Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ngomong Jujur

Malam itu, selagi Ishtar dan Narva sedang menyiapkan futon di kamar masing-masing (siangnya mereka sudah diberitahu caranya), terdengar ketukan di pintu geser yang membatasi kedua ruang itu dengan koridor utama rumah.

Pintu dibuka nyaris bersamaan; dan kedua taruna Vladista itu jadi dapat melihat sekilas ruangan satu sama lain--dan juga, bahwa Azumi, Saichi dan Iruha sedang berdiri di koridor itu sambil menghadap ke arah yang berlawanan.

"Apa-apaan ini...?"

"Eh!"

"Waduh..."

"Sebentar... ini jadinya siapa mau masuk mana sih?" tanya Ishtar setelah pulih dari keterkejutan dan rasa kagok sesaat.

"Ahh... ha ha ha, mohon maaf... tadinya kami bertiga mau mengunjungi Anda berdua, tapi malah jadi seperti ini. Begini, saya dan Saichi maunya menemui Anda, Pangeran Ishtar, sementara si Iruha hendak mengunjungi Putri Narva di seberang."

"Oh, gitu. Masuk deh."

"Permisi..."

Sebelum pintu ruangannya benar-benar ditutup, Ishtar berbisik singkat. "Sori, Va."

"Sama, Ish. Baru kali ini sekilas lihat kamar cowok--"

KLAP. Pintu ditutup.

(Sisi cowok)

"Ada perlu apa, pada waktu seperti ini?" tanya Ishtar tanpa membuang waktu ke arah Azumi dan Saichi yang bersimpuh.

"Kak Azu aja deh yang mulai duluan," Saichi menawarkan, "mumpung masih ada waktu sebelum makan malam."

"Baiklah." Azumi kini benar-benar memandang Ishtar. "Pangeran, sebelumnya saya mohon maaf, barangkali permintaan saya ini tidak asing bagi Anda. Saya kira Anda telah dapat menerkanya."

Ishtar berpikir sejenak, lantas mendesah.

"Keras kepala sekali sih, kamu ini. Sudah kubilang, aku baru akan mendapatkan bidak-bidak valet itu tahun depan! Hanya saat itu aku benar-benar bisa memikirkan tawaranmu--itu pun belum pasti jawabannya positif!"

"Mohon maaf. Sekali lagi, memang benar apa yang hendak saya sampaikan ada hubungannya dengan valet tadi, tetapi bukan mengenai penerimaan saya ke dalamnya."

"Lantas kamu mau ngomong soal apa?"

"Mengenai persyaratan menjadi valet tersebut."

Ishtar duduk lebih tegak. "Aku tidak yakin adikmu boleh ikut mendengarnya."

"Kalau begitu, Saichi akan duduk di pojok saja dulu. Permisi."

Setelah anak itu menempati posisi barunya, yang kira-kira tidak memungkinkan untuk mencuri-dengar pembicaraannya, barulah Ishtar mulai bertutur lagi. Lebih lirih.

"Bagian mana yang ingin kamu tahu dari syarat itu?"

"Jika bisa, seluruh rangkaiannya."

"Kau yakin? Kayaknya nggak bakal cukup sampai waktu makan malam kalau kujelaskan semua... tetapi yang pasti, ya para manusia yang hendak menjadi valet itu harus diubah dulu jadi vampir. 'Kenapa'-nya, aku tak tahu persis--barangkali karena tantangan pekerjaannya cukup tinggi?"

"Tantangan tersebut, misalnya... bertarung melawan kaum supernatural lain?"

"Ya, biasanya melalui ajang yang dinamakan 'Rating Game'. Tapi, sejauh ini, bukankah mestinya kamu sudah tahu? Kalau tak salah, kamu bahkan sudah pernah menanyakan bedanya valet dengan familiar."

"Wah, ingatan Anda sungguh tajam, Pangeran."

"Jangan bertele-tele. Jadi, sebenarnya apa sih yang mau kamu tanyakan?"

Ditanya begitu, Azumi tidak segera menjawab.

"Anu... proses pengubahan menjadi vampir tersebut... apakah memungkinkan untuk dibalik? Maksud saya... vampir yang sudah merampungkan pengabdiannya tadi dikembalikan lagi sebagai manusia?"

"Wah, entahlah. Setahuku tidak--tidak ada batasan sampai berapa lama seorang valet dapat mengabdi. Kalaupun ada, aku juga belum tahu sampai kapan; dan, sekali lagi, tidak. Prosesnya tidak bisa dibalik."

"Waduh... itu akan sangat menyulitkan."

"Makanya, pertimbangkan saja dulu rencanamu itu secara matang. Bicarakan dulu dengan orang-tuamu--juga dengan adik-adikmu, sejauh mereka dapat memahaminya. Bayangkan juga rasanya pulang sebagai vampir ke tengah-tengah keluarga manusia; gimana keluargamu yang sebelumnya menerima dan menyayangimu, gara-gara pengubahan itu jadi merasa aneh dan menjauhimu... hal-hal seperti itu. Siapkah kamu menanggungnya?"

"Benar juga..."

"Lagipula... beda umur kita ini setidaknya tiga tahun. Bayangkan saja anggapan orang kalau melihat bocah sepertiku memerintah ini-itu ke pemuda sepertimu."

"Oh... soal itu, Anda tidak perlu terlalu memikirkannya."

Namun sebelum selesai kalimat itu, Ishtar sudah mengarahkan pandangan ke lain arah.

"Saichi!"

"Ya!"

"Giliranmu. Kenapa kau mau menemuiku juga?"

"Ah... begini..."

Anak itu beringsut dengan lutut hingga ke sebelah kakaknya.

"Saya belum tahu apakah topik seperti ini akan cocok dengan selera Anda--"

"Jangan ikut-ikutan. Kamu boleh memanggilku Kak Ishtar saja, kalau mau; dan lagi, cara tuturnya tidak usah formal-formal amat. Di sini aku tamu, bukan sebaliknya."

"Ah, baiklah." Saichi diam sejenak. "Aku mau cerita."

"Aku mau dengar."

"Dua hari lalu, di sekolah, aku dan teman-teman ngobrolin vampir lho, Kak Ishtar. Ada yang bilang kalian itu hebat, udah melindungi kami begini rupa dan segala macam. Katanya, amat jarang ada daerah manusia yang diberi otonomi penuh seperti tempat kami ini."

"Hmm, benarkah?"

"Ya! Sayangnya..." Saichi menunduk, "ada juga yang berpendapat kalau kaum vampir itu perampas, seenaknya masuk wilayah manusia kemudian menguasainya begitu saja."

"Oh, begitu. Jadi ada yang senang dengan cara pemerintahan kami, ada yang tidak."

"Iya, begitulah."

"Lalu? Apa kamu sendiri juga sempat berpendapat dalam obrolan itu?"

"Tentu saja! Saya... eh, aku, bilang mereka yang benci kalian itu kurang tahu terima kasih. Sebelum kedatangan pasukan vampir, negara-negara manusia yang ada toh tidak pernah benar-benar aman. Kerjaannya bertengkar melulu, perang terus. Kalau begini kan nggak bisa memikirkan kemajuan peradaban dengan tenang. Nah, datangnya Vladista mengubah semua itu..."

"Begitu ya."

Untuk ukuran bocah seusiamu, kosa-katamu tinggi juga...

Sambil memandang Saichi yang masih bersemangat bercerita, benak Ishtar juga bekerja. Ada yang suka dan ada yang tidak... dan bahasannya sudah mampir ke 'wilayah'...

Mungkinkah bakal ada pemberontakan kedua? Atau, seharusnya ini cuma dianggap sebagai omongan sepele antar bocah manusia yang dapat dianggap sekadar bunga kata saja?

(Sisi cewek)

"Jadi, kamu mau ngomong apa, Iruha?"

"Begini..."

Iruha memandang tamunya dengan takut-takut. Sebelumnya mereka sempat berselisih pendapat mengenai apakah seharusnya putri sulung Okazaki itu dipanggil 'Kak' oleh Narva, karena perbedaan usianya. Kini Iruha merasa tanggapannya tadi sedikit lancang--tapi entah kenapa tampaknya Narva justru tidak terlalu merisaukannya. Ketenangan semacam itu malah membuatnya gugup.

"Oi, kenapa kamu ini... Cepat bilang!"

"I... iya! Anu, setelah saya pikirkan lagi, rasanya bahan pembicaraan ini terlalu dini untuk Anda."

"Nah, kalau kamu ngomongnya begitu, aku malah penasaran jadinya."

"Mohon maaf..."

Narva berdiri. "Seharusnya kamu pikirkan baik-baik dulu soal itu sebelum menghadapku! Tapi baiklah... sekali lagi aku tanya, kamu benar-benar jadi membahas soal apa pun yang sedang kamu risaukan itu, atau nggak? Jika tidak, pergi sana. Aku lapar, dan katanya sebentar lagi mau makan malam."

Iruha tersentak, kembali menatap Narva.

Barangkali ia merasa inilah kesempatan satu-satunya.

"Jika Putri meminta demikian... saya hendak menceritakannya sekarang."

"Bener nih?"

"Ya. Karena itu, mohon duduk kembali."

Ini dituruti, namun masih dengan ekspresi kurang senang.

"Cepat katakan."

"Sebenarnya, pada usia saya ini... telah ada yang menyatakan ketertarikannya pada saya."

"Hee, bukankah itu bagus... walau sebenarnya terlalu dini juga. Kalau dilihat-lihat, kamu ini kan masih sekitaran kelas dua SMA."

Muka Iruha berona merah. Dinasihati terang-terangan begitu oleh anak perempuan yang bagaimana pun terlihat masih kelas tiga SMP...

"Saya kelas satu. Kakak sayalah, Azumi, yang telah mencapai posisi tersebut."

"Lantas?"

"Aduh, mohon maaf kalau ini jadi terdengar layaknya curhat... tapi, begini, Putri. Di distrik ini, penghuninya memang seluruhnya terdiri dari manusia--tetapi di luar itu, masih ada rakyat dari kalangan supernatural pula. Nah, saya hendak meminta pendapat Putri mengenai bolehnya menjalin... anu, hubungan personal dengan salah satu dari mereka."

Narva manggut-manggut.

"Kamu mau tanya, boleh tidak saya nanti menerima pinangan vampir, jika memang ada yang cocok... Begitu?"

Rona muka Iruha semakin merah. Kali ini dia berdiam diri saja.

"Tidak masalah kok, menurutku."

"He...?"

"Lupakan saja pikiran bodoh, kalau memang ada, bahwa vampir itu ras paling suci, serba ningrat dan lainnya. Kami tidak menganut prinsip begituan. Asal kamu tahu, leluhurku ada yang seorang manusia."

"Be... benarkah...?"

"Aku tidak bohong. Kabarnya, ada pula orang dalam lingkungan keluarganya si Ish yang sampai mengadopsi anak manusia. Jadi, untuk soal itu kamu tenang saja, Iru."

"Terima kasih banyak!"

Kali ini raut gadis itu amat cerah.

"Jadi? Obrolannya mengenai itu saja?"

"Benar--"

"Bagus. Kalau ada lagi, katakan saja nanti--toh kami masih akan berada bersamamu satu minggu. Aku sudah lapar sekali nih."

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro