Peristiwa di Gang Belakang
Setelah kutinggalkan Tuan Kaigen dan Mbakyu, kembali kususuri daerah pasar, menanyai satu persatu pemilik lapak apakah mereka melihat gadis berzirah serta seorang kawannya, lantaran aku yakin ciri itulah yang akan paling menarik perhatian.
Tak jarang jawabannya hanya gelengan kepala, lantas diikuti pertanyaan, "Apa gadis itu kakakmu?"
Tentu saja jawabanku juga hampir selalu sama: 'Bukan. Majikan saya', berikut sekelumit penjelasan bahwa aku ini valet-nya.
"Hah? Jangan mengada-ada. Yang begitu itu adanya di hotel, Nak."
Fiuh... maklum saja, kalangan pasar. Lagipula, kurasa 'valet' tidak bisa disederhanakan lagi pengertiannya, jadi ya maaf saja...
Pada saat-saat begini aku jadi agak menyesal majikanku bukan tipe shopaholic--yang artinya, ia tidak bisa diharapkan berhenti di salah satu lapak untuk waktu yang cukup lama hingga dapat kulacak; dan aku juga tidak mau sampai berteriak-teriak memanggilnya--bakal terkesan kampungan sekali.
"Maaf... boleh saya numpang istirahat di sini?"
Karena hari kian gelap, dan entah kenapa belum ada panggilan balik dari Kak An, kuhampiri salah satu lapak dan bertanya begitu.
"Oh, aku mau saja mempersilakanmu, Dik... tapi apa kamu tidak lihat, lapak kami sudah mau tutup."
"Saya tidak akan masuk ke lapaknya kok, cukup di bangkunya saja."
"Ya ampun. Apa kamu lupa di mana rumahmu?"
"Tidak. Saya hanya menunggu dipanggil kembali oleh majikan saya, itu saja."
Si pemilik lapak tampak menimbang-nimbang.
"Kalau lapaknya ditutup, tentu saja tidak ada tempat bernaung. Kamu akan kedinginan di udara terbuka malam-malam, dan itu tidak baik. Begini saja, ikutlah ke rumahku--tapi sebelum itu, sekurangnya bantulah membereskan lapak ini."
"Oh, terima kasih... dan maaf merepotkan. Tetapi jika nanti majikan saya kembali mencari--"
"Jangan cemas."
Selama membantu itulah diam-diam kuamati pemilik lapak ini. Seorang wanita, berambut coklat tua yang digelung rapi dengan tusuk konde; agak kontras dengan pakaiannya yang tidak berbeda dengan pedagang kebanyakan. Mata hijaunya agak sipit, namun tetap memberikan kesan lembut--atau menyeramkan, bergantung suasana hati pemiliknya. Seorang gadis lain yang sepertinya berusia lebih tua dariku, berambut pirang, dengan warna mata yang sama, juga tampak berkeliaran membantunya ini-itu. Tidak sepertiku, gadis baru ini tampaknya hanya memerlukan sedikit isyarat untuk memahami tugasnya.
Sesekali gadis pirang itu sempat beradu pandang denganku, sebelum cepat-cepat mengalihkannya.
15 menit kemudian.
"Terima kasih atas bantuannya, Dik," ujar wanita pemilik lapak. "Sebenarnya aku mau memberikan minuman, tapi karena persediaannya sudah dimasukkan semua..."
"Oh, tak masalah, Nyonya. Tidak perlu..."
"Alugara~!"
Sayup-sayup kudengar panggilan lantang di kejauhan. Aku melongok ke luar, ke ujung jalan, dan melihat sosok majikanku bergegas menghampiri.
"Ah, akhirnya! Kelayapan ke mana saja sih kamu! Kaigen dan Nenggala sudah lama kembali..." Kak An berbalik menghadap pemilik lapak. "Anu, terima kasih..."
"Ara, sama-sama, Andin."
"He...?"
Panggilan itu cukup mengejutkan kami berdua yang sudah hendak beranjak.
"Oh, astaga. Kau bahkan tidak hendak memberi salam padaku? Pada saat lain hal itu tidak akan begitu saja kumaklumi lho."
"Tunggu. Jangan-jangan, Anda ini..."
"Ara. Karena rambutku kugelung saja kau lantas jadi pangling? Perbaiki kepekaanmu." Wanita pemilik lapak tersenyum tipis. Sarat pemakluman. "Ini aku, Mestra Sadanastra. Ratumu. Bersama si Maira, seperti biasa."
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro