menjamin kelangsungan peranan Keluarga Bristan kita dalam pemerintahan klan. Ya? Berjanjilah pada Ibu, kau mau sabar menunggu."
Kesunyian terentang beberapa lama, sebelum pecah oleh bisik lirih. Khidmat.
"...baiklah."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro